Kamis, 21 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:REKRUTMEN CALEG MENURUT PASAL 7 POINT (e) UU. NO 31 TAHUN 2002 DAN UU. NO 12 TAHUN 2003 DALAM PERSPEKTIF FIKIH SIYASAH (Studi Terhadap Rekrutmen Calon Anggota legislatif Di DPW PPP Jatim)


BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang Masalah  Masalah hukum dan negara Islam telah muncul sejak masa Nabi  Muhammad saw. Beliau mendirikan, membangun, dan mengatur masyarakat  (Madinah), dan kemudian berhubungan dengan masyarakat dan negara lain. Pada  masa Nabi saw, penjabaran ajaran Islam yang meliputi dunia dan akhirat,  hubungan dengan Allah, manusia serta makhluk yang lain mudah dirujukkan  kepada Nabi saw, karena pada akhirnya beliau memang pemutus atau penentu  yang diakui masyarakatnya. Kedudukan Rasulullah di Madinah sangat unik,  selain beliau sebagai kepala negara namun juga sebagai pembawa risalah ajaran  Allah. Sehingga memimpin tidak hanya dalam soal-soal dunia namun juga dalam  hal-hal kerohaniaan. Ajaran Islam memang tercermin dalam sikap, perbuatan, dan  perkataannya.
 Tetapi setelah berpulang ke Rahmatullah, rujukan berpaling kepada lebih  dari satu orang, karena tidak ada lagi yang menempati kedudukan unik tadi.
 Semulia-mulianya seorang sahabat/ para tabi‘in dia hanyalah salah seorang dari  para sahabat yang banyak, dengan segala kekuatan dan kelemahannya, dengan   Abul A’la al-Maududi, Sistem Politik Islam, h. 13   Ibid, h. 15  1  2  sikap dan kecenderungan yang bisa beragam, serta pengalaman yang berbeda.
Maka kita pun bisa membayangkan bahwa dengan bertambah jauhnya masa  berjalan dari masa Rasulullah, bertambah majemuk pula sikap, pandangan dan  pendirian yang dijumpai di kalangan, apalagi mengenai masalah yang dihadapi. Ini  berarti, tambah berkembang Islam itu dipandang dari sudut pengikut, wilayah  serta zaman, tambah berkembang pula pemikiran dan tanggapan.

Islam merupakan agama yang mencakup keseluruhan sendi kehidupan  manusia. Islam bukanlah sekedar agama kerahiban yang hanya memiliki prosesiprosesi ritual dan ajaran kasih-sayang. Islam bukan pula agama yang hanya  mementingkan aspek legal formal tanpa menghiraukan aspek-aspek moral.
 Politik,  sebagai salah satu sendi kehidupan, dengan demikian juga diatur oleh Islam. Akan  tetapi, Islam tidak hanya terbatas pada urusan politik. Ketika seseorang  mendengar istilah Islam Politik, tentu iaakan segera memahaminya sebagai Islam  yang bersifat atau bercorak politik. Dalam hal ini, Islam memang harus memiliki  corak politik. Akan tetapi, politik bukanlah satu-satunya corak yang dimiliki oleh  Islam. Sebab jika Islam hanya bercorak politik tanpa ada corak lainnya yang  seharusnya ada, maka Islam yang demikian ialah Islam yang parsial. Munculnya  varian-varian Islam dengan corak politik yang amat kuat pada dasarnya didorong  oleh kelemahan atau bahkan keterpurukan politik umat Islam saat ini.
 Abul A’la al-Maududi, Sistem Politik Islam, h. 19  3  Adapun istilah Politik Islam tentu akan segera dipahami sebagai politik  berciri Islam atau konsep politik menurutIslam. Istilah ini wajar ada karena  memang dalam kenyataannya terdapat banyak konsep politik yang kurang atau  tidak sesuai dengan ajaran Islam. Pertanyaan yang selanjutnya muncul ialah  apakah Politik Islam itu ada? Apakah Islam mempunyai konsep khusus tentang  politik, berbeda dengan konsep-konsep politik pada umumnya? Yang jelas,  sampai batasan tertentu, Islam memang memiliki konsep yang khas tentang  politik. Secara garis besar bahwa Islam dan politik terkait secara organik, atau  tidak dapat dipisahkan.
 Keduanya terikat secara struktural oleh sistem religius  Islam yang formal. Asumsi dan pandangan ini ialah, bahwa Islam memuat intisari  ajaran agama dan negara sekaligus.
 Karena totalitas lengkap ajarannya, Islam  menjadi niscaya untuk dipakai sebagai dasar untuk mengatur kehidupan suatu  negara. Akan tetapi, tentu saja Islam tetap terbuka terhadap berbagai konsep  politik yang senantiasa muncul untuk kemudian bisa melengkapi konsep yang  sudah dimiliki, sepanjang tidak bertentangan dengan konsep baku yang sudah ada.
Sifat terbuka Islam dalam masalah politik ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa  Islam tidaklah menetapkan konsep politiknya secara amat rinci dalam segenap  masalahnya. Ketidakrincian itu sendiri merupakan bagian dari kebijaksanaan Allah  agar Islam bisa mengembangkan konsep politiknya dari waktu ke waktu tanpa  harus terkungkung oleh rincian-rincian yang sangat mengikat, sementara kondisi   Donald E. Smith, Agama dan Modernisasi Politik; Suatu Kajian Politik,h. 28   Muhammad Yusuf Musa, An Niz}om al-Hukmi fi al-Islam, h. 11  4  zaman senantiasa berubah dan berkembang. Akan tetapi, tidak pula berarti bahwa  Islam sama sekali tidak memiliki rincian dalam masalah-masalah politik. Ada  masalah-masalah tertentu yang telah ditetapkan secara rinci dan tidak boleh  berubah kapanpun juga, meskipun zamannya berubah. Dalam hal ini, tidaklah  benar pandangan sebagian kalangan yang mengatakan bahwa dalam masalah  politik, Islam hanya memiliki nilai-nilai normatif saja, yang bisa diturunkan  seluas-luasnya tanpa batasan-batasan yang berarti.
Sebagai contoh hubungan antara agama dan negara dalam Islam telah  diberikan oleh Nabi Muhammad saw sendiri setelah hijrah dari Makkah ke  Madinah. Perkembangan pasca hijrah, menunjukkan rencana Nabi dalam  menciptakan masyarakat berbudaya tinggi, yang kemudian menghasilkan entitas politik, yaitu sebuah negara. Negara Madinah pimpinan Nabi adalah model bagi  hubungan antara agama dan negara dalam Islam. Muhammad Arkoun dalam buku  Fiqh Siyasahkarangan Muhammad Iqbal, menyebut usaha Nabi saw itu sebagai  “Eksperimen Madinah”. Eksperimen Madinah itu telah menyajikan kepada umat  manusia contoh tatanan sosial-politik yang mengenal pendelegasian wewenang  (artinya, wewenang atau kekuasaan tidak memusat pada tangan satu orang seperti  pada sistem diktatorial, melainkan kepada banyak orang melalui musyawarah) dan  kehidupan berkonstitusi (artinya, sumber wewenang dan kekuasaan tidak pada  keinginan dan keputusan secara lisan pribadi, tetapi pada suatu dokumen tertulis  yang prinsip-prinsipnya disepakati bersama). Wujud histories terpenting dari  5  eksperimen Madinah itu ialah dokumen yang termasyhur, yaitu Mis| aq al-Madinah (Piagam Madinah).
 Mayoritas ulama sepakat meletakkan “musyawarah” sebagai kewajiban  keislaman dan prinsip konstitusional yang pokok di atas prinsip-prinsip umum dan  dasar-dasar baku yang telah ditetapkan oleh nash-nash al-Qur’an dan hadis.
Musyawarah adalah sebagai prinsip hukum yang bagus. Musyawarah merupakan  jalan untuk menemukan kebenaran dan mengetahui pendapat yang paling tepat.
Dan hal ini sesuai dengan al-Qur’an S. Ali Imran(3): 159 ”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut  terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah  mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka,  mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam  urusan itu. kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka  bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang  bertawakkal kepada-Nya”.
 Adapun yang dimaksud dengan musyawarah dalam istilah politik adalah  partisipasi rakyat dalam masalah-masalah hukum dan pembuatan keputusan  politik.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi