BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Persoalan shalat
merupakan persoalan fundamental
dan signifikan dalam Islam. Dalam penetapan waktu shalat ditemukan bahwa teks-teks yang dijadikan landasan
bersifat interpretatif. Sebagai
implikasinya muncul perbedaan
dalam menetapkan awal
waktu shalat. Kelompok
pertama berpandangan bahwa
awal waktu shalat ada tiga.
Sementara itu, kelompok kedua menyebutkan bahwa awal waktu shalat ada lima.
Pendapat
pertama banyak diterima
oleh golongan Syiah.
Sedangkan mayoritas muslim
di Indonesia, lebih
memegangi pendapat yang
kedua, berdasarkan pemahaman
terhadap ayat-ayat sebagai berikut “Maka sabarlah kamu atas apa yang mereka
katakan, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu,
sebelum terbit matahari
dan sebelum terbenamnya
dan bertasbih pulalah pada
waktu-waktu di malam hari dan pada waktu-waktu di siang hari, supaya kamu merasa senang, (QS. Thaha: 130) Menurut
Muhammad Jawad Muqniyyah,
dalam kitab At-Tafsir
al-Kasif, 15: sebagaimana yang
dikutip oleh Susiknan Azhari, Awal Waktu Salat Perspektif Syar’I dan Sains,
bisa diakses di www.ilmufalak.or.id Departemen
Agama Republik Indonesia,
Al Qur’an dan
Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara dan Penterjemah Tafsir Al Qur‟an, Jakarta: Bulan Bintang, 1997, hlm. 492 Artinya: Dirikanlah shalat dari sesudah
matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah
pula shalat) Subuh.
Sesungguhnya shalat Subuh
itu disaksikan (oleh malaikat). (QS. Al-Isra‟: 78 ”Dan
dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang)
dan pada
bahagian permulaan daripada
malam. Sesungguhnya perbuatanperbuatan yang
baik itu menghapuskan
(dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk.
Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat. (QS. Al Hud: 114) “Maka bertasbihlah
kepada Allah diwaktu
kamu berada dipetang
hari dan waktu kamu berada diwaktu Subuh. Dan
bagi-Nyalah segala puji di langit dan bumi
dan diwaktu kamu berada pada petang hari dan diwaktu kamu berada diwaktu Dzuhur. (QS. Ar Rum: 17-18) Didukung oleh hadis Nabi yang diriwayatkan
oleh Jabir bin Abdullah r.a Ibid, hlm.
Ibid, hlm. 344- Ibid, hlm. 643 Dari Jabir bin Abdullah r.a berkata telah
datang kepada Nabi SAW. Jibril a.s lalu berkata
kepadanya bangunlah, lalu
bersembahyanglah kemudian Nabi salat Dzuhur
dikala matahari tergelincir. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu
Ashar lalu berkata,
bangunlah lalu
sembahyanglah, kemudian Nabi salat
Ashar di kala
bayang-bayang sesuatu sama
dengannya. Kemudian ia datang
lagi kepadanya di waktu Maghrib lalu berkata bangunlah , kemudian Nabi
shalat Maghrib dikala
matahari terbenam. Kemudian
datang lagi kepadanya
di waktu Isya‟ lalu
berkata : bangunlah
dan salatlah kemudian Nabi salat
Isya‟ dikala mega merah telah
terbenam. Kemudian ia datang lagi kepadanya di waktu fajar lalu berkata : bangun
dan salatlah, kemudian Nabi shalat fajar
di kala fajar menyingsing, atau ia berkata: di waktu fajar besinar.
Kemudian ia
datang pula esok
harinya pada waktu
Dzuhur kemudian ia berkata
padanya bangunlah lalu shalatlah kemudian Nabi salat Dzuhur
dikala bayang-bayang suatu
sama dengannya. Kemudian
datang lagi kepadanya
di waktu Ashar
dan ia berkata : bangunlah dan shalatlah kemudian Nabi shalat Ashar
dikala bayang-bayang matahari
dua kali sesuatu
itu. Kemudian ia datang lagi
kepadanya di waktu
Maghrib dalam waktu
yang sama, tidak bergeser
dari waktu yang sudah. Kemudian ia
datang lagi di waktu Isya‟ di kala
telah lalu separo
malam, atau ia
berkata telah hilang
sepertiga malam, kemudian Nabi shalat Isya‟. Kemudian ia datang lagi kepadanya di kala telah bercahaya
benar dan ia
berkata bangunlah lalu
shalatlah, kemudian Nabi shalat
fajar, kemudian Jibril berkata saat
dua waktu itu adalah waktu shalat.
(HR. Imam Ahmad, Nasai dan
Thirmidzi) Berdasarkan pemahaman
terhadap ayat-ayat Al-qur‟an maupun
Hadis tersebut, ketentuan
waktu-waktu shalat dapat
dirincikan sebagai berikut:
(1) Dzuhur, Waktu
Dzuhur dimulai sejak
matahari tergelincir, yaitu
sesaat setelah matahari mencapai titik kulminasi dalam peredaran hariannya, sampai tiba waktu Muhammad Bin
Ali Bin Muhammad
Asy-Syaukani , Nailul Authar, Beirut-Libanon : Dal al-Kitab, jilid I,, hlm Program Hadis Kutubus Sittah, kitab abwab
as-shalat, no 001 Ashar, (2) Ashar, waktu
Ashar dimulai saat panjang
bayang-bayang suatu benda sama dengan
bendanya ditambah dengan
panjang bayang-bayang saat
matahari berkulminasi sampai
tibanya waktu Maghrib,
(3) Maghrib, waktu
Maghrib dimulai sejak matahari
terbenam sampai tiba
waktu Isya, (4)
Isya, waktu Isya dimulai sejak
hilang mega merah
sampai separuh malam
(ada juga yang menyatakan akhir
salat Isya adalah
terbit fajar), dan
(5) Subuh, waktu
Subuh dimulai sejak terbit fajar sampai terbit matahari.
Secara syar‟i, dalam
menunaikan kelima waktu
shalat tersebut, kaum muslimin
terikat pada waktu-waktu
yang sudah ditentukan
sebagaimana Firman Allah dalam surat An Nisa‟ (4): 103, yaitu: “Maka
apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri,
di waktu duduk
dan di waktu
berbaring. Kemudian apabila
kamu telah merasa
aman, Maka dirikanlah
shalat itu (sebagaimana
biasa).
Sesungguhnya shalat itu adalah
fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang
yang beriman. (QS. An Nisa‟: 103) Dari ayat ini, Az Zamakhsyariy berkomentar
bahwa seseorang tidak boleh mengakhirkan waktu
dan mendahulukan waktu
shalat seenaknya baik
dalam keadaan aman
atau takut.
Penggunaan
lafaz “Kaanat” menujukkan
keMudawamah-an (continuitas) suatu
perkara, maksudnya ketetapan
waktu shalat Ibid, hlm.
Lihat Az Zamakhsyariy, Tafsir Al Khasyaf,
Beirut: Daar Al Fikr, 1997, juz I, hlm. 240 tak
akan berubah sebagaimana
dikatakan oleh Al
Husain bin Abu
Al „Izz Al Hamadaniy.
Dalam
Tafsir Ibnu Katsir
dijelaskan bahwa, Firman
Allah Ta‟ala “Sesungguhnya
shalat itu merupakan
kewajiban yang ditentukan
waktunya bagi kaum
mukmin” yakni difardhukan
dan ditentukan waktunya
seperti ibadah haji.
Maksudnya, jika
waktu shalat pertama
habis maka shalat
yang kedua tidak
lagi sebagai waktu
shalat pertama, namun
ia milik waktu
shalat berikutnya. Oleh karena
itu, orang yang kehabisan waktu suatu shalat, kemudian melaksanakannya diwaktu lain, maka sesungguhnya dia telah melakukan dosa besar. Pendapat lain mengatakan
“silih berganti jika
yang satu tenggelam,
maka yang lain
muncul” artinya jika suatu waktu
berlalu, maka muncul waktu yang lain.
Sedangkan dalam Tafsir Manaar mengungkap, sesungguhnya shalat itu telah
diatur waktunya oleh
Allah SWT. اًباتك berarti
wajib mua'kkad yang
telah ditetapkan waktunya
dilauhil mahfudz. berarti
sudah ditentukan batasanbatasan waktunya.
Dari beberapa tafsiran di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa konsekuensi logis dari ayat tersebut adalah shalat tidak
bisa dilakukan dalam sembarang waktu, melainkan harus
mengikuti atau berdasarkan
dalil-dalil baik dari
Al-Qur‟an maupun Al-Hadis.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi