Kamis, 21 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:TINJAUAN FIQIH SIYASAH TERHADAP SISTEM PEMILU PROPORSIONAL TERBUKA DALAM PENGUATAN KEANGGOTAAN DPR RI


BAB I  PENDAHULUAN  
A. Latar Belakang Masalah  Pemilu memang dianggap sebagai lambang sekaligus tolak ukur utama  dan pertama dari demokrasi. Artinya, pelaksanaan dan hasil pemilu merupakan  refleksi dari suasana keterburukan dan aplikasi dari nilai dasar demokrasi,  disamping perlu adanya kebebasan berpendapat dan berserikat yang dianggap  cerminan pendapat warga Negara. Alasanya, pemilu memang dianggap akan  melahirkan suatu representasi aspirasi rakyat yang tentu saja berhubungan erat  dengan legitimasi bagi pemerintah.
 Teori kedaulatan rakyat ini antara lain juga diikuti oleh immanuel kant,  yaitu yang mengatakan bahwa tujuan negara itu adalah untuk menegakkan hukum  dan menjamin kebebasan dari pada para warga negarannya. Dalam pengertian  bahwa kebeasan di sini adalah kebeasan dalam batas-batas perundang-undang,  sedangkan undang-undang di sini yang berhak membuat adalah rakyat itu sendiri.
Maka kalau begitu undang-undang itu adalah merupakan penjelmaan daripada  kemauan atau kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang mewakili kekuasaan tertinggi,  atau kedaulatan.
 Di lihat dari segi hukum kedaulatan hakekatnya merupakan kekuasaan  yang tinggi yang harus dimiliki oleh negara. Kekuasaan tersebut meliputi:   Tutik, Titik Triwulan, Pokok Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca  Amandemen UUD 1945, h.379   Soehino Ilmu Negara, h, 161   pertama.Kekuasaan yang tertinggi untuk menentukan serta melaksanakan hukum  terhadap semua orang dan golongan yang terdapat dalam lingkungan kekuasaanya  atau kedaulatan ke dalam (internal sovereigty); kedua, kekuasaan tertinggi yang  tidak diturunkan dari kekuasaan lain yang dimiliki oleh pihak lain (intervensi  negara lain) atau kedaulatan keluar (external sovereigty).

 Pemilihan umum adalah salah satu hak azasi warga negara yang sangat  prinsipil. Karenanya dalam rangka pelaksanaan hak-hak azasi adalah suatu  keharusan bagi pemerintah untuk melaksanakan pemilihan umum. Sesuai dengan  azas bahwa rakyatlah yang berdaulat, maka semuanya itu harus dikembalikan  kepada rakyat untuk menentukannya.
 Pemilihan umum dimaksud diselenggarakan dengan menjamin prinsip  keterwakilan, yang artinya setiap orang Warga Negara Indonesia terjamin  memiliki wakil yang duduk di lembaga perwakilan yang akan menyuarakan  aspirasi rakyat di setiap tingkatan pemerintahan, dari pusat hingga ke daerah.
Dengan asas langsung, rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan  suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa perantara.
Sebagai salah satu alat demokrasi, pemilu mengubah konsep  kedaulatan rakyat yang abstrak menjadi operasional. Hasil pemilu adalah  orang-orang terpilih duduk di lembaga legislatif dan eksekuitf, yang bekerja   Tutik, Titik Triwulan, Pokok Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca  Amandemen UUD 1945, h.380-381   Kusnardi Moh, Ibrahim Harmaily, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, h.
329   untuk dan atas nama rakyat. Pembicaraan tentang demokrasi, sebenarnya  sudah lama diperdebatkan. Tapi masih belum selesai sebagai kajian akademis  dalam maksud teoritis dan aplikatif.
Sebelum perubahan UUD 1945 sistem ketatanegaraan indonesia  mengenal majelis permusyawaratan Rakyat. (MPR) sebagai lembaga tertinggi.
Di bawahnya mendapat lima lembaga negara yang berkedudukan sebagai  lembaga tertinggi termasuk DPR.
 Pada zaman modern ini pemilu menempati posisi penting arena terkait  dengan beberapa hal. Pertama, pemilu menjadi mekanisme terpenting bagi  keberlangsungan demokrasi perwakilan. Ia adalah mekanisme tercanggih  yang ditemukan agar rakyat tetap berkuasa atas dirinya. Perkembangan  masyarakat yang pesat jumlah yang banyak, persebaran meluas dan aktivitas  yang dilakukan semakin beragam menjadikan kompleksitas persoalan yang  dihadapi rakyat semakin variatif. Kondisi tersebut tidak memugkinkan  rakyat untuk berkumpul dalam satu tempat dan mendiskusikan masalahmasalah yang mereka hadapi secara serius dan tuntas. Akhirnya muncul  demokrasi perwakilan sebagai keniscayaan dengan pemilu sebagai  mekanisme untuk memilih rakyat.
 Penyelenggaraan pemilu 2009 diatur oleh UU No. 10 TAHUN 2008  secara umum untuk memilih anggotaDPR dan DPRD, Pemilu 2004 dab   Tutik, Titik Triwulan, Pokok Pokok Hukum Tata Negara Indonesia, h.133   Pamungkas Sigit, Perihal Pemilu,hal 3   pemilu 2009 tidak terdapat perbedaan yang fundamental, karena masih samasama dalam kerangka sistem proporsional. Meskipun demikian terdapat  perbedaan–perbedaan menonjol dalam pengaturan instrument teknis pemilu.
Sedangkan untuk memilih DPD nyaris tidak ada persamaan sama sekali.
 Setelah amandemen DPR mengalai perubahan fungsi legilasi yang  sebelumnya berada di tangan presiden, maka setelah amandemen UUD 1945  fungsi legilasi berpindah ke DPR. Pergeseran pendulum itu dapat dibaca  dengan adanya perubahan secara subtansial pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dari  presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan  persetujuan DPR,menjadi presiden berhak mengajukan rancangan undangundang kepada DPR. Akibatnya dari pergeseran itu, hilangnya dominasi  presiden dalam proses pembentukan Undang-Undang . perubahan itu  penting artinya karena undang-undang adalah produk hukum yang paling  dominan untuk menerjehkan rumusan-rumusan normatif yang terdapat dalam  UUD 1945.
 Munculnya penguatan terhadap tuntutan diadakannya Pemilu dengan  sistem proporsional terbuka, karena rakyat dan sebagian para politisi,  menganggap sistem Pemilu dengan cara proporsional tertutup anti demokrasi,  kontra produktif dan juga bertentangan dengan era transparansi yang tengah  kita galakkan. Sementara pemilih (konstituen) tidak merasa terwakili, karena   Anwar Adnan, M Hidayat Rahmat, Buhanudin, Menumbuhkan Pemilihan Kritis, h, 11-12   Ibid, hal 133-134   mereka hanya disodori gambar, tanpa mengetahui siapa yang harus mereka  pilih.
Dan yang lebih penting dari itu, cara-cara tersebut membuka peluang  terjadinya KKN diantara para pengurus parpol. Geliat politik itulah yang  ditangkap pemerintah, kemudian memformulasikan aspirasi rakyat tersebut  dalam bentuk RUU Pemilu, yang antara lain menyodorkan kemungkinan  dilaksanakannya Pemilu dengan cara proporsional terbuka dan saat ini  menjadi perdebatan sengit di DPR-RI.
Kita akui, dengan sistem proporsional terbuka, yang akan tampil pada  Pemilu hanyalah orang-orang yang cukup dikenal masyarakat atau dikenal  konsituennya. Dengan begitu, rakyat pemilih tahu yang dipilihnya, tidak  seperti membeli kucing di dalam karung, sebagaimana yang kerap kita  lakukan. Dengan cara ini, maka jangan harap akan muncul orang-orang yang  tidak dikenal, karena ia pasti tidak akan dipilih. Hanya persoalannnya, apakah  cara ini telah menjawab pertanyaan yang paling hakiki dari masyarakat  Akibatnya, hanya untuk menentukan apakah Pemilu perlu  menggunakan sistem proporsional terbuka dan tertutup saja sampai berlarutlarut, menelan waktu, pemborosan biaya, dan sebagainya-sebagainya yang  sebenarnya tidak perlu. Padahal, bagi kita, apakah sistem proporsional  terbuka, atau proporsional tertutup sesungguhnya tidak berbeda. Karena  sebagian besar masyarakat kita sebenarnya tidak pernah mempersoalkan   "jalan" tersebut, yang dipersoalkan adalah setelah mereka duduk menjadi  anggota legislatif atau pegang jabatan di eksekutif.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi