Senin, 25 Agustus 2014

Skripsi Syariah: TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMBELAAN TERPAKSA YANG MELAMPAUI BATAS (NOODWEER EXCES) DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

BAB I.
A.  Latar Belakang.
Hukum  secara umum dibuat  untuk kebaikan manusia  itu  sendiri, dan  berguna  memberikan  argumentasi  yang  kuat  bahwa  bila  hukum  diterapkan  dalam  suatu  masyarakat  maka  mereka  akan  dapat  merasakan  kebenaran,  kebaikan,  keadilan,  kesamaan  dan  kemaslahatan  dalam  hidup  di  dunia  ini.

Seperti  hukum  positif  yang  merupakan  hasil  interpretasi  manusia  terhadap  peraturan  dan  perbuatan  manusia  di  dunia,  sedangkan  hukum  Islam  menghubungkan antara  dunia dan akhirat, seimbang antara kebutuhan rohani  dan kebutuhan jasmani. Manfaat yang diperoleh bagi yang mematuhi suruhan  Allah dan kemudlaratan yang  diderita lantaran mengerjakan maksiat, kembali  kepada pelakunya sendiri.
Kejahatan  atau  tindak  pidana  dalam  Islam  merupakan  laranganlarangan syariat yang dikategorikan dalam istilah  jarimah  atau  jinayah. Pakar  fikih telah mendefinisikan  jarimah  dengan perbuatan-perbuatan tertentu yang  apabila  dilakukan  akan  mendapatkan  ancaman  hukuman  had  atau  ta‟zir  .
 Adapun istilah jinayah kebanyakan para fuqaha memaknai kata tersebut hanya   Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia, Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka  Pelajar,  Cet. ke-1, 1997, hlm. 89.  Lihat juga dalam  Abu Zahra, al-Jarimah,  Beirut: Dar al-Fikr alArabi, tt, hlm.2. Had merupakan ketetapan hukum Allah yang paling berat diatas hukuman qishash  dan  ta‟zir.  Ta'zir  dalam  konteks  bahasa  adalah  menolak  dan  mencegah  kejahatan,  Ta‟zir    juga  berarti memberi pelajaran. Para ulama mengartikan  ta'zir  dengan hukuman yang tidak ditentukan  oleh nas dan berkaitan dengan kejahatan. Tujuannya adalah untuk memberi pelajaran agar tidak  mengulangi  kejahatan  serupa.  Untuk  lebih  jelas  lihat  Ahmad  Hanafi,  Asas-asas  Hukum  Pidana,  Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hlm. 260.   untuk perbuatan  yang  mengenai  jiwa atau anggota badan seperti  membunuh,  melukai, memukul, menggugurkan kandungan dan sebagainya.
 Pada  dasarnya  dengan  adanya  sanksi  terhadap  pelanggaran  bukan  berarti  pembalasan  akan  tetapi  mempunyai  tujuan  tersendiri  yaitu,  untuk  mewujudkan dan  memelihara  lima sasaran pokok  yang disebut  al-dharuriyat  al-khamsah  yaitu  yang  terdiri  dari  hifz  al-nafs  (menjaga  jiwa),  hifz  al-„aql  (menjaga akal), hifz al-din  (menjaga agama), hifz al-mal  (menjaga harta) dan  hifz al-nasl  (menjaga keturunan).
 Lima hal pokok ini, wajib diwujudkan dan  dipelihara,  jika seseorang menghendaki kehidupan yang bahagia di dunia dan  di akhirat. Segala upaya untuk mewujudkan dan memelihara lima pokok tadi  merupakan amalan saleh yang harus dilakukan oleh umat Islam.
 Terwujudnya stabilitas dalam setiap hubungan dalam masyarakat dapat  dicapai  dengan  adanya  sebuah  peraturan  hukum  yang  bersifat  mengatur   Ahmad Hanafi, op. cit, hlm.2.
 Tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam syari’at Islam adalah pencegahan (ar-rad-u  waz-zajru)  dan  pengajaran  serta  pendidikan  (al-islah  wat-tahdzib),  karena  Islam  sangat  memeperhatikan pembentukan akhlak dan budi pekerti. Sedangkan dalam hukum positif walaupun  bertentangan  dengan  akhlak,  tidak  dianggap  sebagai  tindak  pidana  kecuali  apabila  perbuatan  tersebut membawa kerugian langsung bagi perorangan  dan ketentraman masyarakat. Lihat dalam  A.  Wardi  Muslich,  Pengantar  dan  Asas  Hukum  Pidana  Islam,  (Fiqih  Jinayah),  Jakarta:  Sinar  Grafika, 20006, hlm. 15.
 Secara  global,  tujuan  syara’  dalam  menetapkan  hukum-hukumnya  adalah  untuk  kemaslahatan manusia seluruhnya yang biasa disebut Al Maqashidu Khamsah (Panca Tujuan). Hal  ini berdasarkan Firman Allah SWT QS. Al Anbiya: 107, QS. Al Imran: 159, QS. Al Baqarah: 201 -202,  dalam  Departemen  Agama  Republik  Indonesia,  Al-Qur‟an  dan  Terjemahnya,  Jakarta:  Syaamil  Cipta  Media, 1984.  Untuk lebih  jelasnya  lihat  dalam Ismail  Muhammad  Syah,  Filsafat  Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1999, hlm. 65-67, lihat juga dalam  Asfri Jaya Bakri, Konsep  Maqashid Syari‟ah Menurut Asy-Syatibi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. ke-1, 1996, hlm. 71-72,  Hukum  Pidana  Islam  (jinayah)  didasarkan  pada  perlindungan  HAM  (Human  Right)  yang  bersifat  primer  (Daruriyyah)  yang meliputi  perlindungan atas  agama,  jiwa,  keturunan, akal,  dan  harta.  Perlindungan terhadap lima hak tersebut oleh asy-Syatibi dinamakan  maqasid asy-syari‟ah.
Hakikat dari pemberlakuan syari’at (hukum) oleh Tuhan adalah untuk mewujudkan kemaslahatan  manusia.
 Satria Effendi M. Zein,  Kejahatan Terhadap harta dalam Perstektif Hukum Islam, dalam  Muhammad  Amin  Suma,  dkk,  Pidana  Islam  di  Indonesia,  Peluang,  Prospek,  dan  Tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, hlm. 107.
(relegen/anvullen  recht)  dan  peraturan  hukum  yang  bersifat  memaksa  (dwingen  recht)  setiap  anggota  masyarakat  agar  taat  dan  mematuhi  hukum.
Setiap hubungan kemasyarakatan tidak  boleh bertentangan dengan ketentuanketentuan  dalam  peraturan  hukum  yang  ada  dan  berlaku  dalam  masyarakat.
Sanksi  yang  berupa  hukuman  (pidana)  akan  dikenakan  kepada  setiap  pelanggar  peraturan  hukum  yang  ada  sebagai  reaksi  terhadap  perbuatan  melanggar  hukum  yang  dilakukannya.  Akibatnya  ialah  peraturan-peraturan  hukum yang ada haruslah sesuai dengan asas-asas keadilan dalam masyarakat,  untuk  menjaga  agar  peraturan-peraturan  hukum  dapat  berlangsung  terus  dan  diterima oleh seluruh anggota masyarakat.
Sebuah peraturan hukum  ada karena adanya  sebuah  masyarakat (ubiius  ubi-societas).  Hukum  menghendaki  kerukunan  dan  perdamaian  dalam  pergaulan hidup bersama. Hukum itu mengisi kehidupan yang jujur dan damai  dalam seluruh lapisan masyarakat.
 Sumber hukum bisa dari hukum yang hidup dalam masyarakat seperti  hukum  adat,  peraturan  perundang-undangan  seperti  hukum  Barat,  konsepsi  hukum  Islam  yaitu  dasar  dan  kerangkanya  ditetapkan  oleh  Allah,  yang  mengatur  hubungan  manusia  dengan  Tuhannya,  manusia  dengan  dirinya,  manusia dengan makhluk lain dan manusia dengan lingkunganya.
Hukum Islam dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu Hukum Privat  (Munakahat, Wiratsah dan Muamalat) dan Hukum Publik (Jinayat, Al ahkam   Sudarsono,  Pengantar  Ilmu  Hukum,  Jakarta:  Rineka  Cipta,  Cet.  ke-2,  1995,  hlm.  48-49.
Hukum merupakan peraturan atau seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam  suatu masyarakat dan ditegakkan oleh penguasa. Lihat dalam Muhammad Daud Ali,  Hukum Islam  Pengantar  Ilmu  Hukum  dan  Tata  Hukum  Islam  di  Indonesia,  Jakarta:  Raja  Grafindo  Persada,  2001, hlm. 43.
al sulthaniyah, Siyar, Mukhashamat).
 Di dalam ajaran Islam bahasan-bahasan tentang  kejahatan  manusia  berikut  upaya  preventif  dan  represif  dijelaskan  dalam fiqh jinayah.
 Islam,  seperti  halnya  sitem  lain  melindungi  hak-hak  untuk  hidup,  merdeka,  dan  merasakan  keamanan.  Ia  melarang  bunuh  diri  maupun  melakukan pembunuhan. Dalam Islam pembunuhan terhadap seorang manusia  tanpa  alasan  yang  benar  diibaratkan  seperti  membunuh  seluruh  manusia.
Sebaliknya,  barang  siapa  yang  memelihara  kehidupan  seseorang  manusia,  maka  ia  diibaratkan  memelihara  manusia  seluruhnya.
 Jika  pembunuhan  itu  terjadi  juga,  maka  seseorang  harus  mempertanggungjawabkan  perbuatan  tersebut.
Permasalahanya  adalah  bagaimana  jika  pembunuhan  sengaja  tersebut  dilakukan  karena  dalam  upaya  membela  jiwa,  kehormatan  maupun  harta benda baik untuk melindungi diri sendiri maupun orang lain.
Dalam melakukan pembelaan dalam Islam dikenal dengan istilah daf‟u  as-sail.  Dalam hukum Islam, pertanggungjawaban pidana dapat hapus karena:  Pertama,  hal-hal  yang  bertalian  dengan  perbuatan  atau  perbuatan  yang  dilakukan  adalah  mubah  (tidak  dilarang)  yang  disebut  asbab  al-ibahah  atau  sebab  diperbolehkannya  perbuatan  yang  dilarang.   Diantaranya  yaitu:   Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, Malang: UIN-Malang Press, 2007, hlm.9-10.
 Istilah  Jinayah  (crime, felony)  adalah  tindakan  yang dapat  membahayakan  jiwa  seseorang  dan anggota tubuh yang mengaharuskan adanya hukuman langsung di dunia atau yang berorientasi  pada  hasil  perbuatan  seseorang  yang  dilarang  oleh  syara',  para  fuqaha  menggunakan  istilah  tersebut  hanya  terbatas  pada  perbuatan  yang  mengancam  keselamatan  jiwa,  seperti  pemukulan,  pembunuhan,  dan  sebagainya.  Lihat  H.A.  Djazuli,  Fiqh  Jinayah;  Upaya  Menanggulangi  Kejahatan dalam Islam, Cet. ke-3, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 1.
 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam; Penegakan Syari‟at dalam Wacana dan  Agenda, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. ke-1, 2003, hlm. 71-72.
Pembelaan  yang  sah,  Mendidik,  Pengobatan,  Permainan  kesatrian,  Halalnya  jiwa,  anggota  badan  dan  harta  seseorang,  Hak  dan  kewajiban  penguasa..
Kedua,  hal-hal  yang  bertalian  dengan  keadaan  pelaku  atau  perbuatan  yang  dilakukan tetap dilarang tetapi pelakunya t idak dijatuhi hukuman  yang disebut  asbab  raf‟i  al-uqubah  atau  sebab  hapusnya  hukuman.  Diantaranya  yaitu:  Paksaan, Mabuk, Gila dan Anak kecil (di bawah umur).
Berbeda  dengan  hukum  positif  pada  masa  sebelum  revolusi  Prancis,  setiap  orang  bagaimanapun  keadaannya  bisa  dibebani  pertanggungjawaban  pidana tanpa membedakan apakah orang tersebut mempunyai kemauan sendiri  atau tidak, sudah dewasa atau belum. Bahkan hewan dan benda mati juga bisa  dibebani  pertanggungjawaban  apabila  menimbulkan  kerugian  kepada  pihak  lain.  Kematian  juga  tidak  bisa  menghindarkan  seseo rang  dari  pemeriksaan  pengadilan  dan  hukuman.  Demikian  juga  seseorang  harus  mempertanggungjawabkan  perbuatan  orang  lain,  meskipun  orang  tersebut  tidak tahu-menahu dan tidak ikut serta mengerjakannya. Baru setelah revolusi  Prancis  dengan  timbulnya  aliran  tradisionalisme  dan  lain-lainnya,  pertanggungjawaban itu hanya dibebankan kepada manusia yang masih hidup  yang memiliki pengetahuan dan pilihan.
 Maka  tidak  ada  pertanggungjawaban  pidana  selama  perbuatannya  itu  tidak bermaksud untuk turut serta, memudahkan a tau memberi bantuan untuk  terlaksananya jarimah. Sedangkan bagi pelaku perbuatan langsung dan sebab   Ahmad Hanafi, op.cit, hlm. 156-158.
dikenakan  pertanggungjawaban  pidana  atas  perbuatannya,  karena  keduanya  merupakan illat (sebab) adanya jarimah.
Dalam  hukum  pidana  Indonesia,  pembelaan  terpaksa  diatur  dalam  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 49 ayat 1 yang berbunyi:  “Tidak  dipidana  barang  siapa  yang  melakukan  perbuatan  pembelaan untuk jiwa, kehormatan atau harta benda baik untuk diri sendiri  maupun orang lain karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”.
Sedangkan  pembelaan  terpaksa  melampaui  batas  diatur  dalam  KUHP Pasal 49 ayat 2 yang berbunyi: “Pembelaan  terpaksa  yang  melampaui  batas,  yang  langsung  disebabkan  oleh  kegoncangan  jiwa  yang  hebat  karena  serangan  atau  ancaman serangan itu, tidak dipidana.”  Undang-undang  tidak  memberikan  keterangan  lebih  jauh  tentang  pembelaan terpaksa  yang  melampaui  batas. Dalam  Memorie van Toelichting (MvT) ada sedikit keterangan mengenai pembelaan terpaksa yang melampaui  batas yang mengatakan jika terdapat “kegoncangan jiwa yang hebat”.
Yang  dimaksud  terdapat  kegoncangan  jiwa  yang  hebat  tidak  dijelaskan  dalam  KUHP  tetapi  oleh  ahli  hukum  memberikan  penjelasan  kegoncangan  jiwa  yang  hebat sehingga diperbolehkan  melakukan pembelaan  terpaksa  yang  melampaui  batas  sedangakan  dalam  hukum  Islam  tidak  diatur  secara  jelas  pembelaan  yang  diperbolehkan  dan  juga  sanksi  bagi  pelaku  pembelaan jika melampaui batas pembelaan. Hanya  berdasarkan firman Allah  SWT.
 “Barangsiapa  yang  menyerang  kamu,  Maka  seranglah  ia,  seimbang dengan serangannya terhadapmu.”  Dari ayat tersebut hanya menerangkan tentang penganjuran menyerang  balik  ketika  diserang  tetapi  tidak  menjelaskan  syarat  dan  sanksi  bagi  penyerang jika melebihi batas serangan.
Alasan  penghapus  pidana  (strafuitsluitingsground)  diartikan  sebagai  keadaan khusus (yang harus dikemukakan, tetapi tidak perlu dibuktikan oleh  terdakwa),  meskipun  terhadap  semua  unsur  tertulis  dari  rumusan  delik  telah  dipenuhi tidak dapat dijatuhkan pidana. Alasan penghapus pidana dikenal baik  dalam  KUHP,  doktrin  maupun  yurisprudensi.  Sesuai  dengan  ajaran  daaddader strafrecht alasan penghapus pidana dapat dibedakan menjadi : a)  Alasan  pembenar  (rechtvaardigingsgrond)  yaitu  alasan  yang  menghapuskan  sifat  melawan  hukumnya  perbuatan,  berkaitan  dengan tindak pidana (strafbaarfeit) yang dikenal dengan istilah  actus reus di Negara Anglo saxon.
b)  Alasan  pemaaf  (schuldduitsluitingsgrond)  yaitu  alasan  yang  menghapuskan  kesalahan  terdakwa,  berkaitan  dengan  pertanggungjawaban  (toerekeningsvatbaarheid)  yang  dikenal  dengan istilah mens rea di Negara Anglo saxon.
 Ada  beberapa  hal  yang  menjadikan  penulis  tertarik  untuk  membahas  judul  tentang  Tinjauan  Hukum  Pidana  Islam  Terhadap  Pembelaan  Terpaksa  Yang Melampaui Batas (Noodweer Exces) dalam Tindak Pidana Pembunuhan,   QS. Al Baqarah (2): 1  Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hlm.  137-138.
yang  pertama  adalah  bahwa  Islam  sangat  melindungi  hak  hidup  seseorang.
Hal ini terbukti dalam tujuan syara’ atau yang lebih dikenal dengan istilah  AlMaqasidul  Khamsah  (panca  tujuan)  salah  satunya  memelihara  jiwa  dan  AlQur'an  telah  banyak  menjelaskan  tentang  sanksi  berkenaan  dengan  masala h  kejahatan  terhadap  nyawa.  Di  antara  jenis-jenis  hukum  qishash  disebutkan  dalam al-Qur'an ialah: qishash  pembunuh, qishash  anggota badan dan qishash dari  luka.  Semua  kejahatan  yang  menimpa  seseorang,  hukumannya  adalah  dianalogikan dengan  qishash  yakni  berdasar  atas persamaan antara hukuman  dengan kejahatan, karena itu adalah tujuan pokok dari pelaksanaan hukuman  qishash.
 Begitupun  dalam  hukum  positif  juga  diatur  masalah  sanksi  untuk  pembunuh dari yang teringan sampai yang terberat.
Yang  kedua  karena  dalam  KUHP  pasal  29  ayat  1  tentang  pembelaan  terpaksa, dan juga dalam Hukum Pidana Islam diatur tentang pembelaan sah,  tidak  dijatuhi  hukuman  sebab  diperbolehkannya  perbuatan  yang  dilarang.
Tetapi untuk mengetahui apakah suatu perbuatan itu sebagai suatu pembelaan  atau sebaliknya, maka harus diketahui unsur atau syarat yang dimaksud dalam  pasal  tersebut  dan  bagaimana  ketentuan  pembelaan  terpaksa  dalam  hukum Islam,  karena  dalam  Pasal  tersebut  tidak  dijelaskan  bagaimana  melakukan  pembelaaan  yang  diperbolehkan.  Begitu  juga  dalam  pasal  49  ayat  2  tentang  pembelaan terpaksa yang melampaui batas tidak dijelaskan pelampauan batas  yang  diperbolehkan  dalam  melakukan  suatu  pembelaan.  Terdapat  kasus  di   A. Wardi Muslich,  op.cit, hlm. 18. Lihat dalam QS. Al Baqarah: 178-179.  Qishash  adalah  pembuat jarimah dijatuhi hukuman (dibalas) setimpal dengan perbuatannya, jadi dibunuh kalau ia  membunuh,  atau  dianiaya  kalau  ia  menganiaya.  Hukuman  qishash  dijatuhkan  atas  pembunuhan  sengaja dan penganiayaan sengaja.
Jakarta  Pembelaan  diri  mahasiswi  Universitas  Paramadina,  Leni  (21)  dari  serangan  pacarnya,  Anjas,  (27)  yang  justru  berujung  di  pengadilan.  Padahal  tindakan  Leni  merupakan  bentuk  perlawanan  yang  dilakukan  untuk  mempertahankan dirinya dari serangan Anjas.
Kronologis  ceritanya  yaitu  Anjas  bertemu  Leni  di  rumah  Leni  di  Kemayoran  pada  22  November  2010.  Awalnya  Anjas  meminta  proses  putus  pacaran  diselesaikan  dengan  baik-baik.  Tidak  berapa  lama,  Anjas  mulai  menunjukan hal aneh. Tiba-tiba saja Anjas memaksa Leni menciumnya. Lalu  Anjas  juga  memegang-megang  tubuh  Leni.  Leni  pun  membela  diri  dengan  menyiram Anjas dengan air panas dalam gelas.
Dalam konsep hukum pidana, penganiyaan dilakukan oleh orang yang  mempunyai  peran  dominan  terhadap  orang  lain.  Unsur  dominan  bisa  ditandakan  dengan  adanya  senjata,  jumlah  orang  yang  tidak  seimbang,  atau  unsur jenis kelamin.
Keduanya melakukan dengan  tangan kosong. Tapi yang satu laki-laki  dan  satu  perempuan.  Maka  unsur  dominan  ada  di  laki-laki.  Sehingga  wajar  saja perempuan melawan laki-laki dengan perlawanan yang tidak seimbang.
Seharusnya dakwaan jaksa harus dilihat  ke belakang lebih jauh. Yaitu  Anjas  yang  akan  melakukan  pelecehan  seksual  terhadap  Leni.  Meski  keduanya  terikat  dalam  hubungan  pacaran,  tapi  bukan  lisensi  untuk  menyentuh perempuan tanpa izin.  Jangankan dalam hubungan pacaran, dokter  saja  harus  minta  izin  apabila  mau  menyentuh  pasien.  Setiap  pasangan  harus  menghormati pasangan, tidak boleh memaksa.
Jadi,  Kedua  belah  pihak  seharusnya  sama-sama  dipidana.  Tetapi  jika  dalam pembuktian terdapat unsur yang memenuhi syarat pembelaan terpaksa,  seharusnya  Leni  bebas  dari  segala  tuntutan  hukum.  Dalam  kasus  Leni,  jika  Leni  dijadikan  terdakwa  maka  Anjas  pun  harus  dijadikan  terdakwa  pula.
Tetapi  di  sini  jaksa  malah  menetapkan  Leni  sebagai  terdakwa  dengan  ancaman  2,5  tahun  penjara.
 Berarti  di  sini  seorang  wanita  yang  melakukan  pembelaan  diri  yang  melampaui  batas  tetapi  pada  dasarnya  tidak  menginginkan  akibat  hukum  terhadap  seseorang  karena  dia  dala m  keadaan  darurat  sehingga  terpaksa  melakukan perbuatan melawan hukum untuk menyelamatkan kehormatannya.
Dari  uraian  tersebut  maka  dalam  skripsi  ini  penulis  juga  akan  menguraikan suatu perbuatan dikatakan sebagai pembelaan baik dalam hukum  positif maupun  hukum Islam agar pasal tersebut tetap berfungsi/ tidak menjadi  pasal mati, karena sulit dalam pembuktiannya. Secara mendalam masalah ini  akan  penulis  jelaskan  dalam  skripsi  yang  berjudul  :  “Tinjauan  Hukum   http://www.detiknews.blogspot.com/read/2011/06/17/ahli - hukum - leni - bela - diri - anjas - yang - harusnya - terdakwa . ,  diunduh pada tanggal  25   Oktober    2011,   09.
 Keadaan  darurat  tidak  dapat  mempengaruhi  tindak  pidana  pembunuhan,  pelukaan  dan  pemotongan  anggota  badan.  Orang  yang  berada  dalam  keadaan  darurat  tidak  boleh  membunuh,  melukai,  atau  memotong  orang  lain  dalam  upaya  menyelamatkan  dirinya  dari  kematian.
Dicontohkan suatu kelompok orang berada dalam sampan yang hampir tenggelam karena beratnya  muatan,  penumpang  tidak  boleh  melemparkan  penumpang  yang  lain  ke  dalam  air  untuk  meringankan beban sampan dan dalam upaya menyelamatkan diri dari kematian.  Lihat dalam  Ali  Yafie, dkk.,  Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jilid II, Jakarta: Kharisma ilmu, 2009,   hlm. 236.
Dari  contoh  tersebut  menurut  hukum  pidana  Indonesia,  walaupun  perbuatan  tersebut  pada  kenyataannya  telah  memenuhi  unsur  pasal  338  KUHP  tentang  pembunuhan,  namun  dalam  keadaan darurat  dalam hukum pidana Indonesia ini berlaku untuk semua tindak pidana, termasuk  dalam  tindak  pidana  pembunuhan.    Walaupun  dalam  kenyataanya  perbuatan  terdakwa  telah  memenuhi  unsur  tindak  pidana.  Akan  tetapi  karena  hilangnya  sifat  melawan  hukum,  maka  terdakwa  tidak  dipidana.  Untuk  lebih  jelas  lihat  dalam  Rahman  Saleh,  Kitab  Undang-Undang  Hukum Pidana dengan Penjelasannya, Jakarta, Aksara Baru, 1987, hlm. 86.
Pidana  Islam  Terhadap  Pembelaan  Terpaksa  yang  Melampaui  Batas  dalam Tindak Pidana Pembunuhan”.
B.   Perumusan Masalah Dari  uraian  latar  belakang  diatas,  maka  munculah  berbagai  permasalahan  yang  menarik  untuk  dibahas.  Untuk  memfokuskan  permasalahan agar sesuai dengan kajian skripsi ini, penulis berusaha mencari  titik temu point permasalahan yang dikehendaki, antara lain: 1.  Bagaimana  perspektif  hukum  pidana  Islam  dan  hukum  pidana  positif  tentang tindak pidana pembunuhan ? 2.  Bagaimana  ketentuan  syarat  yang  terdapat  di  dalam  pembelaan  terpaksa  dalam Hukum Islam dan Hukum Positif? 3.  Bagaimana  Tinjauan  Hukum  Pidana  Islam  terhadap  sanksi  pembelaan  terpaksa yang melampaui batas yang mengakibatkan pembunuhan? C.  Tujuan dan Manfaat Penelitian  Tujuan karya tulis ini pada umumnya untuk mengetahui jawaban dari  perumusan masalah diatas, lebih spesifik lagi diantaranya yaitu: 1.  Untuk  mengetahui  dasar  hukum  tindak  pidana  pembunuhan  dalam  Hukum Islam dan KUHP 2.   Untuk menjelaskan unsur atau syarat yang terdapat di dalam Pembelaan  Terpaksa yang melampui Batas dalam Hukum Islam dan Hukum positif.
3.  Untuk  mengetahui  sanksi  pelaku  Pembelaan  Terpaksa  yang  Melampui  Batas Sehingga Mengakibatkan Pembunuhan dalam Hukum Islam.
Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah: Manfaat  dari  penyusunan  skripsi  ini  adalah  untuk  memberikan  kontribusi pemikiran terhadap khasanah  ilmu pengetahuan, khususnya dalam  bidang  hukum dengan  mencoba  membandingkan  antara hukum pidana Islam  dengan hukum pidana positif tentang pembelaan terpaksa melapaui batas yang  mengakibatkan  pembunuhan.  Dalam  penulisan  skripsi  ini  juga  diharapkan dapat  bermanfaat  menggali  nilai  hukum  yang  hidup  secara  alami  tumbuh  untuk kepentingan sosial, agar dapat membedakan antara pembelaan yang sah  dan  yang  melampaui  batas,  dan  memberi  manfaat  secara  teoritik  dan  fakta  hukum  dalam  perkembangan  permasalahan  yang  luas  terhadap  pembelaan  terpaksa yang mengakibatkan pembunuhan D.  Telaah Pustaka Hukum Islam merupakan salah satu substansi ajaran agama Islam yang  diyakini  kebenaran  dan  kesempurnaannya  yang  bersumber  dari  Allah  SWT.
Melalui  Nabi  Muhammad  SAW  sebagai  utusan-Nya,  hukum  tersebut  hidup  dalam  masyarakat  Islam,  sehingga  menjadi  pedoman  umat  dalam  berbagai  bidang diantaranya masalah Jinayat.
Secara teoretis hukum Islam atau yang dikenal dengann fiqh bersumber  dari  al-Qur’an  dan  Sunnah,  tetapi  para  fuqaha  (jama’  dari  faqih)  sering  berbeda  pendapat  dalam  memahami  konsep  dari  dua  sumber  tersebut.
Perbedaan  ini  di  pengaruhi  oleh  kurun  waktu  dan  lingkungan  dimana  para  fuqaha berada dan perbedaan metode istinbat yang di gunakan.
Penelitian  mengenai  pembelaan  terpaksa  ini  dalam  hukum  pidana telah  banyak dilakukan oleh peneliti  sebelumnya, namun dengan pendekatan  yang berbeda dalam pengujian datanya. Untuk itu penulis akan menyebutkan  beberapa  literatur  yang  akan  penulis  jadikan  sebagai  previous  finding  (penelitian  maupun  penemuan  sebelumya).  Disamping  itu  juga  banyak  pula  sudut  pandang  serta  metode  yang  digunakan  masing-masing  penulis  dalam  membahas  masalah  pembelaan  terpaksa,  tetapi  karya  pemikiran  yang  menggunakan sudut pandang hukum Islam masih begitu sedikit.
Sepanjang  pelacakan  dan  penelaahan  yang  penulis  lakukan,  baik  di  kalangan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang maupun sacara umum,  belum  ada  karya  penelitian  yang  membahas  pada  permasalahan  Tinjauan  Hukum Pidana Islam terhadap Pembelaan Terpaksa melampaui batas sehingga  mengakibatkan pembunuhan.
Terdapat  skripsi  di  IAIN  Walisongo  Semarang  karya  M.  Eko  Wahyudi (NIM:  2199184)  tahun 2004  dengan judul:  Analisis Atas Pemikiran Muhammad  Abu  Zahrah  tentang  Pembunuhan  sebagai  Upaya  dalam  Mempertahankan Harta. Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini  bahwa menurut Imam Abu Zahrah seseorang yang membunuh dengan alasan  mempertahankan  harta  dibolehkan,  pelakunya  digugurkan  dari  perbuatannya  dan tidak ada hukuman baginya.   Skripsi  buah  karya  oleh  Syarifudin  (NIM:  2198007)  tahun  2003  dengan judul:  Studi Hukum Islam Tentang Pembunuhan Sengaja oleh Wanita  Karena  Mempertahankan  Diri  dari  Pemerkosaan  (Studi  Analisis  Pandangan  Madzhab Syafi’i).  Penulis skripsi ini menyatakan bahwa seorang wanita yang  membunuh  dengan  sengaja  karena  mempertahankan  diri  menurut  pandangan  madzhab  Syafi’i  pelakunya  digugurkan  dari  perbuatanya  dan  tidak  ada  hukuman baginya, baik qishash, diat, maupun kafarat.
Adapun pembahasan mengenai Hukuman (sanksi)  pembelaan terpaksa pernah ada yang membahas dalam bentuk skripsi, yaitu "Pembelaan Terpaksa  Melampaui  Batas  dalam  Tindak  Pidana  Pembunuhan  (Putusan  Pengadilan  Negeri  Jember  Nomor  961/Pid.B/2008/PN.Jr)  oleh  Siti  Anisa,  Universitas  Hukum  Fakultas  Hukum  yang  menjelaskan  bahwa  seorang  terdakwa  yang  berkeyakinan  bahwa  perbuatan  yang  dilakukan  merupakan  pembelaan  terpaksa tetapi dapat diabaikan karena sebagian atau beberapa unsur mengenai  pembelaan terpaksa melampui  batas tidak terpenuhi dalam pembuktian. Jadi, perbuatan terdakwa  secara  sah dan  meyakinkan  melanggar pasal 338  KUHP  mengenai  pembunuhan.  Tetapi  agar  menjadi  dasar  untuk  memperingan  hukuman  terdakwa  yang  dalam  hal  ini,  menyerahkan  dirinya  dan  mengakui  kesalahannya, karena terdakwa berkeyakinan  bahwa perbuatannya merupakan  pembelaan terpaksa pasal 49 ayat 2.

Sedangkan  yang  membedakan  penelitian  sebelumnya  dengan  skripsi  ini  adalah  skripsi  ini  tidak  bersifat  spesifik  hanya  membahas  tentang  mempertahankan  harta,  kehormatan  tetapi  lebih  bersifat  umum  yaitu  upaya  perlindungan  terhadap  jiwa,  kehormatan  maupun  harta  yang  berupa  pembelaan  diri  ketika  akan  diserang  atau  dirampas  haknya.  Skripsi  ini  juga  bukan  merupakan studi tokoh maupun analisis Putusan pengadilan tapi  lebih  kepada  sudut  pandang  Islam.  Maka  untuk  membedakan  skripsi  ini  dengan  bahasan  yang  sudah  ada,  penulis  ingin  membahas  tentang  Tinjauan  Hukum  Pidana  Islam  Terhadap  Pembelaan  Terpaksa  Yang  Melampaui  Batas  (Noodweer  Exces)  Dalam  Tindak  Pembunuhan  dengan  harapan  pembahasan  ini akan menjadi bahasan  yang lebih lengkap dan seimbang.

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi