BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Hukum yang
berlaku dalam masyarakat,
baik berupa hukum
tertulis seperti
perundang-undangan atau hukum tidak
tertulis seperti hukum adat wajib untuk dilaksanakan
oleh semua pihak
tanpa memandang bulu.
Dan bagi yang melanggarnya yakni
pelaku kejahatan atau
pelanggaran harus dihukum
atau dikenakan sanksi
sesuai dengan kejahatannya.
Namun korban juga
harus mendapatkan perhatian dari
masyarakat.
Dalam penyelesaian
perkara pidana, seringkali
hukum mengedepankan hak-hak tersangka atau terdakwa, sementara
hak-hak korban diabaikan.
Korban kejahatan hanya
ditempatkan sebagai alat
bukti yakni saksi
yang memberikan keterangan kepada
pihak yang berwenang.
Sehingga sangat kecil
kemungkinan bagi korban untuk
memperoleh hak-haknya.
Sifat
dasar manusia yang
cenderung meniru apa
yang dilihatnya dan menganggap
baik segala sesuatu yang dianggap modern
sehingga dia tidak
akan disebut ketinggalan zaman, membuat pandangan yang membabi buta. Apalagi di global
yang semua akses
bisa didapat dengan
mudah melalui tehnologi
yang Arif Gosita, Masalah
Perlindungan Anak, (Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1998), Chaerudin,
Syarif Fadillah, Korban
Kejahatan Dalam Perspektif
Viktimologi dan Hukum Pidana
Islam, (Jakarta: Ghalia Press, Juli 2004), 47 canggih.
Dan dunia bisa
dilihat dari mana
saja. Sedangkan nilai-nilai luhur
dan moral tidak
dipertimbangkan lagi. Akibatnya,
yang terjadi adalah
pelanggaran hukum baik
hukum tertulis atau
tidak tertulis. Contoh
kasus adalah maraknya perzinaan dan
pemerkosaan terhadap anak yang terjadi di masyarakat Indonesia, tak terkecuali Jawa Timur.
Sebagaimana diketahui
perzinaan atau pemerkosaan
adalah perbuatan yang melanggar hukum. Tidak hanya hukum
positif, namun hukum agama juga demikian.
Perzinaan dan pemerkosaan adalah hal yang berbeda. Perzinaan adalah persetubuhan
yang dilakukan bukan karena nikah
yang sah atau semunikah dan bukan
karena pemilikan hamba sahaya.
Hal ini merupakan pendapat Ibnu Rusyd sebagaimana yang dikutip oleh Rahmat Hakim.
A.Djazuli menuliskan
dalam bukunya bahwa
dalam kasus pemerkosaan, ulama
sepakat bahwa wanita
yang diperkosa tidak
dijatuhi sanksi karena
ia dipaksa. Sedangkan yang
memperkosa dikenai sanksi zina.
Maka dapat dipahami bahwa tindakan pemerkosaan dalam Islam sama
dengan jarimah zina, meskipun terdapat sedikit perbedaan.
Dalam al-Qur’an surat al-Isra’
ayat 32 disebutkan, Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam; Fiqih Jinayah, (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2000), A. Djazuli,
Fiqih Jinayah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1997), 40 Dan
janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah
suatu perbuatan yang keji. dan suatu
jalan yang buruk.
Dan QS. surat al-mu’minun ayat 5Dan orang-orang
yang menjaga kemaluannya,
kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini
tiada terceIa. Barangsiapa
mencari yang di
balik itu,.
Maka
mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.
Hukum positif
yang ada di
Indonesiapun melarang keras
tindak pemerkosaan. Wirdjono Prodjodikoro mengungkapkan bahwa
perkosaan adalah: “Seorang laki-laki
yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia, sehingga sedemikian
rupa ia tidak dapat melawan, maka dengan
terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu”
Departemen Agama RI,
al-Qur’an dan Terjemahnya,
(Jakarta: PT Syamil
Cipta Media, 2005), budak-budak belian yang didapat dalam
peperangan dengan orang kafir, bukan budak belian yang didapat di luar peperangan. dalam peperangan
dengan orang-orang kafir itu, wanita-wanita yang ditawan biasanya dibagi-bagikan kepada kaum
muslimin yang ikut dalam peperangan itu, dan kebiasan ini
bukanlah suatu yang
diwajibkan. imam boleh
melarang kebiasaan ini.
Maksudnya: budak -budak yang
dimiliki yang suaminya
tidak ikut tertawan
bersama-samanya. (Departemen Agama
RI, AlQur’an dan Terjemahnya,
342.) zina, homoseksual, dan sebagainya.
Wirdjono
Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana
tertentu di Indonesia,
(Bandung: Eresco, 1986) 117 Dalam
KUHP dijelaskan pada
pasal 285 bahwa
barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa
seorang wanita bersetubuh dengan dia
di luar pernikahan,
diancam karena melakukan
perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”.
Sedangkan
dalam Undan-Undang 23
Tahun 2002 tentang
perlindungan anak dijelaskan pula
(pasal 81) sebagai berikut: a. Setiap orang
yang dengan sengaja
melakukan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa anak
melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain, dipidana dengan penjara paling lama 15 tahun
dan paling singkat 3 tahun dan denda
paling banyak Rp. 300.000.000 dan paling sedikit Rp. 60.000.000.
b. Ketentuan
pidana sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1)
berlaku pula bagi setiap orang
yang dengan sengaja
melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan atau
membujuk anak melakukan
persetubuhan dengannya atau dengan
orang lain.
Dari
yang sudah disebutkan
di atas, baik
hukum agama maupun
hukum positif memberikan
sanksi kepada pelaku
pemerkosaan. Sesuai dengan
harapan hukum, sanksi dimaksudkan
agar pelaku tindak pidana jera dan tidak mengulangi perbuatannya.
Namun, bagaimana dengan
anak yang menjadi
korban pemerkosaan? Korban pemerkosaan,
apalagi masih kategori
anak, pasti mengalami trauma dan ketakutan yang berlebihan. Ia harus
melayani orang lain dengan cara berhubungan
seksual dengan terpaksa.
Ia harus kehilangan
keperawannya oleh orang yang tidak bertanggung jawab.
Moeljatno,
Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana,cetakan kedua puluh
delapan (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 105.
Undang-Undang Hak Asasi Manusia, (Permata
Press, 2012), 215-216.
Akibatnya, korban malu terhadap orang lain
bahkan keluarganya sendiri.
Secara psikis ia akan kehilangan
rasa kepercayaan diri yang bisa berakibat fatal.
Bisa jadi
korban akan melakukan
hal yang nekat
yakni bunuh diri
karena tidak kuat
menanggung malu. Sehingga
korban juga tidak
kuat menghadapi masa depannya setelah
kejadian tersebut. Serta
tekanan yang ada
dari luar yang
bisa menghancurkan harapan
korban. Maka, korban
yang mana memiliki
hak-hak asasi manusia,
juga harus dilindungi
haknya sebagaimana manusia
pada umumnya.
Allah SWT
menjamin hak-hak manusia.
Di antaranya adalah
hak atas keselamatan
hidup. Allah berfirman
yang artinya “dan
barang siapa yang menyelamatkan
hidup seseorang maka dengan perbuatannya itu, seakan-akan ia menyelamatkan hidup seluruh manusia,” QS
al-Maidah. Ayat 2 dijelaskan: Dan tolong menolonglah kalian dalan kebaikan dan
takwa. Serta jangan tolong meolong dalam perbuatan dosa dan
pelanggaran Dapat dipahami bahwa
secara tersirat Allah
memerintahkan kepada manusia
untuk melindungi hak-hak
sesama manusia dengan
cara menolong mereka.
Begitupula dengan korban
pemerkosaan, ia juga
harus mendapat pertolongan
dan perlindungan karena
hak-haknya yang telah
dilanggar. Karena Allah
sendiri menjamin hak
kesucian kaum perempuan
yang mana banyak
dari mereka menjadi
korban pemerkosaan baik
masih anak-anak ataupun
sudah dewasa. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surat
al-Israa’ ayat 32.
Dan hukuman
berat telah ditetapkan
terhadap kejahatan ini.
Dengan demikian, kesucian seorang wanita harus dilindungi dan
dihormati setiap saat.
Aturan
di atas dalam
Islam disebut sebagai
fiqih siyasah atau
siyasah syar’iyyah. Siyasah
berarti pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan syara’.
Hal
ini sebagaimana pendapat
Ibn al-Qayyim yang
mana dalam mekanisme
pengendalian dan pengarahan
kehidupan umat, terkait
keharusan moral dan
politis untuk senantiasa
mewujudkan keadilan, kerahmatan, kemaslahatan dan kehikmahan.
Abdul Wahab
Khallaf berpendapat bahwa
siyasah syar’iyyah adalah pengurusan hal-hal yang bersifat umum bagi
negara Islam dengan cara menjamin perwujudan
kemaslahatan dan penolakan kemudharatan dengan tidak melampaui batas-batas
syariah dan pokok-pokok
syariah yang kulliy
meskipun tidak sesuai dengan
pendapat ulama-ulama mujtahid.
Sedangkan Ali Syariati
berpendapat bahwa dalam
siyasah syar’iyyah menjalakan
fungsi pelayanan dan
pengarahan kepada masyarakat.
Oleh sebab itu,
adanya perlindungan advokasi
terhadap korban pemerkosaan
adalah demi tujuan keadilan dan kemaslahatan bagi korban yang menjadi masyarakat.
Maulana
Abul A’la al-Maududi, Hak-Hak
Asasi Manusia dalam
Islam, (Jakarta: Bumi Aksara,
1995), A. Djazuli,
Fiqih Siyasah; Implementasi
Kemaslahatan Umat Dalam
Rambu-Rambu Syariah, (Jakarta:
Kencana, 2003), 26 Undang-Undang
No. 23 Tahun
2002 pasal 3 menjelaskan, perlindungan anak
bertujuan untuk menjamin
terpenuhinya hak-hak anak
agar dapat hidup, tumbuh,
berkembang dan partisipasi
secara optimal sesuai
dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi demi
terwujudnya anak Indonesia
yang berkualitas mulia
dan sejahtera.
Dapat
disimpulkan bahwa kedua
hukun yakni hukum
agama dan hukum
positif Indonesia menegaskan
tentang perlindungan terhadap
korban pemerkosaan demi
terjaganya hak-hak asasi manusia.
Lembaga Pendidikan
Orang Tua dan
Anak “Padi Bersinar”
selanjutntya disingkat LPOA DINAR
adalah salah satu Badan Usaha dan Amal PW Nasyiatul Aisyiyah Jawa Timur yang bergerak di bidang
pendidikan orang tua dan anak. Di mana harapannya
adalah membentuk forum
belajar bersama orang
tua untuk memberikan yang terbaik dalam mendampingi
tumbuh kembang anaknya.
LPOA DINAR
merupakan Lembaga Amal
dan usaha PW
Nasyiatul Aisyiyah Jawa Timur
yang kedua setelah Baitul Mal wat Tamwil. Didirikan pada tanggal
14 Juli 2002
di Surabaya yang
disahkan lewat SK
PW Nasyiah No.
95/PWNA.2002. dan pada tanggal 28
Agustus 2002 telah terdaftar sebagai salah satu
LSM di Jawa
Timur melalui Kesatuan
Bangsa Pemerintah Provinsi
Jawa Timur.
Seiring dengan perkembangan dan
kebutuhan masyarakat, LPOA DINAR mencoba untuk
tetap ada dan
eksis melalui berbagai
aktivitasnya baik dengan Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, (Bandung:
Mandar Maju, 2009), 16 menghadiri berbagai
undangan maupun kegiatan
yang menjadi tanggung jawabnya
mulai dari jumpa
pers, lomba kreativitas
anak luar biasa
dan autis, berbagai seminar interaktif dengan bintang
yang berkompeten di bidangnya, serta memberikan
advokasi dan perlindungan terhadap korban pemerkosaan.
Dari uraian
tersebut, peneliti tertarik
untuk mengadakan penelitian
lebih lanjut tentang advokasi
anak di LPOA “DINAR” Surabaya.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah Dari latar
belakang tersebut dapat diidentiifikasi beberapa masalah yang dapat
dijadikan bahan penelitian, di antaranya: 1.
Hak-hak asasi manusia 2.
Perlindungan korban pemerkosaan dalam Islam 3. Pandangan
UU No. 23
Tahun 2002 tentang
perlindungan anak mengenai advokasi terhadap korban perkosaan.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi