Jumat, 22 Agustus 2014

Skripsi Syariah: ANALISIS PENDAPAT AL-IMAM AL-SYIRAZI TENTANG HUKUM WALI NIKAH MEMINTA IZIN KEPADA GADIS DEWASA

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang.
Perkawinan  merupakan  sesuatu  yang  sangat  penting  bagi  kehidupan  manusia.  Karena  tujuan  perkawinan  dalam  Islam  tidak  hanya  sekedar  pada  batas  pemenuhan  nafsu  biologis  at au  pelampiasan  nafsu  seksual  belaka,  tetapi    memiliki  tujuan  yang  lebih  mulia  yaitu  untuk  menciptakan  keluarga  yang  hidup  dengan  aman  dan  tenteram  (sakīnah),  pergaulan  yang  saling  mencintai  (mawaddah)  dan  saling  menyantuni  (rahmah).

Sebagaimana  firman Allah SWT dalam surat Al-Rum ayat 21: Artinya:  "  Dan  di  antara  tanda-tanda  kekuasaan-Nya  ialah  Dia  menciptakan  untukmu  istri-istri  dari  jenismu  sendiri,  supaya  kamu  cenderung  dan  merasa  tenteram  kepadanya,  dan  dijadikan-Nya  di  antaramu  rasa  kasih  dan  sayang.
Sesungguhnya  pada  yang  demikian  itu  benar-benar  terdapat  tanda-tanda bagi kaum yang berpikir ”.
Perkawinan  merupakan  suatu  akad  yang  tidak  hanya  sekedar  menjalin  hubungan dua pihak secara  individual antara suami  istri  namun  lebih  jauh  dapat  mempererat  tali  hubungan  antara  keluarga  pihak  suami  dan  pihak  istri.  Agar  terjalin  sebuah  hubungan  yang  harmonis  dalam  Idris Ramulyo,  Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Undang-Undang No. 1 Tahun  1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, hlm. 4.
Lajnah  Pentashih  Al-Qur’an  Departemen  Agama  RI,  Al-Qur‟an  dan  Terjemahannya,  Semarang: CV. As-Syifa’, 1992, hlm. 644.
rumah  tangga  sebagaimana  tujuan  perkawinan  maka  perkawinan  harus  didasari dengan rasa kasih sayang  yang dimiliki  oleh suami  istri  maupun  orang  tua.  Tanpa  kasih  sayang  maka  tujuan  perkawinan  tidak  akan  tercapai.
Menurut  pasal  1  undang-undang  No  1  tahun  1974  tentang  perkawinan,  Perkawinan  ialah  ikatan  lahir  batin  antara  seorang  pria  dengan  seorang  wanita  sebagai  suami  istri  dengan  tujuan  membentuk  keluarga (rumah tangga)  yang  bahagia dan kekal berdasarkan  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa.  Dalam  definisi  tersebut  disebutkan  tujuan  pernikahan  yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan  perkawinan  secara  temporal  seperti  nikah  mut’ah.  Selain  itu  juga  dijelaskan dalam pasal 2 Kompilasi Hukum Islam: “ Perkawinan menurut  hukum islam adalah akad yang sangat  kuat atau mitsāqon ghōlidhon  untuk  menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”.
Ungkapan  "  akad  yang  sangat  kuat  atau  mitsāqon  ghōlidhon  "  merupakan  penjelasan  dari  ungkapan  “  ikatan  lahir  batin”  yang  terdapat  dalam  rumusan  undang-undang  yang  mengandung  arti  bahwa  akad  perkawinan  itu  bukanlah  semata  perjanjian  yang  bersifat  keperdataan.
Sedangkan  ungkapan  "  untuk  menaati  perintah  Allah  dan  melaksanakannya  merupakan  ibadah  "  merupakan  penjelasan  dari  ungkapan  “  Berdasarkan  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa  ”  dalam  undangundang.  Hal  ini  lebih  menjelasakan  bahwa  perkawinan  bagi  umat  Islam  merupakan  peristiwa  agama  dan  oleh  karena  itu  orang  yang  telah  melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.
Disamping  agama  memandang  perkawinan  sebagai  perbuatan  ibadah, ia juga merupakan Sunnah Allah dan Sunnah Rasul.   Sunnah Allah  berarti  menurut  qudrat  dan  iradah  Allah  dalam  penciptaan  alam  ini,  sedangkan  sunnah  rasul  berarti  suatu  tradisi  yang  telah  ditetapkan  untuk  dirinya sendiri  dan untuk umatnya.
Karena melaksanakannya merupakan  ibadah  maka  dalam  perkawinan  haruslah  terpenuhi  syarat-syarat  dan  rukunnya, salah satu rukunnya adalah wali nikah, meskipun ulama  berbeda  pendapat dalam hal ini.
Menurut  ulama  Malikiyah  dan  Syafi’iyah,  wali  merupakan  rukun  dalam  sebuah  perkawinan.  Apabila  pernikahan  dilakukan  tanpa  adanya  wali  maka  pernikahan  itu  tidak  sah.   Begitu  juga  tidak  sah  pernikahan  tanpa  wali  menurut   ulama  Hanabilah,  meskipun  dalam  pengambilan  dalilnya berbeda dengan Malikiyah dan Syafi’yah.
Sedangkan  menurut  ulama  Hanafiyah,  wali  bukanlah  termasuk  rukun nikah yang wajib terpenuhi melainkan hanya sebagai syarat sahnya  perkawinan  bagi  anak  kecil,  orang  gila  laki-laki  /  perempuan  meskipun  dewasa.
Jadi wanita  yang telah  baligh dan  berakal sehat boleh  memilih  sendiri  suaminya  dan  boleh  pula  melakukan  aqad  nikah  sendiri  baik  perawan atau  janda. Tidak seorang pun  yang  mempunyai wewenang atas  Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahah dan  Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Prenata Media, Cet ke-II, hlm. 41.
Ibid.
Dedi  Supriyadi,  Fiqih  Munakahah  Perbandingan,  Dari  Tekstualitas  sampai  Legislasi, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011, Cet ke-I, hlm. 33-50.
dirinya  atau  menentang  pilihannya,  dengan  syarat  orang  yang  dipilihnya  itu sekufu dengannya dan maharnya tidak kurang dari mahar  mitsil.
Dalam sebuah perkawinan yang paling berhak menjadi wali nikah  adalah  ayah  selaku  orang  tua.   Bagi  orang  tua  anak  adalah  bagian  dari  harapan  terbesar  untuk  meneruskan  tugas  kekhalifahan  di  muka  bumi.
Demi  regenerasi  itu,  para  orang  tua  senantiasa  menginginkan  seluruh  keturunannya  menjadi  putra  -  putri  yang  shalih  dan  shalihah,  serta  memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Lebih dari itu, setiap manusia  menginginkan  seluruh  keturunannya  menjadi  perhiasan,  penyejuk  mata  (qurrota a‟yun) bagi mereka.  Allah swt  berfirman  dalam surat  Al-Furqan ayat 74: Artinya:  "  Dan  orang-orang  yang  berkata:  “Ya  Tuhan,  anugerahkanlah  kepada  kami  istri-istri  kami  dan  keturunan  kami  sebagai  penyenang  hati  (kami)  dan  jadikanlah  kami  imam  bagi  orangorang yang bertakwa “.
Namun  demikian, anak tetap bukanlah hak milik  bagi orang tua. Ia  adalah  t itipan  Allah  swt   semata.  Orang  tua  berkewajiban  mengasuh,  membesarkan, mendidik, dan menikahkan putra-putri mereka apabila telah  waktunya  tiba.  Walaupun  demikian,  apakah  kewajiban  ini  menjadikan  Muhammad  Jawad  Mughniyah,  Al-Fiqh  „Ala  Al-Mazāhib  Al-Khamsah,  Fiqih  Lima  Mazhab: Ja‟fari,  Hanafi, Maliki, Syafi‟i,Hambali  ,Terj.  Masykur. A. B. et. Al.,  Jakarta:  Lentera, 2007, Cet. ke-VI, hlm. 345.
Lajnah Pentashih Al-Qur’an Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 569.
orang  tua  berhak  sepenuhnya  menentukan  calon  pasangan  bagi  anakanaknya terutama anak perempuannya.
Dalam  hal  memilihkan  pasangan  hidup  ini,  masih  kita  jumpai  pemaksaan  kehendak  orang  tua  atas  anak  gadisnya.  Bahkan  t idak  jarang orang tua memaksakan kehendak dengan semena-mena terhadap anaknya  dengan alasan kasih sayang dan demi kebaikan anaknya.
Hal  itu  terjadi,  apakah  karena  masih  banyak  pemahaman  di  kalangan orang tua bahwa anak adalah hak milik  bagi mereka.  Orang tua  berhak  sepenuhnya  untuk  menentukan  kehidupan  sang  anak,  termasuk  menentukan  calon  suami  yang  hendak  menjadi  pasangan  hidup  bagi  si  anak  gadis  untuk  sepanjang  umurnya.  Oleh  sebab  itu,  jika  seorang  anak  gadis menolak calon suami pilihan orang tua, seorang ayah merasa berhak  memaksakan  kehendaknya  tanpa  mempertimbangkan  persetujuan  calon  mempelai.  Padahal  telah  diatur  dalam  Kompilasi  Hukum  Islam  pasal  16  yang menyatakan bahwa: “ Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon  mempelai ”.
Hal  ini didasarkan pada pemahaman ajaran agama  mengenai  hak ijbār  yang  dimiliki  oleh  orang  tua  yaitu  ayah  atau  kakek  selaku  wali mujbir.  Bagi  orang  yang  kehilangan  kemampuannya  seperti  gila,  anakanak  yang  masih  belum  mencapai  usia  tamyiz,  boleh  dilakukan  wali  mujbir  atas  dirinya  sebagaimana  dengan  orang-orang  yang  kurang  kemampuannya seperti orang  yang akalnya  belum  sempurna tetapi sudah  berusia tamyiz (abnormal).
Yang dimaksud berlakunya wali mujbir yaitu  seorang  wali  berhak  mengakadnikahkan  orang  yang  diwakilkan  diantara  golongan  tersebut  tanpa  menanyakan  pendapat  mereka  terlebih  dahulu.
Akadnya  berlaku  juga  bagi  orang  yang  diwakilkan  tanpa  melihat  ridha  atau tidaknya.
Seorang  perempuan  yang  masih  perawan  yang  akan  dinikahkan  cukup dimintai izinnya. Sebagai salah satu bentuk persetujuan izin tersebut  adalah  diam.  Tetapi,  ayah  dan  kakek  memiliki  hak  istimewa  untuk  memaksa  menentukan pilihan pasangan  hidupnya.  Hak ijbar oleh banyak  orang  dipahami  sebagai  hak  bagi  wali  (ayah  atau  kakek)  untuk  menjodohkan  anak  atau  cucu  perempuan.  Ulama  berbeda  pendapat  mengenai boleh dan tidaknya seorang ayah atau kakek  menikahkan anak  /  cucu gadisnya yang sudah dewasa tanpa izinnya.
Ulama  Hanafiyah berpendapat bahwa seorang ayah yang bertindak  sebagai wali tidak diperkenankan  menikahkan anak gadisnya  yang sudah  dewasa  tanpa  sepengetahuan  atau  izinnnya.  Dan  juga  tidak  boleh  memaksanya, karena pemaksaan hanya  berlaku bagi anak kecil, orang gila  laki-laki / perempuan walaupun dewasa.
1Sayid Sabiq, Fiqhu al-Sunnah,  Fiqih Sunnah,  Terj. Nor Hasanuddin, dkk., Jakarta Pusat:  Pena Pundi Aksara, 2007, Cetakan ke-II, hlm. 18.
Ibid.
1Imam  Kamaludin  Muhammad  bin  Abdul  Wahid Ibnu  Al-Hammam  Al-Hanafi,  Fathul  Qadīr, Juz III, Libanon: Beirut, Dar al-Kutub al-Alamiyah, hlm. 251.
Menurut ulama  Malikiyah, paksaan dapat diberlakukan pada gadis  dewasa dan janda kecil (belum dewasa).
1Al-Imam al-Syafi’i dalam kitabnya al-Umm, mengatakan bahwa :  “  janda yang masih kecil tidak boleh dinikahkan kecuali dengan izinnya,  dan  tidak  boleh  menikahkan  perawan  /  gadis  kecuali  dengan  izinnya  pula,  tidak  boleh  menikahkan  gadis  kecil  kecuali  ayah  atau  kakeknya  setelah  kematian  ayahnya  “  .
1Hal  ini  didasarkan  pada  hadis  Nabi  SAW  yang  berbunyi: 1Artinya:  “  Telah  menceritakan  kepada  kami  Qutaibah  bin  Sa'id,  Telah  menceritakan  kepada  kami  Malik  bin  Anas  dari  Abdillah  bin  Fadhol dari Nafi' bin Jubair bin Mu'thim dari  ibnu Abbas bahwa  sesungguhnya  Rasulullah  S.A.W  telah  bersabda:  Janda-janda  itu  lebih  berhak  atas  dirinya  daripada  walinya,  sedang  gadis  itu  dimintai  pendapat  tentang  dirinya,  dan  persetujuannya  adalah  diamnya ”.
Tetapi  pendapat  ini  berbeda  dengan  pendapat  para  muridnya  dan  ulama  Syafi’iyah  yang lain. Al-Imam al-Mawardi mengatakan: “ gadis itu  1Abul  Walid  Muhammad  bin  Ahmad  bin  Muhammad  Ibnu  Rusyd,  Alih  Bahasa  Imam  Ghazali  Said,  Bidāyatul  Mujtahīd  wa  Nihāyatul  Muqtashīd,  Jakarta:  Pustaka  Amani,  Cet  ke-II, hlm. 404.
1Imam  Abi  Abdillah  bin  Muhammad  bin  Idris  Al-Syafi’i,  Al-Umm,  Juz  VIII,  Libanon:  Beirut, Dar al-Fikr, hlm. 265.
1Al-Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Surah al-  Salmi (209-279  H  ),  Sunan alTirmidzi,  Juz  II,  Naskah  ditahqiq  oleh  Ahmad  Muhammad  Syakir  dan  Kawan-kawan,  Libanon:  Beirut,  Dar al-Kitab  al-Alamiyah,  Hadis  1108, hlm.  416.,  Muslim  al-Qusyayri,  Abu  Al-Husayn  Muslim  bin al-Hajaj  al-Naisabury  (  206-261  H  ),  Sahih Muslim,  Juz  I,  Libanon:  Beirut,  Dar alFikr,  Cet.ke-I,  hlm.  650.,  Abu  Daud  Sulayman  bin  al-Asy’ats  al-Sijistani  al-Azdi  (202-275  H),  Sunan Abu Daud, Naskah ini ditahqiq oleh Muhammad Muhy al -Din Abd al-Hamid, Beirut: Dar  al-Fikr, hlm. 232., Al-Nasa'i, Sunan al-Nasā'i, Beirut: Dar al-Fikr, Juz 5, hlm. 84.
boleh  dipaksa  menikah  oleh  sebagian  walinya  (ayah  /  kakek)  baik  itu  masih kecil, dewasa, berakal atau gila “.
1Menurut  al-Imam  al-Ramli  boleh  bagi  ayah  menikahkan  gadis  yang masih kecil dan dewasa (baik berakal atau gila) tanpa izinnya dengan  mahar mitsil tunai (berlaku umum) di negaranya.
1Sedangkan  al-Imam  al-Syirazi  juga  berpendapat  sama  dengan  alImam al-Mawardi dan  al-Imam al-Ramli sebagaimana dalam kitabnya  alMuhazzab:  Artinya:  “  Seorang  ayah  atau  kakek  boleh  menikahkan  gadisnya  tanpa  ridhanya baik gadis itu masih kecil atau dewasa ”.
Dalam kitabnya al-Tanbīh ia juga menyatakan: Artinya:  “  Apabila wanita itu merdeka dan mengaku sekufu, maka wajib  bagi wali untuk menikahkannya, apabila wanita itu masih gadis  maka boleh bagi ayah atau  kakek menikahkannya dengan tanpa  persetujuannya ” .
Jika  melihat  problematika  diatas  maka  nampak  sekali  perbedaan  pendapat  antara  mazhab  satu  dengan  yang  lain.  Perbedaan  pendapat  1Abi  Hasan  Ali  bin  Muhammad  bin  Habib  al-Mawardi,  al-Hāwī  al-Kabīr,  Juz  IX,  Libanon: Beirut, Dar al-Kutub al-Alamiyah, hlm. 69.
1Imam  Syamsuddin  al-Ramli,  Nihāyatul  Muhtāj  ila  as-Syarhi  al-  Minhāj,  Libanon:  Beirut, Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1996, hlm. 228-229.
1Abi Ishaq Ibrahim bin Ali bin Yusuf Al-Syirazi,  Al-Muhazzab,  Juz II, Beirut: Dar alKutub al-Alamiyah, hlm. 429.
1Al-Imam al-Syirazi, Al-Tanbīh, Beirut: Dar al-Kitab al-Alamiyah, hlm. 222.
tersebut tentunya tidak terlepas dari keumuman  hadis  dan juga illat hukum  yang menjadi akar munculnya perbedaan pendapat itu sendiri.
Perbedaan pendapat tersebut tidak hanya antar mazhab saja, tetapi  terjadi  antar  ulama  syafi’iyah,  yaitu  antara  al-Imam  al-Syafi’i  sendiri  dengan  murid-muridnya. Mayoritas  ulama  Syafi’iyah  berpendapat bahwa  seorang  ayah  atau  kakek  selaku  wali  memang  boleh  menikahkan  gadis  dewasa  tanpa  izinnya,  hanya  saja  mereka  berbeda  dalam  hal  istinbat  hukumnya. Salah satunya adalah al-Imam al-Syirazi .



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi