Rabu, 20 Agustus 2014

Skripsi Siyasah:TINJAUAN SIYASAH SYAR’IYYAH TERHADAP PERJANJIAN EKSTRADISI DALAM PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1979


BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan zaman, berbagai kejahatan baik yang  dilakukan oleh orang perseorangan maupun oleh korporasi semakin meningkat.
Kejahatan pencucian uang atau dalam istilah Inggrisnya disebut Money  Launderingmerupakan salah satu kejahatan yang berkembang pesat seiring  dengan perkembangan zaman. Perbuatan pencucian uang dipandang sangat  merugikan masyarakat, juga sangat merugikan negara karena kejahatankejahatan tersebut telah melibatkan atau menghasilkan harta kekayaan yang  sangat besar jumlahnya.
Departemen Perpajakan Amerika Serikat (1960) mendefinisikan  pencucian uang (Money Laundering) sebagaimana yang dikutip oleh Aziz  Syamsuddin dalam bukunya “Tindak Pidana Khusus” yaitu: “Pencucian uang adalah sebuah kegiatan memproses uang yang secara  akal sehat dipercayai berasal dari tindakan pidana, yang dialihkan, ditukarkan,  diganti, atau disatukan dengan dana yang sah, dengan tujuan untuk menutupi  atau mengaburkan asal, sumber, disposisi, kepemilikan, pergerakan, ataupun  kepemilikan dari proses tersebut”.

  Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011),    Dampak yang ditimbulkan akibat kejahatan pencucian uang sedemikian  besar dan luas, sehingga menjadikannya sebagai salah satu tantangan  Internasional. Dalam hal terjadi tindak pidana pencucian uang, ada tiga hal  dalam Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian  Uang yang mempunyai aspek pidana Internasional, yaitu:  1. Tindak pidana pencucian uang dapat dilaksanakan pada batas-batas wilayah  negara.
2. Hasil kejahatan dari tindak pidana pencucian uang dapat berada dibeberapa  negara.
3. Penanggulangan tindak pidana pencucian uang harus dilakukan dengan  bekerja sama dengan negara-negara lain.
Pencucian uang telah menjadi kejahatan transnasional yang prosesnya  dilakukan melampaui wilayah negara dimana hasil kejahatan itu semula  diperoleh, maka pemberantasannya hanya mungkin dilakukan dengan kerja sama  yang erat dan terus menerus antara negara-negara di dunia ini melalui kerja  sama Internasional. Dalam pelaksanaannya hal itu dilakukan dengan membentuk  berbagai organisasi atau kelompok kerja sama.
 Banyak pelaku tindak pidana pencucian uang yang melarikan diri ke luar  negeri, untuk menghindari hukuman atas kejahatan yang dilakukannya. Hal ini   Yusup Saprudin, Money Laundering (Kasus L/C Fiktif BNI 1946), (Jakarta: Pensil-324, Cet.
1, 2006),   Sutan Remy Sjahdeini, Seluk Beluk Tindak Pidana Pencucian Uang dan Pembiayaan  Terorisme, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2004),   mengakibatkan kesulitan bagi aparat hukum untuk mencari atau menghukum  pelaku tindak kejahatan yang melarikan diri tersebut. Oleh karena itu, perlu  adanya upaya-upaya dibidang hukum untuk mengatasi masalah-masalah  tersebut. Salah satu upaya yang efektif yang bisa dilakukan adalah dengan  melakukan kerjasama Internasional dalam bidang hukum atau yang biasa dikenal  dengan perjanjian ekstradisi.
 Pengertian dari ekstradisi itu sendiri menurut Undang-Undang Nomor 1  Tahun 1979 adalah sebagai berikut: “Ekstradisi adalah penyerahan oleh suatu negara kepada negara yang  meminta penyerahan seseorang yang disangka atau dipidana melakukan suatu  kejahatan di luar wilayah negara yang menyerahkan dan di dalam yurisdiksi  wilayah negara yang meminta penyerahan tersebut, karena berwenang untuk  mengadili dan memidananya”.
 Ekstradisi merupakan keinginan dari sebagian besar negara-negara di  dunia untuk bekerjasama dalam memberantas kejahatan, tetapi juga secara  umum bahwa tidak ada suatu kewajiban bagi negara yang diminta (requested  state) untuk menyerahkan seseorang atau orang-orang yeng telah minta  perlindungan ke negara lain setelah ia melakukan kejahatan, selain kalau  memang ada perjanjian antara negara yang meminta dan negara yang diminta  untuk mengekstradisi. Bahkan meskipun telah ada perjanjian antara kedua pihak,  tetapi keputusan apakah suatu negara diminta akan menyerahkan seseorang atau   M. Budiarto, Masalah Ekstradisi dan Jaminan Perlindungan atas Hak-hak Asasi Manusia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980),   Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1979 tentang ekstradisi pasal   tidak, tetap didasarkan pada pendekatan-pendekatan atau syarat-syarat yang  harus dipenuhi oleh negara peminta.
 Sehubungan dengan hal tersebut, upaya untuk mencegah dan  memberantas praktek pencucian uang telah menjadi perhatian Internasional.
Berbagai upaya telah ditempuh oleh berbagai negara untuk mencegah dan  memberantas praktek pencucian uang termasuk dengan cara melakukan  kerjasama Internasional antar negara.
Tindak pidana pencucian uang di Indonesia diatur dalam Undang Undang  Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan {Pemberantasan Tindak Pidana  Pencucian Uang (selanjutnya disingkat dengan UU No. 8 Tahun 2010). Dengan  adanya Undang-Undang tersebut diharapkan tindak pidana pencucian uang dapat  dicegah atau diberantas, antara lain kriminalisasi atas semua perbuatan dalam  setiap tahap proses pencucian uang yang terdiri atas: 1. Penempatan (placement) Yakni upaya menempatkan uang tunai yang berasal dari tindak pidana  ke dalam sistem keuangan (financial system)atau upaya menempatkan uang  giral (cheque, wesel bank, sertifikat, deposito, dan lain-lain) kembali ke  dalam sistem keuangan (penyedia jasa keuangan), terutama ke dalam sistem  perbankan.
  I. Wayan Pathiana, Ekstradisi dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1990),    Bentuk-bentuk kegiatan itu antara lain:  a. Menempatkan dana pada bank, kadang-kadang kegiatan ini diikuti dengan  pengajuan kredit atau pembiayaan; b. Menyetorkan uang pada penyedia jasa keuangan (PJK) sebagai  pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail; c. Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah dari suatu negara ke negara  lain; d. Membiayai suatu usaha yang seolah olah sah atau terkait dengan usaha  yang sah berupa kredit atau pembiayaan; e. Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan  pribadi, membelikan hadiah yang nilainya mahal sebagai penghargaan atau  hadiah kepada pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui PJK.
2. Transfer (layering) Yaitu upaya untuk mentransfer harta kekayaaan yang bersal dari  tindak pidana (dirty money) yang telah berhasil ditempatkan pada jasa  keuangan (termasuk bank) sebagai hasil upaya penempatan (placement) ke  penyedia jasa yang lain. Dengan layering, akan menjadi sulit bagi penegak  hukum untuk dapat mengetahui asal usul harta kekayaan tersebut.
  Pedoman Umum Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, oleh  PPATK   Bentuk kegiatan ini antara lain:  a. Transfer dan dari suatu bank ke bank lain dan atau antar wilayah atau  negara; b. Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi  yang sah; c. Memindahkan uang tunai lintas batas negara melalui jaringan kegiatan  usaha yang sah maupun Shell Company.
3. Menggunakan Harta Kekayaan/Uang (Integration) Tahap akhir dari proses pencucian uang adalah integration (dari harta  atau uang ilegal) yakni upaya untuk menggunakan harta kekayaan yang telah  tampak sah secara hukum, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke  dalam berbagai bentuk kekayaan material maupun keuangan, untuk  membiayai kegiatan-kegiatan bisnis yang sah, atau bahkan untuk membiayai  kembali kegiatan tindak pidana.
 Pelaku pencucian uang tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang akan  diperoleh dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan. Karena tujuan utamanya  adalah untuk menyamarkan atau menghilangkan asal usul uang, sehingga hasil  akhirnya dapat dinikmati atau digunakan secara aman.
  Soewarsosno, Reda Mantovani, Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang di  Indonesia, (Jakarta: Malibu, 2004),   Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus,   Yusup Saprudin, Money Laundering,   Pelaku tindak pidana pencucian uang tersebut sengaja meloloskan diri ke  luar negeri untuk menghindari hukuman atas perbuatannya atau sekedar ingin  menikmati hasil dari kejahatannya. Para pelaku tersebut melarikan diri ke negaranegara yang tidak melakukan perjanjian ekstradisi dengan Indonesia. Seperti  Tiongkok (China), Singapura dan India.
 Dengan begitu mereka akan aman di  negara itu, sebab pemerintah Indonesia tidak bisa menangkap atau  mengekstradisinya. Karena belum ada perjanjian yang dibuat oleh Indonesia  dengan negara-negara tersebut.
Hal itu menggambarkan betapa mudahnya pelaku tindak kejahatan  melarikan diri ke luar negeri, begitu juga pelaku kejahatan tindak pidana  pencucian uang dengan berharap bahwa ia tidak dapat diadili oleh negara asalnya,  mereka memilih jalur kabur ke luar negeri. Praktek negara-negara dalam  melakukan penyerahan penjahat pelarian tidak semata-mata tergantung pada  adanya perjanjian ekstradisi. Hubungan baik dan bersahabat antara dua negara  juga dapat lebih memudahkan dan mempercepat penyerahan penjahat pelarian.
Demikian pula memberikan perlindungan kepada seseorang atau  beberapa orang penjahat pelarian bukan pula karena kedua negara belum  melakukan perjanjian ekstradisi. Apabila hubungan kedua negara yang semula  bersahabat berubah menjadi permusuhan, maka kerjasama saling menyerahkan  penjahat pelarian bisa berubah menjadi saling melindungi penjahat pelarian.


Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi