BAB I .
PENDAHULUAN .
A. Latar Belakang Masalah .
Persaingan perekonomian
semakin menjadi tantangan
para pelaku usaha dalam mengembangkan usahanya. Seiring
dengan berkembang pesatnya teknologi, kita
sudah masuk pada
era globalisasi, yang
semuanya serba menggunakan teknologi dan fasilitas canggih.
Sekarang kita
hidup dalam zaman
globalisasi, dimana semua informasi,
komunikasi dan teknologi
sudah berkembang dengan
begitu pesatnya. Perjalanan
dari zaman ke
zaman berikutnya, tentunya
membawa sebuah perubahan
dalam semua lini
masyarakat, mulai dari hal
yang sepele hingga
yang mempunyai pengaruh
besar. Bayangkan, hanya
dengan duduk santai
di kamar kita
bisa menjual dan
membeli barang sesuai
yang kita inginkan.
Era globalisasi
sudah membawa perubahan
besar dalam semua lini kehidupan masyarakat,
baik sosial, politik,
hukum dan ekonomi
dan lain sebagainya.
Perilaku manusia yang
menjadi wilayah kompetensi
moral, sekarang banyak orang
mempertanyakan kembali kompetensi, sekaligus peran dan
kemampuan moral untuk
mengantisipasi, mengatur dan
mengendalikan moral masyarakat.
Muhammad Djakfar,
Agama, Etika dan
Ekonomi, Wacana Menuju
Pengembangan Ekonomi Rabbaniyah,
Malang: UIN Malang Press, 2007, h. 4 2 Kaitannya
dengan masalah perekonomian,
bangsa kita dihadapkan pada
realitas perilaku sebagian
masyarakat yang hanya
memikirkan keuntungan belaka.
Keuntungan yang sebanyak-banyaknya menjadi hal wajib yang
harus dipenuhi. Sehingga
tata cara maupun
aturan-aturan yang ditetapkan dikesampingkan.
Antara pelaku
bisnis cenderung terjadi
tabrakan kepentingan, saling menghalalkan cara untuk memperoleh keuntungan
sebanyak mungkin, bahkan saling mendominasi
pasar, sementara pelaku
bisnis dengan modal
yang paspasan semakin
tersudutkan, yang pada akhirnya gulung tikar.
Realitas di
atas salah satu
cermin terjadinya perubahan
moralitas masyarakat. Kecenderungan
bisnis sekarang kian
tidak memperhatikan masalah
etika. Akibatnya, sesama
pelaku bisnis sering
bertabrakan kepentingan, bahkan
saling “membunuh”. Kondisi
ini menciptakan pelaku ekonomi yang kuat semakin merajai, sebaliknya
yang kecil semakin tertindas dalam ketidakmampuannya.
Melihat fenomena
tersebut etika dalam
berbisnis sangat diperlukan, sebagai
bentuk kerangka pemahaman
untuk membedakan antara
yang baik dan buruk, antara praktek bisnis yang halal
dan haram. Meskipun sebetulnya banyak pihak
yang menyangsikan gagasan
etika bisnis, karena
etika bila diterapkan
dalam dunia bisnis
dianggap akan mengganggu
upaya mencapai tujuan bisnis, mencari keuntungan
sebanyak-banyaknya.
Muhammad dan
Alimin, Etika dan
Perlindungan Konsumen dalam
Ekonomi Islam, Yogyakarta: Fakultas Ekonomi UGM, 2004, h. 61 3 Laiknya Islam
memberikan petunjuk mengenai
cara yang benar
dan tepat untuk
bertingkah laku dalam
segala bidang kehidupan,
ia pun memberikan
petunjuk untuk menangani
hal-ikhwal yang berkaitan dengan produksi,
pekerjaan, properti dan
modal. Dalam perkembangan
terkini ini, misalnya,
masyarakat dihadapkan pada
perkembangan ekonomi yang
begitu kental akan persaingan dalam
mencari kebutuhan perut. Dan pendeknya, Islam bisa
memberikan cara yang
benar untuk mengatur
kehidupan akan ekonomi tersebut.
Bisnis
di dalam Islam
merupakan kegiatan muamalah
yang pertama kali
menanggalkan etika, kemudian
disusul oleh bidang
politik, dan terakhir adalah
persoalan seks. Namun,
bisnis yang sehat
adalah bisnis yang berlandaskan etika,
oleh karena itu
pelaku bisnis hendaknya
memiliki dan memahami
kerangka bisnis yang
kuat, sehingga dapat
mengantarkan pada aktivitas bisnis yang nyaman dan berkah.
Dalam dunia
bisnis marketing atau
pemasaran menjadi ujung tanduk dari sebuah perusahaan, untuk mencapai
kesuksesan seorang pengusaha harus mampu menguasai
strategi-strategi marketing yang
bisa menarik hati
calon konsumen. Sehingga sudah
pasti dalam sebuah perusahaan ada divisi khusus marketing.
Dalam sebuah
perusahaan, marketer atau
pemasar dituntut untuk mendapatkan konsumen
sebanyak mungkin, oleh
karena itu pemasar
harus mengetahui dan
memahami konsep serta
prinsip pemasaran yang
menjadi Murad W. Hofman,
Menengok Kembali Islam Kita, terj. Bandung: Pustaka Hidayah, 2002, h. 163 4
dasar
pemenuhan konsumen. Mulai
dari pemenuhan produk
(product), penetapan harga
(price), pengiriman barang
(place), dan mempromosikan barang (promotion).
Pemasaran
yang berdaya saing
merupakan wujud kesuksesan
sebuah strategi pemasaran,
dan ini tentunya
juga menentukan kesuksesan
sebuah perusahaan. Sebagai sebuah
entitas, ada kesamaan antara individu, organisasi dan perusahaan. Individu, organisasi dan
perusahaan, masing-masing memiliki kebutuhan
yang besar untuk menjaga keberlanjutan dan kelangsungannya.
Di
era globalisasi dan
liberalisasi, tingkat daya
saing perusahaan meningkat pesat. Mereka semua mengejar
keuntungan semaksimal mungkin.
Sehingga munculah
berbagai konsep marketing
dari yang tradisional
hingga yang up to dateatau modern.
Perkembangan yang
terjadi sekarang adalah
semakin banyaknya pesaing mendorong setiap perusahaan untuk
mencari formulasi-formulasi atau strategi marketing
sehingga target penjualan
menjadi tujuan utama.
Namun, yang terjadi para pelaku
bisnis kerap kali menggunakan “jalan pintas” untuk mencapai cita-cita mereka, dengan mendobrak
dindingetika dalam berbisnis.
Sehingga melahirkan anggapan
bahwa bisnis adalah “dunia hitam”.
Realitas
dan fenomena di
atas, mendorong banyak
para akademisi untuk mencari solusi konsep yang bisa diterima
semua kalangan masyarakat.
www.wikipedia.org, diakses tanggal 20
September 2011 Triton PB, Marketing
Strategic, Yogyakarta: Tugu Publisher, 2008, h. 29 Muhammad
dan Lukman Fauroni,
Visi Al Qur’an
tentang Etika dan
Bisnis, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002, h. 2 5 Bagaimana bisa
memasukkan etika dalam
bisnis, sehingga tercipta
suatu persaingan yang sehat, dan
peka terhadap kondisi sosial masyarakat.
Islam sebagai
agama rahmatan lil
alamin memberi solusi terhadap berbagai
polemik di atas,
dalam bisnis yang
menerapkan nilai Islami
tidak hanya meraih keuntungan
belaka. Di sisi lain nilai ibadah harus dimiliki untuk mendapat ridho Allah.
Umat Islam
telah menjadikan agama
sebagai sebuah pijakan
dalam menjalani rutinitas
hidup di dunia,
tidak terlepas pula,
kebutuhan ekonomi yang
menjadi oase semangat
tersendiri dalam proses
pendekatan terhadap Tuhan.
Di mana agama
dijadikan sebagai spirit
dalam etos kerja manusia, dengan dalil-dalil yang sudah termaktub dalam
narasi al Qur’an.
Karena itu,
paham keagamaan menjadi
jelas sebagai pendorong semangat
usaha mereka dalam
proses usaha mereka.
Terkait dengan agama sebagai semangat
dalam perekonomian, mengutip
Max Weber pernah mempertanyakan
dengan nada sinisnya,
bahwa agama-agama seperti
Islam, Katolik, dan Budha adalah
agama-agama yang tidak mendukung pada proses produksi atau munculnya kapitalisme awal.
Sebab, kata dia, agama-agama ini merupakan
agama yang menyebarkan paham asketik dalam hidup membiara, serta agama prajurit, bukan agama kapital.
Dalam konteks sekarang, saya kira pernyataan
Weber di atas bertolak belakang
dengan perkembangan yang
terjadi sekarang, di mana
masyarakat sudah memiliki
penafsiran yang cemerlang
terhadap paham kegamaan
yang Abdullah, M. Amin, Agama dan Kesalehan Sosial Pengusaha
Muslimdalam Zuly Qodir, Agama dan Etos
Dagang, Solo: Pondok Edukasi, 2002, h. x 6 dapat mendorong
dalam proses perekonomian.
Hal ini bisa
terlihat dengan maraknya
dinamika pertumbuhan ekonomi
Indonesia, yang diwarnai
dengan perkembangan pesat
sistem dan mekanisme
ekonomi Islam. Muncul
dan berkembangnya ekonomi Islam
ini menjadi trend dalammasa sekarang, yakni sebuah sistem yang berawal dari pemahaman
teologis yang disandarkan pada ajaran Islam yang berdasarkan pada teks al
Qur’an dan Hadits yang menjadi sumber
utama ajaran umat Islam.
Sebagaimana mestinya,
manusia tidak bisa
lepas dari perekonomian, walaupun
ini berdasar pada
pilihan antara keinginan untuk menjadi
seorang konsumen, menjadi seorang
produsen. Atau, ia hanya ingin menjadi
seorang pelayan jasa.
Menengok
ke belakang sejarah
datangnya Islam di
Arab, kita mengenal
sosok Muhammad. Putra
Abdullah dan Aminah
ini telah menjadi aktor
utama dalam misi
datangnya Islam di
bangsa Arab tepatnya
di area Makkah.
Secara geografis, Arab
bukan merupakan tempat
yang ideal untuk sebuah kehidupan.
Banyak para peneliti
yang menjelaskan bagaimana tandusnya
kondisi bangsa Arab.
Merujuk Philip K.
Hitti yang menuliskan, Semenanjung
Arab merupakan semenanjung
barat daya Asia,
sebuah semenanjung terbesar
dalam peta dunia.
Lalu, para ahli
geologi mengatakan bahwa
wilayah itu pada
awalnya merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari
dataran Sahara (kini
dipisahkan oleh lembah
Nil dan Laut
Merah) dan Johan Arifin, Etika bisnis Islami, Semarang:
Walisongo Press, 2009, h. 31 7 kawasan berpasir yang menyambungkan Asia
melalui Persia bagian tengah ke Gurun
Gobi.
Menurut Karen Armstrong, jazirah Arab terdiri
dari tanah-tanah yang tinggi
yang membujur, luas,
bergunung-gunung batu, dan
kebanyakan tanahnya terdiri
dari gurun pasir.
Juga, curah hujan
amat jarang turun
di semenanjung jazirah
Arab ini. Keadaan
demikian menyebabkan bagian terbesar
dari jazirah Arab
itu menjadi panas,
kering, gersang, dan
tandus.
Meskipun sebenarnya diapit oleh
lautan di sebelah barat dan timur, akan tetapi laut itu terlalu kecil untuk mempengaruhi
kondisi cuaca Afro-Asia yang jarang turun
hujan.
Daerah yang lebih sering turun hujan adalah
daerah Yaman, sehingga tanahnya
subur dibanding daerah
Arab lainnya. Keadaan
tersebut juga menyebabkan
tidak adanya sungai
di daerah Arab.
Yang ada hanyalah semacam oase, yaitu mata air di tengah gurun.
Di lain
sisi, semenanjung Arab
yang merupakan bagian
dari Timur Tengah
yang pada zaman
pra Islam belum
pernah dijamah oleh
kekuasaan asing dari
manapun. Bahkan kekuasaan
besar Romawi dan
Persia tidak berminat
sekalipun dengan Arab,
dikarenakan daerahnya sangat
miskin, tandus, dan kering. Karena
dilihat dari sisi ekonomi, daerah Arab sama sekali tidak
menguntungkan. Sedangkan untuk
pengembangan kemiliteran juga memiliki
medan yang terlalu berat dan sangat berbahaya.
Philip K. Hitti, History oh The Arabs,
Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2010, h. 16 Ibid., h. 20 8 Sedangkan Hijaz,
tempat pertama yang
dijadikan sasaran dakwah Islam,
karena di sinilah
Muhammad lahir, tumbuh,
dan berkembang.
Sebagaimana
telah disinggung sekilas
di atas, bahwa Islam
lahir di wilayah yang
kering. Karena di
kota ini musim
kering yang berlangsung
tiga tahun berturut-turut adalah hal lumrah. Kemudian
Phillip K. Hitti menggambarkan hujan
badai yang singkat
dan banjir yang
cukup besar kadang-kadang menimpa
Makkah dan Madinah,
dan pernah beberapa
kali hampir meruntuhkan bangunan ka’bah.
Kata Al
Baladhuri, sebagaimana yang
dikutip Phillip K. Hitti,
telah menuliskan satu
bab penuh untuk
mengisahkan banjir bandang
yang menyerang Makkah.
Setelah hujan turun,
tanaman gurun untuk
makanan ternak bertumbuhan. Di
sebelah utara Hijaz, oasis terpencil yang paling besar luasnya
sekitar 17 KM
persegi, merupakan sumber
pendukung kehidupan satu-satunya bagi penduduk sekitar.
Jazirah Arab yang sangat luas ini namun tidak
ada satupun sungai yang mengalir di
dataran jazirah Arab.
Sebab, musim hujan
yang akan dapat dijadikan
pegangan dalam mengatur sesuatu usaha juga tidak menentu.
Tak salah bila masyarakat Arab pra Islam
dikenal sebagai masyarakat tanpa aturan,
tidak mempunyai nilai-nilai
kemanusiaan dalam segala aktifitasnya.
Dan, ada pula
yang menyebut sebagai
zaman jahiliyyah atau Ahmad
al Usairy, Sejarah
Islam, Sejak Zaman
Nabi Adam Hingga
Abad XX, Jakarta: Akbar Media Eka Sarana, 2007, h. 69 Op.cit.,h. 21 Muhammad Husain Haikal, Sejarah Hidup
Muhammad, ebook.
Masyarakat
Jahiliyah memiliki pola
pikir, sikap dan
tingkah laku terpuji
dan tercela.
Husein Ibrahim Hasan sebagaimana
dikutip Quraish Shihab menyebutkan beberapa adat kebiasaan 9 zaman
kebodohan. Salah satunya Ibnu Khaldun yang berpendapat bahwa pada masa
jahiliyah mereka adalah
orang-orang tidak beradab,
gemar melakukan perampasan
dan kerusakan. Mereka
memiliki watak sukar
tunduk kepada pimpinan. Ia tidak memiliki bakat dalam
pekerjaan pertukangan dan ilmu lain.
Walaupun pembawaan
mereka sebenarnya adalah
bersih dan murni, pemberani dan sanggup berkorban untuk hal-hal
yang dipandang baik.
Dalam sektor perekonomian,
melihat dari kondisi wilayah dan kultur sosial jazirah
Arab yang demikian,
ada berbagai macam
sumber mata pencaharian mereka, antara lain; pertanian,
perkebunan dan peternakan.
Namun
yang menjadi sumber
utama penghasilan orang-orang
arab adalah perdagangan
dan bisnis, mereka
di masa jahiliyyah
sangat dikenal dengan bisnis dan perdagangannya.
Mereka melakukan perjalanan
bisnis ke Yaman pada musim dingin dan perjalanan
bisnis ke Syam
pada musim panas.
Kondisi
alam jazirah Arab
yang tandus dan
panas memang menjadi
faktor penting mengapa mereka
bisa dikatakan dalam
pola hidup yang
penuh dengan kekejaman.
Kehidupan yang
monoton dan kegersangan
gurun tercermin dengan
baik dalam karakteristik fisik
dan mental orang-orang badui.
mereka yang tercela: a) politeisme dan
penyembahan berhala; b) pemujaan kepada ka’bah secara berlebihan;
c) perdukunan dan
khurafat; d) mabuk-mabukan
dan sebagainya. Sementara
ahmad Amin menerang
sifat positifnya, seperti;
a) semangat dan
keberanian; b) kedermawanan;
c) kebaktian kepada suku. M.
Quraish Shihab, Membumikan Al Qur’an,
Bandung: Mizan, 1994, h.
245 Muhammad
Solahuddin, World Economic
Revolution With Mohammad,
Sidoarjo: Masmedia, 2009, h.
26-27 Ahmad al Usairy, op.,cit Philip K. Hitti, h. 29 10 Phillip K.
Hitti menambahkan, bahwa
kegersangan tanah mereka tercermin dalam tampilan fisik mereka. Makanan
harian mereka adalah buah kurma dan
beragama panganan dari tepung, atau jagung bakar yang dicampur dengan air atau susu.
Mencermati situasi dan kondisi
Jazirah Arab yang seperti itu, ternyata berpengaruh besar
dalam pembentukan watak
dan tabiat masyarakat
Arab.
Baik dari sisi yang positif
maupun negatif. Adanya tanah gersang dan tandus, cuaca
panas dan kering
serta udara yang
sangat dingin di
malam hari telah membuat
mereka berjuang untuk hidup lebih keras.
Dengan pandangan
demikian, sebetulnya tradisi
pertanian dan perdagangan
di Arab sudah
ada sejak lama
sebelum Islam datang,
namun kondisi sosial
masyarakat Arab yang
tidak menjunjung nilai-nilai kemanusiaan
telah menjadi catatan
tersendiri bagi penulis.
Oleh karena ini, praktek-praktek perekonomian
yang tidak memiliki
ruh atau semangat kesetaraan
dan keadilan tersebut
menjadikan kebudayaan dan
pranata sosial mereka
yang mengenaskan. Sehingga
muncullah istilah jahiliyyah bagi mereka.
Sejak
Islam datang, maka
nilai-nilai keadilan dan
persamaan mulai dimasukkan dalam perekonomian masyarakat Arab.
Tentunya, inilah adalah langkah konkrit dan campur tangan yang
dilakukan oleh Muhammad.
Namun
istilah jahiliyyah identik
dengan kebodohan dan
kesesatan ditentang dengan lantang
oleh Khalil Abdul
Karim, dia memberikan kesimpulan
berdasarkan analisis yang
tajam atas ayat-ayat al Qur’an,
bahwa sebenarnya masyarakat Arab mempunyai kebudayaan yang maju dan menjadi pusat peradaban. Lebih lengkap
lihat dalam, Khalil Abdul Karim,
Syari’ah, Sejarah Perkelahian
Pemaknaan, Yogyakarta: LKiS, 2003 Nur
Chamid, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010, h.
14 11 Muhammad adalah sosok yang komplit. Beliau
bisa menjadi seorang komandan perang,
pemimpin kharismatik, seorang
politikus, suami yang penuh kasih
sayang, dan tentunya
beliau seorang pedagang.
Jelasnya, Muhammad bisa
mempengaruhi karakter teologis, bahasa, politik, ekonomi, sosial,
budaya dan pengetahuan.
Ini sebuah perubahan
yang bisa dikatakan radikal
(menyentuh hingga ke
akar-akarnya). Dan hal ini
tidak mampu diwujudkan kecuali hanya oleh beberapa
gelintir revolusioner besar saja.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi