BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Perceraian ada karena adanya
perkawinan, tidak ada perkawinan tentu tidak
ada perceraian. Perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami
istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Perceraian
hendaknya hanya dilakukan
sebagai tindakan yang
terakhir setelah ikhtiar dan
segala macam daya upaya yang dilakukan guna perbaikan kehidupan
perkawinan dan ternyata
tidak ada jalan
lain kecuali dengan perceraian.
Perceraian adalah putusnya
perkawinan karena talak atau gugatan perceraian, talak
tebus, atau khuluk,
zihar, „ilak, li‟an,
dan sebab-sebab lainnya.
Dalam
Pasal 39 ayat
(1) dan (2)
Undang-Undang No.1 tahun
1974 tentang Perkawinan
disebutkan bahwa perceraian
hanya dapat dilakukan
di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah
pihak, dalam ayat
(2) disebutkan bahwa
untuk melakukan perceraian
harus ada cukup
alasan, bahwa antara suami istri itu tidak dapat hidup rukun
sebagai suami istri.
Dalam
Undang-Undang No.48 tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 18 dinyatakan bahwa Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh UU Perkawinan
No.1 tahun 1974, Semarang: Aneka Ilmu, 1990, hlm.
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, Semarang: Dina
Utama, 1993, hlm. 1 UU Perkawinan No.1
tahun 1974, Ibid, hlm. 5 sebuah
Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang
berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan peradilan militer,
lingkungan peradilan tata
usaha Negara, dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Selain itu,
dalam Pasal 2 UU No.7
tahun 1989 yang
terakhir diubah dengan
UU No.50 tahun
2009 tentang Peradilan
Agama bahwa “Peradilan Agama
merupakan salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman
bagi rakyat pencari keadilan yang
beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur
dalam undang-undang ini”.
Perkara perdata tertentu
yang dimaksud pada
pasal 2 diatas
dijelaskan dalam pasal
49 Undang-Undang yang
sama, yang berbunyi
“Pengadilan Agama bertugas
dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara
ditingkat pertama antara orangorang yang beragama Islam
di bidang: (a) perkawinan, (b) kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum
islam, (c) wakaf dan shadaqah.” Penyelesaian sengketa
perdata seperti yang
disebutkan di atas
dapat dilakukan melalui dua (2)
proses, yaitu proses penyelesaian sengketa melalui proses
ligitasi di dalam
pengadilan, kemudian berkembang
proses penyelesaian sengketa
melalui kerjasama di
luar pengadilan. Proses
ligitasi menghasilkan kesepakatan
yang bersifat adversarial
yang belum mampu merangkul kepentingan
bersama, cenderung menimbulkan
masalah baru, lambat
dalam penyelesaiannya, membutuhkan
biaya yang mahal,
tidak responsif, dan
menimbulkan permusuhan diantara
pihak yang bersengketa.
Sebaliknya melalui proses di luar pengadilan menghasilkan kesepakatan yang
bersifat win win solution, dijamin kerahasiaan sengketa para pihak,
dihindari kelambatan yang diakibatkan karena
hal prosedural dan
administratif, menyelesaikan masalah
secara komprehensif dalam
kebersamaan dan tetap menjaga
hubungan baik.
Tahap
pertama yang harus
dilaksanakan oleh hakim
dalam menyidangkan suatu
perkara perdata yang
diajukan kepadanya adalah mengadakan
perdamaian kepada pihak-pihak
yang bersengketa. Peran mendamaikan
pihak-pihak yang bersengketa itu lebih utama dari fungsi hakim yang
menjatuhkan putusan terhadap
suatu perkara yang
diadilinya. Apabila perdamaian
dapat dilaksanakan, maka
hal itu jauh
lebih baik dalam mengakhiri
suatu sengketa. Usaha mendamaikan pihak- pihak yang berperkara itu
merupakan prioritas utama
dan dipandang adil
dalam mengakhiri suatu sengketa,
sebab mendamaikan itu dapat berakhir dengan tidak terdapat siapa yang
kalah dan siapa
yang menang, tetapi
terwujudnya kekeluargaan dan kerukunan.
Asas kewajiban mendamaikan diatur dalam pasal
65 dan 82 UU No.
tahun 2009
tentang Peradilan Agama.
Menurut ajaran Islam,
apabila ada perselisihan atau sengketa sebaiknya melalui
pendekatan “Ishlah”, karena itu, asas kewajiban
hakim untuk mendamaikan
pihak-pihak yang bersengketa, sesuai
benar dengan tuntunan
ajaran akhlak Islam.
Ketentuan
ini sejalan Susanti
Adi Nugroho, Mediasi sebagai
Alternatif Penyelesaian sengketa,
Jakarta: PT.
Telaga Ilmu Indonesia, 2009, hlm.
Abdul
Manan, Penerapan Hukum
Acara Perdata di
lingkungan Peradilan Agama, Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 1 Sulaikin
Lubis, Hukum Acara
Perdata Peradilan Agama
di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005, hlm. 63 dengan
firman Allah dalam
Qs. Al-Hujurat ayat
(9) dimana dikemukakan bahwa
“Jika dua golongan
orang beriman bertengkar,
maka damaikanlah mereka”.
Perdamaian itu hendaklah
dilakukan dengan adil
dan benar sebab Allah sangat
mencintai orang yang
berlaku adil. Umar
ibnu Khattab ketika menjabat
khalifah ar Rasyidin
dalam suatu peristiwa
pernah mengemukakan bahwa
menyelesaikan suatu peristiwa
dengan jalan putusan
hakim sungguh tidak
menyenangkan dan hal
ini akan terjadi
perselisihan dan pertengkaran yang berlanjut sebaiknya dihindari.
Dulu di dalam
Islam juga dikenal dengan tahkim orang
yang mereka sepakati dan ditunjuk
sebagai seorang hakam untuk menyelesaikan sengketa.
Tahkim adalah
lembaga awal dalam
Islam sebagai suatu
permulaan adanya lembaga perdamaian untuk menyelesaikan
persengketaan antara kedua belah pihak.
Tahkim dalam pengertian bahasa Arab ialah menyerahkan putusan pada seseorang
dan menerima putusan
itu. Di dalam
pengertian istilah, ialah
dua orang atau
lebih mentahkimkan kepada
seseorang diantara mereka
untuk diselesaikan sengketa dan
diterapkan hukum syara‟ atas sengketa mereka itu.
Seperti firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat
35 sebagai berikut: Artinya: “Dan jika
kamu khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga
laki-laki dan seorang Abdul Manan, Op.
Cit., hlm. 1 Teungku Muhammad Hasbi Ash
Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm.
81 hakam dari
keluarga perempuan. Jika
kedua orang hakam
itu bermaksud mengadakan
perbaikan, niscaya Allah
memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
(QS. An-Nisa‟: 35).
Ayat
di atas menegaskan
bahwa setiap terjadi
persengketaan, kita diperintahkan untuk mengutus pihak ketiga
(hakam) dari pihak suami atau istri untuk mendamaikan
mereka. Dalam hal
ini, ulama fiqih
sepakat untuk menyatakan
bahwa kalau hakam
(juru damai dari
pihak suami atau
istri) berbeda pendapat
maka putusan mereka
tidak dapat dijalankan
dan kalau hakam sama-sama memutuskan untuk mendamaikan
suami dan istri kembali, maka putusannya
harus dijalankan tanpa minta kuasa mereka.
Konflik atau sengketa yang
terjadi antara manusia cukup luas dimensi dan
ruang lingkupnya. Konflik
dan persengketaan dapat
saja terjadi dalam wilayah publik
maupun wilayah privat.
Setiap konflik atau
sengketa yang diajukan
ke pengadilan harus
menempuh prosedur mediasi
terlebih dahulu sebagaimana
ketentuan dalam Peraturan
Mahkamah Agung RI
No.1 tahun 2008
tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan. PERMA
ini menempatkan mediasi
sebagai bagian dari
proses penyelesaian perkara
yang diajukan para pihak ke
pengadilan. Hakim tidak
secara langsung menyelesaikan
perkara melalui proses
peradilan (litigasi). Mediasi
menjadi suatu kewajiban
yang harus ditempuh hakim dalam
memutuskan perkara di Pengadilan.
Oleh
karena itu kehadiran
PERMA No.1 Tahun
2008 dimaksudkan untuk
memberikan kepastian, ketertiban,
kelancaran dalam proses Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1996, hlm.
Syahrial Abbas, Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum
Adat, dan Hukum Nasional, Jakarta:
Kencana, 2009, hlm. 301 mendamaikan
para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata. Hal ini dapat dilakukan
dengan mengintensifkan dan
mengintegrasikan proses mediasi
kedalam prosedur berperkara
di pengadilan. Mediasi
mendapat kedudukan penting dalam
PERMA No.1 Tahun 2008, karena proses
mediasi merupakan bagian
yang tidak terpisahkan
dari proses berperkara
di pengadilan. Hakim
wajib mengikuti prosedur
penyelesaian sengketa melalui mediasi.
Bila hakim melanggar
atau enggan menerapakan
prosedur mediasi, maka
putusan hakim tersebut
batal demi hukum
(pasal 2 ayat
3). Oleh karenanya, hakim dalam pertimbangan putusannya
wajib menyebutkan bahwa perkara yang
bersangkutan telah diupayakan
perdamaian melalui mediasi dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara
yang bersangkutan.
Akan tetapi kenyataan praktik yang dihadapi,
jarang dijumpai putusan perdamaian. Produk
yang dihasilkan peradilan
dalam penyelesaian perkara yang
diajukan kepadanya, hampir
100% berupa putusan
konvensional yang bercorak
menang atau kalah
(winning or losing).
Jarang ditemukan penyelesaian berdasarkan konsep sama-sama
menang. Berdasarkan fakta ini, kesungguhan,
kemampuan, dan dedikasi
hakim untuk mendamaikan
boleh dikatakan sangat
mandul. Akibatnya, keberadaan
pasal 130 HIR,
pasal 154 RBg dalam hukum acara tidak lebih dari hiasan
belaka atau rumusan mati.
Pada
praktek mediasi khususnya
dalam perkara perceraian
bisa dikatakan belum efektif, karena sangat sedikit sekali perkara
perceraian yang berhasil didamaikan
melalui proses mediasi
dari sekian banyak
perkara Syahrizal Abbas, Op.
Cit., hlm. 310-3 M. Yahya Harahap, Hukum
Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 241 perceraian
yang masuk di
pengadilan agama. Hal
ini terjadi karena
ada beberapa faktor yang menjadi
penghambat.
Berdasarkan uraian di atas maka
penulis merasa sangat tertarik untuk mengangkat judul
tentang “IMPLEMENTASI PERMA
NO.1 TAHUN 2008 TENTANG
PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DALAM PERKARA PERCERAIAN (STUDI DI PENGADILAN AGAMA KOTA
SEMARANG)”.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi