Senin, 25 Agustus 2014

Skripsi Syariah: ANALISIS PENDAPAT YUSUF QARDHÂWI TENTANG TUNAWISMA SEBAGAI PENERIMA ZAKAT DARI KELOMPOK IBNU SABIL DALAM KITAB FIQH AL-ZAKAT

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang Masalah.
Ibnu  sabil  merupakan  salah  satu  dari  delapan  kelompok  yang  berhak  menerima zakat (ashnaf).  Hal  ini  sebagaimana disebutkan Allah dalam salah  satu firman-Nya yakni Q.S. at-Taubah ayat 60 sebagai berikut: Artinya:  “Sesungguhnya  zakat-zakat  itu,  hanyalah  untuk  orang-orang  fakir,  orang-orang  miskin,  pengurus-pengurus  zakat,  para  mu'allaf  yang  dibujuk  hatinya,  untuk  (memerdekakan)  budak,  orang-orang  yang  berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam  perjalanan,  sebagai  suatu  ketetapan  yang  diwajibkan  Allah,  dan  Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

Secara bahasa, istilah  ibnu sabil  terdiri dari dua kata, yakni  ibnu  dan  sabil.  Kata  ibnu  memiliki  arti  “anak”  atau  “keturunan  dari”,  dan  kata  sabil memiliki  arti  “jalan”.
Secara  istilah,  dari  dua  akar  kata  tersebut  kemudian  diartikan sebagai orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan.
Para fuqaha  selama  ini  memberikan  arti  dasar  dari  ibnu  sabil  dengan  musafir  yang  kehabisan  bekal.  Hal  ini  seperti  yang  diungkapkan  o leh  Muhammad  Jawad  Departemen  Agama  Republik  Indonesia,  Al-Quran  dan  Terjemahannya,  Yayasan  Penyelenggara Penterjemah Al-Quran, Jakarta : PT Bumi Restu, 1976. hlm. 288.
Mengenai  arti  kata  ibnu  dan  sabil  dapat  dilihat  dalam  Ahmad  Warson,  Kamus  AlMunawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997.
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Bandung: Al-Ma’arif, 1997, hlm. 103.
Mughniyah  yang  mengartikan  Ibnu  sabil  sebagai  orang  asing  yang  menempuh perjalanan ke negeri lain dan sudah tidak punya harta lagi.
Juga  penjelasan  Ahmad  Azhar Basyir  yang  menyatakan  bahwa  Ibnu sabil  adalah  orang  yang  sedang  dalam  perantauan  atau  perjalanan  dan  kekurangan  atau  kehabisan bekal, untuk  melanjutkan perjalanan sehingga ia pulang ke  tempat  asalnya.  Golongan  ini  di  antaranya  adalah  pengungsi-pengungsi  yang  meninggalkan  kampung  halamannya  untuk  menyelamatkan  diri  atau  agamanya dari tindakan penguasa yang sewenang-wenang.
Bahkan  orang  kaya  yang  dapat  masuk  ke  dalam  kriteria  ibnu  sabil adalah  orang  yang  benar-benar  terputus  dari  harta  bendanya.  Artinya,  seseorang  tersebut  tidak  mungkin  melakukan  penerimaan  harta  bendanya  karena  faktor  keadaan  yang  tidak  memungkinkan.  Namun  apabila  masih  memungkinkan  untuk  menerima  harta  bendanya,  maka  orang  tersebut  tidak  dapat  disebut  sebagai  ibnu  sabil.
Selain  faktor  kehabisan  bekal,  dalam  perkembangan pendapat di kalangan ulama,  ibnu sabil  juga  dapat dari orang  yang membutuhkan bekal untuk melakukan suatu perjalanan. Misalkan saja,  seseorang yang akan belajar di daerah yang jauh namun tidak memiliki bekal,  Muhammad Jawad Mughniyah,  Fiqih Lima Mazhab,  Jakarta: Lentera, Cet. ke-2, 200hlm. 193.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Zakat, Yogyakarta: Lukman Offset, Cet. ke-1, 1997, hlm.
8Menurut  sebagian  ulama  mazhab  Hanafi,  orang  kaya  yang  dapat  menerima  zakat  sebagai  ibnu sabil  adalah para mujahid. Meskipun mereka kaya di negeri asalnya, karena adanya  keterpuutusan dengan harta  bendanya, maka  mereka  berhak  menerima  zakat  sebagai  ibnu  sabil.
Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam Yusuf  Qardhâwi,  Hukum Zakat, terj. Salman Harun dkk.,  Jakarta: Litera Antar Nusa, 1993, hlm. 656-657.
maka  ia  dapat  dimasukkan  ke  dalam  penerima  zakat  dari  kelompok  ibnu  sabil.
Dari  penjelasan  di  atas  dapat  diketahui  kriteria  penerima  zakat  dari  kelompok  ibnu  sabil  yakni  seseorang  yang  kehabisan  atau  membutuhkan  bekal  dan  dalam  suatu  perjalanan  atau  perantauan.  Kedua  kriteria  tersebut  merupakan  syarat  utama.  Implikasinya,  siapa  saja  yang  sedang  kehabisan  bekal dalam perjalanan atau perantauan, baik kaya maupun fakir miskin, tetap  berhak  menerima  zakat  sebagai  ibnu  sabil.  Kedua  kriteria  tersebut  di  atas  harus  melekat  jadi  satu  atau  terpenuhi.  Jika  hanya  terpenuhi  salah  satunya,  maka  belum  dapat  dikatakan  sebagai  ibnu  sabil.  Seseorang  yang  kehabisan  bekal  namun  tidak  dalam  perjalanan  atau  dalam  perantauan,  maka  orang  tersebut  tidak  dapat  masuk  dalam  kelompok  ibnu  sabil.  Misalkan  saja,  seseorang  yang kehabisan  bekal  makanan di rumahnya,  maka orang  tersebut  tidak  dapat  dikategorikan  sebagai  ibnu  sabil  namun  dapat  masuk  dalam  kriteria fakir atau miskin. Begitu pula seseorang yang sedang dalam perjalanan  atau perantauan namun tidak kehabisan bekal, maka orang tersebut tidak dapat  dikategorikan sebagai ibnu sabil. Pada dasarnya, pemberian zakat kepada ibnu  sabil  adalah untuk  memudahkan  mereka kembali kepada tempat harta benda  mereka.
Namun  tidak  selamanya  ibnu  sabil  hanya  disandarkan  pada  habisnya  bekal  dan  bertujuan  untuk  memberi  bekal  menuju  tempat  harta  benda  para  ibnu  sabil.  Hal  ini  sebagaimana  pendapat  oleh  Yusuf  Qardhâwi  yang  Pendapat  ini  sebagaimana  dinyatakan  oleh  ulama  dari  mazhab  Syafi’i  sebagaimana  dikutip dalam ibid., hlm. 655.
memasukkan  para  tunawisma  sebagai  penerima  zakat  dari  kelompok  ibnu  sabil di masa sekarang. Menurut beliau, tunawisma masuk ke dalam ibnu sabil karena  para  tunawisma  merupakan  anak  dari  jalanan,  karena  ayah  dan  ibu  mereka  adalah  jalan.  Uniknya,  para  tunawisma  tersebut  dapat  diberi  zakat  akibat sifat  ibnu sabil  dan sifat  faqir. Dari pemberian akibat sifat  ibnu sabil,  tunawisma  dapat  diberikan  sesuatu  yang  dapat  mengeluarkan  mere ka  dari  jalanan,  semisal  memberikan  tempat  tinggal  yang  layak.  Sedangkan  dari  akibat sifat faqir, maka mereka dapat diberikan sesuatu yang dapat memenuhi  atau mencukupi penghidupannya tanpa berlebihan  atau kekurangan.
Dari pendapat Yusuf  Qardhâwi  tentang  tunawisma sebagai  ibnu sabil dapat  diketahui  bahwa  pemaknaan  ibnu  sabil  tidak  lagi  disandarkan  pada  aspek adanya perjalanan yang dilakukan namun lebih disandarkan pada aspek  jalanan  sebagai  tempat  tinggal.  Pendapat  tersebut  tentu  berbeda  dengan  hakekat  utama  dari  ibnu  sabil  yang  mendasarkan  pada  adanya  aspek  perjalanan  dari  suatu  tempat  menuju  tempat  lainnya  untuk  suatu  kemashlahatan.
Memang  ada  orang  yang  berpeluang  menjadi  tunawisma  akibat  dari  kehabisan  bekal  dalam  perjalanan.  Namun  tidak  sedikit  pula  o rang  yang  menyengajakan dirinya untuk menjadi tunawisma demi mendapatkan sedekah  dari  orang  lain.  Jika  hal  ini  dikembalikan  pada  pendapat  Yusuf  Qardhâwi,  maka  akan  banyak orang  yang  menjadikan dirinya tunawisma di daerah  lain  agar  dapat  memperoleh  zakat  sebagai  ibnu  sabil.  Selain  itu,  pada  hakekat  Yusuf Qardhâwi, Fiqh al-Zakat, Beirut: Daar al-Ma’rifat, t.th., hlm. 684-685.
umumnya,  aspek  yang  melekat  pada  para  tunawisma  bukanlah  dari  akibat  perjalanan  mereka  namun  lebih  dari  keadaan  ekonomi  mereka  yang  menyebabkan  mereka  hidup  di  jalanan.  Kalaupun  mereka  melakukan  perjalanan,  hal  it u  tidak  lain  untuk  mencari  sedekah  dan  bukan  merupakan  sebuah  pekerjaan.  Idealnya,  keadaan  yang  dialami  oleh  para  tunawisma  tersebut  menjadikan  mereka  sebagai  penerima  zakat  dari  kelompok  fakir  miskin dan bukan ibnu sabil.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pendapat  Yusuf  Qardhâwi  yang  memasukkan  tunawisma  ke  dalam  ashnaf  ibnu  sabil  sebagai  penerima  zakat merupakan  suatu  pendapat  yang  menarik  untuk  ditelusuri  lebih  mendalam.
Penelusuran  tersebut  berhubungan  dengan  proses  istinbath  hukum  Yusuf  Qardhâwi  serta  pandangan  Islam  terhadap  pendapat  Yusuf  Qardhâwi.  Dari  proses ini akan dapat diperoleh hasil  langkah-langkah penetapan hukum Yusuf  Qardhâwi  dan  tinjauan  Islam  mengenai  pendapat  Yusuf  Qardhâwi  tersebut.
Penelitian  ini  akan  diberi  judul    “Analisis  Pendapat  Yusuf  Qardhâwi Tentang Tunawisma Sebagai Penerima Zakat Dari Kelompok  Ibnu sabil Dalam Kitab Fiqh Al-Zakat” B.  Rumusan Masalah.
Dari penjelasan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan  dalam penelitian ini sebagai berikut:.
1.  Mengapa  Yusuf Qardhâwi  menjadikan tunawisma sebagai penerima zakat  dari kelompok ibnu sabil dalam Kitab Fiqh Al-Zakat? .
2.  Bagaimana  istinbath  hukum  Yusuf  Qardhâwi  tentang  tunawisma  sebagai  penerima zakat dari kelompok ibnu sabil dalam Kitab Fiqh Al-Zakat? .



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi