Jumat, 22 Agustus 2014

Skripsi Syariah: ANALISIS TERHADAP PENDAPAT IBNU QUDAMAH TENTANG WALI NIKAH ANAK TEMUAN

BAB I.
PENDAHULUAN .
A.   Latar Belakang Masalah.
Keluarga  mempunyai  peranan  yang  penting  dalam  kehidupan  manusia  sebagai  makhluk  sosial  dan  merupakan  kelompok  masyarakat  terkecil,  yang  terdiri  dari  ayah,  Ibu  dan  anak.  Dalam  kenyataan  tidak  selalu  ketiga  unsur  itu  terpenuhi,  sehingga  terkadang  terdapat  suatu  keluarga  yang  tidak  mempunyai  anak.  Dengan  demikian  dilihat  dari  eksistensi  keluarga  se bagai  kelompok  kehidupan  masyarakat,  menyebabkan  tidak  kurangnya  mereka  yang  menginginkan anak, tetapi ada diantara sebagian orang tua yang justru membuang  anaknya, karena ia malu, akibat perbuatannya sendiri mengadakan hubungan seks  diluar  nikah.

Hal  ini  kemudian  di  dalam  fikih  Islam  dikenal  dengan  istilah  allaqit, yang didefinisikan sebaga i  ”anak kecil yang hilang atau yang dibuang orang  tuanya  untuk  menghindar  dari  tanggung  jawab  atau  untuk  menutupi  suatu  perbuatan zina, sehingga tidak diketahui orang tuanya.” Sebenarnya hukum Islam telah memberikan perhatian yang serius terhadap  lembaga  pengakuan  anak,  termasuk  juga  pengakuan  terhadap  anak  temuan.
Hampir  semua  kitab  fikih  tradisional  maupun  kontemporer  menulis  tentang  lembaga  pengakuan  anak,  khususnya  kepada  anak  temuan  yang  disebut  dengan  “laqith”. Demikian  juga undang-undang keluarga Muslim di Negara-negara Islam  Zaeni Muderis, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum , Jakarta: Sinar Grafika,  2004, hal. Abdul Aziz  Dahlan,  Ensiklopedia Hukum Islam,  Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,  2003, hlm. 1023  Timur  Tengah  telah  menetapkan  bahwa  perlindungan  terhadap  anak  temuan  itu  merupakan  suatu  kewajiban  yang  harus  dilaksanakan  oleh  orang  Islam  untuk  menyantuninya,  jika  ia  tidak  melakukannya  maka  ia  akan  berdosa  dan  dapat  dikenakan denda sebagai perbuatan jarimah. Apa yang dikemukakan oleh Ahmad  Husni  ini  di  Indonesia  belum  dapat  tempat  yang  wajar,  belum  ada  pengaturan  yang secara luas tentang lembaga masalah anak temuan yang harus  diakui sebagai  anak  kandungnya.  Tentang  hal  ini  merupakan  satu  hal  yang  sangat  tabu  dalam  kehidupan  masyarakat  Indonesia.  Peraturan  perundang-undangan  tentang  hukum  kekeluargaan  di  Indonesia  belum  memberikan  porsi  yang  lengkap  dan  rinci  terhadap lembaga pengakuan anak sebagaimana dalam peraturan-peraturan hukum  di  Negara  Muslim  lainnya  dan  juga  di  beberapa  Negara  yang  tergabung  dalam  Asean.
Sedangkan  para  ulama  berbeda  pendapat  dalam  menetapkan  hukum  memungut anak tersebut. Ulama Madzhab Hanafi mengatakan bahwa hukumnya  sunah  dan  termasuk  amalan  yang  utama,  karena  sikap  ini  bersifat  mempertahankan  nyawa  seseorang.  Disamping  itu,  mereka  juga  menyatakan  bahwa  memungut  anak  itu  hukumnya  bisa  menjadi  fardu  kifayah   (kewajiban  kolektif, yang apabila  dikerjakan sebagian orang  maka kewajibannya gugur bagi  yang tidak mengerjakannya) apabila dikhawatirkan anak itu akan binasa jika tidak  dipungut dan diselamatkan.
Jumhur ulama mengatakan bahwa hukum memungut anak itu adalah fardu  kifayah.  Akan tetapi, apabila dikhawatirkan anak itu akan binasa,  maka tindakan  menyelematkannya menjadi fardu ain (kewajiban pribadi) penemunya.
Ulama  fikih  sepakat  bahwa  penemu  anak  kecil  ini  lebih  utama  untuk  memelihara  anak  tersebut.  Adapun  biaya  pemeliharaannya,  apabila  anak  itu  memiliki  harta  (ketika  ditemukan  ada  harta  di  sampingnya),  maka  biaya  pemeliharaan diambil  dari  harta  itu. Apabila anak tersebut tidak  memiliki  harta,  maka penemunya diharapkan menanggung segala biayanya. Jika ia tidak mampu  memelihara anak itu, maka ia boleh menyerahkan anak tersebut kepada hakim dan  hakim  dapat  menunjuk  seseorang  untuk  memelihara  anak  itu  dengan  mengeluarkan biaya pemeliharaanya dari baitul mal.
Imam  Syafi‟i  berpendapat  bahwa  segala  sesuatu  atau  anak  yang  hilang  tanpa  ada  penanggungnya,  maka  mengambilnya  termasuk  fardhu  kifayah.
Berdasarkan firman Allah Swt: Artinya: “Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka  seolah-olah  dia  telah  memelihara  kehidupan  manusia  semuanya.  (QS.
Al-Maidah, ayat;32) Menghidupkan anak tersebut berarti menggugurkan dosa seluruh manusia.
Dengan Menghidupkan mereka berarti menyelematkan dari siksa.
Sesungguhnya  anak  adam  adalah  dimuliakan,  maka  wajib  menjaganya  seperti  halnya  ketika  sedang  kelaparan  yang  membutuhkan  bantuan  makanan  dari  orang  lain.  Hal  ini  didasarkan oleh firman Allah Swt dalam surat al-Maidah yang berbunyi: Artinya:  “Dan  tolong-menolonglah  kamu  dalam  (mengerjakan)  kebajikan  dan takwa,  dan  jangan  tolong  menolong  dalam  berbuat  dosa  dan  pelanggaran,  dan bertaqwalah  kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah  amat berat siksa-Nya.” )QS. Al-Maidah, ayat; 2) Ayat  di  atas  mengajak  kepada  manusia  untuk  saling  tolong-menolong  di  dalam  kebaikan  dan  ketakwaan.  Sehingga  demi  menjaga  kelangsungan  hidup, wajib hukumnya  bagi seseorang untuk menyelamatkannya.
Akan tetapi, yang penulis bahas dalam skripsi ini bukan mengenai hukum  mengambil  anak temuan, orang yang mengambil anak tersebut atau anak temuan  itu  sendiri  serta  statusnya,  akan  tetapi  lebih  cenderung  terhadap  hak  perwalian  anak temuan tersebut.  Sehingga perlu dikaji lebih dalam mengenai permasalahan  perwalian khususnya tentang wali  nikah bagi anak temuan.
Adapun kekuasaan bertindak hukum terhadap anak pungut itu sepenuhnya  berada di tangan  hakim. Hakimlah  yang  menjadi wali  nikahnya dan  hakim  pula  yang berhak mengatur pengeluaran harta anak tersebut, jika ia mempunyai harta.
Hal  ini  didasarkan  pada  hadits  Nabi  Saw:  “Hakim  merupakan  wali  bagi  orangorang  yang  tidak  mempunyai  wali.”(HR.  al-Bukhari,  Muslim,  atTirmizi,  Abu  Dawud,  dan  an-Nasa‟i).  Jadi,  kekuasaaan  perwalian  dalam  masalah  perkawinan  dan harta tidak berada di tangan orang yang memungutnya.
Dari pemaparan di atas, akan penulis diskripsikan terdahulu pendapat para  Ulama terdahulu yang berkaitan dengan masalah wali nikah khususnya wali nikah  bagi  anak  temuan.  Mereka  dari  kalangan  Hanafi,  Syafi‟i,  Maliki  dan  mayoritas  ulama berpendapat bahwa wali nikah bagi anak temuan adalah sultan (penguasa).
Yayasan Penyelenggara Penterjemah /pentafsir Al-Qur‟an, Op. Cit, hlm. 156   ىاطلّسلا ّيا دارولاو هلىق  : ةّصاخ وا ةّهاع يا ةيلاو هّل يه  . ّىا عفّذلا لصاحو اّصاخوا ماهلااك ىاك اّهاع ةارولا ىلع ةيلاوو ىاطلس هّل يه ّلك ىاطلّسلاب دارولا ةحكًلاا دىقعل ىّلىتولاو ىضاقلاك Artinya:“Yang  dimaksud  shultan  adalah  orang  yang  memiliki  kekuasaan,  baik  umum  ataupun  khusus,  yakni  semua  orang  yang  mempunyai  kekuasaan  terhadap  perempuan,  baik  secara  umum  seperti  imam,  ataupun  secara  khusus  seperti  hakim  dan  orang  yang  memperoleh  mandat  untuk  melaksanakan akad nikah”.
ذقعلا اذهل وا ةحكًلاا دىقعب ىلىتولا وا ىضاقلاك اصاخوا ىاك اهاع نكاحلا نث هصىصخب Artinya:“Kemudian  hakim  baik  yang  bersifat  umum  atau  yang  besifat  khusus  seperti  qadhi  (penghulu)  atau  orang  yang  memperoleh  mandat  untuk  melaksanakan akad-akad nikah atau akad tersebut secara khusus” Jumhur  Ulama  (selain  Hanafiyah)  berpendapat  bahwa  suatu  perkawinan  tidak  sah  tanpa  wali.
Karena  wali  termasuk  rukun,  maka  nikah  tidak  sah  tanpa  adanya  wali. Demikian pendapat jumhur ulama. Hal ini berarti, ada juga pendapat  yang memandang sah suatu perkawinan tanpa ada wali.  Berdasarkan hadits Nabi  Saw yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas: Artinya: “Tidak dipandang sah nikah tanpa wali, dan penguasa adalah wali bagi  orang yang tidak memiliki wali.
Hadits  di  atas  menunjukan  pengertian  bahwa  tidak  dipandang  sah  pernikahan  tanpa  adanya  wali  dan  penguasa  adalah  wali  bagi  orang  yang  tidak  memiliki wali.  Kemudian  hadits tersebut dijadikan dalil oleh para ulama atas hak  Muhammad Syato‟ Damyati Bakri, I’anatuth Thalibin, juz III,Beirut Lebanon: Dar al  Kitab Ilmiyah, tt, hlm. 214  Syekh Ibrohim al Bajuri, Al-Bajuri, juz II, Daru Ikhya‟i Kitab al Arobiyah,tt, hlm.106  M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab Fiqh, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, Hlm. 131  wali berada dalam kekuasan sulthon (penguasa) yang memiliki kewenangan untuk  menikahkan dan  menguasai atas pentasharufan  harta orang atau anak  yang tidak  memiliki  wali.  Yang  kemudian  hal  tersebut  dinisbatkan  terhadap  hak  merawat,  mengajar,  mendidik,  dan  menikahkan.  Sedangkan  tidak  ada  hak  perwalian  bagi  orang  yang  menemukan  untuk  menikahkan  ataupun  mentasharufkan  harta  anak  yang  tidak  memiliki  wali  (anak  temuan).
1Dikarenakan  tidak  ada  sebab-sebab  perwalian yaitu: kekerabatan dan penguasa.
1Sedangkan  menurut Ibnu Qudamah  yang  menjadi wali  bagi  anak  temuan  adalah  orang  tua  asuh  (yang  menemukan).  Menurut  dia  ketika  seorang  menemukan anak temuan dan ia tertutup keadaannya (tidak diketahui hakikat sifat  adilnya/  tidak  dipercaya),  maka  anak  tersebut  tetap  menjadi  hak  asuh  baginya  karena sesungguhnya hukum tersebut dihukumi adil di dalam  menemukan harta,  penguasaan/  perwalian  dalam  nikah  dan  kesaksian  dalam  nikah,  di  dalam  beberapa  hukum,  karena  pada  asalnya  orang  muslim  adalah  adil,  berdasarkan  Qaul  sahabat  Umar  :  “Orang-orang  muslim  adalah  adil  sebagian  mereka  atas  sebagian yang lain. Di katakan dia adil karena secara dhohir dia telah mempunyai  tujuan untuk menutupi / menghindarkan kebinasaan si anak dan siap menjaganya.
Dalam  kenyataan  kehidupan  ini  ternyata  banyak  permasalahan  anak,  khususnya anak temuan. Dalam hal ini tentu hukum Islam tidak akan memberikan  permasalahan  ini  dibiarkan  saja  karena  status  anak  nantinya  akan  berhubungan  dengan hak waris, mahram dan wali nikah.
1Wahbah  Al-Zuhaili,  Fiqh  Islam  wa  Adilatuh,  tt,  juz.  6,  Beirut,  Lubnan:  Dar   al-Fikr.
hlm. 4851Al-Kasani, Badai’ as-Shanai’, juz. 8, Beirut, Lubnan: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt,  hlm. 323  Sedangkan menurut penulis yang lebih menarik dalam pembahasan skripsi  ini  adalah  mengenai  pendapat  ulama  dari  golongan  Hanabilah  bernama  Ibnu  Qudamah yang berbeda pendapat dengan kebanyakan ulama yakni menempatkan  kedudukan  multaqith  (orang  yang  menemukan)  sebagai  wali  nikah  bagi  anak  temuan tersebut . Dengan berbagai alasan dan pertimbangan yang memberikan hak  terhadap  multaqith  terhadap masalah wali bagi anak temuan yang pada umumnya  kekuasaannya dipegang oleh penguasa atas anak temuan tersebut.
Berdasarkan  latar  belakang  di  atas,  maka  penulis  berkeinginan  untuk  mengetahui lebih jauh tentang pendapat tersebut dengan asumsi bahwa hal ini bisa  menjadi  sebuah  kontribusi  positif  dan  menambah  wacana  serta  memperkaya  khasanah  keislaman  kita.  Meskipun  secara  sepintas  pendapat  Ibnu  Qudamah  itu  terlihat kontradiktif dengan pendapat para ulama yang lain.
B. Pokok Permasalahan.
Berpijak  dari  latar  belakang  masalah  di  atas,  ada  beberapa  pokok  masalah  yang hendak dikembangkan dan dicari pangkal penyelesaiannya, sehingga dapat  dirumuskan sebagai berikut :  
1.  Bagaimana  pendapat  Ibnu  Qudamah  tentang  wali  nikah  bagi  anak  temuan.
2.  Bagaimana metode istinbath hukum yang digunakan oleh Ibnu Qudamah  tentang wali nikah bagi anak temuan.



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi