Kamis, 21 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:STUDI KOMPARATIF TERHADAP PEMIKIRAN IMAM ABU HANIFAH DAN IMAM SYAFI’I TENTANG SYIRKAH


BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Persoalan  Muamalah  adalah  persoalan  yang  sedikit  sekali  di  kaji  secara  serius,  karena  selama  ini  ada  anggapan  bahwa  persoalan  Muamalah  adalah  persoalan  duniawiyah  yang  sama  sekali  tidak  terkait  dengan  nilai-nilai  ketuhanan.  Anggapan  seperti  ini  tentu  saja  tidaklah  benar,  karena  sebagai  seorang muslim, apapun aktifitas yang dilakukan sehari-hari harus terkait dengan  nilai  ketuhanan.  Misalnya  saja  dalam  transaksi  jual  beli,  jasa  dan  hubungan  bisnis lainnya. Seorang muslim harus melaksanakan sesuai dengan tuntutan yang  telah di syariatkan Allah dan rasulnya.
 Hukum Islam adalah produk penyelidikan kritis,dari sudut pandang agama  merupakan  pokok  bahasan  yang  sah,  hukum  Islam  pun  tidak  pernah  ditopang  oleh  satu  kekuatan  yang  di  organisir,  akibatnya  tidak  pernah  berkembang  menjadi satu usaha nyata untuk mendapatkan kekuatan.
 Dalam  hukum  Islam,  ketentuan  hukum  yang  terkait  dengan  kebiasaan  diatur  berdasarkan  ‘Urf.  Pada  satu  sisi  Fiqih  adalah  penjabaran  dari  Nash  AlQur’an  dan  As-Sunnah.  Jadi  sepanjang  Nash-nash  itu  tidak  berubah,  tentu  Fiqihnya pun akan tetap sama. Akan tetapi pada sisi lain, Fiqih merupakan hasil   Nasroen , Haroen, Fiqih Muamalah, ( Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000 ),   Joseph Schacht, Introduction to Islamic Law, ( Palembang : IAIN Raden Fatah, 1985), 3   ijtihad  Ulama  yang  senantiasa  berinteraksi  dengan  masyarakat  dan  lingkungannya.  Oleh  karena  itu  kemungkinan  besar  Fiqih  berpengaruh  oleh  lingkungan seorang Mujtahid.

Dalam  hukum  Islam  kita  mengenal  suatu  sistem  yang  disebut  dengan  Syirkah.  Syirkah  ini dapat berbentuk  bermacam-macam. Semisal beberapa orang  bersekutu untuk memiliki suatu benda, ada juga beberapa orang yang bersekutu  untuk mengadakan perjanjian laba rugi atas modal bersam. Beberapa orang yang  bersekutu mengadakan  perjanjian dengan orang lain dengan ketentuan upahnya  di bagi diantara para anggota.
Pemikiran  Imam  Abu  Hanifah  tentang  syirkah  dapat  digambarkan  bahwa  Syirkah  berarti  Ikhtilath  atau  percampuran,  yaitu  akad  antara  orang  yang  berserikat  dalam  hal  modal  dan  keuntungan.
 Ulama’  Hanafiyah  menyatakan  mengenai rukun syirkah Cuma ada dua, yaitu Ijab dan Qabul. Karena menurutnya  Ijab  dan  Qabul  atau  Akad  adalah  sesuatu  yang  menentukan  adanya  syirkah.
Imam Abu Hanifah  memegang kuat Ar-Ray’ sesuai dengan tabiat kehidupan dan  kemasyaratan di  Iraq. Ijtihad Imam Abu Hanifah  nampak terang pada masalahmasalah  yang  tidak  ada  pada  Nash  Al-Qur’an  dan  Hadits,  dan  tidak  ada  pula  pada pendapat para sahabat. Imam  Abu Hanifah  melebarkan daerah Isthimbath  dan mengeluarkan hukum-hukum cabang dari pada pokok-pokok hukum.
  Sayyid Sabiq, Fiqih sunnah 13, ( Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1987 ),   Hasbi Ash- Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam, ( Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1990), 51 -52   Imam  Abu  Hanifah  dalam  Ijtihadnya  sangat  berpegang  teguh  pada  sumber hukum pokok, dalam Hadits beliau hanya berpedoman pada hadits-hadits  yang  benar-benar  Sahih  Mu’tamad.  Pada  waktu  itu  Imam  Abu  Hanifah  adalah seorang  pedagang  di  kota  Kufah  yang  ketika  itu  merupakan  pusat  aktifitas  perdagangan dan perekonomian yang sedang maju dan berkembang. Pengalaman  dan  pengetahuan  yang  didapat  langsung  oleh  Imam  Abu  Hanifah  sangat  membantunya  dalam  mengatasi  masalah  yang  timbul  dan  dalam  menetapkan  sebuah kebijakan juga dalam perekonomian.
Dengan  konsep  dasar  yang  dari  Imam  Abu  Hanifah  yang  secara  tegas  telah  membolehkan  segala  macam  bentuk  syirkah,  sehingga  merupakan  suatu  konsekuensi logis yang memerlukan perhatian tersendiri.
Sedangkan  pemikiran  Imam  Syafi’i  tentang  Syirkah  adalah  perjanjian  anatara dua orang  lebih untuk bekerja sama dalam perdagangan, dengan cara  menyerahkan  modal  masing-masing  yang  keuntungan  dan  kerugiannya  diperhitungkan menurut besar kecilnya modal masing-masing.
 Mengenai syarat  dalam  syirkah  yaitu  Ijab,  Qabul,  harus  ada  barang  (  obyeknya  ).  Banyak  perbedaan  dengan  konsep  yang  di  berikan  oleh  Imam  Abu  Hanifah  tentang  syirkah.
 Ibnu Mas’ud, Fiqih Madzab Syafi’i, ( Bandung : Pustaka Setia, 2007 ), 111   Imam Syafi’i terkenal sebagai seorang yang membela Madzab Maliki dan  mempetahankan  Madzab  Ulama  Madinah  hingga  beliau  mendapat  julukan‚  Nasyirus Sunnah (Penyebar Sunnah )  .
Imam Syafi’i hidup pada masa munculnya dua aliran besar, yaitu Ahl Al Hadits pada Imam Malik dan ahl Ar-Ray’ Imam Abu Hanifah. Yang mana syafi’i  tidak  mendahulukan  hadits  secara  mutlak,  maupun  Qiyas  secara  mutlak,  tetapi  Imam  Syafi’i  melakukan  perbandingan-perbandingan  antara  madzab-madzab  diatas yang telah berkembang dan mengumpulkan antaranya dengan memelihara  prinsip wasatahiyah ( perimbangan ), dan takamuliyah ( kesempurnaan ).
 Dalam  penetapan  hukum  Imam  Syafi’i  tidak  mau  menggunakan  cara  Ihtishan,  dan  beliau  berpendapat  ‚  Barang  siapa  menetapkan  hukum  dengan  Ihtishan,  berarti  Ia  membuat  Syariat  sendiri.  Imam  Syafi’i  adalah  pakar  Yurisprudensi Islam, salah seorang yang tidak kaku dalam menentukan hukum.
Hukum Islam atau Fiqih itu adalah hukum yang terus hidup, sesuai dengan  Undang-undang  gerak  dan  subur.  Dia  mempunyai  gerak  yang  tetap  dan  perkembangan yang terus-menerus, karenanya hukum Islam selalu berkembang,  dan perkembangan itu merupakan tabiat hukum Islam yang terus hidup.
Untuk  mendapatkan  rezeki  karunia  Allah,  banyak  cara  yang  dilakukan  orang.  Sebab  selagi  masih  hidup  banyak  tuntutan  yang  harus  di  penuhi,  ada   Ali Hasan, Perbandingan Madzab,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996),   Hasbi Ash- Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam, ( Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1990), 55   orang  yang  berusaha  secara  individu  dan  ada  pula  yang  berusaha  bersama  (kolektif).
 Apabila  kita  lihat  dari  kacamata  dunia  saat  ini,  yang  menjadi  puncak  perkembangan  dunia  atau  suatu  negara,  salah  satunya  adalah  masalah  keberhasilan  suatu  negara  dalam  bidang  perekonomian.  Dimana  jika  perkembangan  ekonomi  itu  semakin  maju  dan  berkembang  pesat,  maka  suatu  negara tersebut akan turut berkembang. Dengan demikian suatu negara tersebut  akan  sangat  membutuhkan  adanya  sistem  perserikatan  dalam  hal  perdagangan,  permodalan  dan  lain  sebagainya.  Demi  memajukan  kesejahteraan  umum  sebagaimana yang di harapkan oleh suatu negara.
Tidak  sedikit  juga  orang-orang  yang  melakukan  syirkah,  yang  mana  syirkah  itu  adalah  perkongsian  antara  dua  orang  atau  lebih  dalam  menjalankan  suatu  usaha  bersama  dengan  tujuan  untuk  mendapatkan  keuntungan,  sehingga  dari  keuntungan  itu  bisa  digunakan  untuk  memenuhi  kebutuhan  hidupnya.
syirkah bisa juga dalam hal kepemilikan, seperti contoh kasus dalam kepemilikan  hak atas harta waris. Seperti dalam surat An-Nisa’ :  Maka mereka bersekutu dalam sepertiga.....  Ali Hasan,  Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqih Muamalat), (Jakarta: PT. Raja grafindo  Persada, 2003), 161   Dalil  diatas tidak  langsung  menunjukan  syirkah,  karena  dalil  yang  secara  langsung  mengenai  syirkah  tidak  ada.  Dan  dalil  diatas  merupakan  hasil  ijtihad  dari ulama.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi