BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Permasalahan.
Imam Abu Hanifah adalah salah
seorang ulama‟ atau faqih yang cukup besar dan
luas pengaruhnya dalam
pemikiran hukum Islam.
Sebagaimana diceritakan oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Abu Hanifah
adalah seorang faqih dan ulama yang lebih
banyak menggunakan ra‟yu
atau setidak-tidaknya lebih
cenderung rasional. Pemikiran
Abu Hanifah banyak
pengaruhnya dan berkembang
di berbagai kawasan negeri Islam,
seperti Irak, Syam dan sekitarnya serta tersebar di Mesir dan daerah-daerah lainnya.
Di Indonesia tokoh Imam Abu Hanifah juga
populer di masyarakat. Namun, kepopuleran itu
hanya sebatas ketokohannya
saja. Sedangkan pemikiran
Abu Hanifah mengenai hukum Islam
kurang populer. Hal ini karena di Indonesia corak fiqhnya
memang cenderung ke
Syafi‟iyyah. Oleh karena
itu, perlu adanya pengkajian
terhadap pemikiran tokoh-tokoh
fiqh selain Syafi‟iyyah
khususnya pemikiran Abu
Hanifah agar dapat memperkaya khasanah
keilmuan hukum Islam di Indonesia.
Romli, Muqaranah Mazahib fil Ushul, Jakarta:
Gaya Media Pratama, 1999. Cet. 1, hlm. 19 Salah
satu pemikiran Abu
Hanifah yang luar
biasa adalah tentang
akad Istishna‟. Sebagaimana kita
ketahui bahwa akad istishna‟ adalah salah satu bentuk muamalah yang sering diaplikasikan oleh
masyarakat umum. Istishna‟ merupakan akad
ghairu musamma yang
banyak dipraktekkan oleh
masyarakat. Dalam kenyataannya,
akad istishna‟ menjadi
solusi yang sangat
relevan untuk menyelesaikan
pemasalahan ekonomi. Banyak
di antara masyarakat
yang menginginkan atau
membutuhkan suatu barang,
namun beberapa orang
merasa kesulitan disebabkan
tidak adanya modal
yang cukup untuk
mendapatkannya.
Akad istishna‟ tampil sebagai
solusi dari pemasalahan ini.
Menurut Sayyid Sabiq dalam
bukunya Fiqh Sunnah, “Istishna‟ artinya, membeli sesuatu yang
dibuat sesuai dengan pesanan.” Dalam fatwa
DSN-MUI, dijelaskan bahwa
jual beli istishna‟
adalah akad jual beli dalam bentuk
pemesanan pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan persyaratan
tertentu yang disepakati
antara pemesan (pembeli,
mustashni‟) dan penjual
(pembuat, shani‟). Pada
dasarnya, pembiayaan istishna‟
merupakan transaksi jual
beli cicilan pula
seperti transaksi murabahah
muajjal. Namun, berbeda
dengan jual beli
murabahah di mana
barang diserahkan di
muka sedangkan uangnya
dibayar secara cicilan,
dalam jual beli
istishna‟ barang Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, juz. 4, Jakarta:
PT. Pena Pundi Aksara, 2009, hlm. 69.
diserahkan
di belakang, walaupun
uangnya juga sama-sama
dibayar secara cicilan.
Tim
Pengembangan Perbankan Syariah
Institut Bankir Indonesia mendefinisikan Istishna‟,
merupakan akad antara pemesan dengan pembuat untuk suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan,
atau jual beli suatu barang yang akan dibuat
oleh pembuat. Kewajiban
pembuat adalah menyediakan
bahan baku dari barang pesanan
tersebut. Tapi jika
bahan baku dari
pemesan, akad itu
berubah menjadi upah biasa
(ujrah).
Dalam aplikasinya, bank melakukan istishna‟
paralel, yaitu bank (penerima pesanan
/ shani‟) menerima pesanan barang dari
nasabah (pemesan / mustashni‟), kemudian bank (pemesan / mustashni‟) memesankan permintaan barang
nasabah kepada produsen
penjual (shani‟) dengan
pembayaran di muka,
dicicil atau dibayar di belakang, dengan waktu penyerahan
barang yang disepakati bersama.
Dari pengertian di atas dapat kita ketahui
bahwa istishna‟ adalah salah satu produk
jual beli yang
dikembangkan oleh perbankan
syariah. Sebagai lembaga intermediasi
antara nasabah yang
membutuhkan suatu barang
sementara ia tidak mempunyai
uang
yang cukup untuk
memenuhinya dengan segera,
bank menawarkan solusi
dengan jual beli
istishna‟ ini. Di
mana nasabah bisa mendapatkan
barang tersebut dan membayarnya dengan cara kontan, dicicil atau Adiwarman
A. Karim, Bank
Islam; Analisis Fiqh
dan Keuangan, Eds.
3, Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2007, hlm.
1 Tim
Pengembangan Perbankan Syariah
Institut Bankir Indonesia,
Bank Syariah; Produk
dan Implementasi Operasional,
Jakarta: Djambatan, 2001, hlm. 67 Ascarya,
Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008. hlm. 99
di
bayar di belakang.
Kemudahan yang diberikan
oleh bank ini
bukan tidak mungkin
akan membuat jual
beli istishna‟ semakin
berkembang di masa
yang akan datang. Oleh karena itu
pengkajian terhadap istishna‟ memiliki nilai penting untuk
perkembangan produk-produk perbankan
syariah selanjutnya sekaligus sebagai
rujukan praktek jual
beli istishna‟ yang
baik agar sesuai
dengan perkembangan zaman.
Sebagai bentuk
jual beli pesanan,
istishna‟ mirip dengan
salam. Namun, ada perbedaan diantara keduanya. Dalam
akad salam, waktu penyerahan tertentu merupakan
bagian yang penting,
namun dalam akad
istishna‟ tidak merupakan keharusan.
Meskipun
waktu penyerahan tidak
harus ditentukan dalam
akad istishna‟, pembeli dapat menetapkan waktu penyerahan
maksimum, yang berarti bahwa jika perusahaan
terlambat memenuhinya, pembeli tidak terikat untuk menerima barang dan membayar harganya. Namun demikian, harga
dalam istishna‟ dapat dikaitkan dengan
waktu penyerahan. Jadi
boleh disepakati bahwa
apabila terjadi keterlambatan
penyerahan, harga dapat
dipotong sejumlah tertentu
perhari keterlambatan.
Menurut
Imam Abu Hanifah
Secara bahasa istishna‟
berarti thalab ashShun‟i
(minta dibuatkan). Sedangkan
menurut istilah syara‟,
istishna‟ berarti Ibid. hlm.
Ibid. hlm. 99 meminta untuk dibuatkan suatu barang tertentu
dengan syarat-syarat tertentu untuk diserahkan
pada masa yang akan datang.
Abu
Hanifah mensyaratkan dalam
akad istishna‟ yaitu
tidak perlu menentukan
waktu penyerahan barang.
Apabila waktu ini
ditentukan maka akad ini akan
berubah menjadi akad
salam.
Pendapat
Abu Hanifah ini
bertolak belakang dengan
realita praktek jual
beli istishna‟ yang
berlaku di masyarakat pada
masa sekarang. Dalam
prakteknya jual beli
istishna‟ itu harus
menentukan jangka waktu
penyerahan barang. Hal
ini untuk menjaga
kepentingan pihak pemesan atau pembeli (mustashni‟)
agar tidak merasa dirugikan. Sebab lain juga karena
yang berlaku pada masa sekarang yaitu akad istishna‟
yang diaplikasikan dalam
perbankan syari‟ah secara istishna‟ paralel, dimana bank menerima pesanan dari
nasabah (mustashni‟) kemudian
bank mengsuborderkan ke
shani‟ untuk membuatkan barang yang sesuai dengan keinginan
mustashni‟ dan barang pesanan tersebut dapat
diserahkan tepat waktu
kepada nasabah (mustashni‟).
Rentang waktu ini
harus ditentukan agar
barang pesanan bisa
sampai kepada nasabah (mustashni‟) tepat waktu. Jadi unsur keridhaan
yang merupakan unsur dasar dalam jual
beli dapat terlaksana.
Berdasarkan latar belakang
tersebut penulis termotivasi untuk
mengkaji dan menganalisis lebih
mendalam pendapat Imam
Abu Hanifah tentang
waktu Imam „ala ad-Din
Abi Bakr bin
Mas‟ud al-Kasani al-Hanafi,
Badai‟ as-Shanai‟ fi
Tartib asySyarai‟, Jilid 6,
Qahirah: Daar al-Hadits, 2005, hlm. 95.
Lihat juga Ibn „Abidin, Radd al-Muhtar „ala ad-Daar al-Muhtar syarh Tanwir al-Abshar,
Beirut: Daar al-Kitab al-Amaliyyah, 2005,
hlm. 4 ibid. 97-98 penyerahan barang pada akad
istishna‟ tersebut dengan judul “Analisis Pendapat Imam
Abu Hanifah Tentang Waktu Penyerahan Barang pada Akad
Istishna’ dan Aplikasinya dalam Perbankan Syariah”.
B. Rumusan Permasalahan.
Berdasarkan latar
belakang di atas,
penulis mengambil rumusan permasalahan sebagai berikut:.
1. Bagaimanakah pemikiran Imam Abu Hanifah tentang akad istishna‟?
2. Bagaimana
metode istimbath hukum
Imam Abu Hanifah
dalam menetapkan syarat tidak perlu menentukan waktu penyerahan
barang pada akad istishna‟?
3. Bagaimanakah aplikasi pendapat Imam Abu
Hanifah tentang waktu penyerahan barang
pada akad istishna‟ dalam perbankan syariah?
C.
Tujuan Dan Manfaat Penelitian.
Penelitian ini bertujuan untuk:.
1. Mengetahui pemikiran Imam Abu Hanifah tentang
akad istishna‟ 2. Mengetahui metode
istimbath hukum Imam
Abu Hanifah dalam
menetapkan syarat tidak perlu
menentukan waktu penyerahan barang pada akad istishna‟ 3. Mengetahui
aplikasi pendapat Imam
Abu Hanifah tentang
syarat penyerahan barang pada akad istishna‟ dalam perbankan
syariah.
Adapun manfaat dari penelitian ini
diantaranya:.
1. Secara
teoritis, dapat memperkaya
khazanah pemikiran keislaman
pada umumnya, dan
civitas akademika Jurusan
Hukum Ekonomi Islam
Fakultas Syari'ah pada
khususnya. Selain itu
diharapkan menjadi stimulus
bagi penelitian selanjutnya sehingga
proses pengkajian akan terus berlangsung dan akan memperoleh hasil yang maksimal.
2. Secara
praktis, dapat menjadi
rujukan terhadap praktek
akad istishna‟, sesuai dengan perkembangan dewasa ini.
Download lengkap Versi PDF
ko ga bisa di download versi pdfnya??
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus