Selasa, 26 Agustus 2014

Skripsi Syariah: ANALISIS TERHADAP PENAMBAHAN 1/3 HUKUMAN DAN PEMBERLAKUAN HUKUMAN MINIMAL DALAM PASAL 7 UU NO. 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang Masalah.
Dewasa  ini  sering  didapati  maraknya  eksploitasi  manusia  untuk  dijual atau biasa disebut dengan  human trafficking.  Terutama pada wanita  untuk perzinaan atau dipekerjakan tanpa upah. Tentunya ini semua tidak  sesuai dengan syari’ah dan   norma-norma  yang berlaku („urf). Kemudian  bila  kita  tinjau  ulang  ternyata  manusia-manusia  tersebut  berstatus  hur (merdeka).

 Perdagangan  manusia  (trafficking  in  human)  merupakan  masalah  yang  sangat  kompleks.  Perdagangan  manusia  telah  menjadi  bisnis  lintas  negara,  yang  mempunyai  jaringan  sangat  rapi,  mulai  dari  tingkat  lokal  maupun internasional, yang sulit dipantau aparat. Berbagai upaya preventif  telah dilakukan, namun hingga kini praktek kejahatan ini terus berjalan.
Dengan  lahirnya  DUHAM  (Deklarasi  Universal  Hak  Asasi  Manusia)  penganiayaan  secara  fisik  maupun  mental,  perbudakan,  memperdagangkan  orang  dan  mengeksploitasi  orang  lain,  merupakan  perbuatan  yang  disebut  sadisme  (kekejaman)  dan  pelanggaran  terhadap  nilai  humanisme.  Dalam  hukum  Islam,  trafficking,  meski  dalam  prakteknya  jelas  lebih  kompleks,  bisa  di-qiyas-kan  dengan  perbudakan.
Upaya penghapusan perbudakan telah ada sejak zaman Nabi Muhammad   Faqihuddin  Abdul  Qodir,  dkk.,  Fiqh  Anti  Trafficking;  Jawaban  atas  Berbagai  Kasus  Kejahatan  Perdagangan  Manusia  dalam  Perspektif  Hukum  Islam,  Cirebon:  Fahmina  Institut,  2006, hlm. 71.    saw.  Semangat  menghapus  perbudakan  terus  menggelora  dalam  literatur  hukum Islam.
 Salah satu bukti yang sangat nyata adalah pilihan hukuman  bagi pelanggar ajaran Islam adalah memerdekakan budak. Kemudian Nabi  Muhammad  menguraikan  banyak  hal,  termasuk  begaimana  seharusnya  dalam membebaskan budak.
 Allah  menyuruh  kepada  pemilik  budak  agar  memberikan  kesempatan  kepada  budak  mereka  yang  ingin  membebaskan  dirinya  dari  perbudakan  dengan  menebus  dirinya  dengan  harta,  bilamana  budak  itu  bermaksud  baik  juga  punya  sifat  jujur  dan  amanah.  Baik  pembayaranya  secara  berangsur  atau  kontan.  Ini  adalah  suatu  cara  yang  disyari`atkan  Islam  untuk  melenyapkan  perbudakan,  sebab  pada  dasarnya  Islam  tidak  mengakui  perbudakan  karena  bertentangan  dengan  perikemanusiaan  dan  bertentangan  pula  dengan  harga  diri  seseorang  yang  dalam  Islam  sangat  dihormati.
 Manusia adalah makhluk Allah Swt yang dimuliakan, sehingga anak  Adam ini dibekali dengan sifat-sifat yang mendukung, seperti akal untuk  berfikir,  kemampuan  berbicara,  bentuk  rupa  yang  baik  serta  hak  kepemilikan yang tidak dimiliki oleh makhluk-makhluk lainnya.
 Tatkala  Islam memandang manusia sebagai pemilik, maka hukum asalnya ia tidak  dapat dijadikan sebagai barang yang dapat dimiliki atau diperjualbelikan.
 Ibid, hlm. 63.
 Asrori S. Karni, ed, Pesan-Pesan Taqwa Nurcholish Masjid; Kumpulan Khutbah Jum‟at  di Paramadina, Jakarta: Paramadina, 2005, hlm. 73.
 Muhammad  Rifai,  al-Qur`an  dan  Tafsirnya  6,  Semarang:  CV.  Wicaksana,1993,  hlm.
629.
 Thabathaba’i,  al-Mizan fiy Tafsir al-Qur‟an, Juz XIII, Beirut: Mu’assasah al-Islamiy li  al-Mathbu’at, tt, hlm. 152.
 Hal ini berlaku jika manusia tersebut berstatus merdeka, tetapi di zaman  modern ini tidak ada manusia yang tidak merdeka.
Perbudakan,  dalam  arti  zaman  jahiliyah,  disepakati  ulama  untuk  diharamkan.  Tidak  berarti  perbudakan  kemudian  lenyap.  Perbudakan  era  jahiliyah  kini  menjelma  dalam  bentuk  trafficking  atau  perdagangan  manusia untuk kepentingan bisnis prostitusi yang dikelola sangat rapi oleh  jaringan  mafia  internasional.  Sebagaimana  perbudakan  berbau  seks  yang  terjadi pada masa Nabi dilarang yang disebutkan dalam QS: al-Nûr:  Artinya:  “Dan  orang-orang  yang  tidak  (belum)  mampu  kawin  hendaklah  menjaga  kesucian  dirinya  sehingga  Allah  menganugerahinya  kemampuan.  Dan  budak-budak  yang  kamu  miliki  yang  menginginkan perjanjian (untuk pembebasan dirinya) hendaklah  kamu  buat  perjanjian  dengan  mereka,  jika  kamu  mengetahui  kebaikan pada mereka. Dan berikanlah kepada mereka sebagian  dari  harta  Allah  yang  dikaruniakan  kepadamu.  Dan  janganlah  kamu  paksa  budak-budak  perempuanmu  untuk  melakukan  pelacuran,  padahal  mereka  menginginkan  kesucian  diri,  karena  kamu  hendak  mencari  keuntungan  duniawi.  Dan  barangsiapa  memaksa mereka maka  sesungguhnya Allah Maha Pengampun  Maha  Penyayang  (kepada  mereka)  sesudah  mereka  dipaksa”.
(Q.S. al-Nur:33).
 Departemen  Agama,  Al-Qur‟an  dan  Terjemahannya,  Semarang:  Thoha  Putra,  1989,  hlm. 549.
 Dengan  memperhatikan  ayat  di  atas,  trafficking  harus  diharamkan,  dan  semua  yang  terlibat  didalamnya  berdosa.  Pengharaman  trafficking tentu bukan tanpa alasan. Akan tetapi pengharaman saja belumlah cukup.
Bagi  pelaku  yang  melakukan  trafficking  juga  harus  diberi  sanksi  yang  dapat  mencegah  terulanginya  perbuatan  ini.  Hukuman  yang  diberikan  adalah  sebagai  bentuk  pertanggungjawaban  pidana  oleh  pelaku,  Sebab  disamping  dapat  dikategorikan  sebagai  kejahatan  kemanusiaan  karena  merampas  dan  menodai  hak-hak  dasar  manusia,  juga  mengancam  dan  merusak  tatanan  nilai  yang  dibangun  ajaran  agama  seperti  keadilan,  kesetaraan,  kemaslahatan.  Nilai-nilai  yang  sangat  penting  dan  menjadi  dasar pijakan dalam upaya membangun hubungan kemanusiaan ideal.
Isu perdagangan anak dan perempuan mulai menarik perhatian banyak  pihak  di  Indonesia  tatkala  ESCAP  (Komite  Sosial  Ekonomi  PBB  untuk  Wilayah  Asia-Pasifik)  mengeluarkan  pernyataan  yang  menempatkan  Indonesia  bersama  22  negara  lain  pada  peringkat  ketiga  atau  terendah  di  dalam  merespon  isu  ini.
 Secara  rinci  perdagangan  perempuan  dan  anak  untuk tujuan seks komersial di Indonesia menurut data Polri mencapai 173  kasus  yang  dilaporkan  dan  134  kasus  selesai  pada  tahun  1999,  pada  tahun  2000  sebanyak  24  kasus  dan  yang  selesai  16  kasus  dan  pada  tahun  2001  sebanyak 178 kasus dilaporkan dan 128 kasus bisa terselesaikan.
  Mahkamah  Agung  Republik  Indonesia.  2006.  Pedoman  Unsur-unsur  Tindak  Pidana  Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dan Pertanggungjawaban Komando, hlm. 34.
 M. Zaelani Tammaka. 2003. Menuju Jurnalisme Berperikemanusiaan Kasus Trafficking  dalam Liputan Media di Jawa Tengah dan DIY. Surakarta: Aji Surakarta, hlm. 3.
 Trafficking  atau  perdagangan  manusia,  terutama  perempuan  dan  anak  merupakan  jenis  perbudakan  pada  masa  modern  telah  menjadi  isu  besar yang menjadi perhatian regional dan global. Diperkirakan tiap tahun  ada dua juta manusia diperdagangkan di dunia ini dan sebagian besarnya  adalah anak dan perempuan.
 Dalam  kacamata  hukum  Islam,  hukum  diturunkan,  pasti  memiliki  tujuan  untuk  kemaslahatan  manusia.  Hukum  ada  bukanlah  untuk  dirinya  melainkan untuk kehidupan manusia di dunia. Maka dari itu, agama Islam  membawa ajaran yang memiliki dinamika yang tinggi. Hukum-hukumnya  berakar  pada  prinsip-prinsip  universal  yang  mencakup  atau  meliputi  sasaran atau keadaan yang sangat luas. Indonesia menjadi pemasok utama  jaringan  perdagangan  perempuan  dan  anak   dengan  tujuan  eksploitatif;  pelacuran  dan  pornografi,  pengemis,  pekerja  rumah  tangga,  perdagangan  obat terlarang, pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan dan perkawinan  trans -nasional.
 Menurut  M.  Ma’ruf  ad-Dawaliby  dalam  Al-Madkhal  Ila  „Ilm  AlUshul-nya, menjelaskan bahwa produk hukum apapun dalam Islam harus  mempertimbangkan  unsur  maslahat  yang  tercakup  dalam  daruriyat  alkhamsah.
 Sedangkan  menurut  Manna  al-Qathan  dalam  Juhaya  S.  Praja  menyatakan  bahwa,  yang  dimaksud  dengan  syari’ah  adalah  segala   Buletin Blakasuta Ruang Merayakan Keterbukaan, Perdagangan Perempuan dan Anak;  Sebuah  Praktek  Neo-Slavery  dan  Pelanggaran  HAM,  ed.  VII,  Cirebon:  Fahmina  Institut,  2004,  hlm. 4.
 Ibid.
 M. Ma’ruf ad-Dawaliby,  Al-Madkhal Illa „Ilm Al-Ushul,  Irak: Dar  Al-Ilm, 1385/1965  M, hlm. 309.
 ketentuan  Allah  yang  disyariatkan  bagi  hamba-hambanya  baik  yang  menyangkut akidah, ibadah, akhlak, maupun muamalah.
 Jadi,  dari  definisi  di  atas,  dapat  disimpulkan  bahwa  maqashid  alsyari`ah    adalah tujuan  segala ketentuan  Allah  yang disyariatkan kepada  umat  manusia.  Kemaslahatan  ummat  sama  dengan  istilah  maqashid  alsyari`ah  dipopulerkan  oleh  Abu  Ishak  Asy-Syatibi  yang  tertuang  dalam  karyanya Muwaffaqat sebagaimana dalam ungkapannya adalah :  “Sesungguhnya syariat itu diturunkan untuk merealisasikan maksud Allah  dalam   mewujudkan  kemaslahatan  diniyah  dan  duniawiyah  secara  bersama-sama”.
Di dalam al-Quran salah satu ayat  yang menyatakan bahwa hukum  Islam  itu  diturunkan  mempunyai  tujuan  kemaslahatan  bagi  manusia.  .
(Q.S. Al-Maidah : 15-16).
Artinya:  Hai  ahli  Kitab,  Sesungguhnya  telah  datang  kepadamu  Rasul  Kami,  menjelaskan  kepadamu  banyak  dari  isi  Al  kitab  yang  kamu  sembunyi  kan,  dan  banyak  (pula  yang)  dibiarkannya.
 Juhaya S. Praja,  Filsafat Hukum Islam, Bandung : Pusat Penerbitan LPPM UI, 1995,  hlm.10.
 Asafari Jaya Bakri, Konsep Maqashid al-Syari`ah Menurut Asy-Syatibi, cet. I, Jakarta :  Raja Grafindo Persada, 1996, hlm. 64.
 Departemen  Agama,  al-Qur‟an  dan  Terjemahannya,  Surabaya:  Surya  Cipta  Aksara,  1989, hlm 161.
 Sesungguhnya  telah  datang  kepadamu  cahaya  dari  Allah,  dan  kitab yang menerangkan.
 Dengan  kitab  Itulah  Allah  menunjuk  orang-orang  yang  mengikuti  keridhaan-Nya  ke  jalan  keselamatan,  dan  (dengan  kitab  itu  pula)  Allah  mengeluarkan  orang-orang  itu  dari  gelap  gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya,  dan  menunjuk  mereka  ke  jalan  yang  lurus.  (Q.S.  Al-Maidah  :  15-16) Menurut Sajtipto Raharjo hukum tidak dapat dipisahkan dari hal lain  dari hukum dan signifikansinya dalam formulasi hukum adalah kaitannya  dengan “fungsi”. Hukum adalah norma yang mengajak masyarakat untuk  mencapai cita-cita serta keadaan tertentu yaitu keadilan.
 Hadirnya  Undang-Undang  No.  21  tahun  2007  merupakan  angin  segar  bagi  penegakan  hukum  di  Indonesia,  khususnya  mengenai  penegakan  hukum  yang  berkaitan  dengan  tindak  pidana  perdagangan  manusia.  Kata  “trafficking”  dewasa  ini  sangat  populer. Setelah  UndangUndang  No.  21  Tahun  2007  tentang  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Perdagangan  Orang  (PTPPO)  diundangkan  pada  tanggal  19  April  2007,  jelaslah sudah trafficking adalah perdagangan orang, yakni:  “Serangkaian  tindakan  perekrutan,  pengangkutan,  penampungan,  pengiriman,  pemindahan,  atau  penerimaan  seseorang  dengan  ancaman  kekerasan,  penggunaan  kekerasan,  penculikan,  penyekapan,  pemalsuan,  penipuan,  penyalahgunaan  kekuasaan  atau  posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat,  sehingga  memperoleh  persetujuan  dari  orang  yang  memegang  kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara  maupun  antar  negara,  untuk  tujuan  eksploitasi  atau  mengakibatkan  orang tereksploitasi (Pasal 1 Ayat 1).
 Ibid, Cahaya Maksudnya: Nabi Muhammad s.a.w. dan kitab Maksudnya: Al Quran.
 Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung: alumni, 1988, hlm. 26-27.
 Undang-Undang  Pemberantasan  Tindak  Pidana  Perdagangan  Orang  No.21  Tahun  2007, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm. 3.    Meskipun  sanksi  pidananya  sangat  jelas,  penjara  3-15  tahun  dan  denda  Rp.  120  -  600  juta  (Pasal  2-6),  namun  angka  trafficking  tidak  menunjukkan  penurunan.  Hal  yang  demikian  ini,  sangatlah  memprihatinkan. Dan dalam pasal 7 menyebutkan bahwa:  Ayat  (1)  menyebutkan  Jika  tindak  pidana  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  2  ayat  (2),  Pasal  3,  Pasal  4,  Pasal  5,  dan  Pasal  6  mengakibatkan  korban  menderita  luka  berat,  gangguan  jiwa  berat,  penyakit menular lainnya yang membahayakan jiwanya, kehamilan,  atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka ancaman  pidananya  ditambah   1/3  (sepertiga)  dari  ancaman  pidana  dalam  Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
 Ayat  (2)  menyebutkan  Jika  tindak  pidana  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  2  ayat  (2),  Pasal  3,  Pasal  4,  Pasal  5,  dan  Pasal  6  mengakibatkan  matinya  korban,  dipidana  dengan  pidana  penjara  paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup  dan  pidana  denda  paling  sedikit  Rp200.000.000,00  (dua  ratus  juta  rupiah)  dan  paling  banyak  Rp5.000.000.000,00  (lima  milyar  rupiah).
 Ada beberapa pasal dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 yang  menyebutkan  mengenai  sanksi  tindak  pidana  perdagangan  orang.
Diantaranya terdapat pada: 1.  Pasal  (1)  Setiap  orang  yang  melakukan  perekrutan,  pengangkutan,  penampungan,   pengiriman,  pemindahan,  atau  penerimaan  seseorang  dengan  ancaman  kekerasan,  penggunaan  kekerasan,  penculikan,  penyekapan,  pemalsuan,  penipuan,penyalahgunaan  kekuasaan  atau  posisi  rentan,  penjeratan  utang  atau  memberi  bayaran  atau  manfaat  walaupun  memperoleh  persetujuan  dari  orang  yang  memegang  kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di  wilayah  negara  Republik  Indonesia,  dipidana  dengan  pidana  penjara  paling  singkat  3  (tiga)  tahun  dan   paling  lama  15  (lima  belas)  tahun  dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh  juta  rupiah)  dan  paling  banyak  Rp600.000.000,00  (enam  ratus  juta  rupiah).
 Diambil  dari  internet  dalam  http://gerakanantitrafficking.com,  pada  tanggal  21  Desember 2010 pukul 10.00 WIB.
 Ibid.    (2)  Jika  perbuatan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1)  mengakibatkan  orang   tereksploitasi,  maka  pelaku  dipidana  dengan  pidana yang sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
2.  Pasal  Setiap  orang  yang  memasukkan  orang  ke  wilayah  negara  Republik  Indonesia   dengan  maksud  untuk  dieksploitasi  di  wilayah  negara  Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan  pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima  belas)  tahun  dan  pidana  denda  paling  sedikit  Rp120.000.000,00  (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00  (enam ratus juta rupiah).
3.  Pasal  Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah  negara   Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar  wilayah  negara  Republik  Indonesia  dipidana  dengan  pidana  penjara  paling  singkat  3  (tiga)  tahun  dan   paling  lama  15  (lima  belas)  tahun  dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh  juta  rupiah)  dan  paling  banyak  Rp600.000.000,00  (enam  ratus  juta  rupiah).
4.  Pasal  Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan  sesuatu atau   memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi  dipidana  dengan  pidana  penjara  paling  singkat  3  (tiga)  tahun  dan  paling  lama  15  (lima  belas)  tahun  dan  pidana  denda  paling  sedikit  Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak  Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
5.  Pasal  Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar  negeri  dengan  cara  apa  pun  yang  mengakibatkan  anak  tersebut  tereksploitasi  dipidana  dengan  pidana  penjara  paling  singkat  3  (tiga)  tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling  sedikit  Rp120.000.000,00  (seratus  dua  puluh  juta  rupiah)  dan  paling  banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
6.  Pasal  (1) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2),  Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita  luka  berat,  gangguan  jiwa  berat,  penyakit  menular  lainnya  yang  membahayakan  jiwanya,  kehamilan,  atau  terganggu  atau  hilangnya  fungsi  reproduksinya,  maka  ancaman  pidananya  ditambah   1/3   (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal  4, Pasal 5, dan Pasal 6.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2),  Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban,  dipidana  dengan  pidana  penjara  paling  singkat  5  (lima)  tahun  dan  paling  lama  penjara  seumur  hidup  dan  pidana  denda  paling  sedikit  Rp200.000.000,00  (dua  ratus  juta  rupiah)  dan  paling  banyak  Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Ada  sebuah  peningkatan  yang  signifikan  bila  dibandingkan  dengan  pasal  2  dengan  pasal  7  terkait  masalah  hukuman  yang  diberikan  kepada  pelaku  trafficking.  Namun,  yang  perlu  dicermati  dalam  peningkatan  itu  adalah apakah sudah seimbang atau belum.
Adapun  permasalahan  yang akan diangkat penulis dalam skripsi ini  adalah  bagaimana  Islam  memandang  konsep  penambahan  1/3  hukuman  dan pemberlakuan hukuman minimal dalam pasal 7 Undang-Undang No.
21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang  Sebagai  sanksi  hukum  bagi  pelaku  tindak  pidana  trafficking  yang  mengakibatkan  cacat  fisik  maupun  mental  dan  mengakibatkan  korban  trafficking terbunuh.



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi