Kamis, 21 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:STUDI FIQH SIYASAHT ERHADAP PUTUSAN JUDICIAL REVIEW MAHKAMAH KONSTITUSI ATAS PASAL 214 UU NO. 10 TAHUN 2008 TENTANG PEMILU


BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang Masalah  Sejak reformasi Indonesia telah diramaikan dengan pembicaraan  mengenai perwujudan hak-hak politik rakyat yaitu hak atas hidup, hak atas  kebebasan dan hak kepemilikan (life, liberty and property),  sehingga  kenyataan itu memaksa DPR untuk melakukan perubahan terhadap UUD 1945  dan Undang-undang yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat.
Salah satu hasil perubahan tersebut adalah UU No. 2 tahun 1999 tentang  partai politik, UU No. 3 tahun 1999 tentang Pemilu.
 Sedangkan ketentuan  Pemilu secara umum diatur dalam Bab VIIB pasal 22E UUD 1945 dan secara  khusus dirumuskan dalam UU No. 12 tahun 2003 tentang Pemilu yang  dijadikan instrument pada Pemilu 5 April 2004.
Sistem yang digunakan dalam pemilu 2004 adalah sistem proporsional  terbuka yang merupakan perbaikan dari pemilu 1999 dengan sistem  proporsional daftar tertutup. Pada pemilu 2004, Bilangan Pembagi Pemilihan  (BPP) sebagai dasar penetapan calon legislatif terpilih, dianggap sebagai  terobosan baru yang dimaksudkan untuk mengakomodasi prinsip-prinsip sistem   Meriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, hal, 56   Titik Triwulan Tutik, Pokok-pokok Hukum Tata Negara, hal, 289  2  pluralitas-mayoritas (distrik) ke dalam sistem proporsional terbuka, dengan  tujuan meningkatkan kedekatan wakil dengan rakyat yang diwakilinya.

BPP adalah bilangan pembagi yang diperoleh dari jumlah total suara sah  dengan jumlah kursi yang tersedia disuatu daerah pemilihan (Dapil). Pasal 46  UU No. 12/2003 menyatakan bahwa Pemilu untuk memilih anggota DPR,  DPRD provinsi dan DPRD Kabupaten/kota maupun DPD, masing-masing  ditetapkan daerahpemilihannya.
Sedangkan bagi pemilu 2009 diatur dalam Pasal 214 huruf a, huruf b,  huruf c, huruf d dan huruf e UU 10/2008 yang menentukan bahwa calon terpilih  adalah calon yang mendapat di atas 30% (tiga puluh per seratus) dari BPP, atau  menempati nomor urut lebih kecil, jika tidak ada yang memperoleh 30% (tiga  puluh per seratus) dari BPP, atau yang menempati nomor urut lebih kecil jika  yang memperoleh 30% (tiga puluh per seratus) dari BPP lebih dari jumlah kursi  proporsional yang diperoleh suatu partai politik peserta Pemilu.
 Secara legislasi, pasal 214 UU 10/2008 merupakan produk dari lembaga  legislatif dan disetujui oleh lembaga eksekutif, tentunya lewat kompromikompromi politis. Hal semacam ini, memberi artikulasi bahwa Undang-undang  merupakan produk politik. Oleh karenanya, tidak jarang Undang-undang itu  bersifat multi tafsir dan bahkan kontradiktif.
 Sehingga, memberikan putusan   Lihat: Undang-undang Pemilu 2009; Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun  2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD.
 Ramlan Surbakti, Perekayasaan Sistem Pemilihan Umum Untuk Pembangunan Tata Politik  Demokratis, hal, 2  3  terhadap perkara peraturan undang-undangan tersebut, sebenarnya MK sedang  berhadapan dengan dua lembaga yang kewenangannya sama-sama diberikan  oleh UUD 1945, yaitu lembaga legislatif dan eksekutif.
Mahkamah Konstitusi sendiri juga diberikan kewenangan oleh Undangundang Dasar 1945.
 Hanya dengan berdasarkan kewenangan itu, MK dapat  menerima permohonan uji materiil dan memberi putusan terhadap pokok  permohonannya, yaitu pasal 214 huruf a, b, c, d dan e, UU No 10 Tahun 2008  tentang Pemilu tersebut.
Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU tersebut, bahwa sistem  nomor urut (Pasal 214 UU 10/2008) tidak memiliki kekuatan hukum dan  diganti dengan mekanisme suara terbanyak bagi penentu pemenangan anggota  legislatif pada pemilu 2009.
 Putusan judicial reviewdi atas, yang menjadi fokus penelitian ini, karena  setiap putusan mesti memiliki pertimbangan hukum dan apabila dilaksanakan  akan mempunyai implikasi atau akibat, baik yang direncanakan atau yang  diperkirakan maupun tidak, yang diharapkan ataupun tidak diharapkan.
Suatu dampak yang diharapkan atau yang diperkirakan ini perlu ditelaah  secara seksama, apakah berdampak positif atau negatif bagi masyarakat umum  ataukah bagi sebagian masyarakat yang sejak awal mempengaruhi isi putusan  judicial reviewtersebut.
 Komaruddin Hidayat, Azumardi Azra, Pendidikan Kewargaan; Civic Education, hal,78-80,   MK Kabulkan Uji Materiil, Pemilu 2009 Gunakan Sistem Suara Terbanyak, Suara Karya,  24/8/2008  4  Masalah-masalah tersebut, juga sangat perlu untuk dikaji melalui fiqh  Siya>sah. Apakah putusan Mahkamah konstitusi sudah sesuai dengan semangat  Syariat atau tidak. Apalagi fiqh memang memiliki peran penting dalam  mengatur kehidupan bermasyarakat, yaitu untuk memelihara kemaslahatan  manusia sekaligus menghindari Mafsa>dat(madarat), baik di dunia maupun  akhirat.
 Syariat yang berkembang dalam paradigma umum masyarakat Indonesia  pada umumnya adalah keseluruhan hukum Islam, baik yang secara tekstual  tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits, maupun hukum Islam sebagai hasil  penalaran (Ijtiha>d) ulama.
 Salah satu prinsip Syariat tersebut dapat ditemukan dalam salah satu ayat  Al-Qur’an, yang berbunyi:“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari  urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa  nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Qs. al-Jas|iyah:18).
 Kata Syariat dalam ayat di atas dihubungkan dengan Allah, sehingga para  ulama  usu>l fiqhmemahami konsep Syariat tersebut sebagai teks-teks  kalamullah yang bersifat Syar’i>(hukum).
  Fathurrahman Djamil, Filsafat Hukum Islam, hal, 125   Legalitas Hukum Islam; Hasil Ijtihad/Fatwa Keagamaan Ulama, (Makalah disampaikan oleh  Rohadi Abd. Fatah pada SEMILOKA BEM Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, 28 Mei  2007), hal, 3   Depag RI, al-Qur’an dan Terjemah, hal, 720   Beni Ahmad Saebani, Filsafat Hukum Islam, hal, 37  5  Secara hirarki, Syariat dipahami sebagai hukum tertinggi. Sehingga,  setiap permasalahan hukum yang timbul di tengah-tengah kehidupan manusia,  apabila jawabannya tidak ditemukan dalam Syariat, maka dilakukan ijtiha>d,  dalam upaya menemukan dan menetapkan hukum mengenai hal yang tidak  diatur secara eksplisit dalam Syariat dengan melibatkan berbagai metode dan  pendekatan.
Salah satu fiqh yang tidak diatur secara rinci dalam al-Qur’an maupun assunnah adalah fiqh Siya>sah, yaitu disiplin ilmu tentang seluk-beluk pengaturan  kepentingan umat manusia pada umumnya dan negara pada khususnya, demi  mewujudkan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan tuntunan Syariat. Hal  ini mengisyaratkan adanya lembaga kekuasaan khusus yang mengurusi maksud  tersebut.
Lembaga yang mempunyai kompetensi untuk menegakkan Syariat dan  memutus perkara berdasarkan prinsip tauhid, keadilan, dan kemanusiaan  dikenal dengan lembaga Sult{ah qad{a>’i>yyah (lembaga peradilan) dalam Islam.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi