BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Sejak reformasi Indonesia telah diramaikan
dengan pembicaraan mengenai perwujudan
hak-hak politik rakyat yaitu hak atas hidup, hak atas kebebasan dan hak kepemilikan (life, liberty
and property), sehingga kenyataan itu memaksa DPR untuk melakukan
perubahan terhadap UUD 1945 dan
Undang-undang yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat.
Salah satu hasil perubahan
tersebut adalah UU No. 2 tahun 1999 tentang partai politik, UU No. 3 tahun 1999 tentang
Pemilu.
Sedangkan ketentuan Pemilu secara umum diatur dalam Bab VIIB pasal
22E UUD 1945 dan secara khusus
dirumuskan dalam UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilu yang dijadikan instrument pada Pemilu 5 April 2004.
Sistem yang digunakan dalam
pemilu 2004 adalah sistem proporsional terbuka
yang merupakan perbaikan dari pemilu 1999 dengan sistem proporsional daftar tertutup. Pada pemilu
2004, Bilangan Pembagi Pemilihan (BPP)
sebagai dasar penetapan calon legislatif terpilih, dianggap sebagai terobosan baru yang dimaksudkan untuk
mengakomodasi prinsip-prinsip sistem Meriam
Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, hal, 56 Titik Triwulan Tutik, Pokok-pokok Hukum Tata
Negara, hal, 289 2 pluralitas-mayoritas (distrik) ke dalam sistem
proporsional terbuka, dengan tujuan
meningkatkan kedekatan wakil dengan rakyat yang diwakilinya.
BPP adalah bilangan pembagi yang
diperoleh dari jumlah total suara sah dengan
jumlah kursi yang tersedia disuatu daerah pemilihan (Dapil). Pasal 46 UU No. 12/2003 menyatakan bahwa Pemilu untuk
memilih anggota DPR, DPRD provinsi dan
DPRD Kabupaten/kota maupun DPD, masing-masing ditetapkan daerahpemilihannya.
Sedangkan bagi pemilu 2009 diatur
dalam Pasal 214 huruf a, huruf b, huruf
c, huruf d dan huruf e UU 10/2008 yang menentukan bahwa calon terpilih adalah calon yang mendapat di atas 30% (tiga
puluh per seratus) dari BPP, atau menempati
nomor urut lebih kecil, jika tidak ada yang memperoleh 30% (tiga puluh per seratus) dari BPP, atau yang
menempati nomor urut lebih kecil jika yang
memperoleh 30% (tiga puluh per seratus) dari BPP lebih dari jumlah kursi proporsional yang diperoleh suatu partai
politik peserta Pemilu.
Secara legislasi, pasal 214 UU 10/2008
merupakan produk dari lembaga legislatif
dan disetujui oleh lembaga eksekutif, tentunya lewat kompromikompromi politis.
Hal semacam ini, memberi artikulasi bahwa Undang-undang merupakan produk politik. Oleh karenanya,
tidak jarang Undang-undang itu bersifat
multi tafsir dan bahkan kontradiktif.
Sehingga, memberikan putusan Lihat: Undang-undang Pemilu 2009;
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD
dan DPRD.
Ramlan Surbakti, Perekayasaan Sistem Pemilihan
Umum Untuk Pembangunan Tata Politik Demokratis,
hal, 2 3 terhadap perkara peraturan undang-undangan
tersebut, sebenarnya MK sedang berhadapan
dengan dua lembaga yang kewenangannya sama-sama diberikan oleh UUD 1945, yaitu lembaga legislatif dan
eksekutif.
Mahkamah Konstitusi sendiri juga
diberikan kewenangan oleh Undangundang Dasar 1945.
Hanya dengan berdasarkan kewenangan itu, MK
dapat menerima permohonan uji materiil
dan memberi putusan terhadap pokok permohonannya,
yaitu pasal 214 huruf a, b, c, d dan e, UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu tersebut.
Putusan Mahkamah Konstitusi
terhadap UU tersebut, bahwa sistem nomor
urut (Pasal 214 UU 10/2008) tidak memiliki kekuatan hukum dan diganti dengan mekanisme suara terbanyak bagi
penentu pemenangan anggota legislatif
pada pemilu 2009.
Putusan judicial reviewdi atas, yang menjadi
fokus penelitian ini, karena setiap
putusan mesti memiliki pertimbangan hukum dan apabila dilaksanakan akan mempunyai implikasi atau akibat, baik
yang direncanakan atau yang diperkirakan
maupun tidak, yang diharapkan ataupun tidak diharapkan.
Suatu dampak yang diharapkan atau
yang diperkirakan ini perlu ditelaah secara
seksama, apakah berdampak positif atau negatif bagi masyarakat umum ataukah bagi sebagian masyarakat yang sejak
awal mempengaruhi isi putusan judicial
reviewtersebut.
Komaruddin Hidayat, Azumardi Azra, Pendidikan
Kewargaan; Civic Education, hal,78-80, MK
Kabulkan Uji Materiil, Pemilu 2009 Gunakan Sistem Suara Terbanyak, Suara Karya,
24/8/2008 4 Masalah-masalah
tersebut, juga sangat perlu untuk dikaji melalui fiqh Siya>sah. Apakah putusan Mahkamah
konstitusi sudah sesuai dengan semangat Syariat
atau tidak. Apalagi fiqh memang memiliki peran penting dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, yaitu untuk
memelihara kemaslahatan manusia
sekaligus menghindari Mafsa>dat(madarat), baik di dunia maupun akhirat.
Syariat yang berkembang dalam paradigma umum
masyarakat Indonesia pada umumnya adalah
keseluruhan hukum Islam, baik yang secara tekstual tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits,
maupun hukum Islam sebagai hasil penalaran
(Ijtiha>d) ulama.
Salah satu prinsip Syariat tersebut dapat
ditemukan dalam salah satu ayat Al-Qur’an,
yang berbunyi:“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat
(peraturan) dari urusan (agama itu),
Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Qs.
al-Jas|iyah:18).
Kata Syariat dalam ayat di atas dihubungkan
dengan Allah, sehingga para ulama usu>l fiqhmemahami konsep Syariat tersebut
sebagai teks-teks kalamullah yang
bersifat Syar’i>(hukum).
Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, hal, 125 Legalitas Hukum Islam; Hasil Ijtihad/Fatwa
Keagamaan Ulama, (Makalah disampaikan oleh Rohadi Abd. Fatah pada SEMILOKA BEM Fakultas
Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 28 Mei 2007), hal, 3 Depag RI, al-Qur’an dan Terjemah, hal, 720 Beni Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam,
hal, 37 5 Secara hirarki, Syariat dipahami sebagai hukum
tertinggi. Sehingga, setiap permasalahan
hukum yang timbul di tengah-tengah kehidupan manusia, apabila jawabannya tidak ditemukan dalam
Syariat, maka dilakukan ijtiha>d, dalam
upaya menemukan dan menetapkan hukum mengenai hal yang tidak diatur secara eksplisit dalam Syariat dengan
melibatkan berbagai metode dan pendekatan.
Salah satu fiqh yang tidak diatur
secara rinci dalam al-Qur’an maupun assunnah adalah fiqh Siya>sah, yaitu
disiplin ilmu tentang seluk-beluk pengaturan kepentingan umat manusia pada umumnya dan
negara pada khususnya, demi mewujudkan
kemaslahatan umat manusia sesuai dengan tuntunan Syariat. Hal ini mengisyaratkan adanya lembaga kekuasaan
khusus yang mengurusi maksud tersebut.
Lembaga yang mempunyai kompetensi
untuk menegakkan Syariat dan memutus
perkara berdasarkan prinsip tauhid, keadilan, dan kemanusiaan dikenal dengan lembaga Sult{ah
qad{a>’i>yyah (lembaga peradilan) dalam Islam.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi