BAB I .
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah .
Zakat adalah
salah satu rukun
Islam yang lima.
Demikian pentingnya ibadah ini,
ia menduduki posisi ketiga sesudah shalat. Kata zakat dalam
berbagai bentuk dan
konteksnya disebut dalam
al-Qur‟an sebanyak enam puluh kali, dua puluh enam kali diantaranya Allah menyebutkan soal zakat selalu berdampingan penyebutannya dengan
shalat dalam Al-Qur‟an.
Ini menunjukkan bahwa keduanya mempunyai arti
yang sangat penting dan memiliki hubungan
yang erat. Shalat
merupakan ibadah jasmaniyah
yang paling utama,
sedang zakat dipandang
sebagai ibadah harta
yang paling mulia.
Zakat
dalam pandangan Islam
bukan sekedar perbuatan
baik yang bersifat
kemanusiaan saja dan
bukan pula sekedar
ibadah yang dilakukan secara
pribadi, tetapi juga
merupakan tugas penguasa
atau mereka yang berwenang
untuk mengurus zakat, terutama permasalahan sasaran zakat.
Pada satu sisi, memang tidak diragukan lagi,
bahwa zakat itu suatu rukun dari
rukun-rukun agama, suatu fardhu dari
fardhu-fardhu agama yang wajib
diselenggarakan.
Ahmad Rofiq, Fiqh
Kontekstual: Dari Normatif
ke Pemaknaan Sosial,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
hal. 2 Nasruddin Razak, Dienul Islam,
Bandung : PT. Al Ma‟arif, cet.7, 1984, hal. 1
Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, Bogor
: Pustaka Litera Antar Nusa, 2002, hal.5
Teungku Muhammad Hasbi
Ash-Shidieqy, Pedoman Zakat,
Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1996, hal. 12 Zakat
merupakan ibadah dan
kewajiban sosial bagi
para aghniya‟ (hartawan)
setelah kekayaannya memenuhi
batas minimal (nishab)
dan rentang waktu
setahun (haul). Tujuannya
adalah untuk mewujudkan pemerataan
keadilan dalam ekonomi.
Sebagai salah satu
aset – lembaga
– ekonomi Islam, zakat merupakan sumber dana potensial strategis bagi
upaya membangun kesejahteraan
ummat. Karena itu
al-Qur‟an memberi rambu agar zakat
yang dihimpun disalurkan
kepada mustahiq (orang-orang
yang benar-benar berhak
menerima zakat).
Dengan
zakat, seseorang mampu berada di
tengah-tengah masyarakat muslim
dan menciptakan persaudaraan.
Allah
SWT adalah pemilik
seluruh alam raya
dan segala isinya, termasuk
pemilik harta benda.
Seseorang yang beruntung
memperolehnya pada hakikatnya
menerima titipan sebagai
amanat untuk disalurkan
dan dijalankan sesuai dengan
kehendak Allah SWT.
Manusia
sebagai pengemban amanat
berkewajiban memenuhi ketetapan yang telah ditentukan oleh Allah SWT
baik dalam pengembangan harta maupun
dalam penggunaannya. Dan
zakat merupakan salah
satu ketetapan Allah
yang berhubungan dengan
harta, harta benda
dijadikan Tuhan sebagai
sarana kehidupan untuk
umat manusia seluruhnya,
maka zakat harus diarahkan guna
kepentingan bersama.
Ahmad Rofiq, op.cit, hal. 2 Yusuf
Qardawi, loc.cit, hal.
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an,
Bandung : Mizan, 2000, hal. 3 ibid Menurut
syariat Islam, golongan-golongan yang
berhak menerima zakat
(mustahiq zakat) berjumlah
delapan atau yang
biasa dikenal dengan istilah
delapan asnaf, salah satunya adalah kelompok muallaf. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al Qur‟an surat
at-Taubah ayat 60 : Sesungguhnya zakat-zakat
itu, hanyalah untuk
orang-orang fakir, orangorang
miskin, pengurus-pengurus zakat,
para mu'allaf yang
dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk
mereka yuang sedang
dalam perjalanan, sebagai suatu
ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah
Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana Pada masa kenabian, zakat
difungsikan sebagai media dakwah untuk menarik simpati
orang-orang kafir terhadap
Islam, seperti yang
pernah dilakukan oleh
Nabi Muhammad ketika
memberikan zakat seratus
unta kepada Safwan bin Umayyah sebelum ia masuk
Islam. Imam Muslim telah meriwayatkan : “Ibnu Syihab berkata,
diriwayatkan Said bin Musayyib, bahwa
Safwan bin Umayyah berkata : Demi
Allah, Rasulullah telah memberiku (bagian zakat) padahal
beliau adalah orang
yang paling aku
benci. Dan beliau
terus Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Bandung : PT Sigma
Examedia Arkanleema, 2009, hal. 196 memberiku (bagian zakat) sehingga beliau
termasuk orang yang paling aku cintai”.
Pemberian
itu diberikan sebagai
pelunak hati mereka,
agar tidak terfikir oleh mereka untuk memusuhi Islam yang
telah mengalahkan mereka dan untuk
menarik simpati mereka
untuk mau mengikuti
dakwah baru ini (Islam).
Karena jika hati mereka telah lunak, maka keinginan untuk dendam dan semisalnya, dengan sendirinya akan hilang.
Pada
waktu setelah kemenangan
pasukan Islam di
Hawazin, pada tahun
8 Hijriyah, Nabi
memberikan kepada pemimpin-pemimpin kabilah sejumlah
harta yang sangat
banyak. Beliau memberikan
100 ekor unta masing-masing
kepada Abu Sufyan bin Harb, putranya
Muawiyah, Hakim bin Hizam, Al-Harits
bin Kildah, Al-Harits
bin Hisyam, Suhail
bin Amr, Huwaithab bin Abdul Uzza, Al-Ala‟ bin Jariyah Ats-Tsaqafi, Uyainah bin Hisn,
Al-Aqra‟ bin Habis
At-Tamimi, Malik bin
Auf An-Nashri dan Shafwan bin
Umayyah. Rasulullah juga
memberikan 90-an ekor
unta kepada masing-masing
pemuka Quraisy, yang
diantaranya adalah; Makhramah bin Naufal Az-Zuhri, Umair bin Wahb Al-Jamhi, Hisyam bin
Amr, Sa‟id bin Yarbu‟, Addi bin Qais dan yang lainnya.
Rasulullah memberikan
zakat kepada mereka
itu dan juga
yang lainnya, dan
tidak memberikan bagian
ini kepada banyak
kaum muslimin yang
benar-benar kuat dan
tulus keimanannya. Meskipun
jerih payah dan Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj
al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim,
Juz IV, Beirut : Dar Ihya‟ at-Turats
al-Arabi, hal. 1806 Muhammad
Baltaji, Metodologi Ijtihad Umar bin
al-Khattab, Jakarta: Khalifa, 2005, hal.
178.
Ath-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jilid
III, Dar al-Fikr, hal. 331 kesibukan mereka
berjihad dan berdakwah
tentunya sangat layak
untuk menerima bagian tersebut.
Di
dalam hukum Islam,
para ulama‟ memberikan
pengertian yang berbeda-beda
tentang muallaf. Dalam
pandangan ulama Syafi‟iyah
dan Hanafiyah, muallaf adalah mereka yang baru masuk Islam,
sehingga orangorang musyrik atau non-muslim tidak berhak mendapatkan bagian
zakat dari golongan muallaf
meskipun keislaman mereka
dikehendaki.
Sedangkan ulama Malikiyah dan Hanabilah memasukkan
orang-orang yang baru masuk Islam dan
orang-orang kafir ke dalam kategori muallaf.
Imam
Malik dan sebagian
pengikutnya serta mayoritas
ulama Hanafiyah menetapkan
bahwa bagian muallaf
secara mutlak sudah
gugur karena Islam
setelah wafatnya Nabi
sudah menemukan momentum kejayaannya
dan banyaknya jumlah
kaum muslim, sehingga
jumlah mustahiq zakat
tidak lagi delapan
golongan tetapi hanya tujuh
golongan.
Dalil yang dijadikan argumen oleh
kelompok ini adalah bahwa pada masa Khulafaurrasyidin,
keempat khalifah tidak lagi memberikan bagian muallaf kepada yang berhak, berpijak pada perkataan
Umar bin Khattab : Muhammad Baltaji,
Op.Cit., hal. 180.
Wahbah al-Zuhayli, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, vol. 3 Beirut: Dar al-Fikr, 1997, hal.
1954. Meskipun Imam Syafi‟i
mengklasifikasikan golongan muallaf kepada empat macam, namun
keempat macam tersebut
seluruhnya adalah mereka
yang sudah masuk
Islam. Lihat Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh „ala
al-Madzahib al-Arba‟ah, vol. 1, cet. III, Beirut : Dar Ihya al Turats
al-„Arabi, hal. 625.
Wahbah al-Zuhayli, Op.Cit., hal. 1954.
Ibid, hal. 1955.
“Kami tidak memberikan sesuatu atas (masuk)
Islam, maka barangsiapa yang ingin (beriman)
hendaklah ia beriman
dan barangsiapa yang
ingin (kafir) biarlah ia kafir”.
Diriwayatkan dari
Abdurrahman bin Muhammad
al-Muharibi, dari Hajjaj bin Dinar dari Ibnu Sirin dari „Ubaidah
ia berkata : bahwa suatu saat, „Uyainah
bin Hishn dan
al-Aqra‟ bin Habis
datang kepada Khalifah
Abu Bakar untuk meminta
bagian zakat mereka
dari golongan muallaf
berupa tanah sebagaiman yang telah diberikan oleh Nabi ketika beliau
masih hidup.
Keduanya berkata,
“sesungguhnya ditempat kami
ada tanah-tanah kosong, yang
yang tidak berumput
dan tidak berfungsi,
bagaimana jika tanah
itu anda berikan
kepada kami?” Maka
Abu Bakar membuat
surat (catatan) untuk mereka untuk diserahkan kepada Umar bin Khattab, ketika itu Umar tidak
ada disitu, namun
ketika mereka menyerahkan
surat tersebut kepada Umar,
ia menolak memberikan
zakat kepada mereka
dan langsung menyobek
surat itu kemudian
berkata, “dahulu Rasulullah
menganggap kalian sebagai
muallaf, ketika Islam
saat itu masih
kecil dan pemeluknya masih sedikit. Sedangkan sekarang Allah telah menjadikan Islam besar
dan jaya, maka pergilah kalian bekerja sebagaimana kaum
muslimin bekerja.” Selanjutnya Umar bin Khattab mengutip al-Qur‟an surat al-Kahfi ayat : 29 yang berbunyi : Ibnu Katsir,
Musnad al-Faruq Amir
al-Mu‟minin, Juz I, Dar al-Wafa‟, hal. 259. Lihat juga Al-Jashshash, Ahkam al-Qur‟an, jil. III,
Dar al-Fikr, hal 182-183. Ahmad Amin, Fajrul Islam, Beirut : Dar al-Kutub, 1975, hal. 238.
Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, jilid. 6,
Beirut : Dar al-Kitab al-Ilmiyah, hal. 400. Riwayat lain mencatat bahwa yang dikatakan oleh Umar
bin Khattab adalah : Lihat Wahbah al-Zuhayli, “Dan katakanlah
kebenaran itu datangnya
dari Tuhanmu, Maka barang siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia
beriman, dan barangsiapa yang ingin
(kafir) biarlah ia kafir”.
Mendengar kata-kata Umar bin
Khattab seperti ini, mereka langsung datang kepada Abu Bakar dan berkata, “siapakah yang sebenarnya
menjadi khalifah, kamu atau Umar? Kami
menyerahkan suratmu tetapi disobek oleh Umar”.
Maka Abu Bakar menjawab, “dia, jika ia mau”.
Sayyid
Sabiq menjelaskan bahwa
ketika Umar bin
Khattab mengatakan demikian,
tidak ada seorang sahabat pun yang mengingkarinya.
Bahkan Abu Bakar as-Siddiq sendiri sepakat dengan
pendapatnya. Sehingga maqalah Umar
bin Khattab menjadi
ketetapan (ijma‟) para
sahabat dan dianggap menasakh bagian muallaf.
Di
sini Umar bin
Khattab mengeluarkan satu
statemen hukum, bahwa al-muallafah qulubuhum tidak mendapatkan
bagian zakat, yang tidak ada satu pun
dari sahabat yang menentangnya, bahkan mereka menyetujui pendapat dan apa yang
dilakukan oleh Umar. Adakah dalam
hal ini Umar bin Khattab
menyalahi hukum yang
telah ditetapkan al-Qur‟an?
Apakah pemikiran Umar
tersebut bisa dijadikan
dasar hukum untuk
tidak memberikan hak muallaf
sebagai mustahiq zakat? Sayyid
Sabiq, Fiqh as-Sunnah, vol. 1 Beirut :
Dar al -Fikr, 1992, hal. 330. lihat juga
Abu Ubaid, Al-Amwal, Dar al-Fikr, hal. 351-352, dengan matan yang berbeda.
Sayyid
Sabiq, Ibid,. Bandingkan
dengan Yusuf Qardawi,
Hukum Zakat, Bogor
: Pustaka Litera Antar Nusa,
2002, hal.563. Keunikan
pendapat Umar bin
Khattab inilah yang
menjadi alasan bagi
penulis untuk meneliti
lebih dalam pada
sebuah penelitian dengan judul;
Pengguguran Hak Muallaf
Sebagai Mustahiq Zakat (Analisis
Pemikiran Umar
bin Khattab Tentang
Pengguguran Hak Muallaf Sebagai Mustahiq Zakat).
B. Perumusan Masalah.
Berpijak pada
latar belakang masalah
yang telah diuraikan
di atas, maka
rumusan masalah yang
menurut penulis menarik
untuk diangkat dalam skripsi ini adalah :.
1. Apa
alasan Umar bin
Khattab tidak memberikan
bagian zakat kepada muallaf sebagai mustahiq zakat? 2. Bagaimana
ulama khalaf (kontemporer) mendudukkan pemikiran Umar bin Khattab
tentang pengguguran hak
muallaf sebagai mustahiq
zakat dalam khazanah ilmu fiqh? C.
Tujuan Penelitian .
Dalam penelitian
ini mempunyai beberapa
tujuan, adapun tujuannya antara lain :.
1. Untuk
mengetahui apa alasan
Umar bin Khattab
tidak memberikan bagian zakat kepada muallaf sebagai mustahiq
zakat.
2. Untuk
mengetahui bagaimana ulama
khalaf (kontemporer) mendudukkan pemikiran
Umar bin Khattab
tentang pengguguran hak muallaf
sebagai mustahiq zakat dalam khazanah ilmu fiqh.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi