BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Masalah hukum dan negara Islam telah muncul
sejak masa Nabi Muhammad saw. Beliau
mendirikan, membangun, dan mengatur masyarakat (Madinah), dan kemudian berhubungan dengan
masyarakat dan negara lain. Pada masa
Nabi saw, penjabaran ajaran Islam yang meliputi dunia dan akhirat, hubungan dengan Allah, manusia serta makhluk
yang lain mudah dirujukkan kepada Nabi
saw, karena pada akhirnya beliau memang pemutus atau penentu yang diakui masyarakatnya. Kedudukan
Rasulullah di Madinah sangat unik, selain
beliau sebagai kepala negara namun juga sebagai pembawa risalah ajaran Allah. Sehingga memimpin tidak hanya dalam
soal-soal dunia namun juga dalam hal-hal
kerohaniaan. Ajaran Islam memang tercermin dalam sikap, perbuatan, dan perkataannya.
Tetapi setelah berpulang ke Rahmatullah,
rujukan berpaling kepada lebih dari satu
orang, karena tidak ada lagi yang menempati kedudukan unik tadi.
Semulia-mulianya seorang sahabat/ para tabi‘in
dia hanyalah salah seorang dari para
sahabat yang banyak, dengan segala kekuatan dan kelemahannya, dengan Abul A’la al-Maududi, Sistem Politik Islam,
h. 13 Ibid, h. 15 1 2 sikap dan kecenderungan yang bisa beragam,
serta pengalaman yang berbeda.
Maka kita pun bisa membayangkan
bahwa dengan bertambah jauhnya masa berjalan
dari masa Rasulullah, bertambah majemuk pula sikap, pandangan dan pendirian yang dijumpai di kalangan, apalagi
mengenai masalah yang dihadapi. Ini berarti,
tambah berkembang Islam itu dipandang dari sudut pengikut, wilayah serta zaman, tambah berkembang pula pemikiran
dan tanggapan.
Islam merupakan agama yang
mencakup keseluruhan sendi kehidupan manusia.
Islam bukanlah sekedar agama kerahiban yang hanya memiliki prosesiprosesi
ritual dan ajaran kasih-sayang. Islam bukan pula agama yang hanya mementingkan aspek legal formal tanpa
menghiraukan aspek-aspek moral.
Politik, sebagai salah satu sendi kehidupan, dengan
demikian juga diatur oleh Islam. Akan tetapi,
Islam tidak hanya terbatas pada urusan politik. Ketika seseorang mendengar istilah Islam Politik, tentu iaakan
segera memahaminya sebagai Islam yang
bersifat atau bercorak politik. Dalam hal ini, Islam memang harus memiliki corak politik. Akan tetapi, politik bukanlah
satu-satunya corak yang dimiliki oleh Islam.
Sebab jika Islam hanya bercorak politik tanpa ada corak lainnya yang seharusnya ada, maka Islam yang demikian ialah
Islam yang parsial. Munculnya varian-varian
Islam dengan corak politik yang amat kuat pada dasarnya didorong oleh kelemahan atau bahkan keterpurukan
politik umat Islam saat ini.
Abul A’la al-Maududi, Sistem Politik Islam, h.
19 3 Adapun istilah Politik Islam tentu akan segera
dipahami sebagai politik berciri Islam
atau konsep politik menurutIslam. Istilah ini wajar ada karena memang dalam kenyataannya terdapat banyak
konsep politik yang kurang atau tidak
sesuai dengan ajaran Islam. Pertanyaan yang selanjutnya muncul ialah apakah Politik Islam itu ada? Apakah Islam
mempunyai konsep khusus tentang politik,
berbeda dengan konsep-konsep politik pada umumnya? Yang jelas, sampai batasan tertentu, Islam memang memiliki
konsep yang khas tentang politik. Secara
garis besar bahwa Islam dan politik terkait secara organik, atau tidak dapat dipisahkan.
Keduanya terikat secara struktural oleh sistem
religius Islam yang formal. Asumsi dan
pandangan ini ialah, bahwa Islam memuat intisari ajaran agama dan negara sekaligus.
Karena totalitas lengkap ajarannya, Islam menjadi niscaya untuk dipakai sebagai dasar
untuk mengatur kehidupan suatu negara.
Akan tetapi, tentu saja Islam tetap terbuka terhadap berbagai konsep politik yang senantiasa muncul untuk kemudian
bisa melengkapi konsep yang sudah
dimiliki, sepanjang tidak bertentangan dengan konsep baku yang sudah ada.
Sifat terbuka Islam dalam masalah
politik ini tidak terlepas dari kenyataan bahwa Islam tidaklah menetapkan konsep politiknya
secara amat rinci dalam segenap masalahnya.
Ketidakrincian itu sendiri merupakan bagian dari kebijaksanaan Allah agar Islam bisa mengembangkan konsep
politiknya dari waktu ke waktu tanpa harus
terkungkung oleh rincian-rincian yang sangat mengikat, sementara kondisi Donald E. Smith, Agama dan Modernisasi
Politik; Suatu Kajian Politik,h. 28 Muhammad
Yusuf Musa, An Niz}om al-Hukmi fi al-Islam, h. 11 4 zaman
senantiasa berubah dan berkembang. Akan tetapi, tidak pula berarti bahwa Islam sama sekali tidak memiliki rincian dalam
masalah-masalah politik. Ada masalah-masalah
tertentu yang telah ditetapkan secara rinci dan tidak boleh berubah kapanpun juga, meskipun zamannya
berubah. Dalam hal ini, tidaklah benar
pandangan sebagian kalangan yang mengatakan bahwa dalam masalah politik, Islam hanya memiliki nilai-nilai
normatif saja, yang bisa diturunkan seluas-luasnya
tanpa batasan-batasan yang berarti.
Sebagai contoh hubungan antara
agama dan negara dalam Islam telah diberikan
oleh Nabi Muhammad saw sendiri setelah hijrah dari Makkah ke Madinah. Perkembangan pasca hijrah,
menunjukkan rencana Nabi dalam menciptakan
masyarakat berbudaya tinggi, yang kemudian menghasilkan entitas politik, yaitu
sebuah negara. Negara Madinah pimpinan Nabi adalah model bagi hubungan antara agama dan negara dalam Islam.
Muhammad Arkoun dalam buku Fiqh
Siyasahkarangan Muhammad Iqbal, menyebut usaha Nabi saw itu sebagai “Eksperimen Madinah”. Eksperimen Madinah itu
telah menyajikan kepada umat manusia
contoh tatanan sosial-politik yang mengenal pendelegasian wewenang (artinya, wewenang atau kekuasaan tidak
memusat pada tangan satu orang seperti pada
sistem diktatorial, melainkan kepada banyak orang melalui musyawarah) dan kehidupan berkonstitusi (artinya, sumber
wewenang dan kekuasaan tidak pada keinginan
dan keputusan secara lisan pribadi, tetapi pada suatu dokumen tertulis yang prinsip-prinsipnya disepakati bersama).
Wujud histories terpenting dari 5 eksperimen Madinah itu ialah dokumen yang
termasyhur, yaitu Mis| aq al-Madinah (Piagam Madinah).
Mayoritas ulama sepakat meletakkan
“musyawarah” sebagai kewajiban keislaman
dan prinsip konstitusional yang pokok di atas prinsip-prinsip umum dan dasar-dasar baku yang telah ditetapkan oleh nash-nash
al-Qur’an dan hadis.
Musyawarah adalah sebagai prinsip
hukum yang bagus. Musyawarah merupakan jalan
untuk menemukan kebenaran dan mengetahui pendapat yang paling tepat.
Dan hal ini sesuai dengan
al-Qur’an S. Ali Imran(3): 159 ”Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu
Berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, Maka bertawakkallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya”.
Adapun yang dimaksud dengan musyawarah dalam
istilah politik adalah partisipasi
rakyat dalam masalah-masalah hukum dan pembuatan keputusan politik.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi