BAB I .
PENDAHULUAN .
A. Latar Belakang Masalah .
Idah memang
merupakan suatu persoalan
yang sangat krusial
di kalangan pemikir-pemikir zaman
sekarang maupun dahulu.
Selain dinilai sebagai
bias gender sehingga banyak
mengundang para cendekiawan mengkaji
esensi dari idah
ini, para ulama
terutama ulama fikih
juga masih memperdebatkan
masalah idah karena
adanya perkembangan permasalahan fikih. Hal ini tak luput dari adanya kemajuan
ilmu pengetahuan dan teknologi.
Salah satu permasalahan fikih
yang masih menjadi perdebatan adalah mengenai
perhitungan idah bagi wanita yang ditalak
suaminya di Pengadilan Agama.
Banyak yang masih tidak
mengerti secara pasti mengenai
ketentuan idah dalam
kondisi tersebut. Jika
berpedoman pada hukum
positif di Indonesia, ketentuan idah itu dihitung mulai
pengikraran talak oleh suami di hadapan
hakim, sebagaimana dalam KHI pasal 153 ayat4, “bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu
tunggudihitung sejak jatuhnya putusan
Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap”.
Jika melihat realita dalam
masyarakat, banyak di antara mereka telah mengucapkan lafal talak sebelum menempuh
persidangan. Biasanya si suami mengeluarkan
kata talak ketika terjadi percekcokan.Lalu dalam persidangan suami
mengikrarkan talak sebagaimana
prosedur dalam persidangan Departemen
Agama, Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia,
Jakarta: Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 2001,
hal. 71.
permohonan cerai.
Kondisi inilah yang
membuat para ulama
fikih ikhtilaf dalam menentukan perhitungan idahnya.
Muhammadiyah sebagai
salah satu organisasi
Islam terbesar di Indonesia setelah
NU dalam fatwa
tarjihnya disebutkan bahwa
perceraian harus dilakukan
melalui proses pemeriksaan pengadilan: pertama, cerai talak dilakukan
dengan cara suami
mengikrarkan talaknya di
depan sidang pengadilan,
dan cerai gugat
diputuskan oleh hakim.
Kedua, perceraian yang dilakukan
di luar sidang pengadilan dinyatakan tidak sah, ini berarti menurut Muhammadiyah
segala bentuk idah
perhitungannya harus dimulai
setelah pengikraran talak
di pengadilan karena
talak yang pertama
yakni sebelum persidangan dinyatakan tidak sah.
Kecenderungan Muhammadiyah
mengenai tidak sahnya
talak yang pertama adalah karena melihat aspek
kemaslahatan dan juga kaidah fikih yang berbunyi:
Artinya : Tidak diingkari perubahan
hukum karena perubahan zaman.
Pendapat lain
dikemukakan oleh NU
mengenai ketentuan idah
ini.
Dalam Keputusan Muktamarnya yang
ke-28 yang diselenggarakan di Pondok Pesantren
Al-Munawir Krapyak Yogyakarta pada tanggal 26-29 Rabiul Akhir 1410
H. / 26-28
November 1989 M.
dijelaskan bahwa kedua
talak itu tetap http://www.muhammadiyah.or.id/tarjih/files/Fatwa_2007/Fatwa_2007_pdf/Fatwa%
2012_
2007
_Cerai%20Di%20Luar%20Sidang%20Pengadilan.pdf, didownload
pada tanggal 14 November
2010 jam 11:27.
Ali Ahmad Nadwi, Al-Qawaid
al-fiqhiyyah, Damaskus: Darul Qalam, cet. II, 1991, hal.
123.
dinilai sebagai talak yang sah,
sehingga memiliki dua idah yang ketentuannya berbeda dengan hukum positif dan Muhammadiyah.
Hal ini disebabkan karena NU masih
memegang konsep-konsep fikih
klasik yang tidak
terpengaruh dengan adanya
perundang-undangan yang ada di Indonesia
khususnya mengenai penjatuhan
talak ini.
Ketentuan idah
bagi wanita yang
ditalak suaminya di Pengadilan Agama ini erat kaitannya dengan masalah talak
tiga sekaligus yakni seorang suami menjatuhkan talak atau cerai pertama
kali dengan lafal tiga kali cerai.
Permasalahan ini disebut sebagai
talak bid’i yang ditinjau dari jumlah
talak yang dijatuhkan.
Banyak
pertentangan di kalangan
para ulama mengenai kedudukan talak tiga sekaligus ini.
Telah kita pahami bahwa idah merupakan
masa tunggu bagi mantan istri
dalam waktu tertentu
yang telah ditetapkan
oleh syara’. Secara
istilah, idah bisa diartikan
sebagai masa tunggu yang ditetapkan oleh hukum syara’ bagi
wanita untuk tidak
melakukan akad perkawinan
dengan laki-laki lain dalam masa
tersebut, sebagai akibat
ditinggal mati oleh
suaminya atau perceraian
dengan suaminya itu,
dalam rangka membersihkan
diri dari pengaruh dan akibat hubungannya dengan
suaminya itu.
Hitungan idah itu telah
ditentukan sehingga wajib bagi setiap muslim untuk mengikuti ketentuan itu. Seperti dalam
surat Al-Baqarah ayat 228: Saleh
Al-Fauzan, Fiqih Sehar-hari, Jakarta: Gema Insani, 2006, hal. 703.
Departemen
Agama, Ilmu Fiqih,
Jilid II, Jakarta:
Proyek Pembinaan Prasarana
dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, cet. II, 1985, hal. 275.
Artinya : “Wanita-wanita yang
ditalak hendaklah menahan
diri (menunggu) tiga kali quru’.” Wanita
yang ditalak suaminya (dan masih
terbiasa menstruasi) masa idahnya adalah tiga quru’, yakni tiga kali haid menurut jumhur
ulama. Tetapi Ulama Syafi’iyah mengartikan kata quru’dengan suci dari haid,
sehingga idah bagi wanita yang berhaid
adalah tiga kali suci.
Sedangkan bagi wanita yang tidak
haid, idahnya tiga
bulan. Ini berlaku
bagi wanita yang
belum baligh maupun wanita yang sudah tua dan tidak lagi
mengeluarkan haid, baik wanita yang sama
sekali tidak berhaid
sebelumnya atau kemudian
terputus haidnya dan idah lainnya yang telah dijelaskan dalam
Al-Qur’an maupun Hadits.
Jika menurut Keputusan Muktamar
NU, wanita yang ditalak suaminya di Pengadilan
Agama itu memiliki
dua idah, maka
secara sekilas ketentuan seperti ini tidak akan ditemukan dalam
ketentuan fikih pada umumnya. Dari sinilah penulis
berkeinginan untuk mengkaji
lebih dalam bagaimana perhitungan
idah dan dasar
hukumnya. Oleh karena
itu, penulis mendiskripsikannya dalam sebuah skripsi yang
berjudul “Analisis Keputusan Muktamar NU
Ke-28 Tentang Perhitungan
Idah Bagi Wanita
Yang Ditalak Suaminya Di
Pengadilan Agama”.
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an, 1984, hal. 55.
Departemen Agama, Op. Cit., hal.
280.
Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah,
Penerj. Moh. Thalib, Terj. “Fikih Sunnah 8”, Bandung: PT. Al-Ma’arif, cet. I, 1980, hal 145.
B. Rumusan Masalah Dari
uraian di atas,
maka penulis merumuskan
beberapa masalah sebagai berikut: 1.
Bagaimana perhitungan idah
bagi wanita yang
ditalak suaminya di Pengadilan
Agama menurut peraturan
perundangan dan menurut Keputusan Muktamar NU.
2. Bagaimana dasar hukum yang digunakan dalam
Keputusan Muktamar NU tentang
perhitungan idah bagi wanita yang ditalak suaminya di Pengadilan Agama.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi