Rabu, 27 Agustus 2014

Skripsi Syariah: ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG WAKTU PENYERAHAN BARANG PADA AKAD ISTISHNA’ DAN APLIKASINYA DALAM PERBANKAN SYARIAH

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang Permasalahan.
Imam Abu Hanifah adalah salah seorang ulama‟ atau faqih yang cukup besar  dan  luas  pengaruhnya  dalam  pemikiran  hukum  Islam.  Sebagaimana  diceritakan  oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Abu Hanifah adalah seorang faqih dan ulama  yang  lebih  banyak  menggunakan  ra‟yu  atau  setidak-tidaknya  lebih  cenderung  rasional.  Pemikiran  Abu  Hanifah  banyak  pengaruhnya  dan  berkembang  di  berbagai kawasan negeri Islam, seperti Irak, Syam dan sekitarnya serta tersebar di  Mesir dan daerah-daerah lainnya.

 Di Indonesia tokoh Imam Abu Hanifah juga populer di masyarakat. Namun,  kepopuleran  itu  hanya  sebatas  ketokohannya  saja.  Sedangkan  pemikiran  Abu  Hanifah mengenai hukum Islam kurang populer. Hal ini karena di Indonesia corak  fiqhnya  memang  cenderung  ke  Syafi‟iyyah.  Oleh  karena  itu,  perlu  adanya  pengkajian  terhadap  pemikiran  tokoh-tokoh  fiqh  selain  Syafi‟iyyah  khususnya  pemikiran Abu Hanifah  agar dapat memperkaya khasanah keilmuan hukum Islam  di Indonesia.
 Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999. Cet. 1, hlm. 19   Salah  satu  pemikiran  Abu  Hanifah  yang  luar  biasa  adalah  tentang  akad  Istishna‟. Sebagaimana kita ketahui bahwa akad  istishna‟  adalah salah satu bentuk  muamalah yang sering diaplikasikan oleh masyarakat umum. Istishna‟  merupakan  akad  ghairu  musamma  yang  banyak  dipraktekkan  oleh  masyarakat.  Dalam  kenyataannya,  akad  istishna‟  menjadi  solusi  yang  sangat  relevan  untuk  menyelesaikan  pemasalahan  ekonomi.  Banyak  di  antara  masyarakat  yang  menginginkan  atau  membutuhkan  suatu  barang,  namun  beberapa  orang  merasa  kesulitan  disebabkan  tidak  adanya  modal  yang  cukup  untuk  mendapatkannya.
Akad istishna‟ tampil sebagai solusi dari pemasalahan ini.
Menurut Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqh Sunnah,   “Istishna‟ artinya, membeli sesuatu yang dibuat sesuai dengan pesanan.”  Dalam  fatwa  DSN-MUI,  dijelaskan  bahwa  jual  beli  istishna‟  adalah  akad  jual beli dalam  bentuk  pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan  persyaratan  tertentu  yang  disepakati  antara  pemesan  (pembeli,  mustashni‟)  dan  penjual  (pembuat,  shani‟).  Pada  dasarnya,  pembiayaan  istishna‟  merupakan  transaksi  jual  beli  cicilan  pula  seperti  transaksi  murabahah  muajjal.  Namun,  berbeda  dengan  jual  beli  murabahah  di  mana  barang  diserahkan  di  muka  sedangkan  uangnya  dibayar  secara  cicilan,  dalam  jual  beli  istishna‟  barang   Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, juz. 4, Jakarta: PT. Pena Pundi Aksara, 2009, hlm.  69.
 diserahkan  di  belakang,  walaupun  uangnya  juga  sama-sama  dibayar  secara  cicilan.
 Tim  Pengembangan  Perbankan  Syariah  Institut  Bankir  Indonesia mendefinisikan Istishna‟, merupakan  akad  antara pemesan dengan pembuat untuk  suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan, atau jual beli suatu  barang yang akan  dibuat  oleh  pembuat.  Kewajiban  pembuat  adalah   menyediakan  bahan  baku  dari  barang  pesanan  tersebut.  Tapi  jika  bahan  baku  dari  pemesan,  akad  itu  berubah  menjadi upah biasa (ujrah).
 Dalam aplikasinya, bank melakukan istishna‟ paralel, yaitu bank (penerima  pesanan /  shani‟) menerima pesanan barang dari nasabah (pemesan /  mustashni‟),  kemudian bank (pemesan /  mustashni‟) memesankan permintaan barang nasabah  kepada  produsen  penjual  (shani‟)  dengan  pembayaran  di  muka,  dicicil  atau  dibayar di belakang, dengan waktu penyerahan barang yang disepakati bersama.
 Dari pengertian di atas dapat kita ketahui bahwa  istishna‟  adalah salah satu  produk  jual  beli  yang  dikembangkan  oleh  perbankan  syariah.  Sebagai  lembaga  intermediasi  antara  nasabah  yang  membutuhkan  suatu  barang  sementara  ia  tidak  mempunyai  uang  yang  cukup  untuk  memenuhinya  dengan  segera,  bank  menawarkan  solusi  dengan  jual  beli  istishna‟  ini.  Di  mana  nasabah  bisa  mendapatkan barang tersebut dan membayarnya dengan cara kontan, dicicil atau   Adiwarman  A.  Karim,  Bank  Islam;  Analisis  Fiqh  dan  Keuangan,  Eds.  3,  Jakarta:  PT  Raja  Grafindo Persada, 2007, hlm. 1  Tim  Pengembangan  Perbankan  Syariah  Institut  Bankir  Indonesia,  Bank  Syariah;  Produk  dan  Implementasi Operasional, Jakarta: Djambatan, 2001, hlm. 67   Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008. hlm. 99   di  bayar  di  belakang.  Kemudahan  yang  diberikan  oleh  bank  ini  bukan  tidak  mungkin  akan  membuat  jual  beli  istishna‟  semakin  berkembang  di  masa  yang  akan datang. Oleh karena itu pengkajian terhadap  istishna‟  memiliki nilai penting  untuk  perkembangan  produk-produk  perbankan  syariah  selanjutnya  sekaligus  sebagai  rujukan  praktek  jual  beli  istishna‟  yang  baik  agar  sesuai  dengan  perkembangan zaman.
Sebagai  bentuk   jual  beli  pesanan,  istishna‟  mirip  dengan   salam.  Namun,  ada perbedaan diantara keduanya. Dalam akad  salam, waktu penyerahan tertentu  merupakan  bagian  yang  penting,  namun  dalam  akad  istishna‟  tidak  merupakan  keharusan.
 Meskipun  waktu  penyerahan  tidak  harus  ditentukan  dalam  akad  istishna‟,  pembeli dapat menetapkan waktu penyerahan maksimum, yang berarti bahwa jika  perusahaan terlambat memenuhinya, pembeli tidak terikat untuk menerima barang  dan membayar harganya. Namun demikian, harga dalam  istishna‟  dapat dikaitkan  dengan  waktu  penyerahan.  Jadi  boleh  disepakati  bahwa  apabila  terjadi  keterlambatan  penyerahan,  harga  dapat  dipotong  sejumlah  tertentu  perhari  keterlambatan.
 Menurut  Imam  Abu  Hanifah  Secara  bahasa  istishna‟  berarti  thalab  ashShun‟i  (minta  dibuatkan).  Sedangkan  menurut  istilah    syara‟,  istishna‟  berarti   Ibid. hlm.
 Ibid. hlm. 99   meminta untuk dibuatkan suatu barang tertentu dengan syarat-syarat tertentu untuk  diserahkan pada masa yang akan datang.
 Abu  Hanifah  mensyaratkan  dalam  akad  istishna‟  yaitu  tidak  perlu  menentukan  waktu  penyerahan  barang.  Apabila  waktu  ini  ditentukan  maka  akad  ini  akan  berubah  menjadi  akad  salam.
 Pendapat  Abu  Hanifah  ini  bertolak  belakang  dengan  realita  praktek  jual  beli  istishna‟  yang  berlaku  di  masyarakat  pada  masa  sekarang.  Dalam  prakteknya  jual  beli  istishna‟  itu  harus  menentukan  jangka  waktu  penyerahan  barang.  Hal  ini  untuk  menjaga  kepentingan  pihak  pemesan atau pembeli  (mustashni‟)  agar tidak merasa dirugikan. Sebab lain juga  karena  yang berlaku pada  masa  sekarang yaitu akad  istishna‟  yang diaplikasikan  dalam perbankan syari‟ah secara istishna‟ paralel, dimana bank menerima  pesanan  dari  nasabah  (mustashni‟)  kemudian  bank  mengsuborderkan  ke  shani‟  untuk  membuatkan barang yang sesuai dengan keinginan mustashni‟ dan barang pesanan  tersebut  dapat  diserahkan  tepat  waktu  kepada  nasabah  (mustashni‟).  Rentang  waktu  ini  harus  ditentukan  agar  barang  pesanan  bisa  sampai  kepada  nasabah  (mustashni‟) tepat waktu. Jadi unsur keridhaan yang merupakan unsur dasar dalam  jual beli dapat terlaksana.
Berdasarkan latar belakang tersebut  penulis termotivasi untuk mengkaji dan  menganalisis  lebih  mendalam  pendapat  Imam  Abu  Hanifah  tentang  waktu  Imam  „ala  ad-Din  Abi  Bakr  bin  Mas‟ud  al-Kasani  al-Hanafi,  Badai‟  as-Shanai‟  fi  Tartib  asySyarai‟, Jilid 6, Qahirah: Daar al-Hadits, 2005,  hlm. 95. Lihat juga  Ibn „Abidin,  Radd al-Muhtar „ala  ad-Daar al-Muhtar syarh Tanwir al-Abshar, Beirut: Daar al-Kitab al-Amaliyyah, 2005,  hlm. 4  ibid. 97-98   penyerahan barang pada  akad  istishna‟  tersebut  dengan judul “Analisis  Pendapat  Imam  Abu Hanifah  Tentang Waktu  Penyerahan Barang  pada Akad  Istishna’ dan Aplikasinya dalam Perbankan Syariah”.
B. Rumusan Permasalahan.
Berdasarkan  latar  belakang  di  atas,  penulis  mengambil  rumusan  permasalahan sebagai berikut:.
1.  Bagaimanakah pemikiran Imam  Abu Hanifah tentang akad istishna‟?
2.  Bagaimana  metode  istimbath  hukum  Imam  Abu  Hanifah  dalam  menetapkan  syarat tidak perlu menentukan waktu penyerahan barang pada akad istishna‟?
3.  Bagaimanakah aplikasi pendapat Imam Abu Hanifah tentang waktu penyerahan  barang pada akad istishna‟ dalam perbankan syariah?
 C.  Tujuan Dan Manfaat Penelitian.
Penelitian ini bertujuan untuk:.
1.  Mengetahui pemikiran Imam Abu Hanifah tentang akad istishna‟ 2.  Mengetahui  metode  istimbath  hukum  Imam  Abu  Hanifah  dalam  menetapkan  syarat tidak perlu menentukan waktu penyerahan barang pada akad istishna‟ 3.  Mengetahui  aplikasi  pendapat  Imam  Abu  Hanifah  tentang  syarat  penyerahan  barang pada akad istishna‟ dalam perbankan syariah.
 Adapun manfaat dari penelitian ini diantaranya:.
1.  Secara  teoritis,  dapat  memperkaya  khazanah  pemikiran  keislaman  pada  umumnya,  dan    civitas  akademika  Jurusan  Hukum  Ekonomi  Islam  Fakultas  Syari'ah  pada  khususnya.  Selain  itu  diharapkan  menjadi  stimulus  bagi  penelitian selanjutnya sehingga proses pengkajian akan terus berlangsung dan  akan memperoleh hasil yang maksimal.
2.  Secara  praktis,  dapat  menjadi  rujukan  terhadap  praktek  akad  istishna‟,  sesuai  dengan perkembangan dewasa ini.



Download lengkap Versi PDF

2 komentar:

pesan skripsi