Kamis, 28 Agustus 2014

Skripsi Syariah: ANALISIS PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG DIPERBOLEHKANNYA SEORANG PEREMPUAN MENJADI WAKIL TALAK

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang.
Perkawinan  adalah  ikatan  lahir  batin  antara  seorang  pria  dengan  seorang  wanita  sebagai  suami  istri  dengan  tujuan  membentuk  keluarga  (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha  Esa.  Ikatan  dalam  syari’at  Islam  merupakan  suatu  perjanjian  yang  sangat  kuat.  Karena  itu  Allah  SWT  menetapkan  aturan  untuk  melangsungkannya  maupun untuk menjamin kelestariannya.

Berkaitan  dengan  ikatan  perkawinan  ini,  Allah  menyebutkan  dalam  surat an-Nisa’ ayat 21: Artinya  :“bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian  kamu  telah  bergaul  (bercampur)  dengan  yang  lain  sebagai  suami-istri.  dan  mereka  (isteri-isterimu)  telah  mengambil  dari  kamu perjanjian yang kuat”. (An-Nisa‟: 21)  Dan  karenanya,  setiap  upaya  untuk  meremehkan  ikatan  suci  ini  ataupun memperlemahkannya, apalagi memutuskannya adalah sangat dibenci  dalam agama. Sekalipun perkawinan merupakan ikatan yang sangat kuat serta  setiap  pasangan  perkawinan  membulatkan  tekadnya  untuk  mencapai  tujuan  disyari’atkannya  nikah,  namun  adakalanya  niatan  untuk  membangun  rumah   Yayasan  Penyelenggara  Penterjemah/Penafsir  al-Qur’an,  Al-qur‟an  dan  terjemahnya, Jakarta: Depag RI, 1971, hlm. 120   tangga  yang  harmonis  (sakinah,  mawaddah,  rahmah)  tidak  semua  dapat  terlaksana dengan mulus. Sering kali tujuan perkawinan tidak dapat  tercapai  sebab  sikap  kemanusiaan  masing-masing  yang  saling  berbenturan.  Oleh  karena itu harus ada jalan keluar untuk mengatasi hal ini, Talak disyari’atkan  untuk mengatasi permasalahan ini.
Talak  adalah  hak  yang  sepenuhnya  ada  ditangan  suami  setelah  pernikahan  berlangsung.  Seorang  laki-laki  setelah  melakukan  akad  nikah  mempunyai  hak  talak  tiga  terhadap  isterinya,  tetapi  tidak  demikian  halnya  bagi  isteri.  Dalam  penerapannya  talak  dianggap  sah  apabila  dijatuhkan  dengan  keadaan  yang  sadar  oleh  suami  yang  sehat  akalnya  dan  baligh.
Dengan  mengucapkan  lafadz  talak  (seperti  Thallaqtuki)  maka  seketika  itu  telah  putus  ikatan  perkawinan  antara  suami  dengan  isteri  tersebut  dengan  jatuh talak satu.
Hak untuk menjatuhkan talak melekat pada orang yang menikahinya.
Apabila hak menikahi orang perempuan untuk dijadikan sebagai isteri, maka  yang  berhak  menjatuhkan  talak  adalah  orang  laki-laki  yang  menikahinya.
 Dalam surat Al-Ahzab ayat 49 dijelaskan: Artinya  :“hai  orang-orang  yang  beriman,  apabila  kamu  menikahi  perempuan-perempuan  yang  beriman,  kemudian  kamu  ceraikan  mereka  sebelum  kamu  mencampurinya  maka  sekali-sekali  tidak  wajib  atas  mereka  „iddah  bagimu  yang  kamu  minta  menyempurnakannya.  Maka  berilah  mereka  mut‟ah  dan  lepaskanlah  mereka  itu  dengan  cara  sebaik-baiknya.”(Q.S.  Alahzab: 49)  Seperti  keterangan  di  atas,  talak  merupakan  hak  laki-laki  sebagai seorang  suami.  Oleh  karena  itu  ia  berhak  mentalak  isterinya  sendiri  secara  langsung  atau  mewakilkannya  kepada  orang  lain.  Talak  yang  diwakilkan  suami  kepada  orang  lain  tidak  dapat  menggugurkan  hak  suami  dan  merintanginya untuk ia gunakan sewaktu-waktu dikehendakinya.
Menurut  hukum  positif  Indonesia,  kuasa  hukum  laki-laki  dan  perempuan  berada  dalam  status  yang  sama  tanpa  mempersoalkan  apakah  perempuan  tersebut  bersuami  atau  tidak.  Sebagai  pihak  yang  bertindak  atas  nama  dan  untuk  kepentingan  pemberi  kuasa,  penerima  kuasa  tidak  boleh  melakukan  sesuatu  perbuatan  yang  melampaui  kewenangannya.  Pemberian  kuasa bukanlah perbuatan bersegi dua melainkan perbuatan bersegi satu atau  perjanjian sepihak, sehingga pemberi kuasa dapat menarik kuasanya kembali  sewaktu-waktu tanpa persetujuan penerima kuasa.
 Menyikapi  hal  perwakilan/pemberian  kuasa  dalam  melaksanakan  perbuatan hukum, ada ketentuan larangan pemberian kuasa disebabkan tidak  cakapnya  atau  dianggap  kurang  cakap  melakukan  perwakilan  disebabkan  dilarangnya  melakukan  perbuatan  hukum  itu  sendiri  baginya.  Sebagaimana   Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir al-Qur’an , op, cit, hlm. 675.
 A.  Rahmad  Rosyadi,  Advokat  dalam  Persepektif  Islam  dan  Hukum  Positif, Jakarta:Ghalia Indonesia, 2003, hlm. 80   seorang  perempuan  tidak  boleh  mewakili  menikahkan  seseorang  baik  ijab  ataupun qobul dikarenakan dia dilarang dan  tidak berhak melakukan itu pada  dirinya sendiri. Sebagaimana keterangan hadist, artinya  :  “diriwayatkan  dari  Abu  Hurayrah  berkata  Rasulullah  bersabda  :  seorang perempuan tdak boleh menikahkah perempuan lain; dan  juga seorang perempuan tidak boleh menikahkan dirinya sendiri.
karena  hanya  perempuan  berzinalah  yang  menikahkan  dirinya  sendiri”. (HR. Ibnu Majah)  Sependapat  dengan  keterangan  di  atas  al-Syarbini  menganggap  seorang  perempuan yang diberi kuasa dalam akad nikah hukumnya tidak sah,  baik dalam  ijab  maupun  qabul. Bahkan  ia  menambahkan dengan keterangan  tidak sahnya menjadikan wakil seorang perempuan dalam masalah ruju.
 Madzhab  Malikiyah  mengatakan  suami  yang  memberikan  kuasa  kepada  seseorang untuk menjatuhkan talak kepada istrinya itu diperbolehkan,  baik wakil itu adalah istrinya sendiri ataupun orang lain.
 Madzhab  Hanafiyah  yang  mengartikan  tawkil  dalam  talak  adalah  pemberian kuasa dari seorang suami  kepada orang  lain untuk bertindak atas  nama dia dalam menjatuhkan talak kepada istrinya. Pelimpahan kuasa itu bisa   al-Hafidz Abi Abdillah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Majah , Juz I, Beirut: Dar alFikr,tt hlm. 606.
 Syamsuddin al-Syarbini,  Mugniy al-Mukhtaj, Juz III,  Beirut: Darl Kutub al-Ilmiyah,  tt,  hlm. 233.
 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islam  wa Adillatuhu, Juz IX, Damaskus: Dar al -Fikr, 1996.
hal. 6938.
 diberikan kepada istrinya sendiri atau  orang lain.
 Namun pelimpahan kuasa  itu  tidak  dapat  diberikan  kepada  perempuan  selain  istrinya  sendiri,  karena  perempuan hanya dapat menjatuhkan talak pada dirinya sendiri bukan kepada  orang  lain.  Maka  dengan  ini  perempuan  tidak  dapat  menjadi  kuasa  sebagai  wakil yang melaksanakan sesuatu untuk orang  lain, melainkan dia hanya bisa  menjatuhkan talak hanya untuk dirinya sendiri.
Madzhab  Hanabilah  mengatakan  bahwa  siapa  yang  dianggap  sah  talaknya,  maka  sah  pula  mewakilkannya  kepada  orang  lain.  Adapun  jika  suami  itu  memilih  perempuan  untuk  diberi  kuasa  untuk  bertindak  sebagai  wakil  dalam  menjatuhkan  talak,  pemberian  kuasa  dianggap  sah.
 Dengan  adanya pendapat seperti ini maka talak yang dijatuhkan sah baik  dijatuhkan  kepada orang lain begitu juga dijatuhkan untuk dirinya sendiri.
Madzhab Syafi’iyah memberikan keterangan syarat wakil yang diberi  kuasa.  Sebagaimana  disyaratkan  untuk  orang  yang  memberikan  kuasa  yaitu  dengan melihat sisi dimana ia berhak melakukan untuk dirinya sendiri sesuatu  yang ingin ia wakilkan  kepada orang lain. Syarat itu juga berlaku pada wakil  yang diberikan kuasa yaitu  dia termasuk orang yang berhak melakukan untuk  dirinya sendiri sesuatu yang ingin diwakilkan kepadanya dari orang lain.
 Adapun  Ibnu  Qudamah  dalam  kitab  al-Mughni  berpendapat  bahwa  ketika  seorang  laki-laki  mewakilkan  talaknya  kepada  seorang  perempuan  maka  sah  perwakilnya,  karena  sesungguhnya  seorang  perempuan  itu  sah  Abdurrahman al-Jaziri,  Kitabu  al-Fiqhu  ala al-Madhahibul al-Arba‟,  Juz IV, Libanon:  Darl Kutub al-Ilmiyah, 2003, hal. 287.
 Wahbah Zuhali, op, cit, hal. 6958.
 Abdurrahman al-Jaziri, op, cit, hal. 132.
 menjadi  wakil  dalam  memerdekakan  budak,  maka  sah  pula  seorang perempuan menjadi wakil dalam hal talak seperti talaknya seorang laki-laki.
 Dengan adanya pendapat seperti  ini  maka seorang perempuan dianggap  sah  dalam menjadi wakil untuk menjatuhkan talak.
Bertolak  dari  keterangan  di  atas,  penulis  mencoba  menganalisa  dan  meneliti  dalam  bentuk  skripsi  tentang  “Pendapat  Ibnu  Qudamah  Tentang  Diperbolehkannya Seorang Perempuan Menjadi Wakil Talak”.
B.  Rumusan Masalah.
Berdasarkan  uraian  di  atas,  maka  dapat  penulis  rumuskan  beberapa  pokok  permasalahan  yang  akan  dikaji  dalam  skripsi  ini.  Pokok-pokok  permasalahan  tersebut  dapat  dirumuskan  dalam  bentuk  pertanyaanpertanyaan sebagai berikut : 1.  Bagaimana  pendapat  Ibnu  Qudamah  tentang  diperbolehkannya  seorang  perempuan menjadi wakil talak ? 2.  Apa  landasan  hukum  Ibnu  Qudamah  tentang  diperbolehkannya  seorang  perempuan menjadi wakil talak  ? C.  Tujuan Penelitian.
Tujuan penulisan skripsi ini adalah : 1.  Untuk  memahami  pendapat  Ibnu  Qudamah  tentang  diperbolehkannya  seorang perempuan menjadi wakil talak.
 Abi Muhammad Abdullah bin Ahmad bin Mahmud bin Qudamah, al-Mughni. Juz VIII,  Libanon: Darl kitab al-Arabi, tt, hal. 246.
 2.  Untuk  menjelaskan  landasan  hukum  yang  digunakan  Ibnu  Qudamah  tentang diperbolehkannya seorang perempuan menjadi wakil talak.
D.  Telaah Pustaka.
Sebelum Membahas lebih lanjut mengenai “Pendapat Ibnu Qudamah  Tentang  Diperbolehkannya  Seorang  Perempuan  Menjadi  Wakil  Talak”,  penulis akan menelaah beberapa buku, kitab dan literatur lain yang berkaitan  untuk  dijadikan  sebagai  referensi,  sumber,  acuan,  dan  perbandingan  dalam  penulisan skripsi ini. Sehingga akan terlihat letak perbedaan antara skripsi ini  dengan penelitian atau karya ilmiah yang ada.
Beberapa  hasil  penelitian  maupun  karya  ilmiah  yang  berhubungan  dengan  wakil  talak  dan  juga  menjadi  bagian  penting  dalam  penelitian  ini,  diantaranya adalah: 1.  Nur  Fathoni  (2103207) dengan judul  “Larangan Ikrar Talak Oleh Kuasa  Hukum  Perempuan  (Study  Kasus  Ikrar  Talak  Oleh  Kuasa  Hukum  Perempuan  Di  PA  Salatiga)”.  Fakultas  Syari’ah  IAIN  Walisongo  Semarang tahun 2009. Dalam skripsi ini seorang kuasa hukum perempuan  tidak  diperbolehkan  untuk  menjadi  wakil  dalam  ikrar  talak  dikarenakan  kurang cakapnya dalam melakukan perwakilan.
2.  Ismail  (2100159)  dengan  judul  “Penyelesaian  Perkara  di  Pengadilan  Agama (Studi Analisis Perkara Nomor 571/Pdt. G/2003/PA. SM Tentang  Tidak  Diterimanya  Pemohon  Cerai  Talak  Yang  Mewakilkan  Pada  Kuasanya)”.  Fakultas  Syari’ah  IAIN  Walisongo  Semarang  tahun  2004.    Dalam  skripsi  ini  tidak  diterimanya  permohonan  cerai  talak  yang  diwakilkan  kepada  kuasa  hukumnya  dikarenakan  hakim  menggunakan  dasar hukum pasal 130 HIR jo. pasal 82 ayat (1) dan (2) undang-undang  Nomor 7 tahun1989 tentang  Peradilan Agama.  Sedangkan, pertimbangan  hukum  yang  digunakan  oleh  majelis  hakim  dalam  perkara  ini  adalah:  bahwa  hakim  telah  memerintahkan  kuasa  hukum  pemohon  untuk  menghadirkan  pemohon  secara  in  person  hingga  tiga  kali  persidangan guna untuk upaya perdamaian, namun kuasa hukum pemohon tidak dapat  menghadirkannya.  Sehingga  mejelis  hakim  menilai,  bahwa  pemohon  materiil  tidak  bersungguh-sungguh  dalam  berperkara  dan  terkesan  mengabaikan majelis hakim.
3.  Nur  Amaliyah  (2199028)  dengan  judul  “Analisis  Pendapat  Ibnu  Hazm  Tentang  Mewakilkan  Talak”.  Fakultas  Syari’ah  IAIN  Walisongo  Semarang tahun 2004. Dalam skripsi ini Ibnu Hazm berpendapat bahwa  mewakilkan talak adalah tidak boleh dan tidak sah. karena tidak adannya  nash  yang  menjelaskan  tentang  memperbolehkannya  mewakilkan  talak,  maka tidak bisa seseorang merubah hukum Allah Adapun kaitannya dengan penelitian yang penulis bahas adalah samasama  membahas  tentang  wakil  talak,  akan  tetapi  dari  beberapa  penelitian  diatas  menunjukan  bahwa  penelitian  terdahulu  tidak  memperbolehkan  seorang  perempuan  menjadi  wakil  talak.  Berbeda  dengan  penelitian  yang  sedang  penulis  bahas  saat  ini  yang  memperbolehkan  seorang  perempuan  menjadi  wakil  talak.  Dalam  hal  ini  penulis  akan  menganalisa  pendapatnya   Ibnu Qudamah tentang diperbolehkannya  seorang perempuan menjadi wakil  talak.
E.  Metode Penulisan.
Agar  dalam  penulisan  skripsi  ini  memenuhi  kriteria  sebagai  karya  ilmiah  serta  mengarah  kepada  obyek  kajian  dan  sesuai  dengan  tujuan  yang  dimaksud, maka penulis menggunakan metode, antara lain : 1.  Jenis penelitian.
Jenis penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah penelitian  kepustakaan  (library  research)  .  Jenis  penelitian  ini  bertujuan  untuk  mengumpulkan  data  dan  informasi  tentang  wakil  talak  dengan  bantuan  bermacam-macam  materi  yang  terdapat  di  perpustakaan,  seperti;  bukubuku, majalah, jurnal, catatan, kisah-kisah sejarah dan lain-lainya.
 2.  Metode pendekatan.
Jenis  pendekatan  ini  adalah  pendekatan  hukum  normatif  yaitu  pendekatan  hukum  yang  dilakukan  dengan  cara  meneliti  bahan  pustaka  atau  data  sekunder  belaka.
 Atau  disebut  juga  penelitian  hukum  kepustakaan  yaitu  suatu  penelitian  kepustakaan  dengan  cara  mengumpulkan  data  dan  informasi  dengan  bantuan  macam-macam  material  yang  terdapat  di  ruang  kepustakaan  untuk  dikaji.  Seperti  buku- Masyhuri  dan M. Zainuddin,  Metodologi Penelitian,  Bandung:  Refika Aditama,  2008, hlm.50.
 Mardalis,  Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal,  Jakarta:  Bumi Aksara,  1999, hlm. 28.
 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,  Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan  Singkat, Jakarta: CV. Rajawali, 1985, hal. 15.
 buku,  majalah,  Koran,  naskah,  catatan,  dokumen,  dan  lain-lain.  Disini  penulis  akan  menganalisa  dengan  menggunakan  pendekatan  hukum  normatif  sebagai  upaya  untuk  memberikan  gagasan-gagasan  baru  dalam  menyikapi permasalahan yang ada diatas.
3.  Sumber data.
Sumber  data  dalam  penelitian  ini  sesuai  dengan  jenis  penggolongannya  ke  dalam  penelitian  perpustakaan  (library  research),  maka  sudah  dapat  dipastikan  bahwa  data-data  yang  dibutuhkan  adalah  dokumen, yang berupa data-data yang diperoleh dari perpustakaan melalui  penelusuran  terhadap  buku-buku  literatur,  baik  yang  bersifat  primer  ataupun yang bersifat sekunder.
a.  Data primer.
Sumber  data  primer  adalah  data  otentik  atau  data  langsung  dari  tangan  pertama  tentang  masalah  yang  di  ungkapkan.  Secara  sederhana  data  ini  disebut  juga  data  asli.
 Sumber  primer  dalam  penelitian  ini  adalah  kitab  Al-Mughni  karangan  Abi  Muhammad  Abdullah Bin Ahmad Bin Mahmud Bin Qudamah    dan  Fiqh al-Islam  wa Adillatuhu karangan Wahbah Zuhaili.
b.  Data sekunder.
Sumber data sekunder adalah data yang mengutip dari sumber  lain sehingga tidak bersifat otentik karena sudah diperoleh dari sumber   Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 2006, hlm.107.
 Saifuddin  Azwar,  Metode  Penelitian,  Yogyakarta:  Pustaka  Pelajar,  1998,  cet  II,  hlm. 91.    kedua atau ketiga.
 Sumber data sekunder dari penelitian ini diperoleh  dari  kitab-kitab  fiqih  klasik  maupun  kontemporer,  dan  juga  beberapa  literatur dan sumber-sumber lain yang memiliki relevansi dengan topik  yang sedang penulis bahas.
Sumber  data  sekunder  dalam  penelitian  ini  adalah  seperti  bukunya  Amir  Syarifuddin,  Hukum  Perkawinan  Islam  Di  Indonesia, kitab al-Fiqhu „ala al-Madzahib al Arba‟ah  karangan Abdurrahman al  jaziri dan kitab Fiqh Sunnah. karangan Sayyid Sabiq.
4.  Teknik Pengumpulan Data.
Jenis  penelitian  yang  digunakan  adalah  penelitian  kepustakaan  (library research)  maka teknik pengumpulan data yang digunakan adalah  secara dokumentatif  .
 Teknik ini dilakukan dengan cara mengumpulkan  data-data dari berbagai sumber yang telah ditentukan, baik sumber primer  maupun  sumber  sekunder,  yaitu  dengan  cara  menghimpun  beberapa  pendapat para ulama fiqih mengenai  wakil talak.  Hal  ini peneliti lakukan  dengan  cara  menelusuri  literatur-literatur  yang  ada  baik  yang  berbahasa  Arab maupun terjemahan dalam bahasa Indonesia.
5.  Teknik Analisis Data.
Berangkat dari studi  yang bersifat literatur ini, maka sumber data skripsi  disandarkan  pada  riset  kepustakaan.  Demikian  pula  untuk   Ibid.
 Suharsimi Arikunto, op, cit, hlm 206.
 Menghasilkan  kesimpulan  yang  benar-benar  valid,  maka  data  yang  terkumpul dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analitis.
 Di  sini  penulis  menganalisis  pendapat  ibnu  qudamah  tentang  diperbolehkannya  seorang  perempuan  menjadi  wakil  talak,  dimana  nantinya  penulis  akan  mendapatkan  beberapa  penegasan  dari  pendapat  para  ulama  fiqih  tentang  wakil  talak  perempuan,  yang  diharapkan  bisa memunculkan sebuah gagasan baru terkait wakil talak perempuan.



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi