Rabu, 27 Agustus 2014

Skripsi Syariah: ANALISIS PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG MAHAR MITSILBAGI ISTRI YANG DITINGGAL MATI SUAMINYA QOBLA DUKHUL

BAB I .
PENDAHULUAN .
A.  Latar Belakang Masalah.
“Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku semua  makhluknya”.
 Hidup berpasang-pasangan, berjodoh-jodohan adalah  naluri  segala makhluk termasuk manusia. Oleh karena itu semua makhluk Tuhan  baik  hewan,  tumbuh-tumbuhan  dan  manusia  dalam  kehidupannya  ada  perkawinan.

 Firman Allah SWT dalam Q.S. Adz-Dzariyaat ayat 49 :  Artinya  :  "Dan  segala  sesuatu  kami  ciptakan  berpasang-pasangan agar  kamu mengingat kebesaran Allah."(Q.S. Adz-Dzariyaat : 49)  Dari  mahkluk  yang  diciptakan  berpasang-pasangan  inilah  Allah  SWT menciptakan manusia menjadi berkembang biak dari generasi satu ke  generasi berikutnya. Keturunan merupakan hal yang penting dalam rangka  pembentukan umat Islam yaitu umat yang menjauhkan diri dari perbuatanperbuatan  maksiat  yang  dilarang  agama,  dan  mengamalkan  syari’at  Islam  dengan  memupuk  rasa  kasih  sayang  di  dalam  sesama  anggota  keluarga,  yang dalam ruang lingkup yang luas, juga akan menimbulkan kedamaian di  dalam masyarakat yang didasarkan pada rasa cinta kasih terhadap sesama.
  Sayyid  Sabiq,  Fiqih  Sunnah  2, Terj.  Nor  Hasanuddin,  Cet.  I.  Jakarta:  Pena  Pundi  Aksara, 2006, hlm. 478.
 Djamaan Nur,Fiqih Munakahat, Semarang : CV. Toha Putra, 1993, hlm. 5.
 Departemen Agama RI,  Al-Qur’an dan Terjemahnya,Jakarta : CV. Atlas, 1998, hlm.
862.
 Jadi  aturan  perkawinan  menurut  Islam  merupakan  tuntutan  agama  yang perlu mendapat perhatian, sehingga kedudukan hukum perkawinan ini  oleh  Islam  dipandang  sangat  penting.  Oleh  karena  itu,  masalah-masalah  mengenai  perkawinan  diatur  dan  diterangkan  dengan  jelas  dan  terperinci  dalam syari’at Islam.
Salah satu keistimewaan Islam ialah memperhatikan dan menghargai  kedudukan wanita, yaitu dengan memberikan hak untuk memegang urusan  dan  memiliki  sesuatu. Di  zaman jahiliyah,  hak  perempuan itu  dihilangkan  dan  disia-siakan,  sehingga  walinya  dengan  semena-mena  dapat  menggunakan hartanya dan tidak memberikan kesempatan untuk mengurus  hartanya serta menggunakannya.
 Setelah  itu,  Islam  datang  dengan  menghilangkan  belenggu  ini,  kemudian  istri  diberikan  hak  mahar (maskawin),  dan  kepada  suami  diwajibkan memberikan maharkepada istrinya, bukan kepada ayahnya atau  siapapun  walaupun  sangat  dekat  dengannya.  Dan  orang lain   tidak  boleh  untuk  menjamah  apalagi  menggunakan  harta  bendanya  walaupun  sedikit,  meskipun  oleh  suaminya  sendiri,  kecuali  dengan  mendapatkan  ridho  dan  kerelaan si istri.
 Mahar atau  maskawin   adalah  nama  bagi  harta  yang  diberikan  kepada  perempuan  karena  terjadinya  akad  perkawinan.  Mahar ditetapkan  sebagai kewajiban suami kepada istrinya, sebagai tanda keseriusan laki-laki  untuk menikahi dan mencintai perempuan, sebagai penghormatan terhadap   Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 40.
 Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat “ Seri Buku Daras”, Jakarta: Prenada Media,  2003, hlm. 84-85.
 kemanusiaannya,  dan  sebagai  lambang  ketulusan  hati  untuk  mempergaulinya secara ma’ruf.
 Al-Qur’an menyebutkan :  Artinya: "Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi)  sebagai  pemberian  dengan  penuh  kerelaan.  Kemudian  jika  mereka  menyerahkan  kepada  kamu  sebagian  dari  maskawin  itu  dengan  senang  hati,  Maka  makanlah  (ambillah)  pemberian  itu  (sebagai  makanan)  yang  sedap  lagi  baik  akibatnya". (Q.S.  AnNisa’ (4) : 4)  Dan firman Allah :  Artinya:  "Kaum  laki-laki  itu  adalah  pemimpin  bagi  kaum  wanita,  oleh  karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas  sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah  menafkahkan  sebagian  dari  harta  mereka....."  (Q.S.  An-Nisa’:  34)  Maksud ayat  di  atas jelaslah  bahwa  mahar adalah  pemberian   pria  kepada  wanita  sebagai  pemberian  wajib,  bukan  sebagai  pemberian  atau  ganti rugi. Dalam pada itu  maharadalah untuk memperkuat hubungan dan  menumbuhkan  tali  kasih  sayang  dan  saling  cinta-mencintai  antara  kedua  suami isteri.
 Islam  telah  mengangkat  derajat  kaum  wanita,  karena  mahar itu  diberikan sebagai suatu tanda penghormatan kepadanya. Bahkan andaikata   Husein Muhammad,  Fiqih Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama danGender,  Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2001, hlm. 108-109.
 Departemen Agama RI,op. cit., hlm. 115.
 Ibid, hlm.123.
 Djamaan Nur, op. cit., hlm. 83.
 perkawinan itu berakhir dengan perceraian maskawin  atau  maharitu tetap  merupakan  hak  milik  istri  dan  suami  tidak  berhak  mengambil  kembali  kecuali dalam kasus khuluk dimana perceraian itu terjadi karena permintaan  istri,  maka  dia  harus  mengembalikan  semua  mahar yang  telah  dibayarkan  kepadanya.
 Dengan  demikian,  mahar merupakan  hak  istri  yang  diterima  dari  suaminya,  pihak  suami  memberinya  dengan  suka  rela  tanpa  mengharap  imbalan  sebagai  pernyataan  kasih  sayang  dan  tanggung  jawab  suami  atas  kesejahteraan keluarganya.
 Apabila mahar telah diberikan oleh suaminya kepada istrinya dalam bentuk  apapun,  maka  mahar tersebut  beralih  menjadi  milik  istri  secara  individual.
  Penyerahan  mahar dilakukan  secara  tunai.  Namun  apabila  calon mempelai wanita menyetujui penyerahan  maharboleh ditangguhkan  baik untuk seluruhnya atau sebagian. Karena  maharyang belum ditunaikan  penyerahannya  menjadi  utang  calon  mempelai  pria.
 Undang-undang  perkawinan tidak mengatur mengenai  mahar. Hal ini karena  maharbukan  merupakan rukun dalam perkawinan.
Mahar merupakan  salah  satu  syarat  adanya  perkawinan  dalam  Islam,  mahar adalah  hukumnya  wajib  bagi  laki-laki,   akan  tetapi  tidak    Abdur  Rahman  I.  Doi,  Perkawinan  Dalam  Syariat  Islam,  Jakarta:  PT  Rineka  Cipta,  1992, hlm. 64.
 Peunoh Daly,  Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan  Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam,Jakarta: PT Bulan Bintang, 1988, hlm. 219.
 Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005, hlm. 55.
 Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2003, hlm.
104.
 Muhammad Tholib, Manajemen Keluarga Sakinah, Yogyakarta: Pro-U, 2007, hlm. 90.
 menjadi  rukun  dalam  nikah,  keadaan  ini  mengandung  arti  bahwa  apabila  jika di dalam akad nikah tidak disebutkan jumlah dan bentuk  mahar, maka  penikahan  tersebut  tetap  sah.
  Akan  tetapi  pada  galibnya  yang  terjadi  di  tengah-tengah  masyarakat,  masalah  mahar tetap  disebutkan  pada  waktu  akad  nikah  menurut  ukuran  yang  pantas.  Selain  itu,  masalah  mahar dapat  juga  disebutkan  setelah  berlangsungnya  akad  nikah,  jadi  tidak  harus  pada  akad nikah saja.
Tidak  ada  ketentuan  hukum  yang  disepakati  ulama  tentang  batas  maksimal  mahar,  demikian  juga  batas  minimalnya.
  Hal  ini  disebabkan  adanya  tingkatan  kemampuan  manusia  yang  berbeda-beda  dalam  memberinya.  Disamping  itu,  harus  disertai  pula  dengan  kerelaan  dan  persetujuan  masing-masing  pihak  yang  akan  menikah  untuk  menetapkan  jumlahnya. Dalam beberapa hadis justru dikatakan bahwa sebaiknya jumlah  maskawin tidak terlalu besar. Nabi SAW mengatakan:  نإ  ﻨﻟا ﻢﻈﻋأ ﺮﺑ حﺎ ﺔﻧﺆﻣ ﻩﺮﺴﻳأ ) ﲪأ ﻪﺟﺮﺧأ (  Artinya: “Keberkatan  paling  agung  dari  suatu  pernikahan  adalah  maskawin  atau  mahar  yang  mudah  atau  ringan  untuk  diberikan". (HR. Ahmad).
 Sebaliknya  pemberian  maskawin  secara  berlebihan  justru  dilarang.
Hal ini dimaksudkan agar tidak menimbulkan kesulitan bagi pemuda untuk  melangsungkan  pernikahannya.  Mempersulit  perkawinan bisa  melahirkan    Abul  A’ala   Al-Maududi, Pedoman  Perkawinan  Dalam  Islam,  Jakarta:  Darul  Ulum  Press, 1987, hlm. 19.
 Sudarsono,op. cit., hlm.55.
 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz 2, Semarang: Usaha Keluarga, 1990, hlm. 14.
 Ahmad,  Al-Musnad, Juz VI, Beirut: Darul Kitab Al-Alamiyah, 1993, hlm. 82.
 implikasi-implikasi  yang  buruk  atau  bahkan  merusak  secara  personal  maupun sosial.
Apabila  akad  nikah  berlangsung  tidak  disebutkan  berapakah  maskawin  atau  mahar yang  diberikan,  maka  perkawinan  itu  tetap  sah,  maharitu tetap wajib dibayar, dan di sebut mahar mitsil.
 Mahar itu  boleh  saja  dibayarkan  tunai  atau  sebagian  tunai  atau  dibayar  sebagian  kelak.  Tentang  hal  ini  diserahkan  bagaimana  kebiasaan  (tradisi)  di  dalam  masyarakat.
  Akan  tetapi  apabila  suami  belum  menyerahkan  mahar,  istri  mempunyai  hak  untuk  menolak  berhubungan  suami-istri,  sampai  dipenuhinya  mahar tersebut.  Demikian  juga  apabila  terjadi  perceraian  sebelum  dukhul suami wajib membayar setengah  mahar yang telah ditentukan dalam akad pernikahan. Hal ini berdasarkan firman  Allah:  Artinya: "Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu  bercampur  dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan  maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu  tentukan  itu,  kecuali  jika  isteri-isterimu  itu  mema'afkan  atau  dima'afkan  oleh  orang  yang  memegang  ikatan  nikah,  dan  pema'afan  kamu  itu  lebih  dekat  kepada  takwa.  dan  janganlah  kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah   Mahar  Mitsil yaitu  mahar  yang  tidak  disebutkan  besar  kadarnya  pada  saat  sebelum  ataupun ketika terjadi pernikahan. Lihat Abd. Rahman Ghazaly. Op. cit., hlm. 93.
  Departemen  Agama,  Ilmu  Fiqih,  Jakarta:  Proyek  Pembinaan  Prasarana  dan  sarana  Perguruan Tinggi Agama, 1984, hlm. 114.
 Maha  melihat  segala  apa  yang  kamu  kerjakan". (Q.S.  AlBaqarah: 237)  Apabila perceraian terjadi sebelum berhubungan (qobla dukhul) dan  besarnya  mahar belum  ditentukan,  maka  suami  wajib  membayar  mahar mitsil.
 Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 35 ayat 3 disebutkan  bahwa  apabila  perceraian  terjadi  qobla  dukhul tetapi  besarnya  belum  di  tetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.
Tetapi kalau menurut Imam Malik apabila suami meninggal sebelum  terjadinya hubungan biologis  (qobla  dukhul), maka tidak  wajib  membayar  mahar,  tetapi  istri  mendapatkan  warisan  saja.  Berikut  di jelaskan  dalam  kitab Al-Mudawwanah Al-Kubra: Artinya  :   “Bagaimanakah  apabila  seorang  laki-laki  menikahi  seorang  perempuan  dan  belum  memberikan  mahar  ?  Ibnu  Rusyd  berkata: Nikah tersebut diperbolehkan menurut Imam  Malik,  dan  adapun  maharnya  bisa  diberikan  ba’da  dukhul  (setelah  melakukan hubungan badan), dan apabila wanita tersebut di  talak  sebelum  ada  kesepakatan  terkait  dengan  mahar, maka  istri  tersebut  adalah  mendapatkan  mut’ah,  apabila  suami  meninggal dunia sebelum ada kesepakatan mahar, makaistri   Departemen Agama RI,op. cit., hlm. 58.
 Ahmad Rofiq, loc. cit., hlm.105.
  Imam  Sakhnun  bin  Said  Al-Attanukhi,  Al-Mudawwanah  Al-Kubro,   Juz  2,  Beirut  libanon: Darul Kitabul Alamiyah, 1994, hlm. 164.
 tidak  mendapatkan  mut’ah,  dan  juga  tidak  mendapatkan  mahar tetapi istri ini mendapatkan warisan”.
Menurut  Syarah  dalam  kitab  Al-Mudawwanah  Al-Kubra  di  atas  dapat dijelaskan bahwa apabila suami istri menikah dan  maharnya belum  ditentukan,  maka  nikah  tersebut  diperbolehkan  menurut  Imam  Malik,  dan  maharnya  bisa  diberikan  setelah  melakukan  hubungan  suami istri  (ba’da  dukhul), apabila suami istri ini sudah melakukan hubunganbadan kemudian  suami  mentalaknya,  maka  istri  tidak  mendapatkan  mahar tetapi  mendapatkan  mut’ah.
 Dan apabila suami meninggal sebelum melakukan  hubungan  badan  (qobla  dukhul)  dengan  istrinya  dan  maharnya  belum  disepakati   maka  istri  tidak  mendapatkan  mahar dan  tidak  mendapatkan  mut’ah, tetapi istri mendapatkan warisan. Sebagaimana dalam hadis:  Artinya  :  “Sebagian  Ahli  Ilmu  dari  sahabat  Nabi  SAW  berkata:  diantara  mereka adalah Ali bin Abi Tholib, Zaid bin Tsabit,  Ibnu Abbas  dan  Ibnu  Umar  “Apabila  seorang  laki-laki  menikahi  seorang  perempuan dan belum terjadi hubungan badan (qobla dukhul),  dan  maharnya  belum  ditentukan,  sehingga  suami  meninggal   Mut’ah adalah suatu pemberian dari suami kepada isrtinya sewaktu dia menceraikan.
Pemberian  ini  di  wajibkan  atas  laki-laki  apabila  percerian  itu  terjadi  karena  kehendak  suami.
Tetapi  kalau  perceraian  itu  kehendak  si  istri,  pemberian  itu  tidak  wajib.  Lihat  Sulaiman  Rasjid,  Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1994, hlm. 397.
 Sunan At-Tirmidzi, Al-Jami’ Ash-Shahih,Juz 3, Bairut Libanan, Darul Fikr, 1994, hlm.
43.
 dunia,  mereka  berkata:  si  istri   berhak  mendapatkan warisan  dan  tidak  berhak  mendapatkan  mahar  dan  istri  wajib  beriddah”. (HR. At-Tirmidzi)  Berbeda  dengan  pendapatnya   Imam  Abu  Hanifah,  Imam  Syafi’i,  Imam Ahmad bin Hambal, mengatakan bahwa manakala salah satu diantara  mereka meninggal dunia sebelum terjadinya percampuran, maka ditetapkan  bahwa si istri berhak atas mahar  mitsilsecara penuh sebagaimana ketentuan  yang berlaku bila suami telah mencampuri istrinya.
 Bertolak  dari  perbedaan  pendapat  di  atas,  penulis  tertarik  untuk  membahas lebih lanjut tentang tidak wajibnya membayar mahar mitsilbagi  istri yang ditinggal mati suaminya  qobla dukhul. Selanjutnya penulis akan  membahas lebih spesifik tentang alasan dan metode istinbath hukum yang  digunakan oleh Imam Malik mengenai permasalahan tersebut.
Oleh karena itu melihat dari latar belakang permasalahan yang ada,  maka penulis akan memaparkan ke dalam skripsi ini yang berjudul  “ANALISIS  PENDAPAT  IMAM  MALIK  TENTANG  MAHAR  MITSIL BAGI  ISTRI  YANG  DITINGGAL  MATI  SUAMINYA  QOBLA DUKHUL”.



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi