BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Harta merupakan salah satu amanahyang
diberikan Allah kepada manusia. Oleh
karena harta merupakan amanah, maka manusia harus mampu mengelola hartanya dengan baik. Salah satu
cara untuk menjaga harta yakni dengan
menginvestasikan harta kita padahal-hal yang tidak dilarang syari’at.
Berbagai macam bentuk investasi,
diantaranya adalah investasi dalam bentuk tabungan di bank.
Bank adalah badan usaha yang
menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkan kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.
Secara umum, bank menggunakan konsep bunga untuk menarik nasabahnya. Yakni
bagi nasabah yang menggunakan jasa pada
suatu bank, maka bank tersebut akan memberi imbalan berupa uang yang besar prosentasenya berdasarkan pada
jumlah uang yang dititipkan dengan pedoman
harus selalu menguntungkan pihak bank.
Hal tersebut biasa dikenal dengan istilah bunga. Jadi berinvestasi di
bank secara umum adalah menguntungkan bagi
nasabahnya.
Namun, sistem bunga bank dalam
hal ini menjadi kendala bagi muslim yang
mau menginvestasikan hartanya ke bank. Karena dalam Islam kedudukan UU Perbankan Nomor 7 Tahun 1992 pasal 1 ayat
1 Muhammad Ghafur W, Potret Perbankan
Syari’ah Terkini, h. 14 1 bunga sampai sekarang masih diperselisihkan
hukumnya oleh sebagian Ulama’ Fiqh,
sebagian dari mereka berpendapat bahwa bunga pada bank itu sama halnya dengan riba (kelebihan dari sesuatu) yang
dilarang agama.
Untuk menghindari pengoperasian
bank dengan sistem bunga, maka lahirlah
Bank Islam sebagai salah satu alternatif khususnya bagi warga muslim terhadap persoalan pertentangan antara bunga
bank dan riba.
Menurut Ensiklopedi Islam, Bank
Islam adalah lembaga keuangan yang usaha
pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang
pengoperasiannyadisesuaikan dengan prinsip-prinsip syari’at Islam.
Berdasarkan rumusan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa Bank Islam adalah bank
yang tata cara beroperasinya menggunakan ketentuan-ketentuan bermuamalat secara Islami, yakni berlandaskan
syari’ah (Al-Qur’an dan Hadist).
Sehingga bank Islam bisa disebut
juga Bank Syari’ah.
Dasar pemikiran terbentuknya bank
Islam bersumber dari adanya larangan riba
di dalam Al-Qur’an, diantaranya yaitu dalam surat al-Baqarah ayat 275-276.
َ
275 ( Warkum Sumitro “Asas-asas
Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait (BMUI & TAKAFUL)”, hal 5 Ibid hal 9 Artinya : “Orang-orang yang makan (mengambil)
riba tidak dapat berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang
demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti
(dari mengambil riba), maka baginya apa
yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada
Allah. Orang yang mengulangi (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghunipenghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya.”(QS. Al-Baqarah : 275-280) Perbankan
Syari’ah secara teoritis memiliki beberapa keunggulan pada sistemnya yang berdasarkan atas prinsip bagi
hasil yang memiliki produk dan jasa yang
berkarakteristik sebagai berikut: 1. Peniadaan atas pembebanan bunga yang
berkesinambungan.
2. Membatasi kegiatan spekulasi yang tidak
produktif.
3. Pembiayaan ditujukan kepada usaha-usaha yang
halal sesuai dengan prinsip syari’ah.
Setelah dikeluarkannya UU RI
Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan UU
Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, peluang mendirikan kantor Bank Syari’ah baru semakin terbuka, karena
pembukaan kantor Bank Syari’ah dengan cara
konversi dari Bank Konvensional telah diperbolehkan. Sehingga saat ini banyak bermunculan bank-bank umum yang
beroperasi dengan sistem Syari’ah, diantaranya
BNI Syari’ah, Bank Niaga Syari’ah dan Bank BTN Syari’ah.
Zainul Arifin, “Dasar-dasar Manajemen Bank Syari’ah”, hal 43 Kedudukan Bank Syari’ah yang masih menginduk
kepada Bank Konvensional disebut sebagai
Unit Usaha Syari’ah(UUS) dari Bank Konvensional.
Dalam UU Nomor 7 Tahun 1992 pasal
6 tentang perbankan telah diubah dengan
UU Nomor 10 Tahun 1998 disebutkan bahwa usaha bank umum dalam menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan berupa giro, deposito berjangka,
sertifikat deposito, tabungan dan atau yang dipersamakan dengan itu.
Akan tetapi seperti diungkapkan
oleh Zainul Arifin, dalam prakteknya perbankan syariah masih terbentur dengan kendala
kurangnya perangkat hukum dan peraturan
perundang-undangan yang mendukung sehingga perbankan syari’ah terpaksa berusaha mempersesuaikan diri
produk-produknya dengan hukum perbankan
yang berlaku umum. Akibatnya, ciri-ciri Syari’ah Islam yang melekat padanya menjadi tersamar, sehingga perbankan
syari’ah tampil seperti perbankan konvensional
berikut konsekuensi-konsekuensi lain bagi sistem operasionalnya.
Memang tidak dapat dipungkiri bahwa Bank
Syari’ah yang statusnya masih UUS tidak
saling berhubungan dengan induknya (Bank Konvensional).
Misal pada Bank BTN Syari’ah,
menurut hasil wawancara penulis pada Bank BTN Syari’ah bahwa modal awal pendirian Bank
BTN Syari’ah itu sepenuhnya berasal dari
Bank BTN Konvensional (induknya) dengan menggunakan akad pinjaman, begitu juga jika Bank BTN Syari’ah
kekurangan dana dalam operasionalnya
maka Bank BTN Syari’ah meminjam dana lagi dari induknya.
Zainul, Dasar-dasar Managemen Bank syari’ah,
hal 10 Dari pemaparan di atas bisa kita
ketahui bahwa kedudukan Bank Syari’ah yang
masih merupakan UUS dari Bank Konvesional sejauh ini masih belum sepenuhnya berdiri sendiri, karena keduanya
masih saling berkaitan, khususnya dalam
hal yang bersifat intern, misal dalam hal pengelolaan dana.
Lain halnya untuk Bank-bank
Syari’ah yang sudah melakukan pemisahan Unit
Usaha Syari’ah (UUS) atau dikenal dengan spin off, seperti diantaranya Bank Mandiri Syari’ah, Bank Mega Syari’ah dan
Bank Bukopin Syari’ah. Bankbank Syari’ah yang telah spin off
tersebut telah sepenuhnya melakukan operasional kegiatannya tanpa campur tangan
induk perusahaannya yakni Bank Konvensional.
Menurut informasi yang didapat
dari koran Republika yang terbit pada hari
Kamis 23 Agustus 2007, bahwa direktur bidang Syari’ah Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia (LLPI), Ari
Mooduto menyatakan bahwa spin off UUS
memang penting dilakukan untuk mendorong perkembangan bisnis Perbankan Syari’ah Indonesia.
Oleh karena Bank-bank Syari’ah
yang statusnya UUS dalam operasionalnya
masih berkaitan dengan induknya (Bank Konvensional), maka hal tersebut memunculkan pertanyaan, sejauh mana
keterkaitan antara Bank Syari’ah yang
UUS dengan induknya (Bank Konvensional), khususnya terhadap hal-hal yang bersifat intern, misal dalam pengelolaan
keuangannya. Karena jika ternyata bank
yang merupakan UUS dari konvensional di dalam mengelola dana nasabahnya melakukan kerjasama dengan induknya
(Bank Konvesional), misal Bank Syari’ah
yang UUS menginvestasikan dana nasabahnya ke dalam kegiatan bank induknya (konvensional), maka hal
tersebut sama dengan melanggar ketentuan
hukum Islam. Karena sebagaimana kita ketahui bahwa produk-produk yang diterapkan di Bank Konvensional mayoritas
menggunakan sistem bunga, yang mana hal
itu dilarang oleh hukum Islam.
Jika ternyata Bank Syari’ah
yangstatusnya UUS di dalam praktek sebenarnya
melakukan hal-hal sebagaimana yang telah terurai di atas, maka bisa dikatakan bahwa secara spesifik berinvestasi
di Bank Konvesional dan di Bank Syari’ah
yang statusnya UUS dari konvensional adalah sama saja. Namun hal ini masih merupakan asusmsi yang bersifat
eksplisit.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi