Jumat, 22 Agustus 2014

Skripsi Syariah: ANALISIS KEPUTUSAN MUKTAMAR NU KE-28 TENTANG PERHITUNGAN IDAH BAGI WANITA YANG DITALAK SUAMINYA DI PENGADILAN AGAMA

BAB I .
PENDAHULUAN .
A.  Latar Belakang Masalah .
Idah  memang  merupakan  suatu  persoalan  yang  sangat  krusial  di  kalangan  pemikir-pemikir  zaman  sekarang  maupun  dahulu.  Selain  dinilai  sebagai  bias  gender sehingga  banyak  mengundang  para  cendekiawan  mengkaji  esensi  dari  idah  ini,  para  ulama  terutama  ulama  fikih  juga  masih  memperdebatkan  masalah  idah  karena  adanya  perkembangan  permasalahan  fikih. Hal ini tak luput dari adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Salah satu permasalahan fikih yang masih menjadi perdebatan adalah  mengenai perhitungan idah bagi wanita yang ditalak  suaminya di Pengadilan  Agama. Banyak  yang  masih tidak  mengerti secara pasti mengenai  ketentuan  idah  dalam  kondisi  tersebut.  Jika  berpedoman  pada  hukum  positif  di  Indonesia, ketentuan idah itu dihitung mulai pengikraran talak oleh suami di  hadapan hakim, sebagaimana dalam KHI pasal 153 ayat4, “bagi perkawinan  yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggudihitung sejak jatuhnya  putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap”.
Jika melihat realita dalam masyarakat, banyak di antara mereka telah  mengucapkan lafal talak sebelum menempuh persidangan. Biasanya si suami  mengeluarkan kata talak ketika terjadi percekcokan.Lalu dalam persidangan  suami  mengikrarkan  talak  sebagaimana  prosedur  dalam persidangan   Departemen  Agama,  Kompilasi  Hukum  Islam  di  Indonesia,  Jakarta:  Direktorat  Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, 2001, hal. 71.
permohonan  cerai.  Kondisi  inilah  yang  membuat  para  ulama  fikih  ikhtilaf  dalam menentukan perhitungan idahnya.
Muhammadiyah  sebagai  salah  satu  organisasi  Islam  terbesar  di  Indonesia  setelah  NU  dalam  fatwa  tarjihnya  disebutkan  bahwa  perceraian  harus dilakukan melalui proses pemeriksaan pengadilan: pertama, cerai talak  dilakukan  dengan  cara  suami  mengikrarkan  talaknya  di  depan  sidang  pengadilan,  dan  cerai  gugat  diputuskan  oleh  hakim.  Kedua,  perceraian  yang  dilakukan di luar sidang pengadilan dinyatakan tidak sah, ini berarti menurut  Muhammadiyah  segala  bentuk  idah  perhitungannya  harus  dimulai  setelah  pengikraran  talak  di  pengadilan  karena  talak  yang  pertama  yakni  sebelum  persidangan dinyatakan tidak sah.
Kecenderungan  Muhammadiyah  mengenai  tidak  sahnya  talak  yang  pertama adalah karena melihat aspek kemaslahatan dan juga kaidah fikih yang  berbunyi:  Artinya : Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan zaman.
Pendapat  lain  dikemukakan  oleh  NU  mengenai  ketentuan  idah  ini.
Dalam Keputusan Muktamarnya yang ke-28 yang diselenggarakan di Pondok  Pesantren Al-Munawir Krapyak Yogyakarta pada tanggal 26-29 Rabiul Akhir  1410  H.  /  26-28  November  1989  M.  dijelaskan  bahwa  kedua  talak  itu  tetap   http://www.muhammadiyah.or.id/tarjih/files/Fatwa_2007/Fatwa_2007_pdf/Fatwa%  2012_  2007  _Cerai%20Di%20Luar%20Sidang%20Pengadilan.pdf,  didownload  pada  tanggal  14  November 2010 jam 11:27.
Ali Ahmad Nadwi, Al-Qawaid al-fiqhiyyah, Damaskus: Darul Qalam, cet. II, 1991, hal.
123.
dinilai sebagai talak yang sah, sehingga memiliki dua idah yang ketentuannya  berbeda dengan hukum positif dan Muhammadiyah. Hal ini disebabkan karena  NU  masih  memegang  konsep-konsep  fikih  klasik  yang  tidak  terpengaruh  dengan  adanya  perundang-undangan  yang  ada  di  Indonesia  khususnya  mengenai penjatuhan talak ini.
Ketentuan  idah  bagi  wanita  yang  ditalak  suaminya  di Pengadilan  Agama ini erat kaitannya dengan masalah talak tiga  sekaligus  yakni seorang  suami menjatuhkan talak atau cerai pertama kali dengan lafal tiga kali cerai.
Permasalahan ini disebut sebagai talak  bid’i yang ditinjau dari jumlah talak  yang  dijatuhkan.
 Banyak  pertentangan  di  kalangan  para  ulama  mengenai  kedudukan talak tiga sekaligus ini.
Telah  kita pahami bahwa idah  merupakan  masa  tunggu  bagi mantan  istri  dalam  waktu  tertentu  yang  telah  ditetapkan  oleh  syara’.  Secara  istilah,  idah bisa diartikan sebagai  masa tunggu  yang ditetapkan oleh hukum  syara’ bagi  wanita  untuk  tidak  melakukan  akad  perkawinan  dengan  laki-laki  lain  dalam  masa  tersebut,  sebagai  akibat  ditinggal  mati  oleh  suaminya  atau  perceraian  dengan  suaminya  itu,  dalam  rangka  membersihkan  diri  dari  pengaruh dan akibat hubungannya dengan suaminya itu.
Hitungan idah itu telah ditentukan sehingga wajib bagi setiap muslim  untuk mengikuti ketentuan itu. Seperti dalam surat Al-Baqarah ayat 228:  Saleh Al-Fauzan, Fiqih Sehar-hari, Jakarta: Gema Insani, 2006, hal. 703.
 Departemen  Agama,  Ilmu  Fiqih,  Jilid  II,  Jakarta:  Proyek  Pembinaan  Prasarana  dan Sarana Perguruan Tinggi Agama, cet. II, 1985, hal. 275.
Artinya  : “Wanita-wanita  yang  ditalak  hendaklah  menahan  diri (menunggu) tiga kali quru’.”  Wanita  yang ditalak suaminya (dan  masih terbiasa menstruasi)  masa  idahnya adalah tiga  quru’, yakni tiga kali haid menurut jumhur ulama. Tetapi Ulama Syafi’iyah mengartikan kata quru’dengan suci dari haid, sehingga idah  bagi wanita yang berhaid adalah tiga kali suci.
Sedangkan bagi wanita yang  tidak  haid,  idahnya  tiga  bulan.  Ini  berlaku  bagi  wanita  yang  belum  baligh  maupun wanita yang sudah tua dan tidak lagi mengeluarkan haid, baik wanita  yang  sama  sekali  tidak  berhaid  sebelumnya  atau  kemudian  terputus  haidnya  dan idah lainnya yang telah dijelaskan dalam Al-Qur’an maupun Hadits.
Jika menurut Keputusan Muktamar NU, wanita yang ditalak suaminya  di  Pengadilan  Agama  itu  memiliki  dua  idah,  maka  secara  sekilas  ketentuan  seperti ini tidak akan ditemukan dalam ketentuan fikih pada umumnya. Dari  sinilah  penulis  berkeinginan  untuk  mengkaji  lebih  dalam  bagaimana  perhitungan  idah  dan  dasar  hukumnya.  Oleh  karena  itu,  penulis  mendiskripsikannya dalam sebuah skripsi yang berjudul “Analisis Keputusan  Muktamar  NU  Ke-28  Tentang  Perhitungan  Idah  Bagi  Wanita  Yang  Ditalak Suaminya Di Pengadilan Agama”.
Departemen Agama,  Al-Qur’an dan Terjemahannya,  Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab  Suci Al-Qur’an, 1984, hal. 55.
Departemen Agama, Op. Cit., hal. 280.
Sayyid Sabiq, Fiqh As-Sunnah, Penerj. Moh. Thalib, Terj. “Fikih Sunnah 8”, Bandung:  PT. Al-Ma’arif, cet. I, 1980, hal 145.
B.  Rumusan Masalah  Dari  uraian  di  atas,  maka  penulis  merumuskan  beberapa  masalah  sebagai berikut:  1.  Bagaimana  perhitungan  idah  bagi  wanita  yang  ditalak suaminya  di  Pengadilan  Agama  menurut  peraturan  perundangan  dan  menurut  Keputusan Muktamar NU.
2.  Bagaimana dasar hukum yang digunakan dalam Keputusan Muktamar NU  tentang perhitungan idah bagi wanita yang ditalak suaminya di Pengadilan  Agama.



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi