BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Keluarga yang
sakinah, mawaddah dan rohmah (kasih
sayang) adalah asas
dan tujuan disyariatkannya pernikahan
dan pembentukan rumah
tangga dalam Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT :
Artinya :
“Dan di antara
tanda-tanda kekuasan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri,
supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa
kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir”. (Q.S. Ar-Ruum : 21).
Namun
kenyataannya banyak terjadi
dalam kehidupan berkeluarga timbul masalah-masalah yang mendorong seorang
suami atau isteri melakukan gugatan cerai
dengan segala alasan.
Dengan mempertimbangkan bahwa perceraian
adalah solusi terakhir dalam bahtera rumah tangga mereka.
Meskipun
perceraian merupakan solusi
terakhir dalam menyelesaikan ketidakcocokan
antara suami istri,
namun sebenarnya hal
ini belum menyelesaikan
semua masalah yang
ada. Permasalahan yang
muncul selanjutnya adalah
sengketa antara kedua
belah pihak baik
dalam hal Departemen
Agama RI, Al-Qur’an
dan Terjemahannya, Bandung;
Diponegoro, 2007, h. 522.
Moh.
Idris Ramulyo, Hukum
Perkawinan Islam; Suatu
Analisis Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam,
Jakarta; PT. Bumi Aksara, 2004, h. 99.
pembagian
harta bersama (gono-gini)
maupun sengketa hak
asuh anak (hadlanah).
Perceraian dalam
rumah tangga memang
tidak bisa dilepaskan pengaruhnya terhadap anak, karena fakta
kehidupan menunjukan tidak sedikit dari perkawinan
yang dibangun dengan
susah payah pada
akhirnya bubar karena kemelut dalam rumah tangga yang tidak bisa diselesaikan. Akibat dari bubarnya
perkawinan tersebut, tidak
sedikit pula anak
yang dilahirkan dari perkawinan
itu menanggung derita yang seharusnya tidak ia tanggung.
Dalam
penjelasan Undang- undang
Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan
Anak, secara tegas
dinyatakan bahwa “anak
adalah amanah sekaligus
karunia Tuhan Yang
Maha Esa, yang
senantiasa harus kita
jaga karena dalam dirinya melekat,
harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus di junjung tinggi”.
Ditinjau dari segi kebutuhan anak yang masih kecil dan belum mandiri, pengasuhan
(hadlanah) adalah suatu perbuatan yang wajib
dilaksanakan oleh orang
tuanya, karena tanpa
hadlanah anak akan menjadi
terlantar yang berarti kehilangan hak-haknya.
Hak kuasa
asuh anak memang
bisa jatuh ke
ibu atau ayah
(suami atau istri ),
yang jelas, tentu tidak mudah
bagi pihak yang tidak
mendapatkan hak kuasa asuh menerima kenyataan berpisah dari
sang anak.
Permasalahan hak
asuh anak tidak
akan menimbulkan konflik kepentingan
antara suami dan
istri jika bukan
karena sebab perceraian,
Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum
Materiel Dalam Praktek Peradilan Agama, Jakarta; Pustaka Bangsa, 2003, h. 77.
Darman Prinst,
Hukum Anak Indonesia,
Bandung; PT. Citra Aditya Bakti,
2003, h.
378. sehingga tidak
sedikit dari konflik
tersebut diselesaikan melalui
pengadilan guna memperoleh kepastian
hukum demi kepentingan dan masa depan anak.
Dalam
prespektif hukum Islam,
pengasuhan anak dikenal
dengan sebutan hadlanah,
secara etimologis, hadlanah
berasal dari kata
hadlana, hadlan wa
hidlanatan, yang berarti ja’ala al shobi fi dlahnihi (m enggendong bayi dalam buaianya).
Sedangkan menurut syara’
Sayyid Sabiq menjelaskan hadlanah adalah
melakukan pemeliharaan anak
yang masih kecil
baik lakilaki atau perempuan atau
yang sudah besar tetapi belum tamziz,
tanpa perintah dari padanya, menyediakan
sesuatu yang menjadikan kebaikanya, menjaganya dari
sesuatu yang merusak
jasmani, rohani dan
akalnya agar mampu
berdiri sendiri dalam menghadapi hidup dan dapat memikul tanggung
jawab apabila ia dewasa.
Sengketa
hak asuh anak
atau hadlanah secara
normatif telah diatur dalam
peraturan
perundangan-undangan.
Menurut Undang-undang Nomor Tahun 1974 tentang Perkawinan
pasal 41 ditegaskan bahwa “akibat
putusnya perkawinan karena perceraian
ialah : a) Baik ibu
maupun bapak tetap
berkewajiban memelihara dan
mendidik anak-anaknya, semata-mata
berdasarkan kepentingan anak;
bilamana ada perselisihan
mengenai penguasaan anak-anak,
pengadilan memberi putusanya.
b) Bapak
yang bertanggung jawab
atas semua biaya
pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak
itu; bila mana
bapak dalam kenyataan Sirajuddin
Sailellah, Sudut Pandang
Pengadilan Terhadap Putusan
Kuasa Asuh Anak, dalam
Mimbar Hukum dan
Peradilan, edisi 70
Januari 2010, Jakarta;
Pusat Pengembangan Hukum Islam
dan Masyarakat Madani, 2010, h. 178.
Lois Makluf, al Munjid fi al Lugoh wa al A’lam, Beirut;
Dar al Masyriq,
1986, h.
139. Abdul
Manan, op.cit, h.78. tidak
dapat memenuhi kewajiban
tersebut, pengadilan dapat
menentukan bahwa ibu ikut memikul
biaya tersebut”.
Sedangkan
menurut Kompilasi Hukum
Islam, ketentuan-ketentuan mengenai penyelesaian sengketa pengasuhan anak
di atur pada pasal 105 KHI, yang berbunyi, “dalam hal terjadinya
perceraian : a) Pemeliharaan anak
yang belum mumayyiz
atau belum berumur
12 tahun adalah hak ibunya; b) Pemeliharaan
anak yang sudah
mumayyiz diserahkan pada
anak untuk memimilih
diantara ayah dan
ibunya sebagai pemegang
hak pemeliharaanya; c) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya”.
Pada
prinsipnya persoalan hak
asuh anak ini
berlaku ketika terjadi perceraian antara suami dan istri, artinya apabila ikatan perkawinan itu masih berlangsung,
maka kewajiban menjadi
tanggung jawab bersama
antar a ayah dan
ibu. Ayah mencukupi
kebutuhan materiil dan
ibu memelihara kesejahteraan jasmani, rohani dan pendidikan
agama anaknya.
Antara
Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam
mempunyai konsep yang sama
terkait dengan pembiayaan pengasuhan anak
pasca perceraian. Hal ini ditegaskan dalam pasal 41 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun
1974 yang berbunyi
“bapak yang bertanggung
jawab atas semua biaya
pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bila mana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban
tersebut, pengadilan dapat menentukan bahwa
ibu ikut memikul
biaya tersebut”. Dalam
Kompilasi Direktorat Pembinaan
Badan Peradilan Agama
Islam, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Dalam
Lingkungan Peradilan Agama,
Jakarta; Departemen Agama Republik
Indonesia, 2001, h. 140-141.
Ibid, h. 343.
Sirajuddin Sailellah, op.cit, h. 183. Hukum Islam
hal ini detegaskan
dalam pasal 105
ayat (3) yang
berbunyi “biaya pemeliharaan
ditanggung oleh ayahnya”.
Dalam Undang-undang Perkawin an
pasal 42 - pasal 54 dijelaskan bahwa orang tua
wajib memelihara dan
mendidik anak-anaknya yang
belum mencapai umur 18 tahun
dengan cara yang baik
sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku
terus meskipun perkawinan antara orang
tua si anak putus karena perceraian atau kemat ian.
Menurut
hukum Islam, jumhur
ulama ahli fiqh
sepakat bahwa usia pengasuhan
anak dibatasi sampai anak tersebut
mumayyiz. Mereka membatasi usia
mumayyiz 7 tahun
untuk anak laki
laki dan 9
tahun untuk anak perempuan.
Tolok ukurnya adalah jika anak yang dalam pengasuhan tersebut sudah bisa makan, minum dan ber istinja’
(bersuci) sendiri.
Dalam
prespektif hukum Islam,
jika terjadi perpisahan
antara ibu dan ayah, sedangkan
mereka mempunyai anak,
maka ibu lebih
berhak daripada ayahnya,
selama tidak ada
alasan pencegahan pencabutan
hadlanah. Hal ini dilandaskan pada hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ahmad
yang menceritakan bahwa
seorang ibu mengadu
kepada Rasullulah SAW
tentang anak kecilnya (yang belum
mumayyiz), dimana mantan
suaminya bermaksud untuk merebut anak mereka, lalu Rasulullah SAW
bersabda : Undang -Undang
Perkawinan No. 1
Tahun 1974 pasal
45 yang berbunyi
: (1) Kedua orang
tua wajib memelihara
dan mendidik anak-anak
mereka sebaik-baiknya. (2) Kewajiban orang
tua yang dimaksud
dalam ayat (1)
pasal ini berlaku
sampai anak itu kawinatau
dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.
Sirajuddin Sailellah, loc. cit. Artinya
: “Telah menceritakan kepada kami Mahmud
bin Khalid as Sulami, telah menceritakan kepada kami al Walid dari Abu „Amr al Auza‟i,
telah menceritakan kepadaku „Amr bin
Syu‟aib, dari ayahnya dari kakeknya
yaitu Abdullah bin „Amr bahwa seorang wanita berkata; “wahai
Rasulullah, sesungguhnya anakku
ini, perutku adalah tempatnya,
dan puting susuku
adalah tempat minumnya,
dan pangkuanku adalah
rumahnya, sedangkan ayahnya
telah menceraikannya dan
ingin merampasnya dariku”.
Kemudian Rasulullah SAW
berkata kepadanya; “engkau
(ibu) lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah”.
Jika anak
tersebut sudah mumayyiz
pemutusan hak asuh
atas dirinya diserahkan kepadanya untuk memilih ayah atau
ibunya. Pada masa ini seorang anak secara
sederhana telah mampu membedakan
mana yang berbahaya dan mana
yang bermanfaat bagi
dirinya. Oleh karena
itu, ia sudah
dianggap mampu menjatuhkan
pilihanya sendiri untuk
memilih hidup bersama
ayah atau ibunya.
Landasan hukum dari hal tersebut
adalah hadis riwayat Imam at-Tirmidzi r.a. dalam
Sunan an-Nasa’i yang
menceritakan seorang wanita
mengadukan tingkah laku bekas
suaminya yang hendak merebut anak mereka berdu a yang telah mampu menolong mengangkat air dari sumur.
Muhammad Abdul Aziz al-Kholidi, Sunan Abi Daud
Juz as Tsani, Beirut; Daar alKutub al-Ilmiyah,1996, h. 105. Artinya :
“Telah mengabarkan kepada
kami Muhammad bin
Abdul A‟la ia berkata;
telah menceritakan kepada kami Khalid ia berkata; telah menceritakan
kepada kami Ibnu
Juraij ia berkata;
telah mengabarkan kepadaku
Ziyad dari Hilal
bin Usamah dari
Abu Maimunah ia
berkata, “Saat aku
bersama Abu Hurairah,
ia berkata, “Seorang
wanita datang kepada
Rasulullah SAW dan berkata, “Ayah
dan ibuku sebagai
tebusanmu. Sesungguhnya suamiku
ingin pergi membawa
anakku, dan anak
tersebut telah memberiku
manfaat, ia membawakan
aku air dari
sumur Abu Inabah.”
Kemudian suaminya datang dan berkata, “Siapakah yang berselisih
denganku mengenai anakku?”
Kemudian beliau bersabda:
“Wahai anak kecil,
ini adalah ayahmu
dan ini adalah ibumu.
Gandenglah tangan salah
seorang dar i mereka
yang engkau kehendaki”.
Kemudian anak tersebut
menggandeng tangan ibunya, maka
ia pun pergi bersamanya” Jika
ditinjau dari perspektif
Undang-undang Nomor 7
tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi Penghapusan
Segala Bentuk Disk riminasi terhadap
Wanita atau Convention
on the Elimination
of All Forms
of Discrimination Against Women
(CEDAW) hal ini
merupakan diskriminasi.
Jalaludin as-Suyuti, Sunan
an-Nasai Juz al-Khoomis,
Beirut; Daar al-Kutub
alIlmiyah, 1996, h. 185. Istilah
diskriminasi dalam CEDAW
di jelaskan pada
pasal 1 yang
berbunyi “ Diskriminasi
terhadap wanita berarti
setiap pembedaan, pengucilan,
atau pembatasan yang dibuat atas
dasar jenis kelamin,
yang mempunyai pengaruh
atau tujuan untuk
mengurangi atau menghapuskan
pengakuan, penikmatan atau
penggunaan hak-hak asasi
manusia dan Dalam
konsep CEDAW tidak
ada pembedaan tanggung
jawab yang bersifat materill (biaya hidup anak) maupun non
materiil (pengasuhan) antara laki-laki dan
perempuan.
CEDAW merupakan
tindak lanjut dari
deklarasi Perserikatan BangsaBangsa
pada tahun 1967
mengenai Penghapusan Diskriminasi
terhadap Wanita. Karena deklarasi
tersebut bersifat tidak mengikat, maka Perserikatan Bangsa-Bangsa
menyusun rancangan Konvensi
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (CEDAW) yang
bersifat mengikat bagi negara-negara peserta.
Konvensi ini kemudian
disahkan pada tanggal
18 Desember 1979 oleh Majelis
Umum PBB.
CEDAW telah diratifikasi Indonesia dengan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984
tentang Pengesahan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi
Terhadap Perempuan pada
tanggal 24 Juli
1984.
Makna
dari ratifikasi tersebut adalah
membentuk perjanjian bersama antar negara peserta (treaty)
yang menciptakan kewajiban
dan komitmen negara
anggota yang meratifikasinya dalam
merealisasikan apa-apa yang
diusung dalam konvensi tersebut.
Konsekuensi dari
ratifikasi konvensi ini
adalah, negara peserta
wajib memberikan komitmen
untuk menjamin terealisasinya ketentuan-ketentuan yang ada dalam CEDAW melalui peraturan perundang-undangan,
kebijakan, kebebasan-kebebasan pokok
di bidang politik,
ekonomi, sosial, budaya,
sipil atau apapun lainya oleh wanita”.
Convention
Watch, Pusat Kajian
Wanita dan Gender
Univesitas Indonesia, Hak Azasi
Perempuan Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender, Jakarta; Yayasan Obor Indonesia, 2007, h. 5-6.
Ibid. h. 4.
program
dan tindakan untuk
mewujudkan kesetaraan antara
pria dan perempuan
serta terhapusnya segala
bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Ketentuan-ketentuan CEDAW yang mengatur
persamaan hak antara lakilaki dan perempuan
dalam perkawinan diatur
dalam pasal 16,
di dalamnya terdapat
konsep pengasuhan anak yang lebih
mengedepankan kesetaraan hak dan
kewajiban antara laki-laki
dan perempuan dalam
semua urusan yang berhubungan dengan
anak-anak mereka.
Jadi,
menurut konsep CEDAW, kewajiban
dan hak untuk
mengasuh anak-anak mereka
setelah terjadi perceraian
merupakan tanggung jawab bersama, tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal ini.
Ketentuan-ketentuan CEDAW yang
mengatur persamaan hak antara lakilaki dan perempuan dalam pengasuhan anak lainya adalah pasal 16 huruf (d) dimana di dalamnya terdapat penekanan terhadap
kewajiban sebagai orang tua terhadap anak-anak
mereka tampa memandang
status perkawinan orang tuanya
yang berbunyi “ hak dan tanggung jawab
yang sama sebagai orang tua terlepas dari
status perkawinan mereka,
dalam urusan yang
berhubungan dengan anak-anak mereka; dalam semua hal kepentingan
anak-anak harus di LBH
APIK (Lembaga Bantuan
Hukum Asosiasi Perempuan
Indonesia untuk Keadilan),
Rekomendasi Umum No.
19 Tentang Kekerasan
Terhadap Perempuan, Yogyakarta; Galang Printika, 2008, h. 3-4.
Pasal 16 huruf (c) dan (f) yang masing-masing berbunyi (c) “hak dan tanggung jawab
yang sama selama
perkawinan dan pa da
pemutusan perkawinan.” (f)
“hak dan tanggung
jawab yang sama
berkenaan dengan perwalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan pengangkatan
anak-anak atau lembaga- lembaga yang
sejenis dimana konsep ini ada dalam undang-undang
nasional, dalam semua hal kepentingan anak-anak wajib diutamakan”. utamakan”.
Jadi, dalam konsep CEDAW setiap anak yang
lahir mempunyai hak-hak sebagai
seorang anak dari ayah
dan ibu biologisnya
tampa memandang anak
tersebut dilahirkan dalam
atau sebagai akibat
perkawinan yang sah
antara ayah dan
ibu biologisnya atau
tidak. Hal ini
berarti konsep Pengasuhan anak dalam CEDAW tidak terikat pada
status sah atau tidaknya seorang anak.
Dari pemaparan permasalahan di atas, penulis
tertarik untuk mengangkat penelitian ilmiah
dalam bentuk skripsi
dengan judul “Tinjauan
Hukum Islam Tentang
Hak Asuh Anak
Dalam UU No.
7 Tahun 1984
Tentang Pengesahan Konvensi
Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi Terhadap Wanita
(Convention on The
Elimination of All
Forms of Discrimination Against Women)”.
Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan
Gender Univesitas Indonesia, Op. cit, h. 24.
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan tentang anak
yang sah pada pasal 99 “Anak yang sah
adalah anak yang
di lahirkan dalam
atau akibat perkawinan
yang sah atau hasil
pembuahan suami isteri yang sah di luar
rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut”. Sedangkan Undang –undang Perkawinan No.1 Tahun 1974
penjelasan anak yang sah di atur pada pasal 42
yang berbunyi “
anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau
sebagai akibat perkawinan yang
sah”. Lihat UU
No.1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan
Kompilasi Hukum Islam, Bandung;
Citra Umbara, 2007, h. 17 dan h. 263. B.
Perumusan Masalah.
Berdasarkan dari
latar belakang yang telah dipaparkan
di atas maka dapat dikemukakan
di sini pokok-pokok
permasalahan yang akan
dibahas dalam skripsi ini.
Pokok-pokok permasalahan tersebut
adalah sebagai berikut :.
1. Bagaimanakah konsep pengasuhan anak dalam
Pasal 16 CEDAW?
2. Bagaimana tinjauan Hukum Islam tentang konsep
pengasuhan anak dalam Pasal 16 dalam
CEDAW?
C. Tujuan Penelitian.
Adapun tujuan
yang hendak di
capai dalam penulisan
skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan Material.
a. Untuk
mengetahui konsep pengasuhan
anak dalam pasal
16 dalam Convention
the Elimination of
all Forms of
Discrimination Against Women (CEDAW).
b. Untuk
mengetahui tinjauan hukum
Islam mengenai konsep pengasuhan anak dalam Pasal 16 dalam Convention the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women
(CEDAW).
2. Tujuan Formal.
Adapun tujuan
formal dari penelitian
ini adalah untuk
memenuhi persyaratan dalam
rangka memperoleh gelar
sarjana hukum Islam
pada Fakultas Syari‟ah IAIN
Walisongo semarang.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi