BAB I .
PENDAHULUAN .
A. Latar Belakang Masalah.
“Perkawinan merupakan salah satu
sunnatullah yang berlaku semua makhluknya”.
Hidup berpasang-pasangan, berjodoh-jodohan
adalah naluri segala makhluk termasuk manusia. Oleh karena
itu semua makhluk Tuhan baik hewan,
tumbuh-tumbuhan dan manusia
dalam kehidupannya ada perkawinan.
Firman Allah SWT dalam Q.S. Adz-Dzariyaat ayat
49 : Artinya :
"Dan segala sesuatu
kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat kebesaran Allah."(Q.S.
Adz-Dzariyaat : 49) Dari mahkluk
yang diciptakan berpasang-pasangan inilah
Allah SWT menciptakan manusia
menjadi berkembang biak dari generasi satu ke generasi berikutnya. Keturunan merupakan hal
yang penting dalam rangka pembentukan
umat Islam yaitu umat yang menjauhkan diri dari perbuatanperbuatan maksiat
yang dilarang agama,
dan mengamalkan syari’at
Islam dengan memupuk
rasa kasih sayang
di dalam sesama
anggota keluarga, yang dalam ruang lingkup yang luas, juga akan
menimbulkan kedamaian di dalam
masyarakat yang didasarkan pada rasa cinta kasih terhadap sesama.
Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunnah
2, Terj. Nor Hasanuddin,
Cet. I. Jakarta:
Pena Pundi Aksara, 2006, hlm. 478.
Djamaan Nur,Fiqih Munakahat, Semarang : CV.
Toha Putra, 1993, hlm. 5.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,Jakarta : CV.
Atlas, 1998, hlm.
862.
Jadi
aturan perkawinan menurut
Islam merupakan tuntutan
agama yang perlu mendapat
perhatian, sehingga kedudukan hukum perkawinan ini oleh
Islam dipandang sangat
penting. Oleh karena
itu, masalah-masalah mengenai
perkawinan diatur dan
diterangkan dengan jelas
dan terperinci dalam syari’at Islam.
Salah satu keistimewaan Islam
ialah memperhatikan dan menghargai kedudukan
wanita, yaitu dengan memberikan hak untuk memegang urusan dan
memiliki sesuatu. Di zaman jahiliyah, hak
perempuan itu dihilangkan dan
disia-siakan, sehingga walinya
dengan semena-mena dapat menggunakan
hartanya dan tidak memberikan kesempatan untuk mengurus hartanya serta menggunakannya.
Setelah
itu, Islam datang
dengan menghilangkan belenggu
ini, kemudian istri
diberikan hak mahar (maskawin), dan
kepada suami diwajibkan memberikan maharkepada istrinya,
bukan kepada ayahnya atau siapapun walaupun
sangat dekat dengannya.
Dan orang lain tidak
boleh untuk menjamah
apalagi menggunakan harta
bendanya walaupun sedikit, meskipun
oleh suaminya sendiri,
kecuali dengan mendapatkan
ridho dan kerelaan si istri.
Mahar atau
maskawin adalah nama
bagi harta yang
diberikan kepada perempuan
karena terjadinya akad
perkawinan. Mahar ditetapkan sebagai kewajiban suami kepada istrinya,
sebagai tanda keseriusan laki-laki untuk
menikahi dan mencintai perempuan, sebagai penghormatan terhadap Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 40.
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqih Munakahat “ Seri
Buku Daras”, Jakarta: Prenada Media, 2003,
hlm. 84-85.
kemanusiaannya, dan
sebagai lambang ketulusan
hati untuk mempergaulinya secara ma’ruf.
Al-Qur’an menyebutkan : Artinya: "Berikanlah maskawin (mahar)
kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian
dengan penuh kerelaan.
Kemudian jika mereka
menyerahkan kepada kamu
sebagian dari maskawin
itu dengan senang
hati, Maka makanlah
(ambillah) pemberian itu (sebagai makanan)
yang sedap lagi
baik akibatnya". (Q.S. AnNisa’ (4) : 4) Dan firman Allah : Artinya:
"Kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi
kaum wanita, oleh karena
Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian
dari harta mereka....." (Q.S.
An-Nisa’: 34) Maksud ayat
di atas jelaslah bahwa
mahar adalah pemberian pria kepada wanita
sebagai pemberian wajib,
bukan sebagai pemberian
atau ganti rugi. Dalam pada
itu maharadalah untuk memperkuat
hubungan dan menumbuhkan tali
kasih sayang dan
saling cinta-mencintai antara
kedua suami isteri.
Islam
telah mengangkat derajat
kaum wanita, karena
mahar itu diberikan sebagai suatu
tanda penghormatan kepadanya. Bahkan andaikata Husein Muhammad, Fiqih Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana
Agama danGender, Yogyakarta: LKiS
Yogyakarta, 2001, hlm. 108-109.
Departemen Agama RI,op. cit., hlm. 115.
Ibid, hlm.123.
Djamaan Nur, op. cit., hlm. 83.
perkawinan itu berakhir dengan perceraian
maskawin atau maharitu tetap merupakan
hak milik istri
dan suami tidak
berhak mengambil kembali kecuali dalam kasus khuluk dimana perceraian
itu terjadi karena permintaan istri, maka
dia harus mengembalikan
semua mahar yang telah
dibayarkan kepadanya.
Dengan
demikian, mahar merupakan hak
istri yang diterima
dari suaminya, pihak
suami memberinya dengan
suka rela tanpa
mengharap imbalan sebagai
pernyataan kasih sayang
dan tanggung jawab
suami atas kesejahteraan keluarganya.
Apabila mahar telah diberikan oleh suaminya
kepada istrinya dalam bentuk
apapun, maka mahar tersebut beralih
menjadi milik istri
secara individual.
Penyerahan
mahar dilakukan secara tunai.
Namun apabila calon mempelai wanita menyetujui
penyerahan maharboleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian.
Karena maharyang belum ditunaikan penyerahannya
menjadi utang calon
mempelai pria.
Undang-undang perkawinan tidak mengatur mengenai mahar. Hal ini karena maharbukan merupakan rukun dalam perkawinan.
Mahar merupakan salah
satu syarat adanya
perkawinan dalam Islam, mahar
adalah hukumnya wajib
bagi laki-laki, akan
tetapi tidak Abdur
Rahman I. Doi,
Perkawinan Dalam Syariat
Islam, Jakarta: PT
Rineka Cipta, 1992, hlm. 64.
Peunoh Daly,
Hukum Perkawinan Islam Suatu Studi Perbandingan Dalam Kalangan Ahlus-Sunnah dan Negara-Negara Islam,Jakarta:
PT Bulan Bintang, 1988, hlm. 219.
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Jakarta:
PT Rineka Cipta, 2005, hlm. 55.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2003, hlm.
104.
Muhammad Tholib, Manajemen Keluarga Sakinah,
Yogyakarta: Pro-U, 2007, hlm. 90.
menjadi
rukun dalam nikah,
keadaan ini mengandung
arti bahwa apabila jika di dalam akad nikah tidak disebutkan
jumlah dan bentuk mahar, maka penikahan
tersebut tetap sah.
Akan
tetapi pada galibnya
yang terjadi di tengah-tengah masyarakat,
masalah mahar tetap disebutkan
pada waktu akad
nikah menurut ukuran
yang pantas. Selain
itu, masalah mahar dapat juga
disebutkan setelah berlangsungnya akad
nikah, jadi tidak
harus pada akad nikah saja.
Tidak ada
ketentuan hukum yang
disepakati ulama tentang
batas maksimal mahar,
demikian juga batas
minimalnya.
Hal
ini disebabkan adanya
tingkatan kemampuan manusia
yang berbeda-beda dalam memberinya. Disamping
itu, harus disertai
pula dengan kerelaan
dan persetujuan masing-masing
pihak yang akan
menikah untuk menetapkan jumlahnya. Dalam beberapa hadis justru
dikatakan bahwa sebaiknya jumlah maskawin
tidak terlalu besar. Nabi SAW mengatakan: نإ ﻨﻟا
ﻢﻈﻋأ ﻜ ﺮﺑ حﺎ
ﻛ ﺔﻧﺆﻣ ﻩﺮﺴﻳأ
ﺔ ) ﺪﲪأ
ﻪﺟﺮﺧأ ( Artinya: “Keberkatan paling
agung dari suatu
pernikahan adalah maskawin
atau mahar yang
mudah atau ringan
untuk diberikan". (HR.
Ahmad).
Sebaliknya
pemberian maskawin secara
berlebihan justru dilarang.
Hal ini dimaksudkan agar tidak
menimbulkan kesulitan bagi pemuda untuk melangsungkan pernikahannya. Mempersulit
perkawinan bisa melahirkan Abul
A’ala Al-Maududi, Pedoman Perkawinan
Dalam Islam, Jakarta:
Darul Ulum Press, 1987, hlm. 19.
Sudarsono,op. cit., hlm.55.
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz 2,
Semarang: Usaha Keluarga, 1990, hlm. 14.
Ahmad,
Al-Musnad, Juz VI, Beirut: Darul Kitab Al-Alamiyah, 1993, hlm. 82.
implikasi-implikasi yang
buruk atau bahkan
merusak secara personal maupun sosial.
Apabila akad
nikah berlangsung tidak
disebutkan berapakah maskawin
atau mahar yang diberikan,
maka perkawinan itu
tetap sah, maharitu tetap wajib dibayar, dan di sebut
mahar mitsil.
Mahar itu
boleh saja dibayarkan
tunai atau sebagian
tunai atau dibayar
sebagian kelak. Tentang
hal ini diserahkan
bagaimana kebiasaan (tradisi)
di dalam masyarakat.
Akan
tetapi apabila suami
belum menyerahkan mahar,
istri mempunyai hak
untuk menolak berhubungan suami-istri,
sampai dipenuhinya mahar tersebut. Demikian
juga apabila terjadi
perceraian sebelum dukhul suami wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad
pernikahan. Hal ini berdasarkan firman Allah:
Artinya: "Jika kamu menceraikan
isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah
menentukan maharnya, Maka bayarlah
seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu,
kecuali jika isteri-isterimu itu
mema'afkan atau dima'afkan
oleh orang yang
memegang ikatan nikah,
dan pema'afan kamu
itu lebih dekat
kepada takwa. dan
janganlah kamu melupakan
keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Mahar
Mitsil yaitu mahar yang
tidak disebutkan besar
kadarnya pada saat
sebelum ataupun ketika terjadi
pernikahan. Lihat Abd. Rahman Ghazaly. Op. cit., hlm. 93.
Departemen
Agama, Ilmu Fiqih,
Jakarta: Proyek Pembinaan
Prasarana dan sarana Perguruan Tinggi Agama, 1984, hlm. 114.
Maha
melihat segala apa
yang kamu kerjakan". (Q.S. AlBaqarah: 237) Apabila perceraian terjadi sebelum
berhubungan (qobla dukhul) dan besarnya mahar belum
ditentukan, maka suami
wajib membayar mahar mitsil.
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 35
ayat 3 disebutkan bahwa apabila
perceraian terjadi qobla
dukhul tetapi besarnya belum
di tetapkan, maka suami wajib
membayar mahar mitsil.
Tetapi kalau menurut Imam Malik
apabila suami meninggal sebelum terjadinya
hubungan biologis (qobla dukhul), maka tidak wajib
membayar mahar, tetapi
istri mendapatkan warisan
saja. Berikut di jelaskan
dalam kitab Al-Mudawwanah
Al-Kubra: Artinya : “Bagaimanakah apabila
seorang laki-laki menikahi
seorang perempuan dan
belum memberikan mahar
? Ibnu Rusyd berkata:
Nikah tersebut diperbolehkan menurut Imam
Malik, dan adapun
maharnya bisa diberikan
ba’da dukhul (setelah melakukan hubungan badan), dan apabila wanita
tersebut di talak sebelum
ada kesepakatan terkait
dengan mahar, maka istri
tersebut adalah mendapatkan
mut’ah, apabila suami meninggal
dunia sebelum ada kesepakatan mahar, makaistri Departemen Agama RI,op. cit., hlm. 58.
Ahmad Rofiq, loc. cit., hlm.105.
Imam
Sakhnun bin Said
Al-Attanukhi, Al-Mudawwanah Al-Kubro,
Juz 2, Beirut libanon: Darul Kitabul Alamiyah, 1994, hlm.
164.
tidak
mendapatkan mut’ah, dan
juga tidak mendapatkan mahar tetapi istri ini mendapatkan warisan”.
Menurut Syarah
dalam kitab Al-Mudawwanah
Al-Kubra di atas dapat
dijelaskan bahwa apabila suami istri menikah dan maharnya belum ditentukan,
maka nikah tersebut
diperbolehkan menurut Imam
Malik, dan maharnya
bisa diberikan setelah
melakukan hubungan suami istri
(ba’da dukhul), apabila suami
istri ini sudah melakukan hubunganbadan kemudian suami
mentalaknya, maka istri
tidak mendapatkan mahar tetapi mendapatkan
mut’ah.
Dan apabila suami meninggal sebelum melakukan hubungan
badan (qobla dukhul)
dengan istrinya dan
maharnya belum disepakati
maka istri tidak
mendapatkan mahar dan tidak
mendapatkan mut’ah, tetapi istri
mendapatkan warisan. Sebagaimana dalam hadis: Artinya
: “Sebagian Ahli
Ilmu dari sahabat
Nabi SAW berkata:
diantara mereka adalah Ali bin
Abi Tholib, Zaid bin Tsabit, Ibnu Abbas dan
Ibnu Umar “Apabila
seorang laki-laki menikahi
seorang perempuan dan belum
terjadi hubungan badan (qobla dukhul), dan maharnya
belum ditentukan, sehingga
suami meninggal Mut’ah adalah suatu pemberian dari suami
kepada isrtinya sewaktu dia menceraikan.
Pemberian ini
di wajibkan atas
laki-laki apabila percerian
itu terjadi karena
kehendak suami.
Tetapi kalau
perceraian itu kehendak
si istri, pemberian
itu tidak wajib.
Lihat Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algensindo,
1994, hlm. 397.
Sunan At-Tirmidzi, Al-Jami’ Ash-Shahih,Juz 3,
Bairut Libanan, Darul Fikr, 1994, hlm.
43.
dunia,
mereka berkata: si
istri berhak mendapatkan warisan dan
tidak berhak mendapatkan
mahar dan istri
wajib beriddah”. (HR.
At-Tirmidzi) Berbeda dengan
pendapatnya Imam Abu
Hanifah, Imam Syafi’i, Imam Ahmad bin Hambal, mengatakan bahwa
manakala salah satu diantara mereka
meninggal dunia sebelum terjadinya percampuran, maka ditetapkan bahwa si istri berhak atas mahar mitsilsecara penuh sebagaimana ketentuan yang berlaku bila suami telah mencampuri
istrinya.
Bertolak
dari perbedaan pendapat
di atas, penulis
tertarik untuk membahas lebih lanjut tentang tidak wajibnya
membayar mahar mitsilbagi istri yang
ditinggal mati suaminya qobla dukhul.
Selanjutnya penulis akan membahas lebih
spesifik tentang alasan dan metode istinbath hukum yang digunakan oleh Imam Malik mengenai
permasalahan tersebut.
Oleh karena itu melihat dari
latar belakang permasalahan yang ada, maka
penulis akan memaparkan ke dalam skripsi ini yang berjudul “ANALISIS
PENDAPAT IMAM MALIK
TENTANG MAHAR MITSIL BAGI
ISTRI YANG DITINGGAL
MATI SUAMINYA QOBLA DUKHUL”.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi