Kamis, 21 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:STUDI ANALISIS FIQIH SIYASAH TERHADAP EKSISTENSI DAN KEWENANGAN MAHKAMAH SYAR’IYAH DALAM MENGADILI TINDAK JINAYAH DI PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM


BAB I  PENDAHULUAN  
A.  Latar Belakang Masalah  Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh  sebagai satuan pemerintahan daerah  yang bersifat istimewa dan khusus,  berkenaan dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang  memiliki ketahanan dan daya juang tinggi.
Penyerahan otonomi khusus dan penggantian nama Provinsi Daerah  Istimewa Aceh menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam didasarkan  kepada Undang-undang No. 18 Tahun 2001.
 Lahirnya Undang-undang ini dilatarbelakangi setidak-tidaknya oleh  dua fenomena, satu terdapat di Aceh dan satu lagi ditingkat nasional. Yang  pertama, berkaitan dengan konflik Aceh yang timbul akibat adanya Gerakan  Aceh Merdeka sejak tahun 1976. Sedang yang kedua berkaitan dengan  reformasi yang menuntutperubahan disegala bidang kehidupan bermasyarakat   Pada Pasal 31 (1)dinyatakan bahwa “Ketentuanpelaksanaan Undang-Undang ini yang  menyangkut kewenangan Pemerintah ditetapkandengan Peraturan Pemerintah,” sedang pada ayat (2)  dinyatakanbahwa  “Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang menyangkut  kewenanganPemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun  ProvinsiNanggroe Aceh Darussalam.”Sedang pengertian Qanun, dalam Pasal 1 angka 8dinyatakan  “Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerahsebagai pelaksanaan  undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalamdalam rangka penyelenggaraan  otonomi khusus”   dan bernegara termasukmengubah pola hubungan antara pusat dan daerah.

Reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa telah “memaksa” pemerintah untuk  membuat beberapa kebijakan, diantaranya kebijakan tentang desentralisasi  dengan diterbitkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang  Pemerintahan Daerah. Sedang konflikAceh yang berlangsung berlarut-larut  telah “mendorong” sebagian anggota DPRuntuk mengajukan usul inisiatif yang  lantas melahirkan Undang-Undang No. 44Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan  Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh.Melalui Undang-Undang ini  Pemerintah Pusat mengakui keistimewaan Aceh, yangtelah lama disandang oleh  Provinsi Daerah Istimewa Aceh yaitu sejak tahun 1959. Karena UndangUndang ini dirasakan belum cukup mengakomondir tuntutan daerah,Sidang  Umum MPR tahun 1999 melalui Ketetapan MPR Nomor  IV/MPR/1999,mengamanatkan antara lain pemberian otonomi khusus kepada  Daerah Istimewa Aceh.Selanjutnya Sidang Tahunan MPR tahun 2000 melalui  Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 kembali merekomendasikan agar  Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dapat  dikeluarkan selambat-lambatnya bulan Mei 2001.Lebih dari itu perubahan  kedua atas Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukanMPR pada sidang  tahunan tahun 2000, dalam Pasal 18 B ayat (1) mengakui dan menghormati  satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa  yang akan diatur dengan undang-undang. Atas dasar perubahan yangrelatif  dratis ini, sebagian anggota DPR kembali mengajukan usul inisiatifmengenai   Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh,  yangpada akhirnya disahkan sebagai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001  tentang Otonomi khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi  NanggroeAceh Darussalam,yang disahkan pada tanggal 19 Juli 2001 dan  diundangkanpada tanggal 9 Agustus 2001.
 Ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan  hidup yang berlandaskan Syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang  kuat, sehingga Aceh menjadi salah satudaerah modal bagi perjuangan dalam  merebut dan mempertahankan kemerdekaanNKRI yang berdasarkan Pancasila  dan Undang-Undang Dasar 1945. Kehidupan demikian, menghendaki adanya  implementasi formal penegakan Syari’at Islam. Penegakan Syari’at Islam  dilakukan dengan asas personalitas ke-Islaman terhadap setiap orang yang  berada di Aceh tanpa membedakan kewarganegaraan, kedudukan, dan status  dalam wilayah sesuai dengan batas-batas daerah Provinsi Aceh .
Aceh adalah Daerah Provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat  hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur  dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat  setempat sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan dalam sistem dan  prinsip NKRI berdasarkan UUD 1945, yang dipimpin oleh seorang Gubernur.
 Prof. Dr. H. Rusjdi Ali Muhammad, SH. Ma, Revitalisasi Syariat Islam Diaceh“Problem,  Solusi Dan Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam Di Nangroe Aceh Darussalam” logos,  Agustus 2003. h 45-49   Pemerintahan Aceh adalah Pemerintahan Daerah Provinsi dalam sistem NKRI  berdasarkan UUD 1945 yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang  dilaksanakan oleh Pemerintah DaerahAceh dan Dewan Perwakilan Rakyat  Daerah Aceh sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing.
Pemberlakuan Syari’at Islam di Aceh merupakan feNo.mena yang  sangat menarik dicermati. Bagi pemerhati hukum di Indonesia, ini merupakan  peristiwa pertama setelah kemerdekaan di mana ada sebuah wilayah dalam  kekuasaan hukum Indonesia menerapkan sistem hukum yang relatif berbeda  dengan hukum nasional.
Secara histories, antara masyarakatAceh dengan Syariat Islam sudah  senyawa, hidup ratusan tahun dan merupakan bagian yang tak terpisahkan.
 Kontroversi seputar penerapan Syariat Islam di Indonesia tampaknya belum  menemukan kata sepakat. Indikasinya dapat dilihat dari kecendrungan  beberapa kalangan, terutama para pemikir Islam yang bersikukuh dengan  pendiriannya masing-masing tanpa berusaha memikirkan jalan terbaik yang  dapat mengakomodasi berbagai kepentingan. Perdebatan yang bernuansa  ideologis, sosiologis bahkan politis terkadang membuat kita terjebak pada   Daud Rasyid, “Formulasi Syari’at Islam di Serambi Mekkah” Republika, Sabtu 13  No.vember, 1999   kamuflase retoris yang justru berakibat menjauhnya dari inti persoalan, yaitu  implementasi Syariat Islam itu sendiri.
 Pemberlakuan Syari’at Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi  bidang aqidah, Syar’iyahdan Akhlak. Syari’at Islam tersebut meliputi Ibadah Ahwal Alsyakhshiyah(hukum keluarga), Muamalah(hukum perdata), jinayah (hukum pidana), Qadha’(peradilan), Tarbiyah(pendidikan), Dakwah, Syiar,  dan pembelaan Islam. Ketentuan pelaksanaan Syari’at Islam diatur dengan  Qanun AceHal Setiap pemeluk agama Islam di Aceh wajib menaati dan  mengamalkan Syari’at Islam. Setiap orang yang bertempat tinggal atau berada  di Aceh wajib menghormati pelaksanaan Syari’at Islam. Pemerintahan Aceh  dan Pemerintahan Kabupaten/Kota menjamin kebebasan, membina kerukunan,  menghormati nilai-nilai agama yang dianut oleh umat beragama dan  melindungi sesama umat beragama untukmenjalankan ibadah sesuai dengan  agama yang dianutnya. Pendirian tempat ibadah di Aceh harus mendapat izin  dari Pemerintah Aceh dan/atau Pemerintah Kabupaten/Kota.
Peradilan Syari’at Islam di Aceh adalah bagian dari sistem peradilan  nasional dalam lingkungan Peradilan Agama yang dilakukan oleh Mahkamah  Syar’iyah yang bebas dari pengaruh pihak mana pun. Mahkamah Syar’iyah  merupakan pengadilan bagi setiap orang yang beragama Islam dan berada di   Ahmad Thabi Kharlie, Peluang Konstitusional Syariat Islam, Media Indonesia, Jum’at 7  September 2001   AceHal Mahkamah Syar’iyah terdiri atas Mahkamah Syar’iyah  Kabupaten/Kota sebagai pengadilan tingkat pertama dan Mahkamah Syar’iyah  Aceh sebagai pengadilan tingkat banding. Hakim Mahkamah Syar’iyah  diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Ketua Mahkamah Agung.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi