BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Ibnu sabil
merupakan salah satu
dari delapan kelompok
yang berhak menerima zakat (ashnaf). Hal
ini sebagaimana disebutkan Allah
dalam salah satu firman-Nya yakni Q.S.
at-Taubah ayat 60 sebagai berikut: Artinya:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu,
hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin,
pengurus-pengurus zakat, para
mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka
yuang sedang dalam perjalanan, sebagai
suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah, dan Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Secara bahasa, istilah ibnu sabil
terdiri dari dua kata, yakni
ibnu dan sabil.
Kata ibnu memiliki
arti “anak” atau
“keturunan dari”, dan
kata sabil memiliki arti
“jalan”.
Secara istilah,
dari dua akar
kata tersebut kemudian diartikan sebagai orang yang kehabisan bekal
dalam perjalanan.
Para fuqaha selama
ini memberikan arti
dasar dari ibnu
sabil dengan musafir
yang kehabisan bekal.
Hal ini seperti
yang diungkapkan o leh
Muhammad Jawad Departemen
Agama Republik Indonesia,
Al-Quran dan Terjemahannya, Yayasan Penyelenggara Penterjemah Al-Quran, Jakarta :
PT Bumi Restu, 1976. hlm. 288.
Mengenai arti
kata ibnu dan
sabil dapat dilihat
dalam Ahmad Warson,
Kamus AlMunawwir Arab-Indonesia
Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah,
Bandung: Al-Ma’arif, 1997, hlm. 103.
Mughniyah yang
mengartikan Ibnu sabil
sebagai orang asing
yang menempuh perjalanan ke
negeri lain dan sudah tidak punya harta lagi.
Juga penjelasan
Ahmad Azhar Basyir yang
menyatakan bahwa Ibnu sabil
adalah orang yang
sedang dalam perantauan
atau perjalanan dan
kekurangan atau kehabisan bekal, untuk melanjutkan perjalanan sehingga ia pulang
ke tempat asalnya.
Golongan ini di
antaranya adalah pengungsi-pengungsi yang meninggalkan kampung
halamannya untuk menyelamatkan
diri atau agamanya dari tindakan penguasa yang
sewenang-wenang.
Bahkan orang
kaya yang dapat
masuk ke dalam
kriteria ibnu sabil adalah
orang yang benar-benar
terputus dari harta
bendanya. Artinya, seseorang
tersebut tidak mungkin
melakukan penerimaan harta
bendanya karena faktor
keadaan yang tidak
memungkinkan. Namun apabila
masih memungkinkan untuk
menerima harta bendanya,
maka orang tersebut
tidak dapat disebut
sebagai ibnu sabil.
Selain faktor
kehabisan bekal, dalam perkembangan
pendapat di kalangan ulama, ibnu
sabil juga dapat dari orang yang membutuhkan bekal untuk melakukan suatu
perjalanan. Misalkan saja, seseorang
yang akan belajar di daerah yang jauh namun tidak memiliki bekal, Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera, Cet. ke-2, 200hlm. 193.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Zakat,
Yogyakarta: Lukman Offset, Cet. ke-1, 1997, hlm.
8Menurut sebagian
ulama mazhab Hanafi,
orang kaya yang
dapat menerima zakat sebagai ibnu sabil
adalah para mujahid. Meskipun mereka kaya di negeri asalnya, karena
adanya keterpuutusan dengan harta bendanya, maka mereka
berhak menerima zakat
sebagai ibnu sabil.
Hal ini sebagaimana dijelaskan
dalam Yusuf Qardhâwi, Hukum Zakat, terj. Salman Harun dkk., Jakarta: Litera Antar Nusa, 1993, hlm. 656-657.
maka ia dapat dimasukkan
ke dalam penerima
zakat dari kelompok
ibnu sabil.
Dari penjelasan
di atas dapat
diketahui kriteria penerima
zakat dari kelompok
ibnu sabil yakni
seseorang yang kehabisan
atau membutuhkan bekal
dan dalam suatu
perjalanan atau perantauan.
Kedua kriteria tersebut merupakan
syarat utama. Implikasinya,
siapa saja yang
sedang kehabisan bekal dalam perjalanan atau perantauan, baik
kaya maupun fakir miskin, tetap berhak menerima
zakat sebagai ibnu
sabil. Kedua kriteria
tersebut di atas harus melekat
jadi satu atau
terpenuhi. Jika hanya
terpenuhi salah satunya, maka
belum dapat dikatakan
sebagai ibnu sabil.
Seseorang yang kehabisan bekal
namun tidak dalam
perjalanan atau dalam
perantauan, maka orang tersebut tidak
dapat masuk dalam
kelompok ibnu sabil.
Misalkan saja, seseorang
yang kehabisan bekal makanan di rumahnya, maka orang
tersebut tidak dapat
dikategorikan sebagai ibnu
sabil namun dapat
masuk dalam kriteria fakir atau miskin. Begitu pula
seseorang yang sedang dalam perjalanan atau
perantauan namun tidak kehabisan bekal, maka orang tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai ibnu sabil. Pada
dasarnya, pemberian zakat kepada ibnu sabil adalah untuk
memudahkan mereka kembali kepada
tempat harta benda mereka.
Namun tidak
selamanya ibnu sabil
hanya disandarkan pada
habisnya bekal dan
bertujuan untuk memberi
bekal menuju tempat
harta benda para ibnu sabil.
Hal ini sebagaimana
pendapat oleh Yusuf
Qardhâwi yang Pendapat
ini sebagaimana dinyatakan
oleh ulama dari
mazhab Syafi’i sebagaimana dikutip dalam ibid., hlm. 655.
memasukkan para
tunawisma sebagai penerima
zakat dari kelompok
ibnu sabil di masa sekarang.
Menurut beliau, tunawisma masuk ke dalam ibnu sabil karena para
tunawisma merupakan anak
dari jalanan, karena
ayah dan ibu mereka adalah
jalan. Uniknya, para
tunawisma tersebut dapat
diberi zakat akibat sifat
ibnu sabil dan sifat faqir. Dari pemberian akibat sifat ibnu sabil, tunawisma
dapat diberikan sesuatu
yang dapat mengeluarkan
mere ka dari jalanan,
semisal memberikan tempat
tinggal yang layak.
Sedangkan dari akibat sifat faqir, maka mereka dapat
diberikan sesuatu yang dapat memenuhi atau
mencukupi penghidupannya tanpa berlebihan
atau kekurangan.
Dari pendapat Yusuf Qardhâwi
tentang tunawisma sebagai ibnu sabil dapat diketahui
bahwa pemaknaan ibnu
sabil tidak lagi
disandarkan pada aspek adanya perjalanan yang dilakukan namun
lebih disandarkan pada aspek jalanan sebagai
tempat tinggal. Pendapat
tersebut tentu berbeda
dengan hakekat utama
dari ibnu sabil
yang mendasarkan pada
adanya aspek perjalanan
dari suatu tempat
menuju tempat lainnya
untuk suatu kemashlahatan.
Memang ada
orang yang berpeluang
menjadi tunawisma akibat
dari kehabisan bekal
dalam perjalanan. Namun
tidak sedikit pula o
rang yang menyengajakan dirinya untuk menjadi tunawisma
demi mendapatkan sedekah dari orang
lain. Jika hal
ini dikembalikan pada
pendapat Yusuf Qardhâwi, maka
akan banyak orang yang
menjadikan dirinya tunawisma di daerah
lain agar dapat
memperoleh zakat sebagai
ibnu sabil. Selain
itu, pada hakekat Yusuf Qardhâwi, Fiqh al-Zakat, Beirut: Daar
al-Ma’rifat, t.th., hlm. 684-685.
umumnya, aspek
yang melekat pada
para tunawisma bukanlah
dari akibat perjalanan
mereka namun lebih
dari keadaan ekonomi
mereka yang menyebabkan
mereka hidup di
jalanan. Kalaupun mereka
melakukan perjalanan, hal it
u tidak
lain untuk mencari
sedekah dan bukan
merupakan sebuah pekerjaan.
Idealnya, keadaan yang
dialami oleh para
tunawisma tersebut menjadikan
mereka sebagai penerima
zakat dari kelompok
fakir miskin dan bukan ibnu sabil.
Berdasarkan penjelasan di atas,
maka pendapat Yusuf Qardhâwi
yang memasukkan tunawisma
ke dalam ashnaf
ibnu sabil sebagai
penerima zakat merupakan suatu
pendapat yang menarik
untuk ditelusuri lebih
mendalam.
Penelusuran tersebut
berhubungan dengan proses
istinbath hukum Yusuf Qardhâwi serta
pandangan Islam terhadap
pendapat Yusuf Qardhâwi.
Dari proses ini akan dapat
diperoleh hasil langkah-langkah
penetapan hukum Yusuf Qardhâwi dan
tinjauan Islam mengenai
pendapat Yusuf Qardhâwi
tersebut.
Penelitian ini
akan diberi judul
“Analisis Pendapat Yusuf
Qardhâwi Tentang Tunawisma Sebagai Penerima Zakat Dari Kelompok Ibnu sabil Dalam Kitab Fiqh Al-Zakat” B. Rumusan Masalah.
Dari penjelasan latar belakang di
atas dapat dirumuskan permasalahan dalam
penelitian ini sebagai berikut:.
1. Mengapa
Yusuf Qardhâwi menjadikan
tunawisma sebagai penerima zakat dari
kelompok ibnu sabil dalam Kitab Fiqh Al-Zakat? .
2. Bagaimana
istinbath hukum Yusuf
Qardhâwi tentang tunawisma
sebagai penerima zakat dari
kelompok ibnu sabil dalam Kitab Fiqh Al-Zakat? .
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi