Kamis, 21 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:TINJAUAN FIQH SIYASAH TERHADAP KEDUDUKAN DAN KEWENANGAN KOMISI HUKUM NASIONAL (Studi Analisis Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2000 Tentang Komisi Hukum Nasional)


BAB I PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan  pemerintahan  yang  bersih  dan  efektif  merupakan  dambaan  setiap  warga  negara,  tanpa  adanya  kesewenang-wenangan  dan  penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa negara. Oleh karena itu dalam setiap  negara  menginginkan  adanya  pembagian  kekuasaan  sehingga  kesewenangwenangan penguasa dapat diminimalisir dan ditiadakan.
Masalah pembagian kekuasaan adalah masalah yang selalu dihubungkan  dengan  ajaran  Montesquieu  yang  terkenal  dengan  sebutan  Trias  Politica.
Menurut  Montesquieu  kekuasaan  (fungsi)  di  dalam  negara  itu  dibagi  ke  dalam  kekuasaan  legislatif  (membuat  undang-undang),  eksekutif  (melaksanakan  undang-undang)  dan  yudikatif  (mengadili  atas  pelanggaran-pelanggaran  bagi  Undang-undang).
 Dalam ketatanegaraan yang lazim melakukan kekuasaan legislatif adalah  parlemen  atau  Dewan  Perwakilan  Rakyat,  sedangkan  kekuasaan  eksekutif  ada  pada  Presiden  atau  Kabinet  yang  dipimpin  oleh  seorang  Perdana  Menteri,  dan  kekuasaan Yudikatif dipegang oleh badan-badan kehakiman. Selanjutnya bahwa  di dalam ajaran Trias Politica itu terdapat suasana  checks and balances  di mana   SF Marbun dan Moh.Mahfud MD, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, h.

1   di  dalam  hubungan  antarlembaga  negara  itu  terdapat  saling  menguji  karena  masing-masing  lembaga  tidak  boleh  melampui  batas  kekuasaan  yang  sudah  ditentukan  atau  masing-masing  lembaga  tidak  mau  dicampuri  kekuasaannya  sehingga antar-lembaga itu terdapat suatu perimbangan kekuasaan.
 Negara Indonesia adalah negara yang menganut konsep welfare state atau  negara  kesejahteraan,  yang  mana  tugas  pemerintah  bukan  lagi  sebagai  penjaga  malam  dan  tidak  pasif  tetapi  harus  berperan  aktif  dalam  kegiatan  masyarakat  sehingga  kesejahteraan  bagi  semua  rakyatnya  tetap  terjamin,  dengan  demikian  pemerintah harus  memberikan perlindungan bagi warga negara  bukan  hanya di  bidang  politik  tetapi  juga  sosial,  ekonomi,  sehingga  kesewenang-wenangan  dengan  golongan  tertentu  harus  dicegah  oleh  pemerintah  sehingga  tugas  pemerintah  diperluas  mencakup  berbagai  aspek  kehidupan  masyarakat  dengan  maksud untuk menjamin kepentingan umum.
 Namun  hal  tersebut  tidak  dapat  tercapai  karena  sebelum  reformasi  bergulir kekuasaan lebih dominan dikendalikan oleh pihak eksekutif (presiden),  sehingga  peran  legislatif  dan  yudikatif  termarjinalkan.  Peran  legislatif  dan  yudikatif  tidak  dapat  berjalan  sebagaimana  mestinya  karena  banyaknya  intervensi dan control dari eksekutif sehingga mau tidak mau menuruti kehendak   Moh.  Kusnardi  dan  Bintan  R.  Saragih,  Susunan  Pembagian  Kekuasaan  Menurut  Sistem  Undang-Undang Dasar 1945, h.
 SF Marbun dan Moh.Mahfud MD, Pokok-Pokok, h. 45   eksekutif daripada kehendak rakyat. Akhirnya hal tersebut menjadikan Indonesia  terpuruk dalam krisis multidimensional.
Krisis  yang  mendera  Indonesia  pada  era  1990-an,  telah  menimbulkan  banyak persoalan pada berbagai aspek kehidupan baik itu dalam bidang ekonomi,  politik, sosial, budaya, dan hukum. Masyarakat menilai berbagai produk hukum,  penegakan dan penerapannya masih sangat jauh dari yang diharapkan. Penilaian  demikian  telah  mendorong  masyarakat  bersikap  tidak  menghormati,  tidak  mempercayai  bahkan  mengabaikan  hukum  dan  lembaga-lembaga  hukum  yang  ada. Atau dengan kata lain, hukum sudah tidak berwibawa lagi.
 Krisis  kepercayaan  masyarakat  terhadap  hukum  ini  disebabkan  antara  lain  karena  masih  banyaknya  kasus  korupsi,  kolusi,  dan  nepotisme  (KKN)  dan  pelanggaran  hak  asasi  manusia  (HAM)  yang  belum  tuntas  penyelesaiannya  secara  hukum  dan  adanya  pengabaian  dan  pelecehan  terhadap  hukum  yang  sekaligus  diakibatkan  dan  mengakibatkan  ketidakpercayaan  terhadap  hukum.
Peristiwa-peristiwa  yang  terjadi  pada  masa-masa  terakhir  ini  sudah  cukup  menunjukkan bahwa hukum dianggap tidak eksis, baik oleh anggota masyarakat  (misalnya dengan tingginya jumlah aksi peradilan rakyat terhadap penjahat kelas  teri),  maupun  oleh  lembaga  hukum  sendiri  (yang  membiarkan  dan  adakalanya  justru melakukan pelanggaran hukum).
 KHN, Kilas Balik 6 Tahun Komisi Hukum Nasional, Menguak Misi KHN & Kinerjanya, h.1   Akibat  yang  ditimbulkan  dari  banyaknya  persoalan-persoalan  yang  timbul  dalam  berbagai  aspek  kehidupan  tersebut,  timbul  keinginan  untuk  menegakkan supremasi hukum di Indonesia, dalam penegakan supremasi hukum  dibutuhkan  kemauan  yang  kuat  untuk  mengatasi  persoalan-persoalan  yang  terkait  dengan  hukum  seperti  pelanggaran  hak  asasi  manusia  (HAM),  kasus  korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dan ganguan keamanan.
Salah  satu  cara  yang  ditempuh  untuk  mewujudkan  supremasi  hukum  tersebut adalah melakukan perubahan-perubahan, bahkan pembaharuan terhadap  berbagai  aspek  hukum.  Program  reformasi  hukum,  tidak  bisa  tidak  harus  digulirkan secara bersama-sama oleh seluruh anggota masyarakat, dengan beban  terbesar  diletakkan  pada  pundak  para  penyelenggara  negara.  Hal  ini  dipandang  sebagai konsekuensi logis prinsip negara hukum. Karena negara Indonesia adalah  negara  hukum,  maka  reformasi  hukum  perlu  direalisasikan  sehingga  semua  kekuasaan tunduk pada hukum.
Reformasi  di  bidang  hukum  yang  terjadi  sejak  tahun  1998  telah  dilembagakan melalui pranata perubahan UUD 1945. Semangat perubahan UUD  1945  adalah  mendorong  terbangunnya  struktur  ketatanegaraan  yang  lebih  demokratis.  Perubahan  UUD  1945  sejak  reformasi  telah  dilakukan  sebanyak  empat kali.
 Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 pasca amandemen ketiga   Hasil  perubahan  UUD  1945  melahirkan  bangunan  kelembagaan  negara  yang satu sama lain dalam posisi setara dengan saling melakukan kontrol (checks  and balances), mewujudkan supremasi hukum dan keadilan serta menjamin dan  melindungi hak asasi manusia. Kesetaraan dan ketersediaan saling kontrol inilah  prinsip dari sebuah negara demokrasi dan negara hukum.
 Pasca  amandemen  UUD  1945  menyebabkan  berubahnya  sistem  ketatanegaraan yang berlaku  meliputi jenis dan jumlah lembaga negara,  sistem  pemerintahan,  sistem  peradilan  dan  sistem  perwakilannya.  Sejalan  dengan  itu,  muncul  lembaga-lembaga  dalam  bentuk  komisi,  untuk  menjawab  tuntutan  masyarakat.  Pembentukan  lembaga-lembaga  yang  berbentuk  komisi  ini  sangat  pesat perkembangannya sepanjang reformasi.
Banyaknya  tumbuh  lembaga-lembaga  dan  komisi-komisi,  ataupun  korporasi-korporasi  yang  bersifat  independen  tersebut  menurut  Jimly  Asshiddiqie  merupakan  gejala  yang  mendunia,  dalam  arti  tidak  hanya  di  Indonesia.  Seperti  dalam  perkembangan  di  Inggris  dan  di  Amerika  Serikat,  lembaga-lembaga  atau  komisi-komisi  itu  masih  ada  yang  berada  dalam  ranah  kekuasaan eksekutif, tetapi ada pula yang bersifat independen  dan berada di luar wilayah  kekuasaan  eksekutif,  legislatif,  ataupun  yudikatif.  Pada  umumnya,  pembentukan  lembaga-lembaga independen ini didorong oleh kenyataan bahwa  birokrasi di lingkungan pemerintah dinilai tidak dapat  lagi memenuhi tuntutan   Titik  Triwulan Tutik, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD  1945, h.1   kebutuhan akan pelayanan umum dengan standar mutu yang semakin meningkat  dan diharapkan semakin efisien dan efektif.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi