Rabu, 27 Agustus 2014

Skripsi Syariah: Tinjauan Hukum Islam terhadap Tindak Pidana Pembunuhan dengan Pendekatan Keadilan Restoratif

BAB I .
PENDAHULUAN .
A.  Latar Belakang.
Keadilan  telah  menjadi  pokok  pembicaraan  serius  sejak  awal  munculnya  filsafat  Yunani.  Pembicaraan  mengenai  keadilan  memiliki  cakupan  yang  luas,  mulai  dari  yang  bersifat  etik,  filosofis,  hukum,  sampai  pada keadilan sosial. Banyak orang yang berpikir bahwa bertindak adil dan  tidak  adil  tergantung  pada  kekuasaan  dan  kekuatan  yang  dimiliki.  Untuk  menjadi  adil  cukup  terlihat  mudah.  Namun,  tentu  saja  tidak  sama  penerapannya dalam kehidupan manusia.

Kata  “keadilan”  dalam  bahasa  Inggris  adalah  “justice”  yang  berasal  dari bahasa latin “iustitia”. Kata “justice” memiliki tiga macam makna yang  berbeda yaitu;  1)  Secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair(sinonimnya  justness),  2)  Sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan hukum atau tindakan  yang  menentukan  hak  dan  ganjaran  atau  hukuman  (sinonimnya  judicature), dan  3)  Orang,  yaitu  pejabat  publik  yang  berhak  menentukan  persyaratan  sebelum  suatu  perkara  di  bawa  ke  pengadilan  (sinonimnya  judge,  jurist, magistrate).
   http://iddiens.wordpress.com/2010/06/14/teori-keadilan,  diakses  pada  5  November  2011.
2  Sedangkan  kata  “adil”  bisa  dilihat  melalui  adaptasi  dari  bahasa Arab  “al-‘adl”  yang  artinya  sesuatu  yang  baik,  sikap  yang  tidak  memihak,  penjagaan  hak-hak  seseorang  dan  cara  yang  tepat  dalam  mengambil  keputusan.
  Untuk  menggambarkan  keadilan  juga  menggunakan  kata-kata  yang lain (sinonim) seperti qisth,  hukm, dan sebagainya. Sedangkan akar kata  ‘adl  dalam  berbagai  bentuk  konjugatifnya  bisa  saja  kehilangan  kaitannya  yang  langsung  dengan  sisi  keadilan  itu  (misalnya  “ta’dilu”  dalam  arti  mempersekutukan Tuhan dan ‘adldalam arti tebusan).
 Beberapa kata yang memiliki arti sama dengan kata “adil” di dalam alQur’an  digunakan  berulang-ulang.  Kata  “al-‘adl”  dalam  al-Qur’an  dalam  berbagai bentuk terulang sebanyak 35 kali. Kata “al-qisth” terulang sebanyak  24  kali.  Kata  “al-wajnu”  terulang  sebanyak  23  kali,  dan  kata  “al-  wasth”  sebanyak 5 kali.
 Kata  “al-‘adl”  dalam  al-Qur’an  terulang  berbagai  bentuk,  tidak  ada  yang  dinisbatkan  kepada  Allah  menjadi  sifat-Nya.  Di   sisi   lain,  beragam  aspek  dan  objek  keadilan  telah  dibicarakan  oleh  al-Quran,  pelakunya  pun  demikian. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna keadilan.
Paling tidak ada empat makna keadilan yang dikemukakan oleh para  pakar  agama.  Pertama, adil  dalam  arti  sama.  Yang  dimaksud  adil  di  sini  adalah memperlakukan sama atau tidak membedakan seseorang dengan yang   Dep. Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indinesia, cet.III Jakarta: Balai Pustaka, 1994    M.  Quraish  Shihab,  Tafsir  Maudhu’i  atas  Pelbagai  Persoalan  Umat,  Bandung:  PT.
Mizan, 2000, hal 18   http://www.duriyat.or.id/artikel/keadilan.htm, diakses 5 November 2011.
3  lain.  Tetapi  harus  digarisbawahi  bahwa  persamaan  yang  dimaksud  adalah  persamaan dalam hak. Dalam surat al-Nisa' (4):   dinyatakan bahwa:  Artinya:  “sesungguhnya  Allah  menyuruh  kamu  menyampaikan  amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh  kamu)  apabila  menetapkan  hukum  diantara  manusia  supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah  memberi  pengjaran  yang  sebaik-baiknya  kepadamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha melihat.”  Kata  "adil"  dalam  ayat  ini   -bila  diartikan  "sama"-  hanya  mencakup  sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan. Ayat ini  menuntun sang hakim untuk menempatkan pihak-pihak yang bersengketa di  dalam  posisi  yang  sama,  misalnya  ihwal  tempat  duduk,  penyebutan  nama  (dengan  atau  tanpa  embel-embel  penghormatan),  keceriaan  wajah,  kesungguhan  mendengarkan,  dan  memikirkan  ucapan  mereka,  dan  sebagainya  yang  termasuk  dalam  proses  pengambilan  keputusan.  Apabila  persamaan dimaksud mencakup keharusan mempersamakan apa yang mereka  terima  dari  keputusan,  maka  ketika  itu  persamaan  tersebut  menjadi  wujud  nyata kezaliman.
Kedua,  adil  dalam  arti  seimbang.  Keseimbangan   ditemukan   pada  suatu  kelompok  yang  didalamnya  terdapat  beragam  bagian   yang   menuju  satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi  oleh setiap  bagian.  Dengan  terhimpunnya  syarat  ini,  kelompok  itu  dapat  bertahan  dan   Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putera  4  berjalan  memenuhi  tujuan  kehadirannya.  Dalam  surat  al-Infithar  (82)  :  6-7,  dinyatakan;  Artinya:  “Hai  manusia,  apakah  yang  telah  memperdayakan  kamu  (berbuat  durhaka)  terhadap  Tuhanmu  Yang  Maha  Pemurah?  Yang  menciptakan  kamu  lalu  menyempurnakan  kejadianmu,  dan  menjadikan  kamu  (menjadikan  susunan  tubuh)mu seimbang.”  Seandainya  ada  salah  satu  anggota  tubuh  manusia  berlebih  atau  berkurang  dari   kadar  atau  syarat  yang  seharusnya,  maka  pasti  tidak  akan  terjadi kesetimbangan (keadilan). Di sini, keadilan identik dengan kesesuaian  (keproporsionalan),  bukan  lawan  kata  “kezaliman”.  Perlu  dicatat  bahwa keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi semua  bagian unit agar seimbang. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar,  sedangkan   kecil   dan  besarnya  ditentukan  oleh  fungsi  yang  diharapkan  darinya.
Ketiga,  adil  adalah  perhatian  terhadap  hak-hak  individu  dan  memberikan  hak-hak  itu  kepada  setiap  pemiliknya.  Pengertian  ini  mendefinisikan dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya atau memberi  pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat. Lawannya adalah "kezaliman",  dalam  arti  pelanggaran  terhadap  hak-hak  pihak  lain.  Dengan  demikian  menyirami tumbuhan adalah keadilan dan menyirami duri adalah lawannya.
Sungguh merusak permainan (catur), jika menempatkan gajah di tempat raja,   Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putera  5  demikian ungkapan seorang sastrawan yang arif. Pengertian keadilan seperti inilah yang kemudian melahirkan keadilan sosial.
Keempat,  adil  yang  dinisbatkan  kepada  Ilahi.  Adil  di  sini  berarti  memelihara  kewajaran  atas  berlanjutnya  eksistensi,  tidak  mencegah  kelanjutan  eksistensi  dan  perolehan  rahmat  sewaktu  terdapat  banyak  kemungkinan  untuk  itu.  Semua  wujud  tidak  memiliki  hak  atas  Allah.
Keadilan  Ilahi  pada  dasarnya  merupakan  rahmat  dan  kebaikan-Nya.
Keadilan-Nya  konsekuensi  bahwa  rahmat  Allah  tidak  tertahan  untuk  diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya.
 Demikian  pentingnya  makna  keadilan  bagi  manusia  sehingga  memunculkan konsepsi-konsepsi yang kemudian dipahami sebagai hak yang  melekat  pada  setiap  individu.  Dari  sinilah  kemudian  para  filsuf  dan  ahli  hukum  tertarik  untuk  merumuskan  makna  keadilan  yang  terus  berputar  dan  tidak pernah berhenti dengan segala problematikanya.
Diantara  problema  ini,  yang  paling  sering  menjadi  diskursus  adalah  tentang  persoalan  keadilan  yang  berkaitan  dengan  hukum.  Hal  ini  dikarenakan  hukum  atau  aturan  perundangan  harusnya  adil,  tapi  dalam  realitanya seringkali tidak ditemukan.
Keadilan  hanya  bisa  dipahami  jika  diposisikan  sebagai  keadaan  yang  hendak  diwujudkan  oleh  hukum.  Upaya  untuk  mewujudkan  keadilan  dalam  hukum  tersebut  merupakan  proses  yang  dinamis  yang  memakan  banyak  waktu.  Upaya  ini  seringkali  juga  didominasi  oleh  kekuatan-kekuatan  yang    M.  Quraish  Shihab,  Tafsir  Maudhu’i  atas  Pelbagai  Persoalan  Umat,  Bandung:  PT.
Mizan, 2000, hal 20  6  bertarung  dalam  kerangka  umum  tatanan  politik  untuk  mengaktualisasikannya.
 Dalam  sejarahnya,  perkembangan  hukum  liberal  menjadi  hukum  modern  (pasca  liberal)  berdampak  pada  keterlibatan  negara  untuk  berperan  aktif  dalam  menentukan  segala  kebijakan,   sehingga  negara  diposisikan  sebagai  lembaga  yang  memiliki  hak  untuk  menetapkan  sejumlah  norma  sebagai  bentuk  redistibusi  kekuasaan  yang  dalam  pandang  ilmu  hukum  khususnya hukum pidana merupakan bentuk kongkrit dari kontrak sosial.
 Redistribusi  kekuasaan  yang  diterima  oleh  negara  inilah  yang  kemudian  membuat  negara  dalam  sistem  peradilan  pidana  memiliki  kewenangan  untuk  mengambil  alih  peran  korban  jika  terjadi  suatu  tindak  pidana dalam masyarakat.
 Akan  tetapi  konstruksi  sistem  peradilan  pidana  yang  ada  saat  ini  dianggap belum mampu memberikan rasa keadilan karena tempat korban dan  masyarakat dalam sistem diambil alih oleh lembaga melalui penuntut umum.
Dalam hal demikian maka korban dan masyarakat tidak dapat berpartisipasi  secara  langsung  dalam  penentuan  akhir  dari  suatu  penyelesaian  perkara  pidana.  Dalam  kaitannya  dengan  konsepsi  hukum  yang  membahagiakan   Carl  Joachim  Friedrich,  Filsafat  Hukum  Perspektif  Historis,  Bandung:  Nuansa  dan  Nusamedia, 2004, hal 239.
 Satjipto Rahardjo, penegakan Hukum Progresif, Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara,  2010, hal 38   Dalam hal ini otoritas Negara dapat dilihat dari kewenangan Negara untuk menetapkan  sejumlah norma yang berlaku dalam hukum pidana (iuspunale) dan hak memidana (ius puniendi)  sebagai betuk penanganan dalam suatu tindak pidana  yang terjadi dalam masyarakat. H.A. Zainal  Abidin, Hukum Pidana 1,Jakarta: sinar Grafika, 2007, cet.II, hal. 1.
  Peran Negara  dalam  hal  ini  dilaksanakan oleh penuntut umum  yang  kewenangannya  diatur dalam pasal 14 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
7  semua  pihak   tentunya  akses  masyarakat  dan  korban  dalam  penyelesaian  suatu  perkara  pidana  yang  menyangkut  kepentingannya  harus  dibuka,  sehingga keadilan dapat dimaknai secara hakiki.
 Di Indonesia, sistem peradilan pidana hampir tidak memberikan tempat  terhadap  upaya  penyelesaian  perkara  pidana  di  luar  sistem  ini.  Padahal  hakikat  dari  hukum  pidana  harus  ditafsirkan  sebagai  suatu  upaya  terakhir yang  hanya  dapat  dijatuhkan  apabila  mekanisme  penegakan  hukum  lainnya  yang lebih ringan telah tidak berdaya guna atau dipandang tidak memadai.
 Selain  pengambil  alihan  peran  korban  oleh  negara,  yang  menjadi  persoalan lain adalah sanksi atau pemidanaan. Sanksi dalam sistem peradilan  pidana di Indonesia masih menganut pada paradigma pemidaan klasik yang  bersifat retributif  , dimana keberhasilan sanksi atau pemidanaan dapat dilihat  dari  besar  kecilnya  penderitan  yang  diterima  oleh  pelaku  tindak  pidana.
 Kemudian yang menjadi persoalan sekarang adalah penderitaan yang diterima  oleh  pelaku  ternyata  tidak  mampu  memulihkan  korban  pada  keadaan  yang    Hukum  hendaknya  memberikan  kebahagiaan  kepada  rakyat,  yang  setiap  individu  didalamnya  dengan  suka  rela  melaksanakan  tanpa  adanya  keterpaksaan  ataupun  menjadi  beban  budaya  lokal.  Satjipto  Rahardjo,  Penegakan  Hukum  Progresif,  Jakarta:  PT.  Kompas  Media  Nusantara, 2010, hal 42.
 Eva Achjani Zulfa. Keadilan Restoratif , Jakarta:Badan Penerbit FH UI, 2009, hlm.53   Ibid, hal 44   Dalam teori ini dipandang bahwa pemidanaan adalah  akibat nyata/mutlak yang harus  ada  sebagai  suatu  pembalasan  kepada  pelaku  tindak  pidana.  Eva  Achjani  Zulfa.  Keadilan  Restoratif , Jakarta:Badan Penerbit FH UI, 2009, hlm.66   Sholehuddin, Sistem Sanksi dalam hukum Pidana,Jakarta: Raja Grafindo, 2004, hal.71.
8  semula,  karena  korban  tidak  memilki  ruang  untuk  mengutarakan  keinginannya.
 Oleh  karena  itu  sangat  perlu  bagi  sistem  peradilan  pidana  untuk  memberikan  ruang  bagi  keadilan  yang  lebih  bersifat  restoratif  (Restorative  Justice).  Keadilaan  restoratif  merupakan  suatu  model  pendekatan  yang  muncul dalam era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana.
Berbeda  dengan  pendekatan  yang  dipakai  pada  sistem  peradilan  pidana  konvensional.  Pendekatan  ini  menitik  beratkan  pada  adanya  partisipasi  langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses penyelesaian perkara  pidana.
 Dalam  pandangan  keadilan  restoratif  makna  tindak  pidana  pada  dasarnya  sama  seperti  pandangan  hukum  pidana  pada  umumnya  yaitu  serangan terhadap individu dan masyarakat serta hubungan kemasyarakatan.
 Akan  tetapi  dalam  pendekatan  keadilan  restoratif,  korban  utama  atas  terjadinya  suatu  tindak  pidana  bukanlah  negara,  sebagaimana  dalam  sistem  peradilan pidana yang sekarang ada. Oleh karenanya kejahatan menciptakan  kewajiban  untuk  membenahi  rusaknya  hubungan  akibat  terjadinya  suatu  tindak  pidana.  Semantara  keadilan  dimaknai  sebagai  proses  pencarian   Sebagai contoh adalah korban pemerkosaan, sebesar apapun penderitaan yang diterima  oleh pelaku sebagai pembalasan atas tindak pidana pemerkosaan yang dilakukan tetap saja tidak  mampu memulihkan apa yang telah terenggut dari korban.
 Eva Achjani Zulfa. Keadilan Restoratif, Jakarta:Badan Penerbit FH UI, 2009, hlm 2.
  Dalam  kenyataan  pandangan  ini  tidak  lepas  dari  pandangan  ilmu  kriminologi  yang  melihat  adanya  perkembangan  dalam  melihat  pelaku  tindak  pidana,  pendefinisian  tindak  pidana  serta  respon  yang  terjadi  atas  suatu  tindak  pidana. Meskipun  tidak  dapat  dinyatakan  bahwa  pandangan kriminologi baru adalah serupa dengan pandangan keadilan restoratif, akan tetapi tidak  dapat dipungiri bahwa kehadiran keduanya berdampak  pada perubahan paradigma sebagai akibat  perkembangan  pemikiran  ini.  Koesriani  Siswosoebroto,  Pendekatan  Baru  Dalam  Kriminologi, Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 2009, hal 41  9  pemecahan  masalah  yang  terjadi  atas  suatu  perkara  pidana  dimana  keterlibatan  korban,  masyarakat  dan  pelaku  menjadi  penting  dalam  usaha  perbaikan,  rekonsiliasi  dan  penjaminan  keberlangsungan  usaha  perbaikan  tersebut.
 Kedilan restoratif bukanlah suatu yang asing dan baru, karena keadilan  ini  telah  dikenal  dalam  hukum  tradisional  yang  hidup  dalam  masyarakat.
Dalam  wacana  tradisional,  keadilan  restoratif  pada  dasarnya  merupakan  model  pendekatan  dalam  sistem  peradilan  pidana  yang  dominan  pada  masyarakat  adat  diberbagai  belahan  dunia  yang  hingga  kini  masih  berjalan.
Keadilan  ini  menjadi  suatu  yang  baru  karena  dalam  kenyataannya  justru  masyarakat  modern  kembali  mempertanyakan  bagaimana  sistem  peradilan  pidana tradisional dapat digunakan kembali dalam menangani tindak pidana  yang sangat berkembang pada masa sekarang.
 Selain  bukan  menjadi  hal  baru  yang  sebelumnya  telah  ada  dalam  hukum  tradisional  yang  hidup  dalam  masyarakat,  prinsip  dasar  keadilan  restoratif  juga  telah  lama  ada  dan  menjadi  landasan  filosofis,  doktrin,  dan  tradisi yang diberlakukan oleh umat Hindu, Budha, Islam, Yahudi, Tao, atau  Kristen.
Dalam  kepercayaan  yang  dianut  oleh  umat  Hindu  dinyatakan  bahwa  proses  reinkarnasi  dari  seseorang  dalam  setiap  kehidupan  yang  dijalaninya  merupakan  gambaran  dari  perilaku yang  dibuat  pada  kehidupn  sebelumnya.
Dalam  pandangan  Kristen,  keadilan  dan  kebenaran  dalam  injil  perjanjian   Eva Achjani Zulfa. Keadilan Restoratif, Jakarta:Badan Penerbit FH UI, 2009, hlm 3.
 Ibid, hal 55.
10  lama  merupakan  terminologi  yang  tak  terpisahkan  satu  dengan  yang  lain,  sama halnya dengan istilah damai, maaf dan cinta kasih yang merupakan inti  dari ajaran Kristiani. Ajaran ini juga terdapat dalam ajaran  Budha, Tao, dan  Confusian.
 Sementara dalam konsep hukum Islam prinsip dasar keadilan restoratif  dapat dilihat pada proses pemberlakuan qishashdan diyat.
 Dalam ketentuan  qishash-diyat memungkinkan  pengubahan  hukuman  pelaku  tindak  pidana  pembunuhan bila ada perdamaian dan pemaafan dari ahli waris.
 Dalam surat al-Baqarah ayat 178-179 Allah SWT berfirman:  Artinya:  “Hai  orang-orang  yang  beriman,  diwajibkan  atas  kamu  qishash  berkenaan  dengan  orang-orang  yang  dibunuh;  orang  merdeka  dengan  orang  merdeka,  hamba  dengan  hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang  mendapat  suatu  pemaafan  dari  saudaranya,  hendaklah  (yang  memaafkan)  mengikuti  dengan  cara  yang  baik,  dan  hendaklah  (yang  diberi  maaf)  membayar  (diyat)  kepada  yang  memberi  maaf  dengan  yang  baik  (pula).  Yang  demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan   Ibid, hal 13.
 Qishash-Diyat merupakan jarimah yang telah diancamdengan hukuman-hukuman yang  telah ditentukan batasnya dan tidak mempunyai batasterendah atau tertinggi, tapi telah menjadi  hak  perseorangan.  Ahmad  hanafi,M.A,  Azas-azas  Hukum  pidana  Islam, Jakarta:  PT.  Bulan  Bintang,2005    Djazuli,  H.A,  Fiqh  jinayat:  Upaya  menanggulangi  Kejahatan  dalam  Islam, Jakarta:  Raja Grafindo Persada,1996 hal 149.
11  suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah  itu, maka baginya siksa yang amat pedih”. (178) “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup  bagimu,  hai  orang-orang  yang  berakal,  supaya  kamu  bertakwa”. (179)  Sebagaimana  dikutip  dalam  tafsir  Al-Maraghi,  Al-Baidawi  dalam tafsirnya  mengatakan  bahwa  di  masa  jahiliyyah  ketika  diantara  dua  kabilah  (misalnya hutang darah) sedang keadaan salah satu kabilah lebih utama, maka  kabilah  yang  lebih  utama  itu  akan  bersumpah  kepada  kabilah  lainnya,  jika  seorang  hamba  dari  kalangan  kami  terbunuh,  maka  harus  ditebus  dengan  seorang merdeka dari kalian, dan wanita harus ditebus dengan seorang lelaki.
Ketika  agama  Islam  datang,  mereka  meminta  keputusan  hukum  kepada  Rasulullah SAW, kemudian turun ayat ini yang memerintahkan agar mereka berlaku sebanding didalam melaksanakan hukum qishash.
 Hukum qishashterhadap kejahatan pembunuhan merupakan ketentuan  hukum  yang  tak  dapat  ditawar  lagi  menurut  agama  Yahudi  yang  tersebut  dalam  kitab  keluaran  sembilan  belas.  Dan  hukum  diyat juga  tidak  bisa  dirubah lagi menurut agama Nasrani. Sedang bangsa Arab kuno menghukum  pembunuhan  ini  tergantung  dari  kuat  atau  lemahnya  kabilah.  Terkadang  mereka  lebih  memilih  sepuluh  orang  sebagai  pengganti  seorang  yang  dibunuh, meminta seorang laki-laki sebagai pengganti wanita yang dibunuh,  atau  meminta  seorang  merdeka  dari  hamba  yang  dibunuh.  Jika  permintaan  salah  satu  kabilah  ini  ditolak,  maka  akan  terjadi  pertempuran  yang  dahsyat   Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putera   Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang, CV. Toha Putra,  1993, Cet. II, hal. 102  12  antara kedua belah kabilah. Jelas, masalah ini merupakan sebuah kedzaliman  yang melampaui batas, dan merupakan kekerasan yang sangat menyedihkan,  bahkan  mereka  tidak  hanya  melakukan  pembunuhan  terhadap  pelakunya  saja.
 Tetapi,  terkadang  jika  pelaksanaan  hukum  qishash itu  dilaksanakan  akan sangat membahayakan, dan membiarkan tidak dilaksanakannya hukum  qishash adalah  lebih  baik.  Misalnya,  seorang  membunuh  saudaranya  dalam  keadaan  kalap  melakukannya.  Sedang  pelakunya  adalah  orang  yang  menanggung  pihak  terbunuh  dalam  hal  penghidupan.  Jika  dilaksanakan  hukum  qishash kepadanya,  tentu  ahlul  bait akan  kehilangan  orang  yang  mencarikan  nafkah  untuk  penghidupan  mereka.  Dengan  demikian  pelaksanaan  qishash terhadap  pembunuh  tersebut  akan  timbul  kerusakan  (mafsadah) bagi mereka sendiri. Dan jika pelaku pembunuh adalah orang lain  yang bukan dari lingkungan keluarga sendiri, sebaiknya ahli waris tidak usah  menuntut hukum  qishashdemi menolak bahaya dan mendapat  diyat. Dalam  kasus seperti ini, ahli waris dibolehkan memilih antara memberi maaf dengan  mengambil diyat, atau memberi maaf sama sekali tanpa diyat.
 Terlepas  dari  kontroversi,  pada  dasarnya  dalam  pelaksanaan  hukum  qishash ini  akan  tecipta  suatu  kehidupan  yang  tenang.  Dengan  sendirinya  masyarakat akan terpelihara dari berbagai penganiayaan dan permusuhan dari anggota masyarakat. Hal ini karena siapapun yang mengetahui bahwa pelaku  pembunuhan juga akan mendapatkan hukuman dengan dibunuh, maka ia tak   Ibid   Ibid  13  akan berani melakukan pembunuhan. Dengan demikian jiwa masyarakat akan  terpelihara,  dan  orang  yang  akan  melakukan  pembunuhan  pun  akan  terpelihara  dari  hukum  qishash karena  tidak  jadi  melakukan  pembunuhan.
Disamping  itu,  jika  yang  diberlakukannya  hanya  hukum  diyat,  maka  tak  segan-segan  orang  melakukan  pembunuhan  terhadap  orang  lain.  Hal  ini  karena  ada  sebagian  orang  orang  yang  mampu  mengeluarkan  harta  benda  sebanyak itu, demi untuk melenyapkan saingannya.
 Jika ditarik dalam konteks kekinian, persoalan hukum Islam kaitannya  dengan  tindak  pidana  pembunuhan  tentu  akan  terlihat  berbenturan  dengan  konsep  Hak  Asasi  Manusia  (HAM)  yang  menjadi  semangat  perkembangan  hukum pidana di dunia saat ini. Namun terlepas dari itu semua perlu adanya  penggalian lebih dalam lagi untuk membuktikan Islam sebagai  rahmatan lil  ‘alamindengan tidak melihat Syari’at Islam sebagai suatu konsep baku yang  kaku dan anti perubahan, akan tetapi melihat syari’at sebagai nilai-nilai ideal  yang  akan  terus  hidup  sepanjang  masa  yang  didalamnya  terdapat  semangat  keadilan restoratif.
Oleh karena itu, dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan ini untuk dijadikan kajian peeniltian  dengan  judul  “Tinjauan  Hukum  Islam  terhadap  Tindak  Pidana  Pembunuhan dengan Pendekatan Keadilan Restoratif”.
 Ibid  14  B.  Rumusan Masalah.
Untuk  membuat  permasalahan  menjadi  lebih  spesifik  dan  sesuai  dengan titik tekan kajian, maka harus ada rumusan masalah yang benar-benar fokus. Ini dimaksudkan agar pembahasan dalam karya tulis ini, tidak melebar dari  apa  yang  dikehendakai.  Berangkat  dari  deskripsi  diatas,  ada  beberapa  rumusan masalah yang penulis jadikan kajian dalam penelitian ini adalah;  1.  Bagaimana  tinjauan  hukum  islam  terhadap  tindak  pidana  pembunuhan  dengan pendekatan keadilan restoratif?  2.  Bagaimana  relevansi  tinjauan  hukum  islam  terhadap  tindak  pidana  pembunuhan dengan pendekatan keadilan restoratif  3.  Bagaimana  prospek  penyelesaian  perkara  pidana  dengan  pendekatan  keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana?  C.  Tujuan Penelitian .
Tujuan dari penulisan karya ini sebenarnya untuk menjawab apa yang  telah  dirumuskan  dalam  rumusan  masalah  diatas.  Diantara  beberapa  tujuan  dari penelitian ini adalah :.
1.  Mengungkapkan  tinjauan  hukum  islam  yang  terkait  dengan  tindak  pidana pembunuhan.
2.  Selain itu penulisan karya ini juga bertujuan untuk mengaitkan konsep  hukum islam tentang tindak pidana pembunuhan dengan prinsip-prinsip  keadilan  restoratif.  Dan  untuk  memagari  pembahasan,  penulis  akan  melihat keadilan restoratif sebagai konsep yang bersifat filosofis yang  15  secara  substansial  sudah  ada  dan  dipraktekkan  masyarakat  adat  diberbagai  belahan  dunia.  Dari  sini  maka  penulis  mencoba  menjawab  relevansi  tinjauan  hukm  islam  terhadap  tindak   pidana  pembunuhan  dengan pendekatan keadilan restoratif.
3.  Penulis  juga  bertujuan  untuk  melihat  prospek  penyelesaian  perkara  pidana  dengan  pendekatan  keadilan  restoratif  dalam  sistem  peradilan pidana.



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi