BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Persoalan Muamalah
adalah persoalan yang
sedikit sekali di
kaji secara serius,
karena selama ini
ada anggapan bahwa
persoalan Muamalah adalah persoalan
duniawiyah yang sama
sekali tidak terkait
dengan nilai-nilai ketuhanan.
Anggapan seperti ini
tentu saja tidaklah
benar, karena sebagai seorang muslim, apapun aktifitas yang
dilakukan sehari-hari harus terkait dengan nilai
ketuhanan. Misalnya saja
dalam transaksi jual
beli, jasa dan
hubungan bisnis lainnya. Seorang muslim
harus melaksanakan sesuai dengan tuntutan yang telah di syariatkan Allah dan rasulnya.
Hukum Islam adalah produk penyelidikan
kritis,dari sudut pandang agama merupakan pokok
bahasan yang sah,
hukum Islam pun
tidak pernah ditopang oleh
satu kekuatan yang
di organisir, akibatnya
tidak pernah berkembang menjadi satu usaha nyata untuk mendapatkan
kekuatan.
Dalam
hukum Islam, ketentuan
hukum yang terkait
dengan kebiasaan diatur
berdasarkan ‘Urf. Pada
satu sisi Fiqih
adalah penjabaran dari
Nash AlQur’an dan
As-Sunnah. Jadi sepanjang
Nash-nash itu tidak
berubah, tentu Fiqihnya pun akan tetap sama. Akan tetapi pada
sisi lain, Fiqih merupakan hasil Nasroen
, Haroen, Fiqih Muamalah, ( Jakarta : Gaya Media Pratama, 2000 ), Joseph Schacht, Introduction to Islamic Law,
( Palembang : IAIN Raden Fatah, 1985), 3 ijtihad
Ulama yang senantiasa
berinteraksi dengan masyarakat
dan lingkungannya. Oleh
karena itu kemungkinan
besar Fiqih berpengaruh
oleh lingkungan seorang Mujtahid.
Dalam hukum
Islam kita mengenal
suatu sistem yang
disebut dengan Syirkah.
Syirkah ini dapat berbentuk bermacam-macam. Semisal beberapa orang bersekutu untuk memiliki suatu benda, ada juga
beberapa orang yang bersekutu untuk
mengadakan perjanjian laba rugi atas modal bersam. Beberapa orang yang bersekutu mengadakan perjanjian dengan orang lain dengan ketentuan
upahnya di bagi diantara para anggota.
Pemikiran Imam
Abu Hanifah tentang
syirkah dapat digambarkan
bahwa Syirkah berarti
Ikhtilath atau percampuran,
yaitu akad antara
orang yang berserikat
dalam hal modal
dan keuntungan.
Ulama’
Hanafiyah menyatakan mengenai rukun syirkah Cuma ada dua, yaitu
Ijab dan Qabul. Karena menurutnya Ijab dan
Qabul atau Akad
adalah sesuatu yang
menentukan adanya syirkah.
Imam Abu Hanifah memegang kuat Ar-Ray’ sesuai dengan tabiat
kehidupan dan kemasyaratan di Iraq. Ijtihad Imam Abu Hanifah nampak terang pada masalahmasalah yang
tidak ada pada
Nash Al-Qur’an dan
Hadits, dan tidak
ada pula pada pendapat para sahabat. Imam Abu Hanifah
melebarkan daerah Isthimbath dan
mengeluarkan hukum-hukum cabang dari pada pokok-pokok hukum.
Sayyid Sabiq, Fiqih sunnah 13, ( Bandung : PT. Al-Ma’arif, 1987 ), Hasbi Ash- Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam, (
Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1990), 51 -52 Imam
Abu Hanifah dalam
Ijtihadnya sangat berpegang
teguh pada sumber hukum pokok, dalam Hadits beliau hanya
berpedoman pada hadits-hadits yang benar-benar
Sahih Mu’tamad. Pada
waktu itu Imam
Abu Hanifah adalah seorang pedagang
di kota Kufah
yang ketika itu
merupakan pusat aktifitas perdagangan dan perekonomian yang sedang maju
dan berkembang. Pengalaman dan pengetahuan
yang didapat langsung
oleh Imam Abu
Hanifah sangat membantunya
dalam mengatasi masalah
yang timbul dan
dalam menetapkan sebuah kebijakan juga dalam perekonomian.
Dengan konsep
dasar yang dari
Imam Abu Hanifah
yang secara tegas telah membolehkan
segala macam bentuk
syirkah, sehingga merupakan
suatu konsekuensi logis yang
memerlukan perhatian tersendiri.
Sedangkan pemikiran
Imam Syafi’i tentang
Syirkah adalah perjanjian anatara dua orang lebih untuk bekerja sama dalam perdagangan,
dengan cara menyerahkan modal
masing-masing yang keuntungan
dan kerugiannya diperhitungkan menurut besar kecilnya modal
masing-masing.
Mengenai syarat dalam
syirkah yaitu Ijab,
Qabul, harus ada
barang ( obyeknya
). Banyak perbedaan
dengan konsep yang
di berikan oleh
Imam Abu Hanifah
tentang syirkah.
Ibnu Mas’ud, Fiqih Madzab Syafi’i, ( Bandung :
Pustaka Setia, 2007 ), 111 Imam Syafi’i
terkenal sebagai seorang yang membela Madzab Maliki dan mempetahankan
Madzab Ulama Madinah
hingga beliau mendapat
julukan‚ Nasyirus Sunnah‛ (Penyebar
Sunnah ) .
Imam Syafi’i hidup pada masa
munculnya dua aliran besar, yaitu Ahl Al Hadits pada Imam Malik dan ahl Ar-Ray’
Imam Abu Hanifah. Yang mana syafi’i tidak mendahulukan
hadits secara mutlak,
maupun Qiyas secara
mutlak, tetapi Imam
Syafi’i melakukan perbandingan-perbandingan antara
madzab-madzab diatas yang telah
berkembang dan mengumpulkan antaranya dengan memelihara prinsip wasatahiyah ( perimbangan ), dan
takamuliyah ( kesempurnaan ).
Dalam
penetapan hukum Imam
Syafi’i tidak mau
menggunakan cara Ihtishan,
dan beliau berpendapat
‚ Barang siapa
menetapkan hukum dengan Ihtishan,
berarti Ia membuat
Syariat sendiri‛. Imam
Syafi’i adalah pakar Yurisprudensi Islam, salah seorang yang tidak
kaku dalam menentukan hukum.
Hukum Islam atau Fiqih itu adalah
hukum yang terus hidup, sesuai dengan Undang-undang gerak
dan subur. Dia
mempunyai gerak yang
tetap dan perkembangan yang terus-menerus, karenanya
hukum Islam selalu berkembang, dan
perkembangan itu merupakan tabiat hukum Islam yang terus hidup.
Untuk mendapatkan
rezeki karunia Allah,
banyak cara yang
dilakukan orang. Sebab
selagi masih hidup
banyak tuntutan yang
harus di penuhi,
ada Ali Hasan, Perbandingan
Madzab,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), Hasbi Ash- Shiddiqy, Falsafah Hukum Islam, (
Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1990), 55 orang yang
berusaha secara individu
dan ada pula
yang berusaha bersama (kolektif).
Apabila
kita lihat dari
kacamata dunia saat
ini, yang menjadi
puncak perkembangan dunia
atau suatu negara,
salah satunya adalah
masalah keberhasilan suatu
negara dalam bidang
perekonomian. Dimana jika perkembangan ekonomi
itu semakin maju
dan berkembang pesat,
maka suatu negara tersebut akan turut berkembang. Dengan
demikian suatu negara tersebut akan sangat
membutuhkan adanya sistem
perserikatan dalam hal
perdagangan, permodalan dan
lain sebagainya. Demi
memajukan kesejahteraan umum sebagaimana
yang di harapkan oleh suatu negara.
Tidak sedikit
juga orang-orang yang
melakukan syirkah, yang
mana syirkah itu
adalah perkongsian antara
dua orang atau
lebih dalam menjalankan suatu
usaha bersama dengan
tujuan untuk mendapatkan
keuntungan, sehingga dari
keuntungan itu bisa
digunakan untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya.
syirkah bisa juga dalam hal
kepemilikan, seperti contoh kasus dalam kepemilikan hak atas harta waris. Seperti dalam surat
An-Nisa’ : Maka mereka bersekutu dalam
sepertiga.....‛ Ali Hasan,
Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqih Muamalat), (Jakarta: PT.
Raja grafindo Persada, 2003), 161 Dalil
diatas tidak langsung menunjukan
syirkah, karena dalil
yang secara langsung
mengenai syirkah tidak
ada. Dan dalil
diatas merupakan hasil
ijtihad dari ulama.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi