Rabu, 27 Agustus 2014

Skripsi Syariah: IMPLEMENTASI PERMA NO.1 TAHUN 2008 TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DALAM PERKARA PERCERAIAN

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang Masalah.
Perceraian ada karena adanya perkawinan, tidak ada perkawinan tentu  tidak ada perceraian.  Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria  dan  seorang  wanita  sebagai  suami  istri  dengan  tujuan  membentuk  keluarga  (rumah  tangga)  yang  bahagia  dan  kekal  berdasarkan  Ketuhanan  Yang  Maha  Esa.

 Perceraian  hendaknya  hanya  dilakukan  sebagai  tindakan  yang  terakhir  setelah ikhtiar dan segala macam daya upaya yang dilakukan guna perbaikan  kehidupan  perkawinan  dan  ternyata  tidak  ada  jalan  lain  kecuali  dengan  perceraian.  Perceraian adalah  putusnya perkawinan karena talak atau gugatan  perceraian,  talak  tebus,  atau  khuluk,  zihar,  „ilak,  li‟an,  dan  sebab-sebab  lainnya.
 Dalam  Pasal  39  ayat  (1)  dan  (2)  Undang-Undang  No.1  tahun  1974  tentang  Perkawinan  disebutkan  bahwa  perceraian  hanya  dapat  dilakukan  di depan sidang pengadilan, setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan  tidak  berhasil  mendamaikan  kedua  belah  pihak,  dalam  ayat  (2)  disebutkan  bahwa  untuk  melakukan  perceraian  harus  ada  cukup  alasan,  bahwa  antara  suami istri itu tidak dapat hidup rukun sebagai suami istri.
 Dalam  Undang-Undang  No.48  tahun  2009  tentang  Kekuasaan  Kehakiman Pasal 18 dinyatakan bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh   UU Perkawinan No.1 tahun 1974, Semarang: Aneka Ilmu, 1990, hlm.
 Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, Semarang: Dina Utama, 1993, hlm. 1  UU Perkawinan No.1 tahun 1974, Ibid,  hlm. 5   sebuah  Mahkamah  Agung   dan  badan  peradilan  yang  berada  dibawahnya  dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan  peradilan  militer,  lingkungan  peradilan  tata  usaha  Negara,  dan  oleh  sebuah  Mahkamah Konstitusi.
Selain  itu,  dalam  Pasal  2  UU  No.7  tahun  1989  yang  terakhir  diubah  dengan  UU  No.50  tahun  2009  tentang  Peradilan  Agama  bahwa  “Peradilan  Agama  merupakan  salah  satu  pelaksana  kekuasaan  kehakiman  bagi  rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang  diatur  dalam  undang-undang  ini”.  Perkara  perdata  tertentu  yang  dimaksud  pada  pasal  2  diatas  dijelaskan  dalam  pasal  49  Undang-Undang  yang  sama,  yang  berbunyi  “Pengadilan  Agama  bertugas  dan  berwenang  memeriksa,  memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orangorang yang beragama  Islam  di bidang: (a) perkawinan, (b) kewarisan, wasiat,  dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum islam, (c) wakaf dan shadaqah.”  Penyelesaian  sengketa  perdata  seperti  yang  disebutkan  di  atas  dapat  dilakukan melalui dua (2) proses, yaitu  proses  penyelesaian sengketa  melalui  proses  ligitasi  di  dalam  pengadilan,  kemudian  berkembang  proses  penyelesaian  sengketa  melalui  kerjasama  di  luar  pengadilan.  Proses  ligitasi  menghasilkan  kesepakatan  yang  bersifat  adversarial  yang  belum  mampu  merangkul  kepentingan  bersama,  cenderung  menimbulkan  masalah  baru,  lambat  dalam  penyelesaiannya,  membutuhkan  biaya  yang  mahal,  tidak  responsif,  dan  menimbulkan  permusuhan  diantara  pihak  yang  bersengketa.
Sebaliknya melalui proses di  luar pengadilan menghasilkan kesepakatan yang   bersifat  win win solution,  dijamin kerahasiaan sengketa para pihak, dihindari  kelambatan  yang  diakibatkan  karena  hal  prosedural  dan  administratif,  menyelesaikan  masalah  secara  komprehensif  dalam  kebersamaan  dan  tetap  menjaga hubungan baik.
 Tahap  pertama  yang  harus  dilaksanakan  oleh  hakim  dalam  menyidangkan  suatu  perkara  perdata  yang  diajukan  kepadanya  adalah  mengadakan  perdamaian  kepada  pihak-pihak  yang  bersengketa.  Peran  mendamaikan pihak-pihak yang bersengketa itu lebih utama dari fungsi hakim  yang  menjatuhkan  putusan  terhadap  suatu  perkara  yang  diadilinya.  Apabila  perdamaian  dapat  dilaksanakan,  maka  hal  itu  jauh  lebih  baik  dalam  mengakhiri suatu sengketa. Usaha mendamaikan pihak- pihak yang berperkara  itu  merupakan  prioritas  utama  dan  dipandang  adil  dalam  mengakhiri  suatu  sengketa, sebab mendamaikan itu dapat berakhir dengan tidak terdapat siapa  yang  kalah  dan  siapa  yang  menang,  tetapi  terwujudnya  kekeluargaan  dan  kerukunan.
 Asas kewajiban mendamaikan diatur dalam pasal 65 dan 82 UU No.
tahun  2009  tentang  Peradilan  Agama.  Menurut  ajaran  Islam,  apabila  ada  perselisihan atau sengketa sebaiknya melalui pendekatan “Ishlah”,  karena  itu,  asas  kewajiban  hakim  untuk  mendamaikan  pihak-pihak  yang  bersengketa,  sesuai  benar  dengan  tuntunan  ajaran  akhlak  Islam.
 Ketentuan  ini  sejalan   Susanti  Adi Nugroho,  Mediasi sebagai Alternatif Penyelesaian sengketa,  Jakarta: PT.
Telaga Ilmu Indonesia, 2009, hlm.
 Abdul  Manan,  Penerapan  Hukum  Acara  Perdata  di  lingkungan  Peradilan  Agama,  Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 1  Sulaikin  Lubis,  Hukum  Acara  Perdata  Peradilan  Agama  di  Indonesia,  Jakarta:  Kencana, 2005, hlm. 63   dengan  firman  Allah  dalam  Qs.  Al-Hujurat  ayat  (9)  dimana  dikemukakan  bahwa  “Jika  dua  golongan  orang  beriman  bertengkar,  maka  damaikanlah  mereka”.  Perdamaian  itu  hendaklah  dilakukan  dengan  adil  dan  benar  sebab  Allah  sangat  mencintai  orang  yang  berlaku  adil.  Umar  ibnu  Khattab  ketika  menjabat  khalifah  ar  Rasyidin  dalam  suatu  peristiwa  pernah  mengemukakan  bahwa  menyelesaikan  suatu  peristiwa  dengan  jalan  putusan  hakim  sungguh  tidak  menyenangkan  dan  hal  ini  akan  terjadi  perselisihan  dan  pertengkaran  yang berlanjut sebaiknya dihindari.
 Dulu di dalam  Islam juga dikenal dengan tahkim orang  yang mereka  sepakati dan ditunjuk sebagai seorang hakam untuk menyelesaikan sengketa.
Tahkim  adalah  lembaga  awal  dalam  Islam  sebagai  suatu  permulaan  adanya  lembaga perdamaian untuk menyelesaikan persengketaan antara kedua belah  pihak. Tahkim dalam pengertian bahasa Arab ialah menyerahkan putusan pada  seseorang  dan  menerima  putusan  itu.  Di  dalam  pengertian  istilah,  ialah  dua  orang  atau  lebih  mentahkimkan  kepada  seseorang  diantara  mereka  untuk  diselesaikan sengketa dan diterapkan hukum syara‟ atas sengketa mereka itu.
 Seperti firman Allah dalam Surat An-Nisa ayat 35 sebagai berikut: Artinya:  “Dan  jika  kamu  khawatirkan  ada  persengketaan  antara  keduanya,  maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang   Abdul Manan, Op. Cit., hlm. 1  Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam,  Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 81   hakam  dari  keluarga  perempuan.  Jika  kedua  orang  hakam  itu  bermaksud  mengadakan  perbaikan,  niscaya  Allah  memberi  taufik  kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi  Maha Mengenal.” (QS. An-Nisa‟: 35).
 Ayat  di  atas  menegaskan  bahwa  setiap  terjadi  persengketaan,  kita  diperintahkan untuk mengutus pihak ketiga (hakam) dari pihak suami atau istri  untuk  mendamaikan  mereka.  Dalam  hal  ini,  ulama  fiqih  sepakat  untuk  menyatakan  bahwa  kalau  hakam  (juru  damai  dari  pihak  suami  atau  istri)  berbeda  pendapat  maka  putusan  mereka  tidak  dapat  dijalankan  dan  kalau  hakam sama-sama memutuskan untuk mendamaikan suami dan istri kembali,  maka putusannya harus dijalankan tanpa minta kuasa mereka.
Konflik atau sengketa yang terjadi antara manusia cukup luas dimensi  dan  ruang  lingkupnya.  Konflik  dan  persengketaan  dapat  saja  terjadi  dalam  wilayah  publik  maupun  wilayah  privat.  Setiap  konflik  atau  sengketa  yang  diajukan  ke  pengadilan  harus  menempuh  prosedur  mediasi  terlebih  dahulu  sebagaimana  ketentuan  dalam  Peraturan  Mahkamah  Agung  RI  No.1  tahun  2008  tentang  Prosedur  Mediasi  di  Pengadilan.  PERMA  ini  menempatkan  mediasi  sebagai  bagian  dari  proses  penyelesaian  perkara  yang  diajukan  para  pihak  ke  pengadilan.  Hakim  tidak  secara  langsung  menyelesaikan  perkara  melalui  proses  peradilan  (litigasi).  Mediasi  menjadi  suatu  kewajiban  yang  harus ditempuh hakim dalam memutuskan perkara di Pengadilan.
 Oleh  karena  itu  kehadiran  PERMA  No.1  Tahun  2008  dimaksudkan  untuk  memberikan  kepastian,  ketertiban,  kelancaran  dalam  proses   Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: PT. Karya Toha Putra,  1996, hlm.
 Syahrial Abbas,  Mediasi dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum  Nasional, Jakarta: Kencana, 2009, hlm. 301   mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata. Hal ini  dapat  dilakukan  dengan  mengintensifkan  dan  mengintegrasikan  proses  mediasi  kedalam  prosedur  berperkara  di  pengadilan.  Mediasi  mendapat  kedudukan penting dalam PERMA  No.1 Tahun 2008, karena proses mediasi  merupakan  bagian  yang  tidak  terpisahkan  dari  proses  berperkara  di  pengadilan.  Hakim  wajib  mengikuti  prosedur  penyelesaian  sengketa  melalui  mediasi.  Bila  hakim  melanggar  atau  enggan  menerapakan  prosedur  mediasi,  maka  putusan  hakim  tersebut  batal  demi  hukum  (pasal  2  ayat  3).  Oleh  karenanya, hakim dalam pertimbangan putusannya wajib menyebutkan bahwa  perkara  yang  bersangkutan  telah  diupayakan  perdamaian  melalui  mediasi  dengan menyebutkan nama mediator untuk perkara yang bersangkutan.
 Akan tetapi kenyataan praktik yang dihadapi, jarang dijumpai putusan  perdamaian.  Produk  yang  dihasilkan  peradilan  dalam  penyelesaian  perkara  yang  diajukan  kepadanya,  hampir  100%  berupa  putusan  konvensional  yang  bercorak  menang  atau  kalah  (winning  or  losing).  Jarang  ditemukan  penyelesaian berdasarkan konsep sama-sama menang.  Berdasarkan fakta ini,  kesungguhan,  kemampuan,  dan  dedikasi  hakim  untuk  mendamaikan  boleh  dikatakan  sangat  mandul.  Akibatnya,  keberadaan  pasal  130  HIR,  pasal  154  RBg dalam hukum acara tidak lebih dari hiasan belaka atau rumusan mati.
 Pada  praktek  mediasi  khususnya  dalam  perkara  perceraian  bisa  dikatakan belum  efektif, karena sangat sedikit sekali perkara perceraian yang  berhasil  didamaikan  melalui  proses  mediasi  dari  sekian  banyak  perkara   Syahrizal Abbas, Op. Cit., hlm. 310-3  M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 241   perceraian  yang  masuk  di  pengadilan  agama.  Hal  ini  terjadi  karena  ada  beberapa faktor yang menjadi penghambat.
Berdasarkan uraian di atas maka penulis merasa sangat tertarik untuk  mengangkat  judul  tentang  “IMPLEMENTASI  PERMA  NO.1  TAHUN  2008  TENTANG PROSEDUR MEDIASI DI PENGADILAN DALAM PERKARA  PERCERAIAN (STUDI DI PENGADILAN AGAMA KOTA SEMARANG)”.



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi