BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penelitian Kemajuan dalam
bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi serta keberhasilan
pembangunan akhir-akhir ini telah merambah seluruh aspek bidang kehidupan umat manusia, tidak saja membawa
berbagai kemudahan, kebahagiaan dan
kesenangan, melainkan juga menimbulkan sejumlah persoalan. Aktifitas baru yang
beberapa waktu lalu
tidak pernah dikenal
atau bahkan tidak
pernah terbayangkan, kini
hal itu telah
menjadi kenyataan. Di
sisi lain, kesadaran keberagamaan umat Islam diberbagai negeri
termasuk di Indonesia, akhir-akhir ini semakin tumbuh subur dan meningkat.
Sebagai konsekuensi logis, setiap timbul persoalan,
penemuan, maupun aktifitas
baru sebagai produk
dari kemajuan tersebut, umat Islam senantiasa
bertanya-tanya, bagaimana kedudukan hal tersebut dalam pandangan ajaran dan hukum Islam.
Salah satu
persoalan cukup mendesak
yang dihadapi umat
adalah membanjirnya produk
makanan dan minuman
olahan, obat-obatan, serta kosmetik. Sejalan
dengan ajaran Islam,
umat Islam menghendaki
agar produkproduk yang
akan dikonsumsi tersebut
dijamin kehalalan dan
kesucianya.
Menurut ajaran
Islam, mengkonsumsi yang
halal, suci dan
baik merupakan perintah agama dan hukumnya wajib.
Salah satu ayat yang menjelaskan tentang hal tersbut adalah Surah Al-Maidah ayat 88
sebagai berikut: Bagian Proyek
Sarana dan Prasarana
Produk Halal Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam dan Penyelenggaraan Haji,
Sistem dan Prosedur
Penetapan Fatwa Produk Halal Majelis Ulama Indonesia, Jakarta:
Departemen Agama, 2003, hlm 1-2.
“Dan
makanlah makanan yang
halal lagi baik
dari apa yang
Allah Telah rezekikan
kepadamu, dan bertakwalah
kepada Allah yang kamu
beriman kepada-Nya.” (QS. Al-Ma’idah: 88)
Berdasarkan ayat di atas, mengkonsumsi makanan yang halal merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam. Akan tetapi, dalam era globalisasi sekarang ini penetapan kehalalan suatu produk pangan
tidaklah semudah pada waktu teknologi belum
begitu berkembang. Umat Islam
yang merupakan bagian besar penduduk Indonesia
(lebih dari 85%)
diperlukan adanya suatu
jaminan dan kepastian
dari produk-produk pangan yang
akan dikonsumsi.
Komunitas
muslim di seluruh
dunia terutama Negara
Indonesia telah membentuk
segmen pasar yang
potensial dikarenakan pola
khusus (konsumsi produk
halal) mereka dalam
mengkonsumsi suatu produk.
Pola konsumsi ini diatur dalam
ajaran Islam yang
disebut dengan Syariat.
Dalam ajaran Syariat, tidak
diperkenankan bagi kaum
muslim untuk mengkonsumsi
produk-produk tertentu karena
substansi yang dikandungnya atau proses yang menyertainya tidak sesuai
dengan ajaran syariat
Islam. Dengan adanya
aturan yang tegas
ini, maka para
pemasar (produk halal)
memiliki kesempatan untuk
mengincar pasar konsumen khusus dari kaum Muslimin dengan
labelisasi halal.
Melihat kasus-kasus
besar yang berkaitan
dengan kehalalan produk pangan
telah terjadi di
Indonesia dan telah
merugikan banyak pihak,
serta menimbulkan keresahan
masyarakat. Kasus pertama
terjadi pada tahun
1988, Terjemah Departemen Agama
RI, Jakarta: Mumtaaz Media Islami, 2007, hlm. 122.
Anton
Apriyantono dan Nurbowo,
Panduan Belanja dan
Konsumsi Halal, Jakarta: Khairul Bayaan, 2003, hlm. 24. yaitu
adanya isu lemak babi pada banyak produk
pangan, sedangkan kasus kedua adalah
haramnya MSG Ajinomoto
yang sebelumnya telah
dinyatakan halal, ini terjadi
pada tahun 2000. Belajar dari kasus yang terjadi pada tahun 1988 tersebut, maka Majelis
Ulama Indonesia (MUI)
berusaha berperan untuk
menenteramkan umat Islam
dalam masalah kehalalan
produk dengan cara
mendirikan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika
(LPOM MUI).
Heboh yang
melanda Indonesia akibat
masalah keharaman penyedap masakan
Ajinomoto menyadarkan kepada
kita betapa besar
dampak yang ditimbulkan.
Dari segi materi
kerugian yang diderita
oleh PT. Ajinomoto Indonesia dapat mencapai puluhan milyaran
rupiah, apalagi jika tuntutan YLKI, konsumen
dan para pedagang
eceran dipenuhi, tentu
kerugian materi ini
akan lebih besar pula.
Tentu saja
konsekuensi semua produsen
pangan harus memenuhi ketentuan
memproduksi dan mengedarkan
bahan pangan halal,
kecuali untuk konsumen
non-muslim. Karena mengingat
sebagian besar penduduk
Indonesia adalah muslim, maka
sangat wajar apabila diharuskan semua bahan pangan yang diproduksi dan diedarkan di Indonesia adalah
makanan dan minuman yang halal, kecuali
makanan dan minuman yang ditujukan bagi non-muslim.
Berbagai
pendapat tentang produk
halal, semakin memperkuat
indikasi semangat bersyari’at
Islam. Menurut hasil polling yang diselenggarakan oleh situs indohalal.com,
Yayasan Halalan Thoyyiban
dan LPOM MUI
akhir tahun 2002, 77,6% responden
menjadikan jaminan kehalalan
sebagai pertimbangan pertama Ibid, hlm 12-25.
dalam
berbelanja produk (makanan,
minuman, obat dan
kosmetik). Mereka (93,9%)
setuju bila pada
setiap kemasan produk
bersertifikat halal, wajib dicantumkan
label dan nomor bersertifikat halal.
Sebagaimana dikemukakan
uraian di atas, masalah kehalalan produk
yang akan dikonsumsi merupakan persoalan
yang sangat besar, sehingga apa yang akan dikonsumsi itu benar-benar halal dan tidak
tercampur sedikitpun dengan barang haram.
Oleh karena itu,
tidak semua orang
dapat mengetahui kehalalan
suatu produk secara pasti,
sertifikat halal sebagai bukti penetapan fatwa halal bagi suatu produk
yang dikeluarkan oleh
MUI dan merupakan
sesuatu yang mutlak diperlukan keberadaanya.
Peraturan Pemerintah dan Fatwa MUI sangat diperlukan untuk mengambil jalan
tengah, serta menenteramkan
jiwa umat muslim,
dengan diterbitkanya peraturan
tentang jaminan produk
halal ini akan
memberikan perlindungan dan kepastian
hukum bagi masyarakat bahwa setiap produk yang bertanda label
halal resmi dari MUI
dijamin halal sesuai syari’at
Islam dan hukum positif, sehingga masyarakat
tidak perlu ragu
dalam memilih, mengkonsumsi
dan menggunakan produk halal dengan rasa aman, karena
dilindungi oleh hukum. Untuk mengetahui hal tersebut,
konsumen harus lebih
mengetahui tentang labelisasi
halal yang terdapat dalam produk tersebut.
Jurusan Muamalah
dan Ahwal Al-Syakhsiyyah Fakultas
Syari’ah Semester VIII IAIN
Walisongo Semarang yang
mayoritas mahasiswanya beragama
Islam dapat menjadi perwakilan
dari komunitas Muslim yang menjadi Bagian Proyek
Sarana Dan Prasarana
Produk Halal Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat
Islam Dan Penyelenggaraan Haji,
Sistem dan Prosedur
Penetapan Fatwa Produk Halal Majelis Ulama Indonesia, Op.Cit, hlm 14.
Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi