BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perwalian merupakan
kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai
wakil untuk kepentingan dan atas nama anak
yang tidak mempunyai kedua orang tua, atau kedua orang tua atau orang tua yang masih hidup tidak cakap melakukan
perbuatan hukum.
Seseorang boleh menjadi seorang wali apabila
ia merdeka, berakal, dan dewasa. Adapun budak, orang gila, anak kecil tidak
boleh menjadi wali, karena orang - orang tersebut tidak berhak mewalikan
dirinya. Di samping itu wali juga harus beragama
Islam, karena orang yang bukan Islam tidak boleh menjadi wali.
Sebagaimana firman Allah SWT “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani
menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa
diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu
Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Q.S. Al - Maidah :51).
Kompilasi Hukum Islam Pasal 1 poin (h)
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat, h Departemen Agama, Al- Qur'an dan Terjemah.
1 Dalam fenomena sekarang ini banyak terjadi
seorang wali menolak untuk menikahkan
wanita yang ada dalam perwaliannya dengan berbagai alasan seperti adanya ketidakseimbangan (sekufu’) dan
adakalanya seorang wali te lah menjodohkan
dengan seorang laki - laki pilihan wali tersebut dan alasan - alasan yang lainnya. Apabila ada alasan yang tidak benar
menurut syara’ maka wali tersebut dapat digantikan atau hak perwaliannya dapat
dicabut menurut ketentuan hukum dan wali
tersebut dinyatakan sebagai wali
ad}alyaitu wali yang tidak bersedia mengawinkan wanita yang dalam
perwaliannya tanpa alasan yang dapat diterima, padahal si perempuan telah mencintai bakal
suaminya karena telah mengenal kafa'ahnya, baik agamanya maupun budi pekertinya.
Adapun mengenai wali selain orang tua (ayah),
tidak sama statusnya dengan ayah atau
bapak si perawan. Apabila seorang perempuan telah dilamar oleh seorang laki - laki dan dia telah setuju dengan laki -
laki itu, padahal walinya keberatan tanpa alasa n yang dapat dipertanggungjawabkan, maka
hakim berhak menikahkannya setelah nampak kedua calon mempelai itu
sekufu’(setingkat).
Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW H.S.A al - Hamdani, Risalah
Nikah, h 120.
H. Bgd. M. Leter, Tuntunan Rumah Tangga Muslim
dan Keluarga Berencana, h 139 “Dari A’isyah
r.a. berkata bahwaRasulullah SAW
bersabda : “Siapa perempuan yang menikah tanpa izin dari wali, maka nikahnya
itu batal (diucapkan sampai tiga kali). Jika suaminya telah menggaulinya, maka maskawinnya
adalah untuknya (wanita) karena apa yang telah diperoleh darinya. Apabila mereka bertengkar, maka
penguasa menjadi wali bagi orang yang
tidak mempunyai wali”.(H.R. Abu Dawud) Dalam
kasus wali ad}al,sebagian besar lebih
dipengaruhi oleh faktor kafa’ah, yang mana seorang wali tidak setuju jika wanita
yang berada di bawah perwaliannya menikah dengan seorang laki - laki yang
status sosialnya lebih rendah atau dari
segi pendidikan maupun usia dan faktor- faktor yang lainnya Dalam masalah
kafa'ah yang perlu d iperhatikan dan yang menjadi ukuran utama adalah sikap
hidup yang lurus dan sopan, bukan karena keturunan, pekerjaan, kekayaan dan sebagainya. Seorang laki - laki
yang saleh walaupun berasal dari keturunan rendah berhak menikah dengan
perempuan yang berderajat tinggi, begitu pula laki - laki yang fakir berhak menikah
dengan perempuan yang kaya asalkan laki laki itu muslim dan dapat menjauhkan
diri dari meminta- minta serta tidak ada seorangpun dari pihak wali yang
menghalanginya atau menuntut pembatalan dan ada kerelaan dari wali yang mengakadkan. Akan
tetapi jika laki - laki tersebut bukan dari golongan orang muslim dan atau tidak berbudi
luhur dan jujur berarti ia tidak kufu' dengan
perempuan yang salehah. Bagi perempuan yang salehah jika dinikahkan oleh walinya dengan laki - laki fasik, kalau
perempuannya masih gadis dan dipaksa oleh Imam Abu Daud, Sunan Abu Daud, Juz II, h. 95 orang tuanya, maka ia boleh menuntut
pembatalan.
Sehubungan dengan kedudukan manusia, Allah SWT berfirman : "Wahai
manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki - laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku -suku supaya
kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa diantara kamu." (Q.S.Al - Hujurat:13) Ayat ini mengakui bahwa nilai manusia pada
setiap orang adalah sama. Tak seorangpun
yang lebih mulia dengan yang lain, kecuali ketakwaannya kepada Allah dengan menunaikan kewajibannya kepada Allah
dan kepada sesama manusia.
Dalam sebuah hadits juga dijelaskan bahwa
Rasulullah SAW. Bersabda : "Jika datang kepadamu seorang laki -laki yang
agama dan akhlaknya kamu sukai, maka
nikahilah d ia. Jika kamu tidak berbuat demikian, akan terjadi fitnah dan kerusakan dimuka bumi. Lalu para
sahabat bertanya, "wahai Rasulullah! Bagaimana kalau dia sudah ada yang
punya?" jawabnya, "Jika datang kepadamu seorang laki -laki yang agama dan
akhlaknya kamu sukai, maka nikahkanlah
dia." itu diucapkan oleh Nabi sampai tiga kali." (H.R. Turmudzi, dengan sanad hasan).
Slamet Abidin dan H.Aminuddin, Fiqih Munakahat, h Departemen Agama, Al- Qur'an dan Terjemah.
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih
Munakahat,h Imam Al-Tirmidzi,
Al-kutubus Sittah Al Jami'u Al-TirmidziMu'jam 9, h 1756 Dalam
hadits di atas, ditujukan kepada para wali agar mereka menikahkan perempuan - perempuan yang berada dalam
perwaliannya kepada orang yang bera gama, berakhlak mulia dan bersifat amanah.
Adapun terkait dengan perwalian yang mana jika
seorang wali tidak bersedia menjadi wali
maka yang berhak menentukan wali tersebut sebagai wali ad}aladalah lembaga pengadilan dan melalui proses
persidangan. Berda sarkan data statistik perkara yang masuk ke Pengadilan Agama
Jombang tahun 2007 yaitu s ebanyak 5 kasus
tentang wali ad }al.Dari kasus- kasus
wali ad }al tersebut ada yang telah diputus oleh
pengadilan dan ada juga yang dicabut oleh pemohon karena dari pihak wali bersedia damai dan menjadi wali. Dalam
hal ini kasus wali ad}al termasuk kategori perkara terbanyak dalam perkara
permohonan (volunt air), meskipun sebagian
besar perkara yang masuk lebih didominasi kasus perceraian yang mencapai
ratusan kasus.
Sebaga imana pada umumnya, dalam
proses penyelesaian perkara dalam suatu persidangan memiliki prosedur dan
adanya tahapan - tahapan di dalam jalannya persidangan. Dalam hal ini, penulis
ingin mengetahui fakta yang terjadi di Pengadilan Agama Jombang khususnya tenta
ng perkara wali ad}al, yang mana dalam
proses persidangan perkara wali ad }al
tersebut penulis memperoleh informasi terkait dengan fakta yang terjadi dalam
persidangan bahwa dalam persidangan majelis hakim memanggil dan memberikan
kesempatan kepada wali ya ng enggan menjadi
wali untuk bersedia menjadi wali terhadap wanita yang berada di bawah Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih
Munakahat,h. l 53 perwaliannya. Padahal
dalam kaitannya dengan perkara permohonan atau gugatan, panggilan ditujukan kepada pihak termohon atau
tergugat dan tidak ada unsur perlawan antarpihak beperkara. Sedan gkan wali
dalam perkara wali ad }al tidak sebagai pihak termohon. Sehingga dalam hal
ini, selain ingin mengetahui pertimbangan majelis hakim dalam hal pemanggilan
wali, penulis juga ingin mengetahui status wali sebagai pihak apa dalamperkara
wali ad}altersebut dan dasar hukum yang berlaku.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi