BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Sudah menjadi
sunatullah seorang manusia
diciptakan untuk hidup saling berdampingan
dengan manusia yang
lain sebagaimana sifat
manusia sebagai makhluk
sosial, juga telah
menjadi kehendak Allah
bahwa manusia akan
mempertahankan dan mengembangkan
keturunannya. Oleh karena
itu, tidak ada cara lain untuk
mempertahankan dan mengembangkan keturunannya yang
dapat dilakukan oleh
manusia kecuali melalui
hidup bersama dengan manusia
yang lain. Untuk
itulah manusia membutuhkan
hukum yang mengatur
hubungan-hubungan antara laki-laki
dan perempuan untuk membawa umat
manusia itu sendiri
pada kehormatan, sesuai
dengan kedudukan manusia
yang mulia disisi Allah diantara makhluk-makhluk yang lain.
Hubungan manusia laki-laki dan perem puan harus didasarkan atas rasa pengabdian
kepada Tuhannya dan
kebaktian kepada kemanusiaan
guna melangsungkan kehidupan
jenisnya.
Ikatan
yang mengatur hubungan
antara laki-laki dan
perempuan itu dituangkan
dalam suatu perbuatan
yang suci berupa
perkawinan. Dalam pandangan Islam, pernikahan memiliki tujuan
yang sangat penting. Disamping untuk meneruskan
keturunan (at-tanasul) ia
juga bertujuan untuk
manusia Ahmad Azhar
Basyir, Hukum Perkawinan
Islam, Bagian Penerbitan Fakultas
Hukum Universitas Islam
Indonesia, Yogyakarta, 1990, hlm, 1.
supaya tidak terjerumus kedalam perbuatan
tercela. Oleh sebab itu, jangkauan pernikahan
lebih jauh dari pada hukum-hukum sosial yang lain.
Persoalan yang muncul saat ini
adalah fenomena yang akhir-akhir ini menunjukkan data
peningkatan secara signifikan
yaitu terjadinya praktik kumpul
kebo akibat dari
pergaulan yang terlalu
bebas antara laki-laki
dan perempuan tanpa ikatan yang
sah. Kurangnya pengawasan dari orang tua dan ketidakpahaman
mereka terhadap aturan-aturan
hukum baik itu
bersumber dari nash
maupun yang bersumber
dari hukum positif,
membuat mereka menganggap enteng masalah
ini. Kasus ini dari
hari ke hari semakin banyak kita temui. Keadaan ini jika dibiarkan saja
tentu akan mengkhawatirkan bagi generasi mendatang,
oleh karena itu
perlu adanya solusi
yang tepat bagi generasi
muda pada umumnya agar tidak terjerumus ke dalam perzinaan.
Zina dapat
menyebabkan si wanita
hamil sebelum menikah
atau sebelum mempunyai
suami, dan anak
yang dikandung apabila
sudah lahir maka
tidak tahu siapa
ayah yang sebenarnya,
tentu dikemudian hari
akan membawa beban
mental dan permasalahan
baru. Permasalahan baru
inilah yang menjadi problem dalam
penentuan wali nikah dari anak yang lahir diluar nikah tersebut.
Asal-usul anak merupakan dasar
untuk menunjukkan adanya hubungan kemahraman
(nasab) dengan ayahnya. Demikianlah yang diyakini dalam fiqh Sunni.
Karena para ulama
sepakat bahwa anak
zina atau anak
li’an, hanya mempunyai hubungan nasab kepada ibu dan
saudara ibunya. Berbeda dengan ulama Syi’i
bahwa anak zina
tidak mempunyai hubungan
nasab dengan ibu atau
bapak zinanya, karena itu pula ana k
zina tidak bisa mewarisi keduanya.
Dalam
Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 Pasal
42 menyebutkan bahwa: Anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah .
Kompilasi Hukum
Islam menjelaskan arti
dari anak sah,
yaitu dalam pasal 99: a. Anak
yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah.
b. Hasil
pembuahan suami isteri
yang sah diluar
rahim dan dilahirkan
oleh isteri tersebut .
Akan tetapi,
baik dalam undang-undang
maupun kompilasi tidak mengatur batas
minimal usia kandungan.
Namun Ibnu Abbas
dan disepakati para
ulama menyebutkan batas
minimal usia kandungan
adalah 6 bulan
atas dasar penafsirannya terhadap
al-Qur’an ayat 15 surat al-Qaf yang berbunyi: Artinya: “….Mengandungnya sampai
menyapihnya adalah tiga
puluh bulan” .
Dan al-Qur’an surat al-Luqman
ayat 14: Artinya:”….ibunya Telah mengandungnya
dalam keadaan lemah
yang bertambah- tambah, dan
menyapihnya dalam dua tahun” .
Ahmad
Rofiq, Hukum Islam
di Indonesi,Jakarta; PT
RajaGrafindo Persada, Cet.
2, 1997, hlm; 220.
Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir
Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta:
Depag RI, 1986, hlm. 824.
Ibid, hlm. 654.
Oleh
sebab itu, jika
kelak anak yang
dilahirkan adalah seorang perempuan dan ingin menikah, maka menjadikan
kendala dalam memilih wali nikahnya. Seperti
halnya yang terjadi di KUA
Kec. Parakan, penetapan wali nikah
merupakan kendala bagi seorang Penghulu atau PPN (Pegawai Pencatat Nikah) terhadap calon pengantin yang lahir
diluar nikah.
Sebagai contoh,
kesulitan penentuan wali
bagi anak perempuan
yang lahir kurang dari batas
minimal dapat dilihat pada penentuan wali nikah pada calon pengantin yang
bernama ER ini misalnya.
Pada kutipan akta kelahiran dia dilahirkan
pada tanggal 19-02-1994
dan pernikahan kedua
orang tuanya dilangsungkan
pada tanggal 09-10-1993.
Sangat jelas sekali kalau
ER lahir kurang
dari 6 bulan
dari pernikahan kedua
orang tuanya, dia
lahir 5 bulan setelah pernikahan
kedua orang tuanya.
Maka kejadian yang
seperti ini menjadikan
problem bagi seorang
Penghulu atau PPN
(Pegawai Pencatat Nikah)
KUA Kec. Parakan
Kab. Temanggung dalam
penentuan wali nikah bagi calon
pengantin yang ber nama
Eka Ratnasari tersebut.
Diluar contoh diatas, masih banyak kasus-kasus lain yang
serupa.
Untuk mengatasi
kasus-kasus seperti diatas,
maka kebijakan yang dilakukan
oleh KUA Kec. Parakan adalah sesuai dengan data-data yang telah diperoleh,
baik data itu
dari Pembantu Pegawai
Pencatat Nikah (P3N)
atau langsung menanyakan
kepada kedua orang
tuanya sebelum akad
nikah dilangsungkan. Setelah mengetahui
data-data yang falid, KUA
Kec. Parakan akan menentukan
wali nikah dari
calon pengantin tersebut.
Dalam
praktek yang terjadi,
KUA Kec. Parakan
menikahkan anak perempuan
yang lahir kurang dari 6 bulan menetapkan wali nikah
berupa wali hakim. Padahal dalam ketentuan
KHI masalah anak perempuan tersebut bisa tetap menggunakan wali nasab.
Hal ini sesuai
dengan pasal 99
KHI. Disini terlihat
adanya diskresi yang dilakukan KUA Kec. Parakan. Karena
kebijakan yang dilakukan tersebut tidak
sesuai dengan ketentuan KHI.
Berdasarkan latar belakang di
atas maka penyusun akan melaksanakan penelitian
lapangan dengan judul
“ANALISIS TERHADAP PRAKTEK PERALIHAN WALI NASAB KE WALI HAKIM” (Study
Kasus di KUA Kec. Parakan Kab.
Temanggung).
B. Rumusan Masalah.
Untuk menjadikan
permasalahan lebih fokus
dan spesifik maka diperlukan suatu
rumusan masalah agar
pembahasan tidak keluar
dari kerangka pokok
permasalahan. Berdasarkan latar
belakang diatas, penyusun merumuskan permasalahan yang akan dibahas
sebagai berikut: 1. Apa
dasar hukum yang
digunakan oleh KUA
Kec. Parakan untuk melaksanakan
praktek peralihan wali nikah ? 2.
Bagaimana status hukum
pernikahan yang pelaksanaanya
menggunakan peralihan wali nikah? Hasil wawancara dengan Bpk. Sujari
(Kepala KUA Kec. Parakan) pada tanggal
10 Agustus 2011, di Kantor KUA
Kec. Parakan.
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian.
Penelitian ini dilaksanakan
dengan tujuan diantaranya:.
1. Untuk
mengetahui bagaimana paktek
penentuan wali nikah
dan dasar hukum yang digunakan dalam penentuan wali
nikah di KUA Kec. Parakan Temanggung.
2. Untuk
mengetahui status hukum
pernikahan yang pelaksanaanya menggunakan peralihan wali nikah.
Sedangkan manfaat dari penelitian
ini adalah:.
1. Memberikan pengetahuan tentang penetapan wali
nikah serta dasar hukum yang digunakan
oleh KUA Kec. Parakan Temanggung.
2. Memberikan
pemahaman tentang status
hukum pernikahan yang pelaksanaanya
menggunakan peralihan wali nikah oleh
KUA Kec. Parakan Temanggung sebagai
dasar acuan untuk umat Islam.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi