BAB I.
PENDAHULUAN .
A. Latar Belakang Masalah.
Keluarga mempunyai
peranan yang penting
dalam kehidupan manusia sebagai
makhluk sosial dan
merupakan kelompok masyarakat
terkecil, yang terdiri
dari ayah, Ibu
dan anak. Dalam
kenyataan tidak selalu
ketiga unsur itu terpenuhi, sehingga
terkadang terdapat suatu
keluarga yang tidak mempunyai
anak.
Dengan demikian dilihat
dari eksistensi keluarga
se bagai kelompok kehidupan
masyarakat, menyebabkan tidak
kurangnya mereka yang menginginkan
anak, tetapi ada diantara sebagian orang tua yang justru membuang anaknya, karena ia malu, akibat perbuatannya
sendiri mengadakan hubungan seks diluar nikah.
Hal ini
kemudian di dalam
fikih Islam dikenal
dengan istilah allaqit, yang didefinisikan sebaga i ”anak kecil yang hilang atau yang dibuang
orang tuanya untuk
menghindar dari tanggung
jawab atau untuk
menutupi suatu perbuatan zina, sehingga tidak diketahui orang
tuanya.” Sebenarnya hukum Islam telah memberikan perhatian yang serius terhadap
lembaga
pengakuan anak, termasuk
juga pengakuan terhadap
anak temuan.
Hampir semua
kitab fikih tradisional
maupun kontemporer menulis
tentang lembaga pengakuan
anak, khususnya kepada
anak temuan yang
disebut dengan “laqith”. Demikian juga undang-undang keluarga Muslim di Negara-negara
Islam Zaeni Muderis, Adopsi Suatu
Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum , Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hal. Abdul Aziz Dahlan,
Ensiklopedia Hukum Islam,
Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003, hlm. 1023 Timur
Tengah telah menetapkan
bahwa perlindungan terhadap
anak temuan itu merupakan suatu
kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh orang
Islam untuk menyantuninya,
jika ia tidak
melakukannya maka ia
akan berdosa dan
dapat dikenakan denda sebagai
perbuatan jarimah. Apa yang dikemukakan oleh Ahmad Husni
ini di Indonesia
belum dapat tempat
yang wajar, belum
ada pengaturan yang secara luas tentang lembaga masalah anak
temuan yang harus diakui sebagai anak
kandungnya. Tentang hal
ini merupakan satu
hal yang sangat
tabu dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Peraturan
perundang-undangan tentang hukum kekeluargaan di
Indonesia belum memberikan
porsi yang lengkap
dan rinci terhadap lembaga pengakuan anak sebagaimana
dalam peraturan-peraturan hukum di Negara
Muslim lainnya dan
juga di beberapa
Negara yang tergabung
dalam Asean.
Sedangkan para
ulama berbeda pendapat
dalam menetapkan hukum memungut
anak tersebut. Ulama Madzhab Hanafi mengatakan bahwa hukumnya sunah
dan termasuk amalan
yang utama, karena
sikap ini bersifat mempertahankan
nyawa seseorang. Disamping
itu, mereka juga
menyatakan bahwa memungut
anak itu hukumnya
bisa menjadi fardu
kifayah (kewajiban kolektif, yang apabila dikerjakan sebagian orang maka kewajibannya gugur bagi yang tidak mengerjakannya) apabila
dikhawatirkan anak itu akan binasa jika tidak dipungut dan diselamatkan.
Jumhur ulama mengatakan bahwa
hukum memungut anak itu adalah fardu kifayah. Akan tetapi, apabila dikhawatirkan anak itu
akan binasa, maka tindakan menyelematkannya menjadi fardu ain (kewajiban
pribadi) penemunya.
Ulama fikih
sepakat bahwa penemu
anak kecil ini
lebih utama untuk memelihara anak
tersebut. Adapun biaya
pemeliharaannya, apabila anak
itu memiliki harta
(ketika ditemukan ada
harta di sampingnya),
maka biaya pemeliharaan diambil dari
harta itu. Apabila anak tersebut
tidak memiliki harta, maka penemunya diharapkan menanggung segala
biayanya. Jika ia tidak mampu memelihara
anak itu, maka ia boleh menyerahkan anak tersebut kepada hakim dan hakim
dapat menunjuk seseorang
untuk memelihara anak
itu dengan mengeluarkan biaya pemeliharaanya dari baitul
mal.
Imam Syafi‟i
berpendapat bahwa segala
sesuatu atau anak
yang hilang tanpa
ada penanggungnya, maka
mengambilnya termasuk fardhu
kifayah.
Berdasarkan firman Allah Swt: Artinya:
“Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah
dia telah memelihara
kehidupan manusia semuanya.
(QS.
Al-Maidah, ayat;32) Menghidupkan
anak tersebut berarti menggugurkan dosa seluruh manusia.
Dengan Menghidupkan mereka
berarti menyelematkan dari siksa.
Sesungguhnya anak
adam adalah dimuliakan,
maka wajib menjaganya
seperti halnya ketika sedang
kelaparan yang membutuhkan
bantuan makanan dari
orang lain. Hal
ini didasarkan oleh firman Allah
Swt dalam surat al-Maidah yang berbunyi: Artinya: “Dan
tolong-menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan takwa,
dan jangan tolong
menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran,
dan bertaqwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah amat berat
siksa-Nya.” )QS. Al-Maidah, ayat; 2) Ayat
di atas mengajak
kepada manusia untuk
saling tolong-menolong di dalam kebaikan
dan ketakwaan. Sehingga
demi menjaga kelangsungan
hidup, wajib hukumnya bagi
seseorang untuk menyelamatkannya.
Akan tetapi, yang penulis bahas
dalam skripsi ini bukan mengenai hukum mengambil anak temuan, orang yang mengambil anak
tersebut atau anak temuan itu sendiri
serta statusnya, akan
tetapi lebih cenderung
terhadap hak perwalian anak temuan tersebut. Sehingga perlu dikaji lebih dalam mengenai
permasalahan perwalian khususnya tentang
wali nikah bagi anak temuan.
Adapun kekuasaan bertindak hukum
terhadap anak pungut itu sepenuhnya berada
di tangan hakim. Hakimlah yang
menjadi wali nikahnya dan hakim
pula yang berhak mengatur
pengeluaran harta anak tersebut, jika ia mempunyai harta.
Hal ini
didasarkan pada hadits
Nabi Saw: “Hakim
merupakan wali bagi
orangorang yang tidak
mempunyai wali.”(HR. al-Bukhari,
Muslim, atTirmizi, Abu Dawud, dan
an-Nasa‟i). Jadi, kekuasaaan
perwalian dalam masalah
perkawinan dan harta tidak berada
di tangan orang yang memungutnya.
Dari pemaparan di atas, akan
penulis diskripsikan terdahulu pendapat para Ulama terdahulu yang berkaitan dengan masalah
wali nikah khususnya wali nikah bagi anak
temuan. Mereka dari
kalangan Hanafi, Syafi‟i,
Maliki dan mayoritas ulama berpendapat bahwa wali nikah bagi anak
temuan adalah sultan (penguasa).
Yayasan Penyelenggara Penterjemah
/pentafsir Al-Qur‟an, Op. Cit, hlm. 156 ىاطلّسلا
ّيا دارولاو هلىق : ةّصاخ وا ةّهاع
يا ةيلاو هّل يه . ّىا
عفّذلا لصاحو اّصاخوا ماهلااك
ىاك اّهاع ةارولا ىلع
ةيلاوو ىاطلس هّل يه
ّلك ىاطلّسلاب دارولا ةحكًلاا دىقعل
ىّلىتولاو ىضاقلاك Artinya:“Yang dimaksud
shultan adalah orang
yang memiliki kekuasaan,
baik umum ataupun
khusus, yakni semua
orang yang mempunyai
kekuasaan terhadap perempuan,
baik secara umum
seperti imam, ataupun
secara khusus seperti
hakim dan orang
yang memperoleh mandat
untuk melaksanakan akad nikah”.
ذقعلا
اذهل وا ةحكًلاا دىقعب
ىلىتولا وا ىضاقلاك اصاخوا
ىاك اهاع نكاحلا نث
هصىصخب Artinya:“Kemudian hakim
baik yang bersifat
umum atau yang
besifat khusus seperti
qadhi (penghulu) atau
orang yang memperoleh
mandat untuk melaksanakan akad-akad nikah atau akad
tersebut secara khusus” Jumhur
Ulama (selain Hanafiyah)
berpendapat bahwa suatu
perkawinan tidak sah
tanpa wali.
Karena wali
termasuk rukun, maka
nikah tidak sah
tanpa adanya wali. Demikian pendapat jumhur ulama. Hal ini
berarti, ada juga pendapat yang
memandang sah suatu perkawinan tanpa ada wali.
Berdasarkan hadits Nabi Saw yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: Artinya: “Tidak dipandang sah nikah tanpa wali,
dan penguasa adalah wali bagi orang yang
tidak memiliki wali.
Hadits di
atas menunjukan pengertian
bahwa tidak dipandang
sah pernikahan tanpa
adanya wali dan
penguasa adalah wali
bagi orang yang
tidak memiliki wali. Kemudian
hadits tersebut dijadikan dalil oleh para ulama atas hak Muhammad Syato‟ Damyati Bakri, I’anatuth
Thalibin, juz III,Beirut Lebanon: Dar al Kitab Ilmiyah, tt, hlm. 214 Syekh Ibrohim al Bajuri, Al-Bajuri, juz II,
Daru Ikhya‟i Kitab al Arobiyah,tt, hlm.106 M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab Fiqh,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, Hlm. 131 wali berada dalam kekuasan sulthon (penguasa)
yang memiliki kewenangan untuk menikahkan
dan menguasai atas pentasharufan harta orang atau anak yang tidak memiliki
wali. Yang kemudian
hal tersebut dinisbatkan
terhadap hak merawat, mengajar,
mendidik, dan menikahkan.
Sedangkan tidak ada
hak perwalian bagi orang yang
menemukan untuk menikahkan
ataupun mentasharufkan harta
anak yang tidak
memiliki wali (anak
temuan).
1Dikarenakan tidak
ada sebab-sebab perwalian yaitu: kekerabatan dan penguasa.
1Sedangkan menurut Ibnu Qudamah yang
menjadi wali bagi anak
temuan adalah orang
tua asuh (yang
menemukan). Menurut dia
ketika seorang menemukan anak temuan dan ia tertutup
keadaannya (tidak diketahui hakikat sifat adilnya/
tidak dipercaya), maka
anak tersebut tetap
menjadi hak asuh
baginya karena sesungguhnya hukum
tersebut dihukumi adil di dalam menemukan
harta, penguasaan/ perwalian
dalam nikah dan
kesaksian dalam nikah,
di dalam beberapa
hukum, karena pada
asalnya orang muslim
adalah adil, berdasarkan Qaul
sahabat Umar :
“Orang-orang muslim adalah
adil sebagian mereka
atas sebagian yang lain. Di
katakan dia adil karena secara dhohir dia telah mempunyai tujuan untuk menutupi / menghindarkan
kebinasaan si anak dan siap menjaganya.
Dalam kenyataan
kehidupan ini ternyata
banyak permasalahan anak, khususnya
anak temuan. Dalam hal ini tentu hukum Islam tidak akan memberikan permasalahan
ini dibiarkan saja
karena status anak
nantinya akan berhubungan dengan hak waris, mahram dan wali nikah.
1Wahbah Al-Zuhaili,
Fiqh Islam wa
Adilatuh, tt, juz. 6, Beirut,
Lubnan: Dar al-Fikr.
hlm. 4851Al-Kasani, Badai’
as-Shanai’, juz. 8, Beirut, Lubnan: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt, hlm. 323 Sedangkan menurut penulis yang lebih menarik
dalam pembahasan skripsi ini adalah
mengenai pendapat ulama
dari golongan Hanabilah
bernama Ibnu Qudamah yang berbeda pendapat dengan
kebanyakan ulama yakni menempatkan kedudukan multaqith
(orang yang menemukan)
sebagai wali nikah
bagi anak temuan tersebut . Dengan berbagai alasan dan
pertimbangan yang memberikan hak terhadap multaqith
terhadap masalah wali bagi anak temuan yang pada umumnya kekuasaannya dipegang oleh penguasa atas anak
temuan tersebut.
Berdasarkan latar
belakang di atas,
maka penulis berkeinginan
untuk mengetahui lebih jauh
tentang pendapat tersebut dengan asumsi bahwa hal ini bisa menjadi
sebuah kontribusi positif
dan menambah wacana
serta memperkaya khasanah
keislaman kita. Meskipun
secara sepintas pendapat
Ibnu Qudamah itu terlihat
kontradiktif dengan pendapat para ulama yang lain.
B. Pokok Permasalahan.
Berpijak dari
latar belakang masalah
di atas, ada
beberapa pokok masalah yang hendak dikembangkan dan dicari pangkal
penyelesaiannya, sehingga dapat dirumuskan
sebagai berikut :
1. Bagaimana
pendapat Ibnu Qudamah
tentang wali nikah
bagi anak temuan.
2. Bagaimana metode istinbath hukum yang
digunakan oleh Ibnu Qudamah tentang wali
nikah bagi anak temuan.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi