BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah .
Masih segar dalam ingatan kita,
peristiwa berdarah yang terjadi pada 12
Oktober 2002 silam. Sebuah catatan sejarah untuk kali pertama serangan bom
bunuh diri (suicide
bomber) terbesar terjadi
di Indonesia .
Peristiwa yang terjadi
di Paddy‟s Bar dan Sari
Club Legian, Kuta
Bali tersebut menewaskan
lebih kurang 202
nyawa manusia dan
melukai ratusan lainnya
.
Walau sesaat, ledakan yang
terjadi tepat pukul 23.05 WITA tersebut mempunyai pengaruh
signifikan terhadap bangsa,
khususnya masyarakat Bali.
Di bidang ekonomi
misalnya, dibutuhkan lebih
2,5 tahun untuk memulihkan perekonomian
masyarakat Bali. Selama
itu pula terjadi pengangguran
sebanyak 3,5%, penurunan
jumlah jam kerja
4,2%, Ledakan tersebut merupakan
ledakan terbesar sekaligus sebagai ledakan puncak pasca runtuhnya Soeharto (1998). Sebelum terjadi
ledakan, Indonesia sudah diguncang dengan berbagai ledakan
di belahan nusantara,
antara lain; Plaza
Hayam Wuruk (15/4/1999),
Masjid Istiqlal (19/4/1999),
Kejaksaan Agung (4/6/2000),
Kedubes Filipina Jakarta
(3/8/2000), Bursa Efek Jakarta (13/9/2000),
serangkaian bom natal
di Jakarta, Bekasi,
Sukabumi, Mataram, Pematangsiantar, Medan, Batam dan Pekanbaru
(24/12/2000 ), Gereja
Santa Anna dan
Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP) Jakarta
(22/7/2001), Gereja Bethel
Tabernakel Kristus Alfa Omega
Semarang (31/7/2001), Plaza Atrium Jakarta (23/9/2001), Australian International School (AIS) Jakarta
(6/11/2001), Restoran KFC
Makassar (12/10/2001). Baca
Bambang Abimanyu, Teror Bom Azhari-Noor Din, Jakarta: Republika,
2006, hlm. 83- Diledakkan oleh
Iqbal alias ar-Nasan
alias Jimi dari
Banten. Walaupun ledakan
bom ransel ini
tidak begitu kuat,
tapi mampu menghancurkan
tubuh Jimi berkeping -keping.
Selengkapnya baca Majalah Tempo,
Edisi 4-10 April 2011, hlm.
Diledakkan oleh Iqbal alias Isa. Ramuan bom
ditaruh di 48 laci dan 12 Filing cabinet yang
disatukan dan dijejalkan
ke mobil Mitsubishi
L-300 yang dikendarai
Ali Imron (kini menjalani
hukuman seumur hidup). Ibid.
Dari
202 korban meninggal,
88 orang berkebangsaan
Australia, 10 orang
WNI dan selebihnya dari wisatawan asing. Baca, Bambang
Abimanyu, op.cit, hlm. 61 penurunan
upah riil 47%
dan pendapatan rumah
tangga juga menurun hingga
22,6% . Selain
berimbas terhadap perekonomian
bangsa, ledakan Bom
Bali I mampu
mengantarkan Indonesia mendapatkan
stigma negatif sebagai
bagian dari negara
teroris di mata
dunia . Satu
pertanyaan yang muncul kala itu, siapa aktor intelektual di
balik peristiwa berdarah tersebut? Berbagai pendapat
pun mengemuka, mulai
anggapan skenario Amerika, misi Australia menguasai Indonesia,
bahkan sempat muncul pula anggapan bahwa
Inteligen dan TNI
berada di balik
aksi teror bom
itu.
Hingga
ditemukan fakta bahwa
pelaku sekaligus dalang
bom bunuh diri adalah
kelompok teroris Jamaah Islamiyah.
Dalam
waktu singkat, kepolisian
bekerja sama dengan
berbagai stakeholder membentuk tim investigasi bom Bali. Walhasil,
tim investigasi mampu menangkap
sekaligus mengadili beberapa nama yang diduga terlibat Data
dapat dibaca dari,
http://nasional.vivanews.com/news/read/140779-riset__dampak_bom_bali_i_berkelanjutan,
diunduh pada tanggal 4 Juli 20 Noor Huda
Ismail, Temenku Teroris? Saat Dua Santri
Ngruki Menempuh Jalan yang Berbeda,
Jakarta; PT Mizan Republika, 2010, hlm. 98 Nasir Abas,
Membongkar Jamaah Islamiyah, Pengakuan Mantan Anggota JI, Jakarta: 2006, hlm. 11 Hamzah Haz, selaku wakil presiden saat itu
sebenarnya dengan tegas telah membantah keberadaan
terorisme di Indonesia. Walau demikian pendapat Hamzah Haz kemudian berbalik
180 derajat ketika
Barat dan sebagian
besar dunia mengatakan
bahwa teroris terlibat
di dalamnya.
http://www.gusdur.net/Berita/Detail/?id=116/hl=id/Akhirnya_Hamzah_Haz_Akui_Ada_Terorisme
_Di_Indonesia diunduh pada tanggal 4 Juli 2011.
Al-Jamaah
Al-Islamiyah merupakan organisasi
pecahan dari Jamaah Darul Islam atau yang dikenal
dengan NII. Organisasi
ini mempunyai teritori
di kawasan Asia
Tenggara yang meliputi
Indonesia, Malaysia, Singapura,
Thailand, Filipina, Brunei
dan Kamboja. Dibentuk sekitar
bulan Januari 1993
setelah terjadinya perpecahan
(imtishol) di intern
Darul Islam antara Abdullah
Sungkar dengan Anjengan
Masduki. Salah satu
pemicunya adalah kritik
keras yang dilontarkan
oleh Abdullah Sungkar
terhadap ajaran thariqot
Anjengan Masduki yang
dianggap menyimpang dari
paham Saalafi Jihadi.
Sehingga Abdullah Sungkar
keluar dan membentuk Jama‟ah Islamiyah. Baca Solahudin, NII Sampai
JI, Salafy Jihadi di Indonesia, Jakarta: Komunitas Bambu, 2011, hlm. 277 dalam
peristiwa tersebut . Tim investigasi
juga berhasil menyeret Amrozi, Imam Samudra
dan Ali Gufron
berhadapan dengan eksekusi
hukuman mati .
Jika kita
tarik dalam kancah
global, peristiwa bom
Bali I mempunyai
korelasi terhadap tragedi
11 September 2001
di Amerika Serikat
yakni atas nama
Islam. Di mana
empat pesawat Boeing
milik Amerika dibajak
dan menabrak dua
menara kembar WTC
(Word Trade Center)
yang mengakibatkan lebih
dari 3.000 tewas
dan ribuan lainnya terluka.
Dalam
catatan sejarah, peristiwa
tersebut menjadi titik
awal dimulainya perang
terbuka antara Barat
(Amerika Serikat dan
sekutu) terhadap Gerakan
Islam Radikal yang
dianggap teroris. Pasca
serangan tersebut, di
bawah komando George
Walker Bush, Amerika
mengadakan ekspansi besar-besaran
ke negara-negara Timur
Tengah.
Salah
satunya adalah Irak
(2003) yang disinyalir
menjadi tempat persembunyian
Al- Hasil pemeriksaan menyebutkan bahwa para pelaku merupakan veteran
perang Timur Tengah sekaligus bagian
dari Jamaah Islamiyah. Baca, pengakuan Fadhullah Hasan, salah seorang terpidana yang mendapat vonis hukuman seumur
hidup bom Bali I dalam, Noor Huda Ismail. Op.
Cit. Noor Huda Ismail, hlm. 2 Eksekusi dilaksanakan pada hari minggu, 9
November 2008, tepat pada pukul 00.15 di Nusa Kambangan Cilacap Jawa Tengah oleh tim
penembak dari Polda Jawa Tengah. Baca koran harian Kompas, 10 November 2008.
Munawir
Aziz, “Relasi Islam-Terorisme; Subjek
dan Objek”, dalam
Abdul Wachid (ed.), Islam dan Terorisme, Yogjakarta:
Grafindo Litera Media, 2010, hlm. 122 Eksistensi
gerakan Islam Radikal yang
menghendaki tegaknya Khilafah Islamiyah di muka bumi dianggap sebagai ancaman terbesar
bagi stabilitas regional Timur Tengah khususnya dan
kepentingan-kepentingan
Barat di dunia
Islam secara lebih
luas. Lihat tulisan
D. Pipes.
“Fundamentalist Muslims‟,
Foreign Affairs, Summer 1986,
pp. 939-59 –
dikutip dalam J.L.
Esposito, Ancaman Islam: Mitos
atau Realitas, Edisi Revisi, Bandung : Mizan, 1996, hlm. 14. Qaedah, kelompok
teroris yang bertanggung
jawab terhadap penyerangan WTC.
Selain
memerangi terorisme, alasan
G.W. Bush menjadikan
Irak sebagai target
operasi adalah tuduhan
bahwa Irak memproduksi
senjata pemusnah massal
(nuklir). Bahkan alasan
yang tidak ada
keterkaitannya dengan terorisme
menjadi legitimasi serangan
Amerika ke Irak,
yakni keinginan membebaskan
masyarakat Irak dari
belenggu kediktatoran Saddam Hussein.
Namun, apapun
alasan Amerika dan sekutu
memerangi Irak, badai kritik
terus bermunculan dari
berbagai kalangan di
seluruh penjuru dunia.
Ada tiga
alasan yang setidaknya
muncul ke permukaan,
pertama, perang yang dilakukan AS terhadap Irak tidak mendapat
restu PBB. Kedua, sejak dimulainya perang
hingga perang berakhir,
tidak ada bukti
bahwa Irak memproduksi
senjata pemusnah massal.
Terakhir, perang tersebut
telah menelan korban
lebih dari 85
ribu jiwa, dan
sebagian besar dari
mereka adalah warga sipil,
khususnya anak-anak dan perempuan.
Perang tersebut juga berdampak serius pada konstitusi Irak,
karena berhasil menumbangkan rezim
Saddam Hussein yang kemudian di hukum di tiang gantungan.
Benturan antara Barat dan Gerakan Islam sebenarnya sudah diramalkan oleh
Samuel P.
Huntington dalam
tesisnya, Clash of
Civilization, Remaking of
the World Order,
New York: Simon and Schuster, 1997.
Saiful Munjani, Jajat Burhanudin, dkk,
Benturan Peradaban, Sikap dan Perilaku Islam Indonesia
terhadap Amerika Serikat,
Jakarta: Pusat Pengkajian
Islam dan Masyarakat
(PPIM), 2005, hlm. 3 http://koran.republika.co.id/berita/82551/85_Ribu_Warga_Irak_Tewas_Akibat_
Perang, diunduh pada tanggal 4 Juli 20 Eksekusi
hukuman gantung terhadap
Saddam Hussein dilaksanakan
pada, 30 Desember 2006 di Bagdad. Video eksekusi bisa
diakses di http://metrotvnews.com/index.php/met Ketidakjelasan alasan Barat yang diwakili
oleh Amerika Serikat dan sekutu mengadakan
ekspansi ke Timur
Tengah serta banyaknya pelanggaran HAM yang terjadi di dalamnya
menjadi salah satu alasan para penganut Islam
radikal menebar teror
di penjuru dunia,
termasuk di Indonesia.
Imam Samudra dalam
Aku Melawan Teroris
mengungkapkan kegelisahan
hatinya, “Kekejaman dan kebiadaban
bangsa-bangsa penjajah (Amerika dan sekutu_red) yang
telah memangsa jutaan
nyawa kaum muslimin dengan
pembantaian yang kejam,
mulai dari Irak,
Afghanistan, Somalia, sampai
Indonesia hanya bisa
dihadapi dengan cara
jihad.
Kepedihan dan
kesakitan hati kaum
muslimin hanya dapat
diobati oleh jihad” .
Dalam perjalanan
Bangsa Indonesia, kekerasan
mengatasnamakan agama sebenarnya
bukan hal baru. Bahkan, beberapa saat setelah Indonesia merdeka,
para founding father
bangsa berselisih faham
saat hendak menentukan
ideologi bangsa. Satu
sisi, kaum Islam
fundamentalis yang menghendaki
dimasukkannya tujuh kata
Piagam Jakarta dalam
pancasila dan kelompok nasionalis
yang menolaknya di lain sisi.
Menangnya kelompok
nasionalis dengan dihapuskannya
tujuh kata piagam Jakarta dalam pancasila memunculkan
kekecewaan bagi kelompok fundamentalis. Dan
berangkat dari kekecewaan
dan beberapa p ersoalan yang
muncul saat itulah
Kartosoewiryo (1905-1962), memproklamirkan romain/newscatvideo/internasional/2009/12/31/96974/Video-Eksekusi-Saddam-Hussein-Marakdiunduh
pada tanggal, 25 November 2011 Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Solo:
Jazera, 2004, hlm. 97 Kartosoewirjo yang
mempunyai nama lengkap
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo, dilahirkan
di Cepu, Jawa
Tengah. Ayah Kartosoewirjo
adalah seorang mantri
yang mengkoordinasikan para
penjual candu di Kota Pamotan, Rembang. Ayahnya mempunyai posisi cukup
penting sebagai seorang
pribumi pada saat
itu, karena mantri
candu sederajat dengan berdirinya
Negara Islam Indonesia
(NII) pada tanggal,
7 Agustus 1949.
Munculnya
NII ini tidak
bisa dipisahkan dari
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)
pasukan berbasis muslim
Indonesia yang diciptakan untuk mengadakan perlawanan terhadap kolonial.
Pasca dideklarasikan NII inilah perang
saudara antara TNI dan DI/TII tak bisa dielakkan di negeri ini.
Jika kita telisik lebih dalam,
Pemberontakan DI/TII mempunyai titik persamaan dengan
Gerakan Terorisme yang
muncul belakangan, yaitu sama-sama
mengatasnamakan Islam. Bahkan menurut pengakuan Sukanto, mantan
aktivis NII KW
9, gerakan terorisme
di Indonesia yang
diwakili oleh Jamaah Islamiyah
(JI) merupakan transformasi NII fundamentalis versi Abdullah
Sungkar.
Namun,
akan sangat berbeda
jika keduanya dilihat dari sisi teritori maupun tujuan akhirnya.
DI/TII merupakan gerakan lokal dalam
satu negara untuk
membentuk negara Islam,
sedangkan Gerakan Terorisme (Jamaah Islamiyah) merupakan gerakan
transnasional, bertujuan membentuk
Khilafah Islamiah di muka bumi.
Perbedaan
DI/TII versi Kartosoewirjo
dengan Gerakan Terorisme yang muncul belakangan meniscayakan rumusan
strategi yang berbeda pula dalam mengatasinya.
Jika DI/TII dapat
diselesaikan dengan mengadakan jabatan Sekretaris Distrik. Dengan salah
satunya modal itulah Kartosoewirjo meniti karir di publik.
Baca Adhe
Firmansyah, SM. Kartosoewirjo, Biografi
Singkat 1907 -1962, Jogjakarta:
Garasi, 2009, hlm. 11 Umar Abduh, disampaikan dalam seminar
nasional, Menangkal Penetrasi Pemikiran & Gerakan
NII ke Dunia
Kampus, yang diselenggarakan oleh
Jurusan Siyasah Jinayah
Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo
Semarang, 23 Juni 2011 Sukanto, NII
VS NKRI, Telaah
Singkat Penanganan Kasus
NII KW 9,
NII Crisis Center, 2011, hlm. 17 Baca
Pedoman Umum Perjuangan
Al-Jama‟ah Al-Islamiyah (PUPJI),
sumber: lipsus.Vivanews.com, 16
Desember 2008 penyerangan
di daerah kekuasaan
mereka dengan strategi
Operasi Pagar Betis, tidak demikian
untuk terorisme. Di
samping masyarakat dunia sudah tidak
suka dengan konsep
peperangan fisik, para
teroris juga kini telah
berbaur dengan masyarakat, sehingga tidak mudah untuk membedakan mereka dengan masyarakat pada umumnya.
Selanjutnya, jika pemerintah
menggunakan strategi perang (represif) menghadapi teroris,
yang terjadi justru
perlawanan. Bukan tanpa
fakta, selama ini
pemerintah lebih menekankan
tindakan represif dalam menghadapi teroris,
bahkan cenderung mengabaikan
nilai-nilai asasi dari manusia (HAM) . Walhasil,
gerakan mereka semakin
masif dan terbuka.
Bahkan, mereka
kian beringas dengan
berani mengadakan penyerangan kepada aparat hukum, seperti penyerangan yang
terjadi di Polsek Hamparan Perak, Deli
Serdang, Sumatra Utara dengan menewaskan tiga anggota polisi (22/9).
Adhe Firmansyah, op.cit, hlm. 82 Munculnya kejahatan terorisme yang
mengatasnamakan Jamaah Islamiyah di Indonesia selain
telah menimbulkan hilangnya
nyawa, rusaknya harta
benda, menimbulkan rasa
takut dan ketidakamanan
bagi masyarakat sipil
juga melahirkan UU
Anti Kejahatan Terorisme
yang mengesampingkan UU Hukum
Acara Pidana biasa. Di bawah UU tersebut, polisi dengan mudah dapat
melakukan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, pemeriksaan bahkan
kekerasan dan penyiksaan terhadap siapa saja yang diduga
menjadi bagian dari jaringan aktivitas terorisme. Baca, Mufti
Makaarim dan Wendy Andika
Prajuli (eds), Almanak
Hak Asasi Manusia
di Sektor Keamanan
Indonesia 2009, Jakarta:
Institut for Defence
Security and Peace
Studies (IDSPS), 2009. hlm. xiv-xv Peristiwa
tersebut merupakan serangan
balasan atas penyergapan
tiga pelaku perampokan Bank CIMB Niaga Medan oleh Densus
88. Kelompok ini dipimpin oleh Abu Tholut alias
Mustofa, salah satu
pendiri Jamaah Islamiyah.
Karir pria kelahiran
Kudus, Jawa Tengah dalam kelompoknya dimulai sejak 1987, setelah
Abu Tholut lulus pelatihan kemiliteran Angkatan IV
di Afghanistan dan
menjadi Instruktur di
Akademi Militer Mujahidin
Afghanistan di Sadda.
Pada tahun 1993 bergabung dengan
Jamaah Islamiyah, lalu diminta Abdullah Sungkar menjajaki tempat
latihan militer di
Moro Filipina. Menjadi
pelatih kemiliteran di
Al-Islamic al-Jamaah Military
Academy di Muaskar,
Hudaybiyah, Filipina Selatan,
perintis Mantiqi III
(Kalimantan, Sulawesi Tengah,
Sabah, dan Filipina
Selatan), ketua Kamp
latihan militer Hudaybiyah
di Mindanao, Filipina Selatan.
Terlibat dalam tragedi Poso, sekaligus sebagai perekrut Asmar Latin Pada
titik tertentu, penulis
ingin mengamini satu
teori yang diutarakan oleh Thomas More (1478-1535), bahwa
memberantas kejahatan dengan tindakan
kekerasan tidak akan
membuat kejahatan itu
berhenti.
Begitu
juga dalam konteks
pemberantasan terorisme, strategi
represif kuranglah tepat. Jika
dalam satu dekade ini, pemerintah berhasil menumpas seluruh teroris yang ada, maka tidak ada garansi dalam jangka
10 atau 15 tahun yang akan datang
Indonesia bisa benar-benar bersih dari terorisme.
Alasannya cukup
sederhana, di saat
keturunan para teroris
yang terbunuh sudah
tumbuh dewasa, ketika
spirit jihad terwariskan
dalam diri mereka,
kejahatan terorisme dipastikan
akan lebih kejam.
Bukan hanya jihad yang mendasari aksi mereka, melainkan
juga motivasi balas dendam.
Karena
gerakan teroris tersebut didasari atas faham keagamaan yang radikal, maka deradikalisasi adalah
jawabannya. Deradikalisasi merupakan segala
upaya untuk menetralisir
paham-paham radikal melalui
pendekatan interdisipliner, seperti
hukum, psikologi, agama dan
sosial budaya bagi mereka yang dipengaruhi paham radikal dan/atau pro
kekerasan.
Proses deradikalisasi
lebih mengutamakan dialog dari pada tindakan fisik sehingga Sanai, pelaku bom Hotel Marriot. Baca Tempo,
edisi 27 September - 3 Oktober 2010, hlm. 109-115 Dikutip oleh Hendrojono, Kriminologi,
Pengaruh Perubahan Masyarakat dan Hukum, Surabaya: PT. Dieta Persada, 2005,
hlm. 13 Terorisme atas
motif balas dendam
juga dapat kita
jumpai di Moskow
yang dikenal dengan
janda-janda hitam “Black
Widows”. Para janda
melakukan bom bunuh
diri di tempattempat umum seperti dalam kereta dan bandara karena ingin
meneruskan misi suami-suami dan kerabat
mereka yang tewas
dalam "Perang Jihad"
melawan tentara Federasi
Rusia tahun 1995-1999.
Baca Tempo online,
31 Januari 2011(http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2011/01/31/ITR/mbm.20110131.ITR135822.id.h
tml), diunduh pada tanggal 4 Juli 20 Petrus
Reinhard Golose. Op.cit., hlm. 63 lebih
mengena dan aman
dari pelanggaran HAM.
Deradikalisasi juga diterapkan
oleh negara-negara lain
seperti Arab Saudi,
Yaman, mesir, Singapura,
Malaysia, Kolombia, Al-Jazair,
dan Tajikistan. Di
Indonesia sendiri, pemerintah
membentuk Badan Nasional Penanggulangan Terorisme sebagai
lembaga yang penanggung
jawab membuat kebijakan
dan strategi nasional penanganan terorisme, termasuk
program deradikalisasi.
Islam sebagai agama mayoritas
yang dianut oleh bangsa Indonesia, menekankan pada
perdamaian dan mendeklarasikan diri
sebagai ajaran rahmatan
lil alamin, tentu
bisa menjadi sudut
pandangan sendiri terhadap strategi
deradikalisasi yang menekankan
soft approach rancangan
BNPT.
Karena itu,
penulis tertarik untuk
mengadakan penelitian dengan
tema, “Deradikalisasi Gerakan
Terorisme, Analisis Politik Hukum Islam terhadap Program Deradikalisasasi Terorisme BNPT Tahun
2012”.
B. Rumusan Masalah .
Berdasarkan uraian
di atas, dapat
peneliti kemukakan beberapa pokok permasalahan yang dapat dirumuskan,
antara lain: 1. Bagaimana
tinjauan politik hukum
Islam terhadap program deradikalisasi terorisme BNPT? 2. Bagaimana Implementasi Program Deradikalisasi
oleh BNPT Terhadap Pelaku Kejahatan
Terorisme di Indonesia? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
Setelah menentukan
rumusan masalah dalam
penelitian ini dengan pasti,
maka ada beberapa
tujuan dan manfaat
yang dapat diambil
dari penelitian ini, antara lain:
.
1. Mengetahui
tinjauan hukum Islam
terhadap program deradikalisasai terorisme oleh BNPT.
2. Mengetahui berbagai implementasi program
deradikalisasi oleh BNPT Terhadap Pelaku Kejahatan Terorisme di
Indonesia.
Adapun manfaat penelitian dibagi
menjadi dua, yaitu manfaat secara teoritis dan
praktis.
Secara
teoritis, penelitian ini
berguna untuk perkembangan
keilmuan sekaligus mengisi
kekosongan penelitian yang menelaah
analisis hukum Islam terhadap deradikalisasi oleh BNPT terhadap para
pelaku tindak kejahatan
terorisme. Sedangkan manfaat
secara praktis empirik,
penelitian ini dapat
dijadikan sebagai bahan
pengetahuan serta evaluasi
bagi masyarakat umum
maupun pemerintah terkait
program deradikalisasi yang
dilaksanakan oleh BNPT
terhadap pelaku kejahatan terorisme.
Selain kedua
manfaat di atas,
karena pada prinsipnya
sebuah penelitian atau
ilmu pengetahuan merupakan
pengembangan terhadap pengetahuan sebelumnya, maka penelitian ini
juga dapat dijadikan sebagai pijakan untuk
para peneliti mendatang
dalam bidang yang
tidak jauh berbeda.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi