Rabu, 20 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:TINJAUAN FIKIH SIYASAH DAN UU NO. 23 TAHUN 2002 TERHADAP ADVOKASI ANAK YANG DIPERKOSA (Studi Kasus di LSM “DINAR”)


BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah Hukum  yang  berlaku  dalam  masyarakat,  baik  berupa  hukum  tertulis  seperti perundang-undangan  atau hukum tidak tertulis seperti hukum adat wajib  untuk  dilaksanakan  oleh  semua  pihak  tanpa  memandang  bulu.  Dan  bagi  yang  melanggarnya  yakni  pelaku  kejahatan  atau  pelanggaran  harus  dihukum  atau  dikenakan  sanksi  sesuai  dengan  kejahatannya.  Namun  korban  juga  harus  mendapatkan perhatian dari masyarakat.
Dalam  penyelesaian  perkara  pidana,  seringkali  hukum  mengedepankan  hak-hak tersangka atau terdakwa, sementara hak-hak korban diabaikan.
 Korban  kejahatan  hanya  ditempatkan  sebagai  alat  bukti  yakni  saksi  yang  memberikan keterangan  kepada  pihak  yang  berwenang.  Sehingga  sangat  kecil  kemungkinan  bagi korban untuk memperoleh hak-haknya.

 Sifat  dasar  manusia  yang  cenderung  meniru  apa  yang  dilihatnya  dan  menganggap baik  segala sesuatu yang dianggap modern sehingga  dia  tidak  akan  disebut  ketinggalan zaman,  membuat pandangan yang membabi buta.  Apalagi di  global  yang  semua  akses  bisa  didapat  dengan  mudah  melalui  tehnologi  yang   Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak, (Jakarta: CV Akademika Pressindo, 1998),   Chaerudin,  Syarif  Fadillah,  Korban  Kejahatan  Dalam  Perspektif  Viktimologi  dan  Hukum  Pidana Islam, (Jakarta: Ghalia Press, Juli 2004), 47   canggih.  Dan  dunia  bisa  dilihat  dari  mana  saja. Sedangkan  nilai-nilai  luhur  dan  moral  tidak  dipertimbangkan  lagi.  Akibatnya,  yang  terjadi  adalah  pelanggaran  hukum  baik  hukum  tertulis  atau  tidak  tertulis.  Contoh  kasus  adalah  maraknya  perzinaan dan  pemerkosaan  terhadap anak  yang terjadi di masyarakat Indonesia,  tak terkecuali Jawa Timur.
Sebagaimana  diketahui  perzinaan  atau  pemerkosaan  adalah  perbuatan  yang melanggar hukum. Tidak hanya hukum positif, namun hukum agama juga  demikian. Perzinaan dan pemerkosaan adalah hal yang berbeda. Perzinaan adalah  persetubuhan  yang dilakukan bukan karena nikah  yang sah atau semunikah dan  bukan karena pemilikan hamba sahaya.
 Hal ini merupakan pendapat Ibnu Rusyd  sebagaimana yang dikutip oleh Rahmat Hakim.
A.Djazuli  menuliskan  dalam  bukunya  bahwa  dalam  kasus  pemerkosaan,  ulama  sepakat  bahwa  wanita  yang  diperkosa  tidak  dijatuhi  sanksi  karena  ia  dipaksa. Sedangkan yang memperkosa dikenai sanksi zina.
 Maka dapat dipahami  bahwa tindakan pemerkosaan dalam Islam sama dengan  jarimah  zina, meskipun  terdapat sedikit perbedaan.
Dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 32 disebutkan,  Rahmat Hakim,  Hukum Pidana Islam; Fiqih Jinayah, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000),    A. Djazuli, Fiqih Jinayah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1997), 40   Dan janganlah  kamu  mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu  perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.
 Dan QS. surat al-mu’minun ayat 5Dan  orang-orang  yang  menjaga  kemaluannya,  kecuali  terhadap  isteri-isteri  mereka atau budak yang mereka miliki;  Maka Sesungguhnya mereka dalam hal  ini  tiada  terceIa.  Barangsiapa  mencari  yang  di  balik  itu,.
 Maka  mereka  Itulah  orang-orang yang melampaui batas.
Hukum  positif  yang  ada  di  Indonesiapun  melarang  keras  tindak  pemerkosaan.  Wirdjono Prodjodikoro mengungkapkan bahwa perkosaan adalah:  “Seorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya untuk  bersetubuh dengan dia, sehingga sedemikian rupa ia tidak dapat melawan, maka  dengan terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu”   Departemen  Agama  RI,  al-Qur’an  dan  Terjemahnya,  (Jakarta:  PT  Syamil  Cipta  Media,  2005),   budak-budak belian yang didapat dalam peperangan dengan orang kafir, bukan budak belian  yang didapat di luar peperangan. dalam peperangan dengan orang-orang kafir itu, wanita-wanita yang  ditawan biasanya dibagi-bagikan kepada kaum muslimin yang ikut dalam peperangan itu, dan kebiasan  ini  bukanlah  suatu  yang  diwajibkan.  imam  boleh  melarang  kebiasaan  ini.  Maksudnya:  budak -budak  yang  dimiliki  yang  suaminya  tidak  ikut  tertawan  bersama-samanya.  (Departemen  Agama  RI,  AlQur’an dan Terjemahnya, 342.)  zina, homoseksual, dan sebagainya.
 Wirdjono  Prodjodikoro,   Tindak-tindak  Pidana  tertentu  di  Indonesia,  (Bandung:  Eresco,  1986) 117   Dalam  KUHP  dijelaskan  pada  pasal  285  bahwa  barang  siapa  dengan  kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh  dengan  dia  di  luar  pernikahan,  diancam  karena  melakukan  perkosaan,  dengan  pidana  penjara paling lama dua belas tahun”.
 Sedangkan  dalam  Undan-Undang  23  Tahun  2002  tentang  perlindungan  anak dijelaskan pula (pasal 81) sebagai berikut: a.  Setiap  orang  yang  dengan  sengaja  melakukan  kekerasan  atau  ancaman  kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain,  dipidana dengan penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan  denda paling banyak Rp. 300.000.000 dan paling sedikit Rp. 60.000.000.
b.  Ketentuan  pidana  sebagaimana  dimaksud  dalam  ayat  (1)  berlaku  pula  bagi  setiap  orang  yang  dengan  sengaja  melakukan  tipu  muslihat,  serangkaian  kebohongan  atau  membujuk  anak  melakukan  persetubuhan  dengannya  atau  dengan orang lain.
 Dari  yang  sudah  disebutkan  di  atas,  baik  hukum  agama  maupun  hukum  positif  memberikan  sanksi  kepada  pelaku  pemerkosaan.  Sesuai  dengan  harapan  hukum, sanksi dimaksudkan agar pelaku tindak pidana jera dan tidak mengulangi  perbuatannya.  Namun,  bagaimana  dengan  anak  yang  menjadi  korban  pemerkosaan? Korban  pemerkosaan,  apalagi  masih  kategori  anak,  pasti  mengalami  trauma dan ketakutan yang berlebihan. Ia harus melayani  orang lain dengan cara  berhubungan  seksual  dengan  terpaksa.  Ia  harus  kehilangan  keperawannya  oleh  orang yang tidak bertanggung jawab.
 Moeljatno,  Kitab  Undang-Undang  Hukum  Pidana,cetakan  kedua  puluh  delapan  (Jakarta:  Bumi Aksara, 2009), 105.
 Undang-Undang Hak Asasi Manusia, (Permata Press, 2012), 215-216.
 Akibatnya, korban malu terhadap orang lain bahkan keluarganya sendiri.
Secara psikis ia akan kehilangan rasa kepercayaan diri yang bisa berakibat fatal.
Bisa  jadi  korban  akan  melakukan  hal  yang  nekat  yakni  bunuh  diri  karena  tidak  kuat  menanggung  malu.  Sehingga  korban  juga  tidak  kuat  menghadapi  masa  depannya  setelah  kejadian  tersebut.  Serta  tekanan  yang  ada  dari  luar  yang  bisa  menghancurkan  harapan  korban.  Maka,  korban  yang  mana  memiliki  hak-hak  asasi  manusia,  juga  harus  dilindungi  haknya  sebagaimana  manusia  pada  umumnya.
Allah  SWT  menjamin  hak-hak  manusia.  Di  antaranya  adalah  hak  atas  keselamatan  hidup.  Allah  berfirman  yang  artinya  “dan  barang  siapa  yang  menyelamatkan hidup seseorang maka dengan perbuatannya itu, seakan-akan ia  menyelamatkan hidup seluruh manusia,” QS al-Maidah. Ayat 2 dijelaskan: Dan tolong menolonglah kalian dalan kebaikan dan takwa. Serta  jangan  tolong meolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran Dapat  dipahami  bahwa  secara  tersirat  Allah  memerintahkan  kepada  manusia  untuk  melindungi  hak-hak  sesama  manusia  dengan  cara  menolong  mereka.  Begitupula  dengan  korban  pemerkosaan,  ia  juga  harus  mendapat  pertolongan  dan  perlindungan  karena  hak-haknya  yang  telah  dilanggar.  Karena  Allah  sendiri  menjamin  hak  kesucian  kaum  perempuan  yang  mana  banyak  dari  mereka  menjadi  korban  pemerkosaan  baik  masih  anak-anak  ataupun  sudah   dewasa. Hal ini  sebagaimana yang telah dijelaskan dalam surat al-Israa’ ayat 32.
Dan  hukuman  berat  telah  ditetapkan  terhadap  kejahatan  ini.  Dengan  demikian,  kesucian seorang wanita harus dilindungi dan dihormati setiap saat.
 Aturan  di  atas  dalam  Islam  disebut  sebagai  fiqih  siyasah  atau  siyasah  syar’iyyah. Siyasah berarti pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan  syara’.
 Hal  ini  sebagaimana  pendapat  Ibn  al-Qayyim  yang  mana  dalam  mekanisme  pengendalian  dan  pengarahan  kehidupan  umat,  terkait  keharusan  moral  dan  politis  untuk  senantiasa  mewujudkan  keadilan,  kerahmatan,  kemaslahatan dan kehikmahan.
Abdul  Wahab  Khallaf  berpendapat  bahwa  siyasah  syar’iyyah  adalah  pengurusan hal-hal yang bersifat umum bagi negara Islam dengan cara menjamin  perwujudan kemaslahatan dan penolakan kemudharatan dengan tidak melampaui  batas-batas  syariah  dan  pokok-pokok  syariah  yang  kulliy  meskipun  tidak  sesuai  dengan  pendapat  ulama-ulama  mujtahid.  Sedangkan  Ali  Syariati  berpendapat  bahwa  dalam  siyasah  syar’iyyah  menjalakan  fungsi  pelayanan  dan  pengarahan  kepada  masyarakat.  Oleh  sebab  itu,  adanya  perlindungan  advokasi  terhadap  korban pemerkosaan adalah demi tujuan keadilan dan kemaslahatan bagi  korban  yang menjadi masyarakat.
 Maulana  Abul  A’la  al-Maududi,  Hak-Hak  Asasi  Manusia  dalam  Islam,  (Jakarta:  Bumi  Aksara, 1995),   A.  Djazuli,  Fiqih  Siyasah;  Implementasi  Kemaslahatan  Umat  Dalam  Rambu-Rambu  Syariah, (Jakarta: Kencana, 2003), 26    Undang-Undang  No.  23  Tahun  2002  pasal  3  menjelaskan,  perlindungan  anak  bertujuan  untuk  menjamin  terpenuhinya  hak-hak  anak  agar  dapat  hidup,  tumbuh,  berkembang  dan  partisipasi  secara  optimal  sesuai  dengan  harkat  dan  martabat  kemanusiaan,  serta  mendapat  perlindungan  dari  kekerasan  dan  diskriminasi  demi  terwujudnya  anak  Indonesia  yang  berkualitas  mulia  dan  sejahtera.
 Dapat  disimpulkan  bahwa  kedua  hukun  yakni  hukum  agama  dan  hukum  positif  Indonesia  menegaskan  tentang  perlindungan  terhadap  korban  pemerkosaan demi terjaganya hak-hak asasi manusia.
Lembaga  Pendidikan  Orang  Tua  dan  Anak  “Padi  Bersinar”  selanjutntya disingkat  LPOA DINAR adalah salah satu Badan Usaha dan Amal PW Nasyiatul  Aisyiyah Jawa Timur yang bergerak di bidang pendidikan orang tua dan anak. Di  mana  harapannya  adalah  membentuk  forum  belajar  bersama  orang  tua  untuk  memberikan yang terbaik dalam mendampingi tumbuh kembang anaknya.
LPOA  DINAR  merupakan  Lembaga  Amal  dan  usaha  PW  Nasyiatul  Aisyiyah Jawa Timur yang kedua setelah Baitul Mal wat Tamwil. Didirikan pada  tanggal  14  Juli  2002  di  Surabaya  yang  disahkan  lewat  SK  PW  Nasyiah  No.
95/PWNA.2002. dan pada tanggal 28 Agustus 2002 telah terdaftar sebagai salah  satu  LSM  di  Jawa  Timur  melalui  Kesatuan  Bangsa  Pemerintah  Provinsi  Jawa  Timur.
Seiring dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat, LPOA DINAR  mencoba  untuk  tetap  ada  dan  eksis  melalui  berbagai  aktivitasnya  baik  dengan   Waluyadi, Hukum Perlindungan Anak, (Bandung: Mandar Maju, 2009), 16   menghadiri  berbagai  undangan  maupun  kegiatan  yang  menjadi  tanggung  jawabnya  mulai  dari  jumpa  pers,  lomba  kreativitas  anak  luar  biasa  dan  autis,  berbagai seminar interaktif dengan bintang yang berkompeten di bidangnya, serta  memberikan advokasi dan perlindungan terhadap korban pemerkosaan.
Dari  uraian  tersebut,  peneliti  tertarik  untuk  mengadakan  penelitian  lebih  lanjut tentang advokasi anak di LPOA “DINAR” Surabaya.
B.  Identifikasi dan Batasan Masalah Dari latar belakang tersebut dapat diidentiifikasi beberapa masalah  yang  dapat dijadikan bahan penelitian, di antaranya: 1.  Hak-hak asasi manusia 2.  Perlindungan korban pemerkosaan dalam Islam 3.  Pandangan  UU  No.  23  Tahun  2002  tentang  perlindungan  anak  mengenai  advokasi terhadap korban perkosaan.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi