BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Seiring
dengan perkembangan zaman, berbagai kejahatan baik yang dilakukan oleh orang perseorangan maupun oleh
korporasi semakin meningkat.
Kejahatan pencucian uang atau
dalam istilah Inggrisnya disebut Money Launderingmerupakan
salah satu kejahatan yang berkembang pesat seiring dengan perkembangan zaman. Perbuatan pencucian
uang dipandang sangat merugikan
masyarakat, juga sangat merugikan negara karena kejahatankejahatan tersebut
telah melibatkan atau menghasilkan harta kekayaan yang sangat besar jumlahnya.
Departemen Perpajakan Amerika
Serikat (1960) mendefinisikan pencucian
uang (Money Laundering) sebagaimana yang dikutip oleh Aziz Syamsuddin dalam bukunya “Tindak Pidana
Khusus” yaitu: “Pencucian uang adalah sebuah kegiatan memproses uang yang
secara akal sehat dipercayai berasal
dari tindakan pidana, yang dialihkan, ditukarkan, diganti, atau disatukan dengan dana yang sah,
dengan tujuan untuk menutupi atau
mengaburkan asal, sumber, disposisi, kepemilikan, pergerakan, ataupun kepemilikan dari proses tersebut”.
Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), Dampak yang ditimbulkan akibat kejahatan
pencucian uang sedemikian besar dan
luas, sehingga menjadikannya sebagai salah satu tantangan Internasional. Dalam hal terjadi tindak pidana
pencucian uang, ada tiga hal dalam
Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang mempunyai aspek pidana
Internasional, yaitu: 1. Tindak pidana
pencucian uang dapat dilaksanakan pada batas-batas wilayah negara.
2. Hasil kejahatan dari tindak
pidana pencucian uang dapat berada dibeberapa negara.
3. Penanggulangan tindak pidana
pencucian uang harus dilakukan dengan bekerja
sama dengan negara-negara lain.
Pencucian uang telah menjadi
kejahatan transnasional yang prosesnya dilakukan
melampaui wilayah negara dimana hasil kejahatan itu semula diperoleh, maka pemberantasannya hanya mungkin
dilakukan dengan kerja sama yang erat
dan terus menerus antara negara-negara di dunia ini melalui kerja sama Internasional. Dalam pelaksanaannya hal
itu dilakukan dengan membentuk berbagai
organisasi atau kelompok kerja sama.
Banyak pelaku tindak pidana pencucian uang
yang melarikan diri ke luar negeri,
untuk menghindari hukuman atas kejahatan yang dilakukannya. Hal ini Yusup Saprudin, Money Laundering (Kasus L/C
Fiktif BNI 1946), (Jakarta: Pensil-324, Cet.
1, 2006), Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak
Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan Terorisme,
(Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2004), mengakibatkan kesulitan bagi aparat hukum
untuk mencari atau menghukum pelaku
tindak kejahatan yang melarikan diri tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya upaya-upaya dibidang hukum untuk
mengatasi masalah-masalah tersebut.
Salah satu upaya yang efektif yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan kerjasama Internasional dalam bidang
hukum atau yang biasa dikenal dengan
perjanjian ekstradisi.
Pengertian dari ekstradisi itu sendiri menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 adalah
sebagai berikut: “Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara
yang meminta penyerahan seseorang yang
disangka atau dipidana melakukan suatu kejahatan
di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi wilayah negara yang meminta penyerahan
tersebut, karena berwenang untuk mengadili
dan memidananya”.
Ekstradisi merupakan keinginan dari sebagian
besar negara-negara di dunia untuk
bekerjasama dalam memberantas kejahatan, tetapi juga secara umum bahwa tidak ada suatu kewajiban bagi
negara yang diminta (requested state)
untuk menyerahkan seseorang atau orang-orang yeng telah minta perlindungan ke negara lain setelah ia
melakukan kejahatan, selain kalau memang
ada perjanjian antara negara yang meminta dan negara yang diminta untuk mengekstradisi. Bahkan meskipun telah
ada perjanjian antara kedua pihak, tetapi
keputusan apakah suatu negara diminta akan menyerahkan seseorang atau M. Budiarto, Masalah Ekstradisi dan Jaminan
Perlindungan atas Hak-hak Asasi Manusia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1979 tentang ekstradisi pasal tidak,
tetap didasarkan pada pendekatan-pendekatan atau syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh negara peminta.
Sehubungan dengan hal tersebut, upaya untuk
mencegah dan memberantas praktek
pencucian uang telah menjadi perhatian Internasional.
Berbagai upaya telah ditempuh
oleh berbagai negara untuk mencegah dan memberantas
praktek pencucian uang termasuk dengan cara melakukan kerjasama Internasional antar negara.
Tindak pidana pencucian uang di
Indonesia diatur dalam Undang Undang Nomor
8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan {Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (selanjutnya disingkat dengan
UU No. 8 Tahun 2010). Dengan adanya
Undang-Undang tersebut diharapkan tindak pidana pencucian uang dapat dicegah atau diberantas, antara lain
kriminalisasi atas semua perbuatan dalam setiap tahap proses pencucian uang yang
terdiri atas: 1. Penempatan (placement) Yakni upaya menempatkan uang tunai yang
berasal dari tindak pidana ke dalam
sistem keuangan (financial system)atau upaya menempatkan uang giral (cheque, wesel bank, sertifikat,
deposito, dan lain-lain) kembali ke dalam
sistem keuangan (penyedia jasa keuangan), terutama ke dalam sistem perbankan.
I. Wayan Pathiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum
Nasional Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1990), Bentuk-bentuk kegiatan itu antara lain: a. Menempatkan dana pada bank, kadang-kadang
kegiatan ini diikuti dengan pengajuan
kredit atau pembiayaan; b. Menyetorkan uang pada penyedia jasa keuangan (PJK)
sebagai pembayaran kredit untuk
mengaburkan audit trail; c. Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah dari
suatu negara ke negara lain; d.
Membiayai suatu usaha yang seolah olah sah atau terkait dengan usaha yang sah berupa kredit atau pembiayaan; e.
Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi, membelikan hadiah yang nilainya mahal
sebagai penghargaan atau hadiah kepada
pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui PJK.
2. Transfer (layering) Yaitu
upaya untuk mentransfer harta kekayaaan yang bersal dari tindak pidana (dirty money) yang telah
berhasil ditempatkan pada jasa keuangan
(termasuk bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke penyedia jasa yang lain. Dengan layering, akan
menjadi sulit bagi penegak hukum untuk
dapat mengetahui asal usul harta kekayaan tersebut.
Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang,
oleh PPATK Bentuk kegiatan ini antara lain: a. Transfer dan dari suatu bank ke bank lain
dan atau antar wilayah atau negara; b.
Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang sah; c. Memindahkan uang tunai lintas
batas negara melalui jaringan kegiatan usaha
yang sah maupun Shell Company.
3. Menggunakan Harta Kekayaan/Uang
(Integration) Tahap akhir dari proses pencucian uang adalah integration (dari
harta atau uang ilegal) yakni upaya
untuk menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah secara hukum, baik untuk dinikmati
langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai
bentuk kekayaan material maupun keuangan, untuk membiayai kegiatan-kegiatan bisnis yang sah,
atau bahkan untuk membiayai kembali
kegiatan tindak pidana.
Pelaku pencucian uang tidak terlalu
mempertimbangkan hasil yang akan diperoleh
dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Karena tujuan utamanya adalah untuk menyamarkan atau menghilangkan
asal usul uang, sehingga hasil akhirnya
dapat dinikmati atau digunakan secara aman.
Soewarsosno, Reda Mantovani, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
di Indonesia, (Jakarta: Malibu, 2004), Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, Yusup Saprudin, Money Laundering, Pelaku tindak pidana pencucian uang tersebut
sengaja meloloskan diri ke luar negeri
untuk menghindari hukuman atas perbuatannya atau sekedar ingin menikmati hasil dari kejahatannya. Para pelaku
tersebut melarikan diri ke negaranegara yang tidak melakukan perjanjian
ekstradisi dengan Indonesia. Seperti Tiongkok
(China), Singapura dan India.
Dengan begitu mereka akan aman di negara itu, sebab pemerintah Indonesia tidak
bisa menangkap atau mengekstradisinya.
Karena belum ada perjanjian yang dibuat oleh Indonesia dengan negara-negara tersebut.
Hal itu menggambarkan betapa
mudahnya pelaku tindak kejahatan melarikan
diri ke luar negeri, begitu juga pelaku kejahatan tindak pidana pencucian uang dengan berharap bahwa ia tidak
dapat diadili oleh negara asalnya, mereka
memilih jalur kabur ke luar negeri. Praktek negara-negara dalam melakukan penyerahan penjahat pelarian tidak
semata-mata tergantung pada adanya
perjanjian ekstradisi. Hubungan baik dan bersahabat antara dua negara juga dapat lebih memudahkan dan mempercepat
penyerahan penjahat pelarian.
Demikian pula memberikan
perlindungan kepada seseorang atau beberapa
orang penjahat pelarian bukan pula karena kedua negara belum melakukan perjanjian ekstradisi. Apabila
hubungan kedua negara yang semula bersahabat
berubah menjadi permusuhan, maka kerjasama saling menyerahkan penjahat pelarian bisa berubah menjadi saling
melindungi penjahat pelarian.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi