BAB I.
A. Latar Belakang.
Hukum secara umum dibuat untuk kebaikan manusia itu
sendiri, dan berguna memberikan
argumentasi yang kuat
bahwa bila hukum
diterapkan dalam suatu
masyarakat maka mereka
akan dapat merasakan
kebenaran, kebaikan, keadilan,
kesamaan dan kemaslahatan
dalam hidup di
dunia ini.
Seperti hukum
positif yang merupakan
hasil interpretasi manusia
terhadap peraturan dan
perbuatan manusia di
dunia, sedangkan hukum
Islam menghubungkan antara dunia dan akhirat, seimbang antara kebutuhan
rohani dan kebutuhan jasmani. Manfaat
yang diperoleh bagi yang mematuhi suruhan Allah dan kemudlaratan yang diderita lantaran mengerjakan maksiat,
kembali kepada pelakunya sendiri.
Kejahatan atau
tindak pidana dalam
Islam merupakan laranganlarangan syariat yang dikategorikan
dalam istilah jarimah atau
jinayah. Pakar fikih telah
mendefinisikan jarimah dengan perbuatan-perbuatan tertentu yang apabila
dilakukan akan mendapatkan
ancaman hukuman had
atau ta‟zir .
Adapun istilah jinayah kebanyakan para fuqaha
memaknai kata tersebut hanya Nourouzzaman
Shiddiqi, Fiqh Indonesia, Penggagas dan Gagasannya, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
Cet. ke-1, 1997, hlm. 89. Lihat
juga dalam Abu Zahra, al-Jarimah, Beirut: Dar al-Fikr alArabi, tt, hlm.2. Had
merupakan ketetapan hukum Allah yang paling berat diatas hukuman qishash dan
ta‟zir. Ta'zir dalam
konteks bahasa adalah
menolak dan mencegah
kejahatan, Ta‟zir juga berarti memberi pelajaran. Para ulama mengartikan ta'zir
dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh nas dan berkaitan dengan kejahatan.
Tujuannya adalah untuk memberi pelajaran agar tidak mengulangi
kejahatan serupa. Untuk
lebih jelas lihat
Ahmad Hanafi, Asas-asas
Hukum Pidana, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hlm. 260. untuk
perbuatan yang mengenai
jiwa atau anggota badan seperti
membunuh, melukai, memukul,
menggugurkan kandungan dan sebagainya.
Pada
dasarnya dengan adanya
sanksi terhadap pelanggaran
bukan berarti pembalasan
akan tetapi mempunyai
tujuan tersendiri yaitu,
untuk mewujudkan dan memelihara
lima sasaran pokok yang
disebut al-dharuriyat al-khamsah
yaitu yang terdiri
dari hifz al-nafs
(menjaga jiwa), hifz
al-„aql (menjaga akal), hifz al-din (menjaga agama), hifz al-mal (menjaga harta) dan hifz al-nasl
(menjaga keturunan).
Lima hal pokok ini, wajib diwujudkan dan dipelihara,
jika seseorang menghendaki kehidupan yang bahagia di dunia dan di akhirat. Segala upaya untuk mewujudkan dan
memelihara lima pokok tadi merupakan
amalan saleh yang harus dilakukan oleh umat Islam.
Terwujudnya stabilitas dalam setiap hubungan
dalam masyarakat dapat dicapai dengan
adanya sebuah peraturan
hukum yang bersifat
mengatur Ahmad Hanafi, op. cit,
hlm.2.
Tujuan pokok dalam penjatuhan hukuman dalam
syari’at Islam adalah pencegahan (ar-rad-u waz-zajru)
dan pengajaran serta
pendidikan (al-islah wat-tahdzib),
karena Islam sangat memeperhatikan pembentukan akhlak dan budi
pekerti. Sedangkan dalam hukum positif walaupun bertentangan
dengan akhlak, tidak
dianggap sebagai tindak
pidana kecuali apabila
perbuatan tersebut membawa
kerugian langsung bagi perorangan dan
ketentraman masyarakat. Lihat dalam A. Wardi
Muslich, Pengantar dan
Asas Hukum Pidana
Islam, (Fiqih Jinayah),
Jakarta: Sinar Grafika, 20006, hlm. 15.
Secara
global, tujuan syara’
dalam menetapkan hukum-hukumnya adalah
untuk kemaslahatan manusia
seluruhnya yang biasa disebut Al Maqashidu Khamsah (Panca Tujuan). Hal ini berdasarkan Firman Allah SWT QS. Al
Anbiya: 107, QS. Al Imran: 159, QS. Al Baqarah: 201 -202, dalam
Departemen Agama Republik
Indonesia, Al-Qur‟an dan
Terjemahnya, Jakarta: Syaamil
Cipta Media, 1984. Untuk lebih
jelasnya lihat dalam Ismail
Muhammad Syah, Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1999, hlm.
65-67, lihat juga dalam Asfri Jaya
Bakri, Konsep Maqashid Syari‟ah Menurut
Asy-Syatibi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cet. ke-1, 1996, hlm. 71-72, Hukum
Pidana Islam (jinayah)
didasarkan pada perlindungan
HAM (Human Right)
yang bersifat primer
(Daruriyyah) yang meliputi perlindungan atas agama,
jiwa, keturunan, akal, dan harta. Perlindungan terhadap lima hak tersebut oleh
asy-Syatibi dinamakan maqasid
asy-syari‟ah.
Hakikat dari pemberlakuan
syari’at (hukum) oleh Tuhan adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia.
Satria Effendi M. Zein, Kejahatan Terhadap harta dalam Perstektif
Hukum Islam, dalam Muhammad Amin
Suma, dkk, Pidana
Islam di Indonesia,
Peluang, Prospek, dan
Tantangan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001, hlm. 107.
(relegen/anvullen recht)
dan peraturan hukum
yang bersifat memaksa (dwingen
recht) setiap anggota
masyarakat agar taat
dan mematuhi hukum.
Setiap hubungan kemasyarakatan
tidak boleh bertentangan dengan
ketentuanketentuan dalam peraturan
hukum yang ada
dan berlaku dalam
masyarakat.
Sanksi yang
berupa hukuman (pidana)
akan dikenakan kepada
setiap pelanggar peraturan
hukum yang ada
sebagai reaksi terhadap
perbuatan melanggar hukum
yang dilakukannya. Akibatnya
ialah peraturan-peraturan hukum yang ada haruslah sesuai dengan
asas-asas keadilan dalam masyarakat, untuk menjaga
agar peraturan-peraturan hukum
dapat berlangsung terus
dan diterima oleh seluruh anggota
masyarakat.
Sebuah peraturan hukum ada karena adanya sebuah
masyarakat (ubiius ubi-societas). Hukum
menghendaki kerukunan dan
perdamaian dalam pergaulan hidup bersama. Hukum itu mengisi
kehidupan yang jujur dan damai dalam
seluruh lapisan masyarakat.
Sumber hukum bisa dari hukum yang hidup dalam
masyarakat seperti hukum adat,
peraturan perundang-undangan seperti
hukum Barat, konsepsi hukum
Islam yaitu dasar
dan kerangkanya ditetapkan
oleh Allah, yang mengatur hubungan
manusia dengan Tuhannya,
manusia dengan dirinya, manusia dengan makhluk lain dan manusia dengan
lingkunganya.
Hukum Islam dapat dibedakan menjadi
dua bagian yaitu Hukum Privat (Munakahat,
Wiratsah dan Muamalat) dan Hukum Publik (Jinayat, Al ahkam Sudarsono,
Pengantar Ilmu Hukum,
Jakarta: Rineka Cipta,
Cet. ke-2, 1995,
hlm. 48-49.
Hukum merupakan peraturan atau
seperangkat norma yang mengatur tingkah laku manusia dalam suatu masyarakat dan ditegakkan oleh penguasa.
Lihat dalam Muhammad Daud Ali, Hukum
Islam Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata
Hukum Islam di
Indonesia, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2001, hlm. 43.
al sulthaniyah, Siyar,
Mukhashamat).
Di dalam ajaran Islam bahasan-bahasan tentang kejahatan
manusia berikut upaya
preventif dan represif
dijelaskan dalam fiqh jinayah.
Islam,
seperti halnya sitem
lain melindungi hak-hak
untuk hidup, merdeka,
dan merasakan keamanan.
Ia melarang bunuh
diri maupun melakukan pembunuhan. Dalam Islam pembunuhan
terhadap seorang manusia tanpa alasan
yang benar diibaratkan
seperti membunuh seluruh
manusia.
Sebaliknya, barang
siapa yang memelihara
kehidupan seseorang manusia, maka
ia diibaratkan memelihara
manusia seluruhnya.
Jika
pembunuhan itu terjadi
juga, maka seseorang
harus mempertanggungjawabkan perbuatan tersebut.
Permasalahanya adalah
bagaimana jika pembunuhan
sengaja tersebut dilakukan
karena dalam upaya
membela jiwa, kehormatan
maupun harta benda baik untuk
melindungi diri sendiri maupun orang lain.
Dalam melakukan pembelaan dalam
Islam dikenal dengan istilah daf‟u as-sail. Dalam hukum Islam, pertanggungjawaban pidana
dapat hapus karena: Pertama, hal-hal
yang bertalian dengan
perbuatan atau perbuatan
yang dilakukan adalah
mubah (tidak dilarang)
yang disebut asbab
al-ibahah atau sebab
diperbolehkannya perbuatan yang
dilarang. Diantaranya yaitu: Dahlan Tamrin, Filsafat Hukum Islam, Malang:
UIN-Malang Press, 2007, hlm.9-10.
Istilah
Jinayah (crime, felony) adalah
tindakan yang dapat membahayakan
jiwa seseorang dan anggota tubuh yang mengaharuskan adanya
hukuman langsung di dunia atau yang berorientasi pada
hasil perbuatan seseorang
yang dilarang oleh
syara', para fuqaha
menggunakan istilah tersebut
hanya terbatas pada
perbuatan yang mengancam
keselamatan jiwa, seperti
pemukulan, pembunuhan, dan
sebagainya. Lihat H.A.
Djazuli, Fiqh Jinayah;
Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Cet. ke-3, Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 1.
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam;
Penegakan Syari‟at dalam Wacana dan Agenda,
Jakarta: Gema Insani Press, Cet. ke-1, 2003, hlm. 71-72.
Pembelaan yang
sah, Mendidik, Pengobatan,
Permainan kesatrian, Halalnya jiwa,
anggota badan dan
harta seseorang, Hak
dan kewajiban penguasa..
Kedua, hal-hal
yang bertalian dengan
keadaan pelaku atau
perbuatan yang dilakukan tetap dilarang tetapi pelakunya t
idak dijatuhi hukuman yang disebut asbab
raf‟i al-uqubah atau
sebab hapusnya hukuman.
Diantaranya yaitu: Paksaan, Mabuk, Gila dan Anak kecil (di bawah
umur).
Berbeda dengan
hukum positif pada
masa sebelum revolusi
Prancis, setiap orang
bagaimanapun keadaannya bisa
dibebani pertanggungjawaban pidana tanpa membedakan apakah orang tersebut
mempunyai kemauan sendiri atau tidak,
sudah dewasa atau belum. Bahkan hewan dan benda mati juga bisa dibebani
pertanggungjawaban apabila menimbulkan
kerugian kepada pihak lain. Kematian juga
tidak bisa menghindarkan
seseo rang dari pemeriksaan pengadilan
dan hukuman. Demikian
juga seseorang harus mempertanggungjawabkan perbuatan
orang lain, meskipun
orang tersebut tidak tahu-menahu dan tidak ikut serta
mengerjakannya. Baru setelah revolusi Prancis dengan
timbulnya aliran tradisionalisme dan
lain-lainnya, pertanggungjawaban
itu hanya dibebankan kepada manusia yang masih hidup yang memiliki pengetahuan dan pilihan.
Maka
tidak ada pertanggungjawaban pidana
selama perbuatannya itu tidak
bermaksud untuk turut serta, memudahkan a tau memberi bantuan untuk terlaksananya jarimah. Sedangkan bagi pelaku
perbuatan langsung dan sebab Ahmad
Hanafi, op.cit, hlm. 156-158.
dikenakan pertanggungjawaban pidana
atas perbuatannya, karena
keduanya merupakan illat (sebab)
adanya jarimah.
Dalam hukum
pidana Indonesia, pembelaan
terpaksa diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 49 ayat 1 yang berbunyi: “Tidak
dipidana barang siapa yang
melakukan perbuatan pembelaan untuk jiwa, kehormatan atau harta
benda baik untuk diri sendiri maupun
orang lain karena pengaruh daya paksa tidak dipidana”.
Sedangkan pembelaan
terpaksa melampaui batas
diatur dalam KUHP Pasal 49 ayat 2 yang berbunyi: “Pembelaan terpaksa
yang melampaui batas,
yang langsung disebabkan
oleh kegoncangan jiwa
yang hebat karena
serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.” Undang-undang
tidak memberikan keterangan
lebih jauh tentang pembelaan terpaksa yang
melampaui batas. Dalam Memorie van Toelichting (MvT) ada sedikit
keterangan mengenai pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang mengatakan jika terdapat
“kegoncangan jiwa yang hebat”.
Yang dimaksud
terdapat kegoncangan jiwa
yang hebat tidak dijelaskan dalam
KUHP tetapi oleh
ahli hukum memberikan
penjelasan kegoncangan jiwa
yang hebat sehingga
diperbolehkan melakukan pembelaan terpaksa
yang melampaui batas
sedangakan dalam hukum
Islam tidak diatur secara
jelas pembelaan yang
diperbolehkan dan juga
sanksi bagi pelaku pembelaan jika melampaui batas pembelaan.
Hanya berdasarkan firman Allah SWT.
“Barangsiapa
yang menyerang kamu,
Maka seranglah ia, seimbang
dengan serangannya terhadapmu.” Dari
ayat tersebut hanya menerangkan tentang penganjuran menyerang balik
ketika diserang tetapi
tidak menjelaskan syarat
dan sanksi bagi penyerang
jika melebihi batas serangan.
Alasan penghapus
pidana
(strafuitsluitingsground)
diartikan sebagai keadaan khusus (yang harus dikemukakan, tetapi
tidak perlu dibuktikan oleh terdakwa), meskipun
terhadap semua unsur
tertulis dari rumusan
delik telah dipenuhi tidak dapat dijatuhkan pidana. Alasan
penghapus pidana dikenal baik dalam KUHP,
doktrin maupun yurisprudensi. Sesuai
dengan ajaran daaddader strafrecht alasan penghapus pidana
dapat dibedakan menjadi : a) Alasan pembenar
(rechtvaardigingsgrond)
yaitu alasan yang menghapuskan sifat
melawan hukumnya perbuatan,
berkaitan dengan tindak pidana
(strafbaarfeit) yang dikenal dengan istilah actus reus di Negara Anglo saxon.
b) Alasan
pemaaf
(schuldduitsluitingsgrond)
yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan
terdakwa, berkaitan dengan pertanggungjawaban (toerekeningsvatbaarheid) yang
dikenal dengan istilah mens rea
di Negara Anglo saxon.
Ada
beberapa hal yang
menjadikan penulis tertarik
untuk membahas judul
tentang Tinjauan Hukum
Pidana Islam Terhadap
Pembelaan Terpaksa Yang Melampaui Batas (Noodweer Exces) dalam
Tindak Pidana Pembunuhan, QS. Al
Baqarah (2): 1 Moeljatno, Asas-asas
Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 1993, hlm.
137-138.
yang pertama
adalah bahwa Islam
sangat melindungi hak
hidup seseorang.
Hal ini terbukti dalam tujuan
syara’ atau yang lebih dikenal dengan istilah
AlMaqasidul Khamsah (panca
tujuan) salah satunya
memelihara jiwa dan
AlQur'an telah banyak
menjelaskan tentang sanksi
berkenaan dengan masala h kejahatan
terhadap nyawa. Di
antara jenis-jenis hukum
qishash disebutkan dalam al-Qur'an ialah: qishash pembunuh, qishash anggota badan dan qishash dari luka.
Semua kejahatan yang
menimpa seseorang, hukumannya
adalah dianalogikan dengan qishash
yakni berdasar atas persamaan antara hukuman dengan kejahatan, karena itu adalah tujuan
pokok dari pelaksanaan hukuman qishash.
Begitupun
dalam hukum positif
juga diatur masalah
sanksi untuk pembunuh dari yang teringan sampai yang
terberat.
Yang kedua
karena dalam KUHP
pasal 29 ayat
1 tentang pembelaan terpaksa, dan juga dalam Hukum Pidana Islam
diatur tentang pembelaan sah, tidak dijatuhi
hukuman sebab diperbolehkannya perbuatan
yang dilarang.
Tetapi untuk mengetahui apakah
suatu perbuatan itu sebagai suatu pembelaan atau sebaliknya, maka harus diketahui unsur
atau syarat yang dimaksud dalam pasal tersebut
dan bagaimana ketentuan
pembelaan terpaksa dalam
hukum Islam, karena dalam
Pasal tersebut tidak
dijelaskan bagaimana melakukan pembelaaan
yang diperbolehkan. Begitu
juga dalam pasal
49 ayat 2
tentang pembelaan terpaksa yang
melampaui batas tidak dijelaskan pelampauan batas yang
diperbolehkan dalam melakukan
suatu pembelaan. Terdapat
kasus di A. Wardi Muslich, op.cit, hlm. 18. Lihat dalam QS. Al Baqarah:
178-179. Qishash adalah pembuat jarimah dijatuhi hukuman (dibalas)
setimpal dengan perbuatannya, jadi dibunuh kalau ia membunuh,
atau dianiaya kalau
ia menganiaya. Hukuman
qishash dijatuhkan atas
pembunuhan sengaja dan
penganiayaan sengaja.
Jakarta Pembelaan
diri mahasiswi Universitas
Paramadina, Leni (21)
dari serangan pacarnya,
Anjas, (27) yang
justru berujung di
pengadilan. Padahal tindakan
Leni merupakan bentuk
perlawanan yang dilakukan
untuk mempertahankan dirinya dari
serangan Anjas.
Kronologis ceritanya
yaitu Anjas bertemu
Leni di rumah
Leni di Kemayoran
pada 22 November
2010. Awalnya Anjas
meminta proses putus pacaran diselesaikan
dengan baik-baik. Tidak
berapa lama, Anjas
mulai menunjukan hal aneh.
Tiba-tiba saja Anjas memaksa Leni menciumnya. Lalu Anjas
juga memegang-megang tubuh
Leni. Leni pun
membela diri dengan menyiram Anjas dengan air panas dalam gelas.
Dalam konsep hukum pidana,
penganiyaan dilakukan oleh orang yang mempunyai peran
dominan terhadap orang
lain. Unsur dominan
bisa ditandakan dengan
adanya senjata, jumlah
orang yang tidak
seimbang, atau unsur jenis kelamin.
Keduanya melakukan dengan tangan kosong. Tapi yang satu laki-laki dan
satu perempuan. Maka
unsur dominan ada
di laki-laki. Sehingga
wajar saja perempuan melawan
laki-laki dengan perlawanan yang tidak seimbang.
Seharusnya dakwaan jaksa harus
dilihat ke belakang lebih jauh. Yaitu Anjas
yang akan melakukan
pelecehan seksual terhadap
Leni. Meski keduanya
terikat dalam hubungan
pacaran, tapi bukan
lisensi untuk menyentuh perempuan tanpa izin. Jangankan dalam hubungan pacaran, dokter saja
harus minta izin
apabila mau menyentuh
pasien. Setiap pasangan
harus menghormati pasangan, tidak
boleh memaksa.
Jadi, Kedua
belah pihak seharusnya
sama-sama dipidana. Tetapi
jika dalam pembuktian terdapat
unsur yang memenuhi syarat pembelaan terpaksa, seharusnya
Leni bebas dari
segala tuntutan hukum.
Dalam kasus Leni,
jika Leni dijadikan
terdakwa maka Anjas
pun harus dijadikan
terdakwa pula.
Tetapi di
sini jaksa malah
menetapkan Leni sebagai
terdakwa dengan ancaman
2,5 tahun penjara.
Berarti
di sini seorang
wanita yang melakukan
pembelaan diri yang melampaui batas
tetapi pada dasarnya
tidak menginginkan akibat
hukum terhadap seseorang
karena dia dala m
keadaan darurat sehingga
terpaksa melakukan perbuatan
melawan hukum untuk menyelamatkan kehormatannya.
Dari uraian
tersebut maka dalam
skripsi ini penulis
juga akan menguraikan suatu perbuatan dikatakan sebagai
pembelaan baik dalam hukum positif
maupun hukum Islam agar pasal tersebut
tetap berfungsi/ tidak menjadi pasal
mati, karena sulit dalam pembuktiannya. Secara mendalam masalah ini akan
penulis jelaskan dalam
skripsi yang berjudul
: “Tinjauan Hukum http://www.detiknews.blogspot.com/read/2011/06/17/ahli
- hukum - leni - bela - diri - anjas - yang - harusnya - terdakwa . , diunduh pada tanggal 25
Oktober 2011, 09.
Keadaan
darurat tidak dapat
mempengaruhi tindak pidana
pembunuhan, pelukaan dan pemotongan anggota
badan. Orang yang
berada dalam keadaan
darurat tidak boleh
membunuh, melukai, atau
memotong orang lain
dalam upaya menyelamatkan
dirinya dari kematian.
Dicontohkan suatu kelompok orang
berada dalam sampan yang hampir tenggelam karena beratnya muatan,
penumpang tidak boleh
melemparkan penumpang yang
lain ke dalam
air untuk meringankan beban sampan dan dalam upaya
menyelamatkan diri dari kematian. Lihat
dalam Ali Yafie, dkk.,
Ensiklopedi Hukum Pidana Islam, Jilid II, Jakarta: Kharisma ilmu,
2009, hlm. 236.
Dari contoh
tersebut menurut hukum
pidana Indonesia, walaupun
perbuatan tersebut pada kenyataannya telah
memenuhi unsur pasal
338 KUHP tentang
pembunuhan, namun dalam keadaan
darurat dalam hukum pidana Indonesia ini
berlaku untuk semua tindak pidana, termasuk dalam
tindak pidana pembunuhan.
Walaupun dalam kenyataanya
perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur
tindak pidana. Akan
tetapi karena hilangnya
sifat melawan hukum,
maka terdakwa tidak
dipidana. Untuk lebih
jelas lihat dalam
Rahman Saleh, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dengan
Penjelasannya, Jakarta, Aksara Baru, 1987, hlm. 86.
Pidana Islam
Terhadap Pembelaan Terpaksa
yang Melampaui Batas dalam
Tindak Pidana Pembunuhan”.
B. Perumusan Masalah Dari uraian
latar belakang diatas,
maka munculah berbagai permasalahan
yang menarik untuk
dibahas. Untuk memfokuskan permasalahan agar sesuai dengan kajian skripsi
ini, penulis berusaha mencari titik temu
point permasalahan yang dikehendaki, antara lain: 1. Bagaimana
perspektif hukum pidana
Islam dan hukum
pidana positif tentang tindak pidana pembunuhan ? 2. Bagaimana
ketentuan syarat yang
terdapat di dalam
pembelaan terpaksa dalam Hukum Islam dan Hukum Positif? 3. Bagaimana
Tinjauan Hukum Pidana
Islam terhadap sanksi
pembelaan terpaksa yang melampaui
batas yang mengakibatkan pembunuhan? C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan
karya tulis ini pada umumnya untuk mengetahui jawaban dari perumusan masalah diatas, lebih spesifik lagi
diantaranya yaitu: 1. Untuk mengetahui
dasar hukum tindak
pidana pembunuhan dalam Hukum
Islam dan KUHP 2. Untuk menjelaskan
unsur atau syarat yang terdapat di dalam Pembelaan Terpaksa yang melampui Batas dalam Hukum Islam
dan Hukum positif.
3. Untuk
mengetahui sanksi pelaku
Pembelaan Terpaksa yang
Melampui Batas Sehingga
Mengakibatkan Pembunuhan dalam Hukum Islam.
Adapun manfaat dalam penelitian
ini adalah: Manfaat dari penyusunan
skripsi ini adalah
untuk memberikan kontribusi pemikiran terhadap khasanah ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang
hukum dengan mencoba membandingkan
antara hukum pidana Islam dengan
hukum pidana positif tentang pembelaan terpaksa melapaui batas yang mengakibatkan
pembunuhan. Dalam penulisan
skripsi ini juga
diharapkan dapat bermanfaat menggali
nilai hukum yang
hidup secara alami
tumbuh untuk kepentingan sosial,
agar dapat membedakan antara pembelaan yang sah dan
yang melampaui batas,
dan memberi manfaat
secara teoritik dan
fakta hukum dalam
perkembangan permasalahan yang
luas terhadap pembelaan terpaksa yang mengakibatkan pembunuhan D. Telaah Pustaka Hukum Islam merupakan salah
satu substansi ajaran agama Islam yang diyakini kebenaran
dan kesempurnaannya yang
bersumber dari Allah
SWT.
Melalui Nabi
Muhammad SAW sebagai
utusan-Nya, hukum tersebut
hidup dalam masyarakat
Islam, sehingga menjadi
pedoman umat dalam
berbagai bidang diantaranya
masalah Jinayat.
Secara teoretis hukum Islam atau
yang dikenal dengann fiqh bersumber dari al-Qur’an
dan Sunnah, tetapi
para fuqaha (jama’
dari faqih) sering berbeda
pendapat dalam memahami
konsep dari dua
sumber tersebut.
Perbedaan ini
di pengaruhi oleh
kurun waktu dan
lingkungan dimana para fuqaha
berada dan perbedaan metode istinbat yang di gunakan.
Penelitian mengenai
pembelaan terpaksa ini
dalam hukum pidana telah
banyak dilakukan oleh peneliti
sebelumnya, namun dengan pendekatan yang berbeda dalam pengujian datanya. Untuk
itu penulis akan menyebutkan beberapa literatur
yang akan penulis
jadikan sebagai previous
finding (penelitian maupun
penemuan sebelumya). Disamping
itu juga banyak
pula sudut pandang
serta metode yang
digunakan masing-masing penulis
dalam membahas masalah
pembelaan terpaksa, tetapi
karya pemikiran yang menggunakan
sudut pandang hukum Islam masih begitu sedikit.
Sepanjang pelacakan
dan penelaahan yang
penulis lakukan, baik
di kalangan Fakultas Syari’ah
IAIN Walisongo Semarang maupun sacara umum, belum
ada karya penelitian
yang membahas pada
permasalahan Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap Pembelaan Terpaksa
melampaui batas sehingga mengakibatkan
pembunuhan.
Terdapat skripsi
di IAIN Walisongo
Semarang karya M. Eko
Wahyudi (NIM: 2199184)
tahun 2004 dengan judul: Analisis Atas Pemikiran Muhammad Abu
Zahrah tentang Pembunuhan
sebagai Upaya dalam Mempertahankan
Harta. Kesimpulan yang dapat diperoleh dari penelitian ini bahwa menurut Imam Abu Zahrah seseorang yang
membunuh dengan alasan mempertahankan harta
dibolehkan, pelakunya digugurkan
dari perbuatannya dan tidak ada hukuman baginya. Skripsi buah
karya oleh Syarifudin
(NIM: 2198007) tahun
2003 dengan judul: Studi Hukum Islam Tentang Pembunuhan Sengaja
oleh Wanita Karena Mempertahankan Diri
dari Pemerkosaan (Studi
Analisis Pandangan Madzhab Syafi’i). Penulis skripsi ini menyatakan bahwa seorang
wanita yang membunuh dengan
sengaja karena mempertahankan diri
menurut pandangan madzhab
Syafi’i pelakunya digugurkan
dari perbuatanya dan
tidak ada hukuman baginya, baik qishash, diat, maupun
kafarat.
Adapun pembahasan mengenai
Hukuman (sanksi) pembelaan terpaksa pernah
ada yang membahas dalam bentuk skripsi, yaitu "Pembelaan Terpaksa Melampaui
Batas dalam Tindak
Pidana Pembunuhan (Putusan
Pengadilan Negeri Jember
Nomor 961/Pid.B/2008/PN.Jr) oleh
Siti Anisa, Universitas Hukum
Fakultas Hukum yang
menjelaskan bahwa seorang
terdakwa yang berkeyakinan
bahwa perbuatan yang
dilakukan merupakan pembelaan terpaksa tetapi dapat diabaikan karena
sebagian atau beberapa unsur mengenai pembelaan
terpaksa melampui batas tidak terpenuhi
dalam pembuktian. Jadi, perbuatan terdakwa
secara sah dan meyakinkan
melanggar pasal 338 KUHP mengenai
pembunuhan. Tetapi agar
menjadi dasar untuk
memperingan hukuman terdakwa
yang dalam hal
ini, menyerahkan dirinya
dan mengakui kesalahannya, karena terdakwa
berkeyakinan bahwa perbuatannya
merupakan pembelaan terpaksa pasal 49
ayat 2.
Sedangkan yang
membedakan penelitian sebelumnya
dengan skripsi ini
adalah skripsi ini
tidak bersifat spesifik
hanya membahas tentang mempertahankan
harta, kehormatan tetapi
lebih bersifat umum
yaitu upaya perlindungan
terhadap jiwa, kehormatan
maupun harta yang berupa
pembelaan diri
ketika akan diserang
atau dirampas haknya.
Skripsi ini juga bukan merupakan studi tokoh maupun analisis Putusan
pengadilan tapi lebih kepada
sudut pandang Islam.
Maka untuk membedakan
skripsi ini dengan bahasan
yang sudah ada,
penulis ingin membahas
tentang Tinjauan Hukum Pidana Islam
Terhadap Pembelaan Terpaksa
Yang Melampaui Batas (Noodweer Exces)
Dalam Tindak Pembunuhan
dengan harapan pembahasan ini akan menjadi bahasan yang lebih lengkap dan seimbang.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi