BAB I.
PENDAHULUAN.
“Pekih iku nek rupek yo
diokeh-okeh”.
(Fikih itu kalau sempit ya
diupayakan agar longgar).
(Pernyataan KH. Wahab Hasbullah
Jombang, .
dalam Kata Pengantar KH. Sahal
Mahfudh di Buku.
Solusi Problematika Aktual Hukum
Islam).
A. Latar Belakang Masalah.
Dalam Kompilasi
Hukum Islam dijelaskan
pada Bagian ke-empat pasal
24 bahwa saksi
merupakan rukun dari
akad nikah. Setiap
perkawinan harus disaksikan
oleh dua orang
saksi, kemudian di
pasal 25 Kompilasi Hukum Islam
juga dijelaskan bahwa “
untuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil,
baligh, tidak terganggu ingatan dan tuna rungu
atau tuli”. Selanjutnya
pada pasal 26
dijelaskan bahwa “saksi harus
hadir dan menyaksikan
secara langsung akad
nikah serta menandatangani
Akta Nikah pada
waktu dan di
tempat akad nikah dilangsungkan”.
Selain merupakan
rukun nikah, keberadaan
saksi juga dimaksudkan untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang
akan terjadi dikemudian hari dalam hubungan pernikahan,
apabila suami atau istri terlibat perselisihan dan
diajukan perkaranya ke
pengadilan. Saksi-saksi tersebutlah yang
menyaksikan akad nikah.
Oleh karena
itu, selain harus
menyaksikan Lihat Kompilasi Hukum
Islam (KHI), Bandung : Fokus Media, 2007,
h. 13.
Ahmad Rofik, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995, h.
96.
langsung akad
nikah, saksi juga
dimintai tanda tangan
di akta nikah
pada waktu dan tempat akad nikah
dilangsungkan.
Dalam ajaran KH. Ahmad Rifa‟i terdapat suatu penerapan
kualifikasi saksi pernikahan sebenarnya
sama dengan para
imam mażhab fikih
pada umumnya, hanya perbedaan bahasa yang dipakai
dan perincian makna yang lebih mendalam.
secara umum ulama
fikih menggunakan bahasa
„adil sedangkan KH. Ahmad Rifa‟i menyebutnya dengan mursyid.
Saksi pernikahan menurut KH.
Ahmad Rifa‟i diharuskan seorang yang mursyid, yaitu orang
yang tidak melakukan dosa kecil secara terus menerus dan tidak pernah melakukan dosa besar.
Pengertian mursyid sebenarnya sama dengan „adil dan tidak fāsiq. Mursyid dimaknai lebih dalam oleh KH.
Ahmad Rifa‟i yang mana dari pemahaman tersebut melahirkan
penerapan syarat sah saksi yang
tidak lazim dilakukan
oleh masyarakat pada
umumnya, sebagai contoh
orang yang sering
menonton televisi tidak
sah menjadi saksi pernikahan,
karena menurut KH. Ahmad Rifa‟i sebagian
besar program acara yang kita saksikan
di televisi adalah maksiat dan mengakibatkan orang yang menontonnya kehilangan sifat ke‟adilannya.
Contoh lain, orang mendengarkan musik yang ada suara gitarnya
juga tidak bisa menjadi saksi
pernikahan, yang mana menurut ajaran KH.
Ahmad Rifa‟i bahwa
bermain gitar hukumnya
adalah haram, begitu
juga mendengarkannya termasuk
dalam kategori dosa
kecil. Jadi, orang
yang Idhoh Anas, Risalah Nikah
ala Rifa‟iyah, Pekalongan: al-Asri, 2008, h. 60.
sering menonton
televisi dan mendengarkan
musik tidak memenuhi
syarat sebagai saksi pernikahan
dengan kata lain orang tersebut tidak mursyid.
Tidak diperbolehkannya saksi
pernikahan melihat televisi
tentunya merupakan sebuah
masalah menarik untuk diteliti. Karena
di era globalisasi seperti sekarang ini dimana masyarakat sangat membutuhkan beberapa
media untuk mengikuti perkembangan
zaman, diantaranya adalah media elektronik seperti
televisi, radio dan
lain sebagainya. Media
elektronik tidak selalu menayangkan
hal-hal yang tidak
pantas ditonton seperti
apa yang dijadikan alasan
KH. Ahmad Rifa‟i
terhadap ketidakbolehan saksi
pernikahan menonton televisi.
Televisi menayangkan acara
pengajian, pendidikan, bahkan
acara-acara yang justru
mendukung penonton untuk
menjadi insan yang lebih baik.
Mursyid tidak
hanya berlaku bagi
saksi perkawinan saja.
tetapi juga pada
wali nikah, yang
juga dijelaskan dalam
kitab Tabyīn al-Iṣlāh
(kitab karangan KH. Ahmad Rifa‟i
yang menjelaskan nikah dan yang berhubungan dengannya).
Ketika kriteria mursyid
tidak ada pada
saksi maka akibat hukumnya adalah batalnya saksi pernikahan yang juga mengakibatkan tidak adanya
ījāb qabūl, ketika
tidak ada ījāb
qabūl maka pernikahan
dianggap batal (tidak sah).
Hasil wawancara
dengan Kyai Ali
Syibron (Ketua Lembaga
Pendidikan Rifa‟iyah Kelurahan Tanjung Anom, Kecamatan Rowosari,
Kabupaten Kendal), pada tanggal 23 Februari 2011, di Rowosari, Pkl. 14.30.
Idhoh Anas, op.cit., h. 39-40.
Dalam perkawinan
dan kehidupan rumah
tangga, warga Jam‟iyyah Rifa‟iyah juga terpengaruh oleh
ajaran dan pemahaman yang diajarkan oleh KH. Ahmad Rifa'i melalui kitab-kitabnya. terutama dalam bidang munākahah (perkawinan) dan kekeluargaan
terpengaruh oleh ajaran yang
diketengahkan dalam kitab Tabyīn al-Iṣlāh.
Sedangkan kitab
Tabyīn al-Iṣlāh sendiri
berisi aturan yang menyangkut konteks
keberagamaan masyarakat. Kitab-kitab
yang dijadikan pegangan
tidak akan lepas
dari latar belakang
KH. Ahmad Rifa'i
(sebagai Penulis). Ia juga tidak
bisa dilepaskan dari kebutuhan masyarakat pada waktu itu
yakni masyarakat pedalaman
Jawa (Rural Java)
Desa Kalisalak tempat berdakwah pertama KH. Ahmad Rifa'i.
Ketentuan kualifikasi
saksi dalam pembahasan
karya ilmiah ini merupakan
pandangan KH. Ahmad Rifa‟i yakni ketentuan
saksi pernikahan.
Seiring dengan
perkembangan pengetahuan dan
teknologi, tidak menutup kemungkinan
adanya perubahan pemahaman
terhadap produk hukum
KH.
Ahmad Rifai dalam memahami
ketentuan kualifikasi saksi pernikahan.
Hal ini
terbukti dalam kesimpulan
penelitian skripsi M.
Nasrudin, yang menyatakan
bahwa terjadi pergeseran
pemikiran dalam memahami status hukum
pernikahan yang diakadkan oleh
penghulu terjadi di Jam'iyyah Rifa'iyah
pada beberapa daerah. Jika pada masa KH. Ahmad Rifa'i akad nikah yang diakadkan penghulu dianggap
tidak sah, sekarang tidak lagi. Tentunya, Jam‟iyyah Rifa‟iyah adalah organisasi sosial
keagamaan yang melestarikan fatwa -fatwa KH. Ahmad Rifa‟i.
masih ada
beberapa orang dari
Jam'iyyah Rifa'iyah yang
masih berpegang teguh dengan pemikiran terdahulu tetapi tidak
banyak.
Oleh karenanya, tidak menutup kemungkinan
pergeseran pemahaman warga
Jam‟iyyah Rifa‟iyah juga akan
merambah pada produk hukum di KH.
Ahmad Rifa‟i selain keabsahan nikah yang dilakukan oleh penghulu (PPN), apalagi setelah wafatnya KH. Ahmad Rifa‟i.
Berdasarkan latar
belakang di atas
maka penulis akan
melaksanakan penelitian lapangan
dan mendeskripsikannya dalam
sebuah karya ilmiah dengan
judul “KETENTUAN KH.
AHMAD RIFA’I TENTANG KUALIFIKASI SAKSI PERNIKAHAN ”.
B. Perumusan Masalah.
Untuk menjadikan
permasalahan lebih fokus
dan spesifik maka diperlukan suatu
rumusan masalah agar pembahasan
tidak keluar dari kerangka pokok
permasalahan. Berdasarkan latar
belakang diatas, penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas
sebagai berikut: 1. Bagaimana
ketentuan KH. Ahmad
Rifa‟i tentang kualifikasi
saksi pernikahan?
2.
Apa dasar hukum
ketentuan KH. Ahmad
Rifa‟i tentang kualifikasi
saksi pernikahan?
C. Tujuan Penelitian.
Adapun tujuan
penelitian dalam penyusunan
karya ilmiah ini
adalah sebagai berikut: .
1. Mendeskripsikan dan
menganalisis ketentuan KH.
Ahmad Rifa‟i tentang kualifikasi saksi pernikahan.
2. Mendeskripsikan dan
menganalisis dasar hukum
ketentuan KH. Ahmad Rifa‟i
tentang kualifikasi saksi pernikahan.
D. Manfaat Penelitian.
Manfaat dari penelitian ini
adalah:.
1. Memberikan
pengetahuan tentang ketentuan
KH. Ahmad Rifa‟i
tentang kualifikasi saksi
pernikahan sehingga dapat
dijadikan acuan untuk memperkaya
hazanah keilmuan Islam dalam hal pernikahan.
2. Memberikan
pemahaman dasar hukum
ketentuan KH. Ahmad
Rifa‟i tentang kualifikasi saksi
pernikahan untuk dijadikan
acuan bagi umat Islam
pada umumnya dan umat Islam di Indonesia khususnya.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi