Jumat, 22 Agustus 2014

Skripsi Syariah: ANALISIS PUTUSAN NO. 1002/Pid.B/2008/PN.SMG TENTANG PERKELAHIAN KELOMPOK

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang Masalah.
Perbuatan  yang  dianggap  sebagai  suatu  tindakan  melanggar  hukum perundang-undangan, dalam konteks agama maupun  hukum  positif  memiliki  kedudukan  yang  sama,  yakni  harus  diperiksa  untuk  kemudian  ditentukan  status  pelakunya.  Maksud  dari  penentuan  status  adalah  apakah  pelaku  – berdasarkan  pemeriksaan  –  tersebut  terbukti  bersalah  dan  wajib  diberikan  sanksi  hukuman  ataukah  sebaliknya,  terbukti  tidak  bersalah  dan  harus  dibebaskan.  Pemeriksaan  terhadap  pelaku  yang  disangka  sebagai  pelaku  tindak  pidana  dilakukan  oleh  pihak  peradilan  melalui  suatu  proses  pengadilan.

Proses  pemeriksaan  terdakwa  dalam  persidangan  mencakup  pemeriksaan  terhadap  terdakwa,  saksi,  maupun  alat  bukti  yang  berkaitan  dengan perkara yang diperiksa. Keterangan atau informasi yang diperoleh dari  pihak-pihak  tersebut  kemudian  menjadi  bahan  pertimbangan  untuk  memutuskan status dari pelaku tindak pidana.  Secara prosesnya, pemeriksaan  dapat dibedakan menjadi tiga, yakni pemeriksaan biasa, pemeriksaan singkat  dan pemeriksaan cepat.
Terkait  dengan  proses  pemeriksaan  pihak  yang  didakwa  sebagai  pelaku  pidana  dalam  konteks  hukum  agama  (Islam)  dapat  dilihat  dalam  Topo  Santoso,  Membumikan  Hukum  Pidana  Islam: Penegakan Syariat dalam Wacana dan Agenda , Jakarta: Gema Insani Press, 2003, hlm. 48 -54.  Sedangkan  dalam  konteks  hukum  positif  dapat  dilihat  dalam  Rusli  Muhammad,  Potret  Lembaga Pengadilan Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006, hlm. 41-48.
Dalam  pemeriksaan  biasa,  pemeriksaan  dilakukan  secara  prosedural,  mulai  dari  pemanggilan  terdakwa,  eksepsi  terdakwa  atau  penasehat  hukum,  hingga pembuktian. Pemeriksaan ini membutuhkan waktu yang relatif  lama.
Pemeriksaan singkat merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap perkara  kejahatan  atau  pelanggaran  yang  tidak  termasuk  dalam  Pasal  205  KUHAP serta  menurut  penuntut  umum  pembuktian  dan  penerapan  hukumnya  mudah  dan  sifatnya  sederhana.  Sedangkan  pemeriksaan  cepat  adalah  pemeriksaan  terhadap tindak pidana ringan yang hukumannya paling lama tiga bulan atau  denda maksimal sebesar Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah) maupun  pelanggaran terhadap lalu lintas.
Akan  tetapi,  tidak  selamanya  pemeriksaan  dapat  berjalan  dengan  mudah  dan  lancar  sesuai  dengan  harapan.  Kurangnya  alat  bukti  maupun  keterangan  saksi  yang  berbelit  dan  berbeda-beda  antara  satu  dengan  lainnya  menjadi  salah  satu  factor  penyebabnya.  Untuk  itu,  dalam  lingkup  hukum,  dalam  hal  pembuktian,  terdapat  beberapa  cara  untuk  pembuktian  dalam  pemeriksaan  perkara.  Pertama,  pembuktian  yang  didasarkan  pada  keyakinan  hakim  dapat  dibedakan  menjadi  dua,  yakni  sistem  pembuktian  semata-mata  Mengenai penjelasan mengenai pemeriksaan biasa dapat dilihat dalam M. Taufik M dan  Suhasril,  Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010., hlm. 95-138.
Pasal  205  KUHAP  berisikan  3  ayat  dengan  bunyi:  1)  yang  diperiksa  menurut  acara  pemeriksaan  tindak  pidana  ringan  ialah  perkara  yang  diancam  dengan  pidana  penjara  atau  kurungan paling lama tiga bulan dan atau denda sebanyak-banyaknya tujuh ribu lima ratus rupiah  dan penghinaan ringan kecuali yang ditentukan dalam paragraph dua bagian ini; 2) dalam perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat 1, penyidik atas kuasa penuntut umum, dalam waktu tiga hari  sejak  berita  acara  pemeriksaan  selesai  dibuat,  menghadapkan  terdakwa  beserta  barang  bukti,  saksi, ahli dan atau juru bahasa ke sidang pengadilan; 3) dalam acara pemeriksaan sebagaimana  dimaksud dalam ayat 1, pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan  terakhir,  kecuali dalam hal dijatuhkan pidana  perampasan kemerdekaan terdakwa  dapat minta  banding. KUHP dan KUHAP, Jakarta: Gama Press, 2010, hlm. 241.
M. Taufik M dan Suhasril, op. cit., hlm. 139-142.
berdasarkan keyakinan hakim (convictim in time) dan pembuktian berdasarkan  keyakinan  hakim  atas  alasan  logis  (la  conviction  raisonee  /  convictimraisonee).  Dari  kedua  jenis  pembuktian  yang  didasarkan  pada  keyakinan  hakim, jenis pembuktian kedua merupakan proses  yang lebih kuat dari jenis  pembuktian yang pertama.  Kedua, pembuktian yang didasarkan pada undangundang yang juga dibagi menjadi dua, yakni secara positif dan secara negatif.
Ketentuan-ketentuan  terkait  dengan  hal  ikhwal  pemeriksaan  di  atas  dapat  dipilih  dan  digunakan  oleh  Majelis  Hakim  dalam  upaya  proses  pembuktian.  Salah  satu  praktek  dari  penggunaan  ketentuan-ketentuan  pemeriksaan  di  atas  adalah  dalam  memeriksa  dan  memutuskan  perkara  No.
1002/Pid.B/2008/PN. Smg atas diri terdakwa Ferdinando bin Giles Ardian.
Perkara  tersebut  merupakan  tindak  lanjut  dari  adanya  perkelahian  kelompok di wilayah tempat tinggal Ferdinando antara kelompok Ferdinando  dengan kelompok Dedy Pramono yang  menyebabkan timbulnya korban jiwa  atas  nama  Darmadi.  Pemeriksaan  terhadap  perkara  tersebut  dilakukan  sebanyak dua kali dengan putusan bebasnya terdakwa Ferdinando dari segala  tuduhan  dan  tuntutan  hukum.  Dalam  proses  pembuktiannya,  Majelis  Hakim  menggunakan  prinsip  pembuktian  berdasarkan  undang-undang  secara  negative,  yakni  sesuai  dengan  Pasal  183  KUHAP  yang  menjelaskan  bahwa  Majelis  Hakim  tidak  boleh  menjatuhkan  pidana  kepada  seseorang  hanya  didasarkan pada satu alat bukti saja.
Ibid., hlm. 103-106.
Sebagaimana dijelaskan dalam Putusan No. 1002/Pid.B/2008/PN. Smg, hlm. 26.   Dalam  pemeriksaan  tersebut  memang  tidak  diajukan  senjata  yang  digunakan  oleh  terdakwa  yang  menyebabkan  korban  Darmadi  meninggal  dunia.  Penyebabnya  adalah  senjata  yang  digunakan  terdakwa  tidak  diketemukan karena pada saat kejadian, terdakwa langsung dibawa ke rumah  sakit akibat luka-luka yang dideritanya. Selain itu, keterangan dari para saksi  dalam pemeriksaan juga berbeda-beda dan dianggap oleh Majelis Hakim dapat  berpeluang terkandung maksud tertentu (subyektif) dan kurang obyektif.  Oleh  sebab  itu,  kemudian  Majelis  Hakim  lebih  menitikberatkan  pada  keberadaan  alat  bukti,  keterangan  dari  terdakwa  dan  keadaan  terdakwa  dalam  peristiwa  pidana  sebagai  bahan  pertimbangan  dalam  pembuktian.  Hasil  dari  upaya  pembuktian tersebut adalah bebasnya terdakwa dengan dasar argument bahwa  yang dilakukan terdakwa merupakan bentuk bela paksa (noodweer).
Jika  mengacu pada upaya penegakan  hukum, idealnya Majelis Hakim  tidak  secara  cepat  mengambil  putusan  melainkan  mengupayakan  pencarian  barang bukti  serta memperjelas fakta dari perbedaan keterangan saksi.  Selain  itu,  keberadaan  beberapa  saksi  yang  diajukan  tanpa  disumpah  seakan -akan  semakin  menguatkan  adanya  upaya  pengaturan  pemeriksaan  sebagai  jenis pemeriksaan  cepat.  Padahal  jika  mengacu  dari  keberadaan  korban  jiwa  dan  ancaman hukuman, perkara yang diperiksa tidak dapat dikategorikan sebagai  jenis pemeriksaan cepat. Terlebih lagi jika disandarkan pada aspek kausalitas  kejadian  peristiwa  pidana.
Hal  ini  penting  karena  pada  dasarnya  sebelum  terjadi  peristiwa  pidana,  terdakwa-lah  yang  menyulut  kemarahan  dari  Mengenai perbedaan antara peristiwa pidana, perbuatan pidana dan tindak pidana dapat  dilihat  di  antaranya  dalam  Sudarto,  Hukum  Pidana  I,  Semarang:  Fakultas  Hukum  Undip,  1990,  hlm. 38-39; Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hlm. 59-61.
kelompok Dedy Pramono. Jadi pada dasarnya, dalam konteks kausalitas secara  umum,  apabila  tidak  ada  aksi  penganiayaan  yang  dilakukan  oleh  terdakwa  kepada  Dedy  Pramono,  mungkin  saja  peristiwa  pidana  yang  menimbulkan  korban jiwa tidak mungkin terjadi.
Dalam  konteks  hukum  pidana  Islam,  apa  yang  menjadi  dasar  pembuktian Majelis Hakim dapat disebut sebagai hal-hal yang menghapuskan  pertanggungjawaban  dari  tindakan  seseorang  yang  dilakukannya.  Namun  di  sisi  lain,  hukum  pidana  Islam  tidak  akan  memandang  suatu  akibat  tindak  pidana dari salah satu sudut saja namun harus dipandang secara keseluruhan.
Proses  pembuktian  harus  dilakukan  secara  seksama  dengan  memperhatikan  aspek-aspek dalam pembuktian.
Berdasarkan  penjelasan  di  atas,  maka  penulis  merasa  tertarik  untuk  melakukan  penelusuran  terhadap  putusan  No.  1002/Pid.B/2008/PN.  Smg.
Tujuan dari penelitian ini tidak lain adalah untuk  mengetahui sudut pandang  hukum pidana Islam terhadap proses penetapan putusan tersebut. Penelitian ini  sendiri  akan  diberi  judul  “ANALISIS  PUTUSAN  NO. 1002/Pid.B/2008/PN.Smg TENTANG PERKELAHIAN KELOMPOK”.



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi