Kamis, 21 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:Studi Terhadap Pengelolaan Zakat Fitrah di Desa Tulungagung Kecamatan Baureno Kabupaten Bojonegoro


BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang Masalah  Zakat sebagai rukun Islam merupakan kewajiban setiap muslim  yang mampu untuk membayarnya dan diperuntukkan bagi mereka yang  berhak menerimanya. Dengan pengelolaan yang baik, zakat merupakan  sumber dana potensial yang dapat dimanfaatkan untuk memajukan  kesejahteraan umum bagi seluruh masyarakat.
 Menjelang bulan Ramadhan, kinerja lembaga pengelola zakat  hampir selalu mendapat sorotan media, apalagi bila sampai terulang kembali  tragedi pembagian zakat. Faktor ketidakpercayaan masyarakat kepada  lembaga pengelola zakat yang telah ada, menjadi alasan muzakki(pihak yang  berzakat) untuk menyalurkan sendiri zakatnya kepada mustahiq (kaum yang  berhak menerima zakat). Padahal itu sangat meresahkan masyarakat, apabila  sistem pembagiaannya mengakibatkan jatuhnya korban maka siapa yang mau  bertanggung jawab. Isu akuntabilitas dan transparansi masih menjadi  masalah utama yang menggelayuti sebagianbesar lembaga pengelola zakat di  Indonesia, baik yang dikelola pemerintah maupun yang dikelola oleh  masyarakat.

Ali Hasan, Zakat dan Infak,(Jakarta: Kencana, 2006), 127   2        Di Indonesia pengelolaan zakat diatur berdasarkan undang-undang  No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaanzakat dengan keputusan menteri  agama (KMA) No. 581 tahun 1999 tentang pelaksanaan undang-undang No.38 tahun 1999 dan keputusan direktur jendral bimbingan masyarakat Islam  dan urusan haji No. D / 291 tahun 2000 tentang pedoman teknis pengelolan  zakat. Meskipun harus diakui bahwa dalam peraturan-peraturan tersebut  masih banyak kekurangan yang sangat mendasar, misalnya tidak  dijatuhkannya sanksi bagi muzakkiyang melalaikan kewajibannya ( tidak  mau berzakat), tetapi undang-undang tersebut mendorong upaya  pembentukan lembaga pengelola zakat yang amanah, kuat dan dipercaya oleh  masyarakat.
Selanjutnya undang-undang N0. 38 tahun 1999 tentang  pengelolaan zakat dikemukakan bahwa organisasi pengelola zakat terdiri  dari dua jenis, yaitu badan amil zakat dan lembaga amil zakat. Dan syarat  untuk menjadi amil zakat atau pengelola zakat adalah:  1.  Beragama Islam  2.  Mukallaf  3.  Memiliki sifat amanah  4.  Mengerti dan memahami hukum-hukum zakat  5.  Memiliki kemampuan untuk melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.
3        Dengan dibentuknya undang-undang tentang pengelolaan zakat,  diharapkan dapat ditingkatkan kesadaran muzakkiuntuk menunaikan zakat  dalam rangka menyucikan diri terhadap harta yang dimilikinya. Dengan  begitu masyarakat mulai sadar bahwa betapa pentingnya berzakat atau  bershodaqoh disamping mengentas kemiskinan juga membawa masyarakat  lebih makmur dan berjiwa sosial yang tinggi.
Zakat adalah ibadah yang memiliki dimensi moral, sosial dan  ekonomi untuk mewujudkan keadilan sosial dan pengentasan kemiskinan.
 Sebagaimana firman Allah SWT dalam surah al-Baqarah ayat 110,  disebutkan : Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang  kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamuakan mendapat pahala nya pada sisi  Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan.
 Zakat merupakan intrumen yang sangat dan mungkin paling  populer dalam konteks keuangan publik Islam.Hal ini wajar, karena perintah  tentang ZIS ini begitu jelas diberikan dalam berbagai tatanan hukum Islam,  seperti al-Qur’an dan al-Hadist. Sekedar contoh, begitu banyaknya perintah  zakat yang mengiringi perintah sholat sebagai pilar utama tegaknya Islam.
Didin Hafiduddin, Zakat dalam perekonomian modern, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), 67   Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Mahkota, 1990), 69  4        Misalnya mengutip pandangan seseorang yang mengklaim bahwa setidaknya  ada 82 kali perintah sholat dalam al-Qur’an yang diiringi perintah untuk  zakat. Kondisi yang kurang baik sama terjadi untuk infaq dan shodaqoh.
Begitu seringnya perintah ini diberikan oleh Allah, mengidentifikasikan  betapa pentingnya konsep ini untuk dijalankan sebagai bukti ketaatan  seorang hamba kepada kholiqnya, sekaligus sebagai medium terciptanya  masyarakat yang sejahtera, seperti dambaan insan normal. Bahkan dalam  konteks distribusi zakat, Allah memakai istilah shodaqoh, seperti terlihat  dalam firman Allah dalam surah at-Taubah ayat 60, sebagai berikut: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orangorang miskin, pengurus-pengurus zakat,para mu'allaf yang dibujuk hatinya,  untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan  Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu  ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha  bijaksana.
 Ayat di atas menunjukkan bahwa penguasa atau orang yang  diangkat oleh penguasalah yang memiliki kewenangan untuk mengambil dan  mendistribusikan harta zakat. Sisi pendalilannya, Allah menetapkan bahwa  amil mendapatkan bagian dari  zakat, ini menunjukkan bahwa untuk                                                                Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Mahkota, 1990), 288  5        membayarkan zakat harus ada amil. Ketika menjelaskan firman Allah dalam  surat at-Taubah ayat yang ke-60, al-Qurthubi al-Maliki mengatakan, yang  dimaksud dengan amil zakat adalah para petugas yang diangkat oleh  penguasa untuk mengumpulkan zakat dengan status sebagai wakil penguasa  dalam masalah tersebut.
 Sebagaimana firman Allah dijelaskan dalam surah  at-Taubah ayat 103”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu  membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan  Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.
 Adapun saat ini karena sebagianbesar ada yang mengerti atau  tidak mengerti tentang pemahaman berzakat, maka pada zaman sekarang  banyak kita jumpai berbagai jenis lembaga-lembaga zakat, tetapi disini  peneliti mengambil dari sebagian kasus yang mungkin sudah lama terjadi,  dan tanpa disadari tidak adanya pihak yang mengorganisir lembaga tersebut  atau kepanitiaan zakat yang legal, dengan kata lain kepanitiaan atau  keorganisasian yang resmi, karena proses pengelolaannya tanpa didasari  keilmuan dari hukum Islam yang berlaku saat ini maupun syari’at Islam yang  berpedoman al-Qur’an dan al-Hadist.
Didin Hafiduddin, Zakat dalam perekonomian modern, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), 70   Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, 204  6        Zakat fitrah menurut pengertian syara’ adalah zakat yang  dikeluarkan oleh seorang muslim dari sebagian hartanya kepada orang-orang  yang membutuhkan untuk menyucikan jiwanya, serta menambal kekurangankekurangan yang terdapat pada puasanya seperti perkataan yang kotor dan  perbuatan yang tidak ada gunanya.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi