Sabtu, 23 Agustus 2014

Skripsi Syariah: TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP HAK ASUH ANAK DALAM UU NO. 7 TAHUN 1984 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI PENGHAPUSAN SEGALA BENTUK DISKRIMINASI TERHADAP WANITA

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang Masalah.
Keluarga  yang  sakinah,  mawaddah  dan  rohmah  (kasih  sayang)  adalah  asas  dan  tujuan  disyariatkannya  pernikahan  dan  pembentukan  rumah  tangga dalam Islam. Sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah SWT : 
Artinya  :  “Dan  di  antara  tanda-tanda  kekuasan-Nya  ialah  Dia  menciptakan  untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung  dan  merasa  tenteram  kepadanya,  dan  dijadikan-Nya  di  antaramu  rasa  kasih  dan  sayang.  Sesungguhnya  pada  yang  demikian  itu  benar-benar terdapat tanda-tanda  bagi kaum  yang berpikir”. (Q.S. Ar-Ruum : 21).

 Namun  kenyataannya  banyak  terjadi  dalam  kehidupan  berkeluarga  timbul masalah-masalah yang mendorong seorang suami atau isteri melakukan  gugatan  cerai  dengan  segala  alasan.  Dengan  mempertimbangkan  bahwa  perceraian adalah solusi terakhir dalam bahtera rumah tangga mereka.
 Meskipun  perceraian  merupakan  solusi  terakhir  dalam  menyelesaikan  ketidakcocokan  antara  suami  istri,  namun  sebenarnya  hal  ini  belum  menyelesaikan  semua  masalah  yang  ada.  Permasalahan  yang  muncul  selanjutnya  adalah  sengketa  antara  kedua  belah  pihak  baik  dalam  hal   Departemen  Agama  RI,    Al-Qur’an  dan  Terjemahannya,  Bandung;  Diponegoro,  2007, h. 522.
 Moh.  Idris  Ramulyo,    Hukum  Perkawinan  Islam;  Suatu  Analisis  Undang-Undang  No. 1 Tahun 1974 Dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta; PT. Bumi Aksara, 2004, h. 99.
 pembagian  harta  bersama  (gono-gini)  maupun  sengketa  hak  asuh  anak  (hadlanah).
Perceraian  dalam  rumah  tangga  memang  tidak  bisa  dilepaskan  pengaruhnya terhadap anak, karena fakta kehidupan menunjukan tidak sedikit  dari  perkawinan  yang  dibangun  dengan  susah  payah  pada  akhirnya  bubar  karena kemelut dalam rumah tangga    yang tidak bisa diselesaikan. Akibat dari  bubarnya  perkawinan  tersebut,  tidak  sedikit  pula  anak  yang  dilahirkan  dari  perkawinan itu menanggung derita yang seharusnya tidak ia tanggung.
 Dalam  penjelasan  Undang-  undang   Nomor  23  Tahun  2002  tentang  Perlindungan  Anak,  secara  tegas  dinyatakan  bahwa  “anak  adalah  amanah  sekaligus  karunia  Tuhan  Yang  Maha  Esa,  yang  senantiasa  harus  kita  jaga  karena dalam dirinya melekat, harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia  yang harus di junjung tinggi”.
 Ditinjau dari segi kebutuhan anak yang masih  kecil dan belum mandiri, pengasuhan (hadlanah)  adalah suatu perbuatan yang  wajib  dilaksanakan  oleh  orang  tuanya,  karena  tanpa  hadlanah  anak  akan  menjadi terlantar yang berarti kehilangan hak-haknya.
Hak  kuasa  asuh  anak  memang  bisa  jatuh  ke  ibu  atau  ayah  (suami  atau  istri ),  yang  jelas, tentu tidak  mudah  bagi  pihak  yang tidak  mendapatkan  hak  kuasa asuh menerima kenyataan berpisah dari sang anak.
Permasalahan  hak  asuh  anak  tidak  akan  menimbulkan  konflik  kepentingan  antara  suami  dan  istri  jika  bukan  karena  sebab  perceraian,  Abdul Manan,  Aneka Masalah Hukum Materiel  Dalam Praktek Peradilan Agama,  Jakarta; Pustaka Bangsa,  2003, h. 77.
 Darman Prinst,  Hukum Anak Indonesia,  Bandung;  PT. Citra Aditya Bakti, 2003, h.
378.    sehingga  tidak  sedikit  dari  konflik  tersebut  diselesaikan  melalui  pengadilan  guna memperoleh kepastian hukum demi kepentingan dan masa depan anak.
 Dalam  prespektif  hukum  Islam,  pengasuhan  anak  dikenal  dengan  sebutan  hadlanah,  secara  etimologis,  hadlanah  berasal  dari  kata  hadlana,  hadlan wa hidlanatan,  yang berarti  ja’ala al shobi fi dlahnihi  (m enggendong  bayi dalam buaianya).
 Sedangkan menurut  syara’  Sayyid Sabiq menjelaskan  hadlanah  adalah  melakukan  pemeliharaan  anak  yang  masih  kecil  baik  lakilaki atau perempuan atau yang sudah besar tetapi belum  tamziz, tanpa perintah  dari padanya, menyediakan sesuatu yang menjadikan kebaikanya, menjaganya  dari  sesuatu  yang  merusak  jasmani,  rohani  dan  akalnya  agar  mampu  berdiri  sendiri dalam  menghadapi hidup dan dapat memikul tanggung jawab apabila  ia dewasa.
 Sengketa  hak  asuh  anak  atau  hadlanah  secara  normatif  telah  diatur  dalam  peraturan  perundangan-undangan.  Menurut  Undang-undang  Nomor   Tahun 1974 tentang  Perkawinan  pasal 41 ditegaskan bahwa  “akibat putusnya  perkawinan karena perceraian ialah : a)  Baik  ibu  maupun  bapak  tetap  berkewajiban  memelihara  dan  mendidik  anak-anaknya,  semata-mata  berdasarkan  kepentingan  anak;  bilamana  ada  perselisihan  mengenai  penguasaan  anak-anak,  pengadilan  memberi  putusanya.
b)  Bapak  yang  bertanggung  jawab  atas  semua  biaya  pemeliharaan  dan  pendidikan  yang  diperlukan  anak  itu;  bila  mana  bapak  dalam  kenyataan   Sirajuddin  Sailellah,  Sudut  Pandang  Pengadilan  Terhadap  Putusan  Kuasa  Asuh Anak,  dalam  Mimbar  Hukum  dan  Peradilan,  edisi  70  Januari  2010,  Jakarta;  Pusat  Pengembangan Hukum Islam dan Masyarakat Madani,  2010,  h. 178.       Lois Makluf,  al Munjid fi al Lugoh wa al A’lam,  Beirut;  Dar  al  Masyriq,  1986, h.
139.     Abdul Manan, op.cit, h.78.    tidak  dapat  memenuhi  kewajiban  tersebut,  pengadilan  dapat  menentukan  bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut”.
 Sedangkan  menurut  Kompilasi  Hukum  Islam,  ketentuan-ketentuan  mengenai penyelesaian sengketa pengasuhan anak di atur pada pasal 105  KHI,  yang berbunyi, “dalam hal terjadinya perceraian : a)  Pemeliharaan  anak  yang  belum  mumayyiz  atau  belum  berumur  12  tahun  adalah hak ibunya; b)  Pemeliharaan  anak  yang  sudah  mumayyiz  diserahkan  pada  anak  untuk  memimilih  diantara  ayah  dan  ibunya  sebagai  pemegang  hak  pemeliharaanya; c)  Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya”.
 Pada  prinsipnya  persoalan  hak  asuh  anak  ini  berlaku  ketika  terjadi  perceraian antara suami dan istri,  artinya apabila   ikatan perkawinan itu masih  berlangsung,  maka  kewajiban  menjadi  tanggung  jawab  bersama  antar a  ayah  dan  ibu.  Ayah  mencukupi  kebutuhan  materiil  dan  ibu  memelihara  kesejahteraan jasmani, rohani dan pendidikan agama anaknya.
 Antara  Undang-undang  Nomor  1  Tahun  1974  dan  Kompilasi  Hukum  Islam  mempunyai konsep  yang sama terkait dengan pembiayaan pengasuhan  anak pasca perceraian. Hal ini ditegaskan dalam pasal 41 ayat (2) UU Nomor 1  Tahun  1974  yang  berbunyi  “bapak  yang  bertanggung  jawab  atas  semua  biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bila mana bapak  dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, pengadilan dapat  menentukan  bahwa  ibu  ikut  memikul  biaya  tersebut”.  Dalam  Kompilasi   Direktorat  Pembinaan  Badan  Peradilan  Agama  Islam,  Himpunan  Peraturan  Perundang-Undangan  Dalam  Lingkungan  Peradilan  Agama,  Jakarta;  Departemen  Agama  Republik Indonesia, 2001, h. 140-141.
 Ibid, h. 343.
 Sirajuddin Sailellah, op.cit, h. 183.    Hukum  Islam  hal  ini  detegaskan  dalam  pasal  105  ayat  (3)  yang  berbunyi  “biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya”.
Dalam Undang-undang Perkawin an pasal 42 - pasal 54 dijelaskan bahwa  orang  tua  wajib  memelihara  dan  mendidik  anak-anaknya  yang  belum  mencapai umur 18 tahun dengan cara  yang  baik  sampai anak  itu kawin atau  dapat berdiri sendiri. Kewajiban ini berlaku terus meskipun perkawinan antara  orang tua si anak putus karena perceraian atau kemat ian.
 Menurut  hukum  Islam,  jumhur  ulama  ahli  fiqh  sepakat  bahwa  usia  pengasuhan anak dibatasi sampai anak tersebut  mumayyiz.  Mereka membatasi  usia  mumayyiz  7  tahun  untuk  anak  laki  laki  dan  9  tahun  untuk  anak  perempuan. Tolok ukurnya adalah jika anak yang dalam pengasuhan tersebut  sudah bisa makan, minum dan ber istinja’ (bersuci) sendiri.
 Dalam  prespektif  hukum  Islam,  jika  terjadi  perpisahan  antara  ibu  dan  ayah,  sedangkan  mereka  mempunyai  anak,  maka  ibu  lebih  berhak  daripada  ayahnya,  selama  tidak  ada  alasan  pencegahan  pencabutan  hadlanah.  Hal  ini dilandaskan pada hadis yang diriwayatkan    oleh Abu Daud dan Ahmad yang  menceritakan  bahwa  seorang  ibu  mengadu  kepada  Rasullulah  SAW  tentang  anak kecilnya (yang  belum  mumayyiz), dimana  mantan suaminya  bermaksud  untuk merebut anak mereka, lalu Rasulullah SAW bersabda :  Undang  -Undang  Perkawinan    No.  1  Tahun  1974  pasal  45  yang  berbunyi  :  (1) Kedua  orang  tua  wajib  memelihara  dan  mendidik  anak-anak  mereka  sebaik-baiknya.  (2)  Kewajiban  orang  tua  yang  dimaksud  dalam  ayat  (1)  pasal  ini  berlaku  sampai  anak  itu  kawinatau dapat berdiri sendiri. Kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara  kedua orang tua putus.
 Sirajuddin Sailellah, loc. cit.   Artinya :  “Telah menceritakan kepada kami Mahmud bin Khalid  as  Sulami,  telah menceritakan  kepada kami al Walid dari Abu „Amr al Auza‟i,  telah menceritakan kepadaku „Amr bin Syu‟aib, dari ayahnya dari  kakeknya yaitu Abdullah bin „Amr bahwa seorang wanita berkata;  “wahai  Rasulullah,  sesungguhnya  anakku  ini,  perutku  adalah  tempatnya,  dan  puting  susuku  adalah  tempat  minumnya,  dan  pangkuanku  adalah  rumahnya,  sedangkan  ayahnya  telah  menceraikannya  dan  ingin  merampasnya  dariku”.  Kemudian  Rasulullah  SAW  berkata  kepadanya;  “engkau  (ibu)  lebih  berhak  terhadapnya selama engkau belum menikah”.
Jika  anak  tersebut  sudah  mumayyiz  pemutusan  hak  asuh  atas  dirinya  diserahkan kepadanya untuk memilih ayah atau ibunya. Pada masa ini seorang  anak  secara  sederhana telah  mampu  membedakan  mana  yang  berbahaya dan  mana  yang  bermanfaat  bagi  dirinya.  Oleh  karena  itu,  ia  sudah  dianggap  mampu  menjatuhkan  pilihanya  sendiri  untuk  memilih  hidup  bersama  ayah  atau ibunya.
Landasan hukum dari hal tersebut adalah hadis riwayat Imam at-Tirmidzi  r.a.  dalam  Sunan  an-Nasa’i  yang  menceritakan  seorang  wanita  mengadukan  tingkah laku bekas suaminya yang hendak merebut anak mereka berdu a yang  telah mampu menolong mengangkat air dari sumur.
 Muhammad Abdul Aziz al-Kholidi, Sunan Abi Daud Juz as Tsani, Beirut;  Daar  alKutub al-Ilmiyah,1996, h. 105.    Artinya  :  “Telah  mengabarkan  kepada  kami  Muhammad  bin  Abdul  A‟la  ia  berkata; telah menceritakan kepada kami Khalid ia berkata; telah  menceritakan  kepada  kami  Ibnu  Juraij  ia  berkata;  telah  mengabarkan  kepadaku  Ziyad  dari  Hilal  bin  Usamah  dari  Abu  Maimunah  ia  berkata,  “Saat  aku  bersama  Abu  Hurairah,  ia  berkata,  “Seorang  wanita  datang  kepada  Rasulullah  SAW  dan  berkata,  “Ayah  dan  ibuku  sebagai  tebusanmu.  Sesungguhnya  suamiku  ingin  pergi  membawa  anakku,  dan  anak  tersebut  telah  memberiku  manfaat,  ia  membawakan  aku  air  dari  sumur  Abu  Inabah.”  Kemudian suaminya datang dan berkata, “Siapakah yang  berselisih  denganku  mengenai  anakku?”  Kemudian  beliau  bersabda:  “Wahai  anak  kecil,  ini  adalah  ayahmu  dan  ini  adalah  ibumu.  Gandenglah  tangan  salah  seorang  dar i  mereka  yang  engkau  kehendaki”.  Kemudian  anak  tersebut  menggandeng  tangan ibunya, maka ia pun pergi bersamanya” Jika  ditinjau  dari  perspektif    Undang-undang  Nomor  7  tahun  1984  tentang  Pengesahan  Konvensi  Penghapusan  Segala  Bentuk  Disk riminasi  terhadap  Wanita  atau  Convention  on  the  Elimination  of  All  Forms  of Discrimination  Against  Women  (CEDAW)  hal  ini  merupakan diskriminasi.
  Jalaludin  as-Suyuti,  Sunan  an-Nasai  Juz  al-Khoomis,  Beirut;  Daar  al-Kutub  alIlmiyah, 1996, h. 185.     Istilah  diskriminasi  dalam  CEDAW  di  jelaskan  pada  pasal  1  yang  berbunyi  “  Diskriminasi  terhadap  wanita  berarti  setiap  pembedaan,  pengucilan,  atau  pembatasan  yang  dibuat  atas  dasar  jenis  kelamin,  yang  mempunyai  pengaruh  atau  tujuan  untuk  mengurangi  atau  menghapuskan   pengakuan,  penikmatan  atau  penggunaan  hak-hak  asasi  manusia  dan   Dalam  konsep  CEDAW  tidak  ada  pembedaan  tanggung  jawab  yang  bersifat  materill (biaya hidup anak) maupun non materiil (pengasuhan) antara laki-laki  dan perempuan.
CEDAW  merupakan  tindak  lanjut  dari  deklarasi  Perserikatan  BangsaBangsa  pada  tahun  1967  mengenai  Penghapusan  Diskriminasi  terhadap  Wanita. Karena deklarasi tersebut bersifat tidak mengikat, maka Perserikatan  Bangsa-Bangsa  menyusun  rancangan  Konvensi  tentang  Penghapusan  Segala  Bentuk Diskriminasi terhadap  Wanita (CEDAW)  yang  bersifat mengikat bagi  negara-negara  peserta.  Konvensi  ini  kemudian  disahkan  pada  tanggal  18  Desember 1979 oleh Majelis Umum PBB.
 CEDAW telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-undang Nomor 7  Tahun  1984  tentang  Pengesahan  Konvensi  Penghapusan  Segala  Bentuk  Diskriminasi  Terhadap  Perempuan  pada  tanggal  24  Juli  1984.
 Makna  dari  ratifikasi tersebut adalah membentuk perjanjian bersama antar negara peserta  (treaty)  yang  menciptakan  kewajiban  dan  komitmen  negara  anggota  yang  meratifikasinya  dalam  merealisasikan  apa-apa  yang  diusung  dalam  konvensi  tersebut.
Konsekuensi  dari  ratifikasi  konvensi  ini  adalah,  negara  peserta  wajib  memberikan  komitmen  untuk  menjamin  terealisasinya  ketentuan-ketentuan  yang ada dalam CEDAW  melalui peraturan perundang-undangan, kebijakan,  kebebasan-kebebasan  pokok  di  bidang  politik,  ekonomi,  sosial,  budaya,  sipil  atau  apapun  lainya oleh wanita”.
 Convention  Watch,  Pusat  Kajian  Wanita  dan  Gender  Univesitas  Indonesia,  Hak  Azasi Perempuan Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender,  Jakarta; Yayasan  Obor Indonesia, 2007, h. 5-6.
 Ibid. h. 4.
 program  dan  tindakan  untuk  mewujudkan  kesetaraan  antara  pria  dan  perempuan  serta  terhapusnya  segala  bentuk  diskriminasi  terhadap  perempuan.
 Ketentuan-ketentuan CEDAW yang mengatur persamaan hak antara lakilaki  dan  perempuan  dalam  perkawinan  diatur  dalam  pasal  16,  di  dalamnya  terdapat  konsep pengasuhan anak  yang  lebih  mengedepankan kesetaraan  hak  dan  kewajiban  antara  laki-laki  dan  perempuan  dalam  semua  urusan  yang  berhubungan  dengan  anak-anak  mereka.
 Jadi,  menurut  konsep  CEDAW,  kewajiban  dan  hak  untuk  mengasuh  anak-anak  mereka  setelah  terjadi  perceraian  merupakan tanggung  jawab  bersama, tidak ada pembedaan antara  laki-laki dan perempuan dalam hal ini.
Ketentuan-ketentuan CEDAW yang mengatur persamaan hak antara lakilaki dan perempuan dalam pengasuhan anak  lainya adalah pasal 16 huruf (d)  dimana di dalamnya terdapat penekanan terhadap kewajiban sebagai orang tua  terhadap  anak-anak  mereka  tampa  memandang  status  perkawinan  orang  tuanya yang berbunyi  “ hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua  terlepas  dari  status  perkawinan  mereka,  dalam  urusan  yang  berhubungan  dengan anak-anak  mereka; dalam semua hal kepentingan anak-anak  harus di   LBH  APIK  (Lembaga  Bantuan  Hukum  Asosiasi  Perempuan  Indonesia  untuk  Keadilan),  Rekomendasi  Umum  No.  19  Tentang  Kekerasan  Terhadap  Perempuan,  Yogyakarta; Galang Printika, 2008, h. 3-4.
 Pasal 16 huruf (c) dan (f)  yang masing-masing berbunyi  (c) “hak dan tanggung  jawab  yang  sama  selama  perkawinan  dan  pa da  pemutusan  perkawinan.”  (f)  “hak  dan  tanggung  jawab  yang  sama  berkenaan  dengan  perwalian,  pemeliharaan,  pengawasan,  dan  pengangkatan anak-anak atau lembaga-  lembaga yang sejenis dimana konsep ini ada dalam  undang-undang nasional, dalam semua hal kepentingan anak-anak wajib diutamakan”.     utamakan”.
 Jadi, dalam konsep CEDAW setiap anak yang lahir mempunyai  hak-hak  sebagai  seorang  anak  dari  ayah  dan  ibu  biologisnya  tampa  memandang  anak  tersebut  dilahirkan  dalam  atau  sebagai  akibat  perkawinan  yang  sah  antara  ayah  dan  ibu  biologisnya  atau  tidak.  Hal  ini  berarti  konsep  Pengasuhan anak dalam CEDAW tidak terikat pada status sah atau tidaknya  seorang anak.
 Dari pemaparan permasalahan di atas, penulis tertarik untuk mengangkat  penelitian  ilmiah  dalam  bentuk  skripsi  dengan  judul  “Tinjauan  Hukum  Islam  Tentang  Hak  Asuh  Anak  Dalam  UU  No.  7  Tahun  1984  Tentang  Pengesahan  Konvensi  Penghapusan  Segala  Bentuk   Diskriminasi  Terhadap  Wanita  (Convention  on  The  Elimination  of  All  Forms  of  Discrimination Against Women)”.
 Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Gender Univesitas Indonesia,  Op. cit,  h. 24.
 Kompilasi Hukum Islam menjelaskan tentang anak yang sah pada pasal 99 “Anak  yang  sah  adalah  anak  yang  di  lahirkan  dalam  atau  akibat  perkawinan  yang  sah  atau  hasil  pembuahan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut”. Sedangkan  Undang –undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 penjelasan anak yang sah di atur pada pasal  42  yang  berbunyi  “  anak  yang  sah adalah anak  yang  dilahirkan  dalam  atau  sebagai akibat  perkawinan  yang  sah”.  Lihat  UU  No.1  Tahun  1974  tentang  Perkawinan  dan   Kompilasi  Hukum Islam, Bandung; Citra Umbara, 2007, h. 17 dan h. 263.      B.  Perumusan Masalah.
Berdasarkan  dari  latar  belakang  yang  telah  dipaparkan  di  atas  maka  dapat  dikemukakan  di  sini  pokok-pokok  permasalahan  yang  akan  dibahas  dalam skripsi ini.
Pokok-pokok permasalahan tersebut adalah sebagai berikut :.
1.  Bagaimanakah konsep pengasuhan anak dalam Pasal 16  CEDAW?
2.  Bagaimana tinjauan Hukum Islam tentang konsep pengasuhan anak dalam  Pasal 16 dalam CEDAW?
C.  Tujuan Penelitian.
Adapun  tujuan  yang  hendak  di  capai  dalam  penulisan  skripsi  ini  adalah  sebagai berikut : 1.  Tujuan Material.
a.  Untuk  mengetahui  konsep  pengasuhan  anak  dalam  pasal  16  dalam  Convention  the  Elimination  of  all  Forms  of  Discrimination  Against  Women (CEDAW).
b.   Untuk  mengetahui  tinjauan  hukum  Islam  mengenai  konsep  pengasuhan anak dalam Pasal 16 dalam  Convention the Elimination of  all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW).
2.  Tujuan Formal.
Adapun  tujuan  formal  dari  penelitian  ini  adalah  untuk  memenuhi  persyaratan  dalam  rangka  memperoleh  gelar  sarjana  hukum  Islam  pada  Fakultas Syari‟ah IAIN Walisongo semarang.



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi