BAB I .
PENDAHULUAN .
A. Latar Belakang.
Keadilan telah
menjadi pokok pembicaraan
serius sejak awal munculnya filsafat
Yunani. Pembicaraan mengenai
keadilan memiliki cakupan
yang luas, mulai
dari yang bersifat
etik, filosofis, hukum,
sampai pada keadilan sosial.
Banyak orang yang berpikir bahwa bertindak adil dan tidak
adil tergantung pada
kekuasaan dan kekuatan
yang dimiliki. Untuk menjadi adil
cukup terlihat mudah.
Namun, tentu saja
tidak sama penerapannya dalam kehidupan manusia.
Kata “keadilan”
dalam bahasa Inggris
adalah “justice” yang
berasal dari bahasa latin
“iustitia”. Kata “justice” memiliki tiga macam makna yang berbeda yaitu; 1)
Secara atributif berarti suatu kualitas yang adil atau fair(sinonimnya justness), 2)
Sebagai tindakan berarti tindakan menjalankan hukum atau tindakan yang
menentukan hak dan
ganjaran atau hukuman
(sinonimnya judicature), dan 3)
Orang, yaitu pejabat
publik yang berhak
menentukan persyaratan sebelum
suatu perkara di
bawa ke pengadilan
(sinonimnya judge, jurist, magistrate).
http://iddiens.wordpress.com/2010/06/14/teori-keadilan, diakses
pada 5 November 2011.
2 Sedangkan
kata “adil” bisa
dilihat melalui adaptasi
dari bahasa Arab “al-‘adl”
yang artinya sesuatu
yang baik, sikap
yang tidak memihak, penjagaan
hak-hak seseorang dan
cara yang tepat
dalam mengambil keputusan.
Untuk
menggambarkan keadilan juga
menggunakan kata-kata yang lain (sinonim) seperti qisth, hukm, dan sebagainya. Sedangkan akar kata ‘adl
dalam berbagai bentuk
konjugatifnya bisa saja
kehilangan kaitannya yang
langsung dengan sisi
keadilan itu (misalnya
“ta’dilu” dalam arti mempersekutukan
Tuhan dan ‘adldalam arti tebusan).
Beberapa kata yang memiliki arti sama dengan
kata “adil” di dalam alQur’an
digunakan berulang-ulang. Kata
“al-‘adl” dalam al-Qur’an
dalam berbagai bentuk terulang
sebanyak 35 kali. Kata “al-qisth” terulang sebanyak 24
kali. Kata “al-wajnu”
terulang sebanyak 23
kali, dan kata
“al- wasth” sebanyak 5 kali.
Kata
“al-‘adl” dalam al-Qur’an
terulang berbagai bentuk,
tidak ada yang
dinisbatkan kepada Allah
menjadi sifat-Nya. Di
sisi lain, beragam aspek
dan objek keadilan
telah dibicarakan oleh
al-Quran, pelakunya pun demikian.
Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna keadilan.
Paling tidak ada empat makna
keadilan yang dikemukakan oleh para pakar agama.
Pertama, adil dalam arti
sama. Yang dimaksud
adil di sini adalah
memperlakukan sama atau tidak membedakan seseorang dengan yang Dep. Dikbud, Kamus Besar Bahasa Indinesia,
cet.III Jakarta: Balai Pustaka, 1994 M.
Quraish Shihab, Tafsir
Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat, Bandung:
PT.
Mizan, 2000, hal 18 http://www.duriyat.or.id/artikel/keadilan.htm,
diakses 5 November 2011.
3 lain.
Tetapi harus digarisbawahi
bahwa persamaan yang
dimaksud adalah persamaan dalam hak. Dalam surat al-Nisa' (4):
dinyatakan bahwa: Artinya:
“sesungguhnya Allah menyuruh
kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila
menetapkan hukum diantara
manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengjaran
yang sebaik-baiknya kepadamu.
Sesungguhnya Allah Maha Mendengar
lagi Maha melihat.” Kata "adil" dalam
ayat ini -bila
diartikan "sama"- hanya
mencakup sikap dan perlakuan
hakim pada saat proses pengambilan keputusan. Ayat ini menuntun sang hakim untuk menempatkan
pihak-pihak yang bersengketa di dalam posisi
yang sama, misalnya
ihwal tempat duduk,
penyebutan nama (dengan
atau tanpa embel-embel
penghormatan), keceriaan wajah, kesungguhan
mendengarkan, dan memikirkan
ucapan mereka, dan sebagainya yang
termasuk dalam proses
pengambilan keputusan. Apabila persamaan dimaksud mencakup keharusan
mempersamakan apa yang mereka terima dari
keputusan, maka ketika
itu persamaan tersebut
menjadi wujud nyata kezaliman.
Kedua, adil
dalam arti seimbang.
Keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok
yang didalamnya terdapat
beragam bagian yang
menuju satu tujuan tertentu,
selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi
oleh setiap bagian. Dengan
terhimpunnya syarat ini,
kelompok itu dapat
bertahan dan Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Semarang: CV. Toha Putera 4 berjalan
memenuhi tujuan kehadirannya.
Dalam surat al-Infithar
(82) : 6-7, dinyatakan;
Artinya:
“Hai manusia, apakah
yang telah memperdayakan
kamu (berbuat durhaka)
terhadap Tuhanmu Yang
Maha Pemurah? Yang
menciptakan kamu lalu
menyempurnakan kejadianmu, dan
menjadikan kamu (menjadikan
susunan tubuh)mu seimbang.” Seandainya
ada salah satu
anggota tubuh manusia
berlebih atau berkurang
dari kadar atau
syarat yang seharusnya,
maka pasti tidak
akan terjadi kesetimbangan
(keadilan). Di sini, keadilan identik dengan kesesuaian (keproporsionalan), bukan
lawan kata “kezaliman”.
Perlu dicatat bahwa keseimbangan tidak mengharuskan
persamaan kadar dan syarat bagi semua bagian
unit agar seimbang. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan
kecil dan besarnya
ditentukan oleh fungsi
yang diharapkan darinya.
Ketiga, adil
adalah perhatian terhadap
hak-hak individu dan memberikan hak-hak
itu kepada setiap
pemiliknya. Pengertian ini mendefinisikan
dengan menempatkan sesuatu pada tempatnya atau memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat.
Lawannya adalah "kezaliman", dalam arti
pelanggaran terhadap hak-hak
pihak lain. Dengan
demikian menyirami tumbuhan
adalah keadilan dan menyirami duri adalah lawannya.
Sungguh merusak permainan
(catur), jika menempatkan gajah di tempat raja, Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya,
Semarang: CV. Toha Putera 5 demikian ungkapan seorang sastrawan yang arif.
Pengertian keadilan seperti inilah yang kemudian melahirkan keadilan sosial.
Keempat, adil
yang dinisbatkan kepada
Ilahi. Adil di
sini berarti memelihara
kewajaran atas berlanjutnya
eksistensi, tidak mencegah kelanjutan
eksistensi dan perolehan
rahmat sewaktu terdapat
banyak kemungkinan untuk
itu. Semua wujud
tidak memiliki hak
atas Allah.
Keadilan Ilahi
pada dasarnya merupakan
rahmat dan kebaikan-Nya.
Keadilan-Nya konsekuensi
bahwa rahmat Allah
tidak tertahan untuk diperoleh
sejauh makhluk itu dapat meraihnya.
Demikian
pentingnya makna keadilan
bagi manusia sehingga memunculkan konsepsi-konsepsi yang kemudian
dipahami sebagai hak yang melekat pada
setiap individu. Dari
sinilah kemudian para
filsuf dan ahli hukum tertarik
untuk merumuskan makna
keadilan yang terus
berputar dan tidak pernah berhenti dengan segala
problematikanya.
Diantara problema
ini, yang paling
sering menjadi diskursus
adalah tentang persoalan
keadilan yang berkaitan
dengan hukum. Hal
ini dikarenakan hukum
atau aturan perundangan
harusnya adil, tapi
dalam realitanya seringkali tidak
ditemukan.
Keadilan hanya
bisa dipahami jika
diposisikan sebagai keadaan
yang hendak diwujudkan
oleh hukum. Upaya
untuk mewujudkan keadilan
dalam hukum tersebut
merupakan proses yang
dinamis yang memakan
banyak waktu. Upaya
ini seringkali juga
didominasi oleh kekuatan-kekuatan yang M.
Quraish Shihab, Tafsir
Maudhu’i atas Pelbagai
Persoalan Umat, Bandung:
PT.
Mizan, 2000, hal 20 6 bertarung dalam
kerangka umum tatanan
politik untuk mengaktualisasikannya.
Dalam
sejarahnya, perkembangan hukum
liberal menjadi hukum modern (pasca
liberal) berdampak pada
keterlibatan negara untuk
berperan aktif dalam
menentukan segala kebijakan,
sehingga negara
diposisikan sebagai lembaga
yang memiliki hak
untuk menetapkan sejumlah
norma sebagai bentuk
redistibusi kekuasaan yang
dalam pandang ilmu
hukum khususnya hukum pidana merupakan
bentuk kongkrit dari kontrak sosial.
Redistribusi
kekuasaan yang diterima
oleh negara inilah
yang kemudian membuat
negara dalam sistem
peradilan pidana memiliki kewenangan
untuk mengambil alih
peran korban jika
terjadi suatu tindak pidana dalam masyarakat.
Akan
tetapi konstruksi sistem
peradilan pidana yang
ada saat ini dianggap
belum mampu memberikan rasa keadilan karena tempat korban dan masyarakat dalam sistem diambil alih oleh
lembaga melalui penuntut umum.
Dalam hal demikian maka korban
dan masyarakat tidak dapat berpartisipasi secara
langsung dalam penentuan
akhir dari suatu
penyelesaian perkara pidana.
Dalam kaitannya dengan
konsepsi hukum yang
membahagiakan Carl Joachim
Friedrich, Filsafat Hukum
Perspektif Historis, Bandung:
Nuansa dan Nusamedia, 2004, hal 239.
Satjipto Rahardjo, penegakan Hukum Progresif,
Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2010,
hal 38 Dalam hal ini otoritas Negara
dapat dilihat dari kewenangan Negara untuk menetapkan sejumlah norma yang berlaku dalam hukum pidana
(iuspunale) dan hak memidana (ius puniendi) sebagai betuk penanganan dalam suatu tindak
pidana yang terjadi dalam masyarakat.
H.A. Zainal Abidin, Hukum Pidana
1,Jakarta: sinar Grafika, 2007, cet.II, hal. 1.
Peran
Negara dalam hal
ini dilaksanakan oleh penuntut
umum yang kewenangannya diatur dalam pasal 14 Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
7 semua
pihak tentunya
akses masyarakat dan
korban dalam penyelesaian suatu
perkara pidana yang
menyangkut kepentingannya harus
dibuka, sehingga keadilan dapat
dimaknai secara hakiki.
Di Indonesia, sistem peradilan pidana hampir
tidak memberikan tempat terhadap upaya
penyelesaian perkara pidana
di luar sistem
ini. Padahal hakikat
dari hukum pidana
harus ditafsirkan sebagai
suatu upaya terakhir yang
hanya dapat dijatuhkan
apabila mekanisme penegakan
hukum lainnya yang lebih ringan telah tidak berdaya guna
atau dipandang tidak memadai.
Selain
pengambil alihan peran
korban oleh negara,
yang menjadi persoalan lain adalah sanksi atau pemidanaan.
Sanksi dalam sistem peradilan pidana di
Indonesia masih menganut pada paradigma pemidaan klasik yang bersifat retributif , dimana keberhasilan sanksi atau pemidanaan
dapat dilihat dari besar
kecilnya penderitan yang
diterima oleh pelaku
tindak pidana.
Kemudian yang menjadi persoalan sekarang
adalah penderitaan yang diterima oleh pelaku
ternyata tidak mampu
memulihkan korban pada
keadaan yang Hukum
hendaknya memberikan kebahagiaan
kepada rakyat, yang
setiap individu didalamnya
dengan suka rela
melaksanakan tanpa adanya
keterpaksaan ataupun menjadi
beban budaya lokal.
Satjipto Rahardjo, Penegakan
Hukum Progresif, Jakarta:
PT. Kompas Media Nusantara,
2010, hal 42.
Eva Achjani Zulfa. Keadilan Restoratif ,
Jakarta:Badan Penerbit FH UI, 2009, hlm.53 Ibid, hal 44 Dalam teori ini dipandang bahwa pemidanaan
adalah akibat nyata/mutlak yang harus ada
sebagai suatu pembalasan
kepada pelaku tindak
pidana. Eva Achjani
Zulfa. Keadilan Restoratif , Jakarta:Badan Penerbit FH UI,
2009, hlm.66 Sholehuddin, Sistem Sanksi
dalam hukum Pidana,Jakarta: Raja Grafindo, 2004, hal.71.
8 semula,
karena korban tidak
memilki ruang untuk
mengutarakan keinginannya.
Oleh
karena itu sangat
perlu bagi sistem
peradilan pidana untuk memberikan ruang
bagi keadilan yang
lebih bersifat restoratif
(Restorative Justice). Keadilaan
restoratif merupakan suatu
model pendekatan yang muncul
dalam era tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana.
Berbeda dengan
pendekatan yang dipakai
pada sistem peradilan
pidana konvensional. Pendekatan
ini menitik beratkan
pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam
proses penyelesaian perkara pidana.
Dalam
pandangan keadilan restoratif
makna tindak pidana
pada dasarnya sama
seperti pandangan hukum
pidana pada umumnya
yaitu serangan terhadap individu
dan masyarakat serta hubungan kemasyarakatan.
Akan
tetapi dalam pendekatan
keadilan restoratif, korban
utama atas terjadinya
suatu tindak pidana
bukanlah negara, sebagaimana
dalam sistem peradilan pidana yang sekarang ada. Oleh
karenanya kejahatan menciptakan kewajiban untuk
membenahi rusaknya hubungan
akibat terjadinya suatu tindak pidana.
Semantara keadilan dimaknai
sebagai proses pencarian Sebagai contoh adalah korban pemerkosaan,
sebesar apapun penderitaan yang diterima oleh pelaku sebagai pembalasan atas tindak
pidana pemerkosaan yang dilakukan tetap saja tidak mampu memulihkan apa yang telah terenggut dari
korban.
Eva Achjani Zulfa. Keadilan Restoratif,
Jakarta:Badan Penerbit FH UI, 2009, hlm 2.
Dalam
kenyataan pandangan ini
tidak lepas dari pandangan ilmu
kriminologi yang melihat
adanya perkembangan dalam
melihat pelaku tindak
pidana, pendefinisian tindak
pidana serta respon
yang terjadi atas
suatu tindak pidana. Meskipun tidak
dapat dinyatakan bahwa pandangan
kriminologi baru adalah serupa dengan pandangan keadilan restoratif, akan
tetapi tidak dapat dipungiri bahwa
kehadiran keduanya berdampak pada
perubahan paradigma sebagai akibat perkembangan pemikiran
ini. Koesriani Siswosoebroto, Pendekatan
Baru Dalam Kriminologi, Jakarta: Penerbit Universitas
Trisakti, 2009, hal 41 9 pemecahan
masalah yang terjadi
atas suatu perkara
pidana dimana keterlibatan
korban, masyarakat dan
pelaku menjadi penting
dalam usaha perbaikan,
rekonsiliasi dan penjaminan
keberlangsungan usaha perbaikan tersebut.
Kedilan restoratif bukanlah suatu yang asing
dan baru, karena keadilan ini telah
dikenal dalam hukum
tradisional yang hidup
dalam masyarakat.
Dalam wacana
tradisional, keadilan restoratif
pada dasarnya merupakan model
pendekatan dalam sistem
peradilan pidana yang
dominan pada masyarakat
adat diberbagai belahan
dunia yang hingga
kini masih berjalan.
Keadilan ini
menjadi suatu yang
baru karena dalam
kenyataannya justru masyarakat
modern kembali mempertanyakan bagaimana
sistem peradilan pidana tradisional dapat digunakan kembali
dalam menangani tindak pidana yang
sangat berkembang pada masa sekarang.
Selain
bukan menjadi hal
baru yang sebelumnya
telah ada dalam hukum tradisional
yang hidup dalam
masyarakat, prinsip dasar
keadilan restoratif juga
telah lama ada
dan menjadi landasan
filosofis, doktrin, dan tradisi
yang diberlakukan oleh umat Hindu, Budha, Islam, Yahudi, Tao, atau Kristen.
Dalam kepercayaan
yang dianut oleh
umat Hindu dinyatakan
bahwa proses reinkarnasi
dari seseorang dalam
setiap kehidupan yang
dijalaninya merupakan gambaran
dari perilaku yang dibuat
pada kehidupn sebelumnya.
Dalam pandangan
Kristen, keadilan dan
kebenaran dalam injil
perjanjian Eva Achjani Zulfa.
Keadilan Restoratif, Jakarta:Badan Penerbit FH UI, 2009, hlm 3.
Ibid, hal 55.
10 lama
merupakan terminologi yang
tak terpisahkan satu
dengan yang lain, sama
halnya dengan istilah damai, maaf dan cinta kasih yang merupakan inti dari ajaran Kristiani. Ajaran ini juga
terdapat dalam ajaran Budha, Tao, dan Confusian.
Sementara dalam konsep hukum Islam prinsip
dasar keadilan restoratif dapat dilihat
pada proses pemberlakuan qishashdan diyat.
Dalam ketentuan qishash-diyat memungkinkan pengubahan
hukuman pelaku tindak
pidana pembunuhan bila ada
perdamaian dan pemaafan dari ahli waris.
Dalam surat al-Baqarah ayat 178-179 Allah SWT
berfirman: Artinya: “Hai
orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu qishash berkenaan
dengan orang-orang yang
dibunuh; orang merdeka
dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita. Maka barang
siapa yang mendapat suatu
pemaafan dari saudaranya,
hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara
yang baik, dan hendaklah (yang
diberi maaf) membayar
(diyat) kepada yang
memberi maaf dengan
yang baik (pula).
Yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan Ibid,
hal 13.
Qishash-Diyat merupakan jarimah yang telah
diancamdengan hukuman-hukuman yang telah
ditentukan batasnya dan tidak mempunyai batasterendah atau tertinggi, tapi
telah menjadi hak perseorangan.
Ahmad hanafi,M.A, Azas-azas
Hukum pidana Islam, Jakarta: PT.
Bulan Bintang,2005 Djazuli,
H.A, Fiqh jinayat:
Upaya menanggulangi Kejahatan
dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada,1996 hal 149.
11 suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui
batas sesudah itu, maka baginya siksa
yang amat pedih”. (178) “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup
bagimu,
hai orang-orang yang
berakal, supaya kamu bertakwa”.
(179) Sebagaimana dikutip
dalam tafsir Al-Maraghi,
Al-Baidawi dalam tafsirnya mengatakan
bahwa di masa
jahiliyyah ketika diantara
dua kabilah (misalnya hutang darah) sedang keadaan salah
satu kabilah lebih utama, maka kabilah yang
lebih utama itu
akan bersumpah kepada
kabilah lainnya, jika seorang hamba
dari kalangan kami
terbunuh, maka harus
ditebus dengan seorang merdeka dari kalian, dan wanita harus
ditebus dengan seorang lelaki.
Ketika agama
Islam datang, mereka
meminta keputusan hukum
kepada Rasulullah SAW, kemudian
turun ayat ini yang memerintahkan agar mereka berlaku sebanding didalam
melaksanakan hukum qishash.
Hukum qishashterhadap kejahatan pembunuhan
merupakan ketentuan hukum yang
tak dapat ditawar
lagi menurut agama
Yahudi yang tersebut dalam
kitab keluaran sembilan
belas. Dan hukum
diyat juga tidak bisa dirubah
lagi menurut agama Nasrani. Sedang bangsa Arab kuno menghukum pembunuhan
ini tergantung dari
kuat atau lemahnya
kabilah. Terkadang mereka
lebih memilih sepuluh
orang sebagai pengganti
seorang yang dibunuh, meminta seorang laki-laki sebagai
pengganti wanita yang dibunuh, atau meminta
seorang merdeka dari
hamba yang dibunuh.
Jika permintaan salah
satu kabilah ini
ditolak, maka akan
terjadi pertempuran yang
dahsyat Depag RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Semarang: CV. Toha Putera Ahmad
Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, Semarang, CV. Toha Putra, 1993, Cet. II, hal. 102 12 antara
kedua belah kabilah. Jelas, masalah ini merupakan sebuah kedzaliman yang melampaui batas, dan merupakan kekerasan
yang sangat menyedihkan, bahkan mereka
tidak hanya melakukan
pembunuhan terhadap pelakunya saja.
Tetapi,
terkadang jika pelaksanaan
hukum qishash itu dilaksanakan akan sangat membahayakan, dan membiarkan tidak
dilaksanakannya hukum qishash
adalah lebih baik.
Misalnya, seorang membunuh
saudaranya dalam keadaan
kalap melakukannya. Sedang
pelakunya adalah orang
yang menanggung pihak
terbunuh dalam hal
penghidupan. Jika dilaksanakan hukum
qishash kepadanya, tentu ahlul
bait akan kehilangan orang
yang mencarikan nafkah
untuk penghidupan mereka.
Dengan demikian pelaksanaan
qishash terhadap pembunuh tersebut
akan timbul kerusakan (mafsadah) bagi mereka sendiri. Dan jika
pelaku pembunuh adalah orang lain yang
bukan dari lingkungan keluarga sendiri, sebaiknya ahli waris tidak usah menuntut hukum
qishashdemi menolak bahaya dan mendapat
diyat. Dalam kasus seperti ini,
ahli waris dibolehkan memilih antara memberi maaf dengan mengambil diyat, atau memberi maaf sama sekali
tanpa diyat.
Terlepas
dari kontroversi, pada
dasarnya dalam pelaksanaan
hukum qishash ini akan
tecipta suatu kehidupan
yang tenang. Dengan
sendirinya masyarakat akan
terpelihara dari berbagai penganiayaan dan permusuhan dari anggota masyarakat.
Hal ini karena siapapun yang mengetahui bahwa pelaku pembunuhan juga akan mendapatkan hukuman
dengan dibunuh, maka ia tak Ibid Ibid 13
akan berani melakukan pembunuhan. Dengan
demikian jiwa masyarakat akan terpelihara, dan
orang yang akan
melakukan pembunuhan pun
akan terpelihara dari
hukum qishash karena tidak
jadi melakukan pembunuhan.
Disamping itu,
jika yang diberlakukannya hanya
hukum diyat, maka
tak segan-segan orang
melakukan pembunuhan terhadap
orang lain. Hal
ini karena ada
sebagian orang orang
yang mampu mengeluarkan
harta benda sebanyak itu, demi untuk melenyapkan
saingannya.
Jika ditarik dalam konteks kekinian, persoalan
hukum Islam kaitannya dengan tindak
pidana pembunuhan tentu
akan terlihat berbenturan
dengan konsep Hak
Asasi Manusia (HAM)
yang menjadi semangat
perkembangan hukum pidana di
dunia saat ini. Namun terlepas dari itu semua perlu adanya penggalian lebih dalam lagi untuk membuktikan
Islam sebagai rahmatan lil ‘alamindengan tidak melihat Syari’at Islam
sebagai suatu konsep baku yang kaku dan
anti perubahan, akan tetapi melihat syari’at sebagai nilai-nilai ideal yang
akan terus hidup
sepanjang masa yang
didalamnya terdapat semangat keadilan restoratif.
Oleh karena itu, dari latar
belakang yang telah diuraikan diatas, penulis tertarik untuk mengangkat
permasalahan ini untuk dijadikan kajian peeniltian dengan
judul “Tinjauan Hukum
Islam terhadap Tindak
Pidana Pembunuhan dengan
Pendekatan Keadilan Restoratif”.
Ibid 14
B.
Rumusan Masalah.
Untuk membuat
permasalahan menjadi lebih
spesifik dan sesuai dengan titik tekan kajian, maka harus ada
rumusan masalah yang benar-benar fokus. Ini dimaksudkan agar pembahasan dalam
karya tulis ini, tidak melebar dari
apa yang dikehendakai.
Berangkat dari deskripsi
diatas, ada beberapa rumusan masalah yang penulis jadikan kajian
dalam penelitian ini adalah; 1. Bagaimana
tinjauan hukum islam
terhadap tindak pidana
pembunuhan dengan pendekatan keadilan
restoratif? 2. Bagaimana
relevansi tinjauan hukum
islam terhadap tindak
pidana pembunuhan dengan
pendekatan keadilan restoratif 3. Bagaimana
prospek penyelesaian perkara
pidana dengan pendekatan keadilan restoratif dalam sistem peradilan
pidana? C. Tujuan Penelitian .
Tujuan dari penulisan karya ini
sebenarnya untuk menjawab apa yang telah dirumuskan
dalam rumusan masalah
diatas. Diantara beberapa
tujuan dari penelitian ini adalah
:.
1. Mengungkapkan
tinjauan hukum islam
yang terkait dengan
tindak pidana pembunuhan.
2. Selain itu penulisan karya ini juga bertujuan
untuk mengaitkan konsep hukum islam
tentang tindak pidana pembunuhan dengan prinsip-prinsip keadilan
restoratif. Dan untuk
memagari pembahasan, penulis
akan melihat keadilan restoratif
sebagai konsep yang bersifat filosofis yang 15 secara substansial
sudah ada dan
dipraktekkan masyarakat adat diberbagai belahan
dunia. Dari sini
maka penulis mencoba
menjawab relevansi tinjauan
hukm islam terhadap
tindak pidana pembunuhan dengan pendekatan keadilan restoratif.
3. Penulis
juga bertujuan untuk
melihat prospek penyelesaian
perkara pidana dengan
pendekatan keadilan restoratif
dalam sistem peradilan pidana.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi