Kamis, 28 Agustus 2014

Skripsi Syariah: PENGGUGURAN HAK MUALLAF SEBAGAI MUSTAHIQ ZAKAT

BAB I .
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang Masalah .
Zakat  adalah  salah  satu  rukun  Islam  yang  lima.  Demikian  pentingnya ibadah ini, ia menduduki posisi ketiga sesudah shalat. Kata zakat  dalam  berbagai  bentuk  dan  konteksnya  disebut  dalam  al-Qur‟an  sebanyak  enam puluh kali,  dua puluh enam kali diantaranya  Allah menyebutkan soal  zakat selalu berdampingan penyebutannya dengan shalat dalam Al-Qur‟an.

 Ini menunjukkan bahwa keduanya mempunyai arti yang sangat penting dan  memiliki  hubungan  yang  erat.  Shalat  merupakan  ibadah  jasmaniyah  yang  paling  utama,  sedang  zakat  dipandang  sebagai  ibadah  harta  yang  paling  mulia.
 Zakat  dalam  pandangan  Islam  bukan  sekedar  perbuatan  baik  yang  bersifat  kemanusiaan  saja  dan  bukan  pula  sekedar  ibadah  yang  dilakukan  secara  pribadi,  tetapi  juga  merupakan  tugas  penguasa  atau  mereka  yang  berwenang untuk mengurus zakat, terutama permasalahan sasaran zakat.
 Pada satu sisi, memang tidak diragukan lagi, bahwa zakat itu suatu  rukun dari rukun-rukun agama,  suatu fardhu dari fardhu-fardhu agama yang  wajib diselenggarakan.
  Ahmad  Rofiq,  Fiqh  Kontekstual:  Dari  Normatif  ke  Pemaknaan  Sosial,  Yogyakarta:  Pustaka Pelajar, 2004 hal. 2  Nasruddin Razak, Dienul Islam, Bandung : PT. Al Ma‟arif, cet.7, 1984, hal. 1  Yusuf Qardawi,  Hukum Zakat, Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2002, hal.5  Teungku  Muhammad  Hasbi  Ash-Shidieqy,  Pedoman  Zakat,  Semarang:  PT  Pustaka  Rizki Putra, 1996, hal. 12   Zakat  merupakan  ibadah  dan  kewajiban  sosial  bagi  para  aghniya‟  (hartawan)  setelah  kekayaannya  memenuhi  batas  minimal  (nishab)  dan  rentang  waktu  setahun  (haul).  Tujuannya  adalah  untuk  mewujudkan  pemerataan  keadilan  dalam  ekonomi.  Sebagai  salah  satu  aset  –  lembaga  – ekonomi Islam, zakat merupakan sumber dana potensial strategis bagi upaya  membangun  kesejahteraan  ummat.  Karena  itu  al-Qur‟an  memberi  rambu  agar  zakat  yang  dihimpun  disalurkan  kepada  mustahiq  (orang-orang  yang  benar-benar  berhak  menerima  zakat).
 Dengan  zakat,  seseorang  mampu  berada  di  tengah-tengah  masyarakat  muslim  dan  menciptakan  persaudaraan.
 Allah  SWT  adalah  pemilik  seluruh  alam  raya  dan  segala  isinya,  termasuk  pemilik  harta  benda.  Seseorang  yang  beruntung  memperolehnya  pada  hakikatnya  menerima  titipan  sebagai  amanat  untuk  disalurkan  dan  dijalankan sesuai dengan kehendak Allah SWT.
 Manusia  sebagai  pengemban  amanat  berkewajiban  memenuhi  ketetapan yang telah ditentukan oleh Allah SWT baik dalam pengembangan  harta  maupun  dalam  penggunaannya.  Dan  zakat  merupakan  salah  satu  ketetapan  Allah  yang  berhubungan  dengan  harta,  harta  benda  dijadikan  Tuhan  sebagai  sarana  kehidupan  untuk  umat  manusia  seluruhnya,  maka  zakat harus diarahkan guna kepentingan bersama.
  Ahmad Rofiq, op.cit, hal. 2  Yusuf Qardawi, loc.cit, hal.
 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, Bandung : Mizan, 2000, hal. 3  ibid   Menurut  syariat  Islam,  golongan-golongan  yang  berhak  menerima  zakat  (mustahiq  zakat)  berjumlah  delapan  atau  yang  biasa  dikenal  dengan  istilah  delapan asnaf, salah satunya adalah kelompok muallaf. Hal ini sesuai  dengan firman Allah dalam Al Qur‟an surat at-Taubah ayat 60 :  Sesungguhnya  zakat-zakat  itu,  hanyalah  untuk  orang-orang  fakir,  orangorang  miskin,  pengurus-pengurus  zakat,  para  mu'allaf  yang  dibujuk  hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk  jalan  Allah  dan  untuk  mereka  yuang  sedang  dalam  perjalanan,  sebagai  suatu  ketetapan  yang  diwajibkan  Allah,  dan  Allah  Maha  Mengetahui  lagi  Maha Bijaksana  Pada masa kenabian, zakat difungsikan sebagai media dakwah untuk  menarik  simpati  orang-orang  kafir  terhadap  Islam,  seperti  yang  pernah  dilakukan  oleh  Nabi  Muhammad  ketika  memberikan  zakat  seratus  unta  kepada  Safwan bin Umayyah sebelum ia masuk Islam.  Imam Muslim telah  meriwayatkan : “Ibnu Syihab berkata, diriwayatkan  Said bin Musayyib, bahwa Safwan bin  Umayyah berkata  :  Demi Allah,  Rasulullah  telah memberiku (bagian zakat)  padahal  beliau  adalah  orang  yang  paling  aku  benci.  Dan  beliau  terus   Departemen Agama RI,  Al-Qur‟an dan Terjemahnya, Bandung : PT Sigma Examedia  Arkanleema, 2009, hal. 196   memberiku (bagian zakat) sehingga beliau termasuk orang yang paling aku  cintai”.
 Pemberian  itu  diberikan  sebagai  pelunak  hati  mereka,  agar  tidak  terfikir oleh mereka untuk memusuhi Islam yang telah mengalahkan mereka  dan  untuk  menarik  simpati  mereka  untuk  mau  mengikuti  dakwah  baru  ini  (Islam). Karena jika hati mereka telah lunak, maka keinginan untuk dendam  dan semisalnya, dengan sendirinya akan hilang.
 Pada  waktu  setelah  kemenangan  pasukan  Islam  di  Hawazin,  pada  tahun  8  Hijriyah,  Nabi  memberikan  kepada  pemimpin-pemimpin  kabilah  sejumlah  harta  yang  sangat  banyak.  Beliau  memberikan  100  ekor  unta  masing-masing kepada  Abu Sufyan bin Harb, putranya Muawiyah, Hakim bin  Hizam,  Al-Harits  bin  Kildah,  Al-Harits  bin  Hisyam,  Suhail  bin  Amr,  Huwaithab bin Abdul Uzza, Al-Ala‟  bin Jariyah Ats-Tsaqafi, Uyainah bin  Hisn,  Al-Aqra‟  bin  Habis  At-Tamimi,  Malik  bin  Auf  An-Nashri  dan  Shafwan  bin  Umayyah.  Rasulullah  juga  memberikan  90-an  ekor  unta  kepada  masing-masing  pemuka  Quraisy,  yang  diantaranya  adalah;  Makhramah bin Naufal  Az-Zuhri, Umair bin Wahb Al-Jamhi, Hisyam bin  Amr, Sa‟id bin Yarbu‟, Addi bin Qais  dan yang lainnya.
Rasulullah  memberikan  zakat  kepada  mereka  itu  dan  juga  yang  lainnya,  dan  tidak  memberikan  bagian  ini  kepada  banyak  kaum  muslimin  yang  benar-benar  kuat  dan  tulus  keimanannya.  Meskipun  jerih  payah  dan   Imam  Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburi,  Shahih Muslim,  Juz IV, Beirut : Dar Ihya‟ at-Turats al-Arabi, hal. 1806   Muhammad Baltaji,  Metodologi Ijtihad Umar bin al-Khattab, Jakarta: Khalifa, 2005,  hal. 178.
 Ath-Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jilid III, Dar al-Fikr, hal. 331   kesibukan  mereka  berjihad  dan  berdakwah  tentunya  sangat  layak  untuk  menerima bagian tersebut.
 Di  dalam  hukum  Islam,  para  ulama‟  memberikan  pengertian  yang  berbeda-beda  tentang  muallaf.  Dalam  pandangan  ulama  Syafi‟iyah  dan  Hanafiyah,  muallaf adalah mereka yang baru masuk Islam, sehingga orangorang musyrik atau non-muslim tidak berhak mendapatkan bagian zakat dari  golongan  muallaf  meskipun  keislaman  mereka  dikehendaki.
 Sedangkan  ulama Malikiyah dan Hanabilah memasukkan orang-orang yang baru masuk  Islam dan orang-orang kafir ke dalam kategori muallaf.
 Imam  Malik  dan  sebagian  pengikutnya  serta  mayoritas  ulama  Hanafiyah  menetapkan  bahwa  bagian  muallaf  secara  mutlak  sudah  gugur  karena  Islam  setelah  wafatnya  Nabi  sudah  menemukan  momentum  kejayaannya  dan  banyaknya  jumlah  kaum  muslim,  sehingga  jumlah  mustahiq  zakat   tidak  lagi  delapan  golongan  tetapi  hanya  tujuh  golongan.
Dalil yang dijadikan argumen oleh kelompok ini adalah bahwa pada masa  Khulafaurrasyidin, keempat khalifah tidak lagi memberikan bagian muallaf  kepada yang berhak, berpijak pada perkataan Umar bin Khattab :    Muhammad Baltaji, Op.Cit., hal. 180.
 Wahbah al-Zuhayli,  al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, vol.  3 Beirut: Dar al-Fikr, 1997,  hal.  1954.  Meskipun Imam Syafi‟i mengklasifikasikan golongan muallaf kepada empat macam,  namun  keempat  macam  tersebut  seluruhnya  adalah  mereka  yang  sudah  masuk  Islam.  Lihat  Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh „ala al-Madzahib al-Arba‟ah, vol. 1, cet. III, Beirut : Dar Ihya al Turats al-„Arabi, hal. 625.
 Wahbah al-Zuhayli, Op.Cit., hal. 1954.
 Ibid, hal. 1955.
 “Kami tidak memberikan sesuatu atas (masuk) Islam, maka barangsiapa yang  ingin  (beriman)  hendaklah  ia  beriman  dan  barangsiapa  yang  ingin  (kafir)  biarlah ia kafir”.
Diriwayatkan  dari  Abdurrahman  bin  Muhammad  al-Muharibi,  dari  Hajjaj bin Dinar dari Ibnu Sirin dari „Ubaidah ia berkata :  bahwa suatu saat,  „Uyainah  bin  Hishn  dan  al-Aqra‟  bin  Habis  datang  kepada  Khalifah  Abu Bakar  untuk  meminta  bagian  zakat  mereka  dari  golongan  muallaf  berupa  tanah sebagaiman  yang telah diberikan oleh Nabi ketika beliau masih hidup.
Keduanya  berkata,  “sesungguhnya  ditempat  kami  ada  tanah-tanah  kosong,  yang  yang  tidak  berumput  dan  tidak  berfungsi,  bagaimana  jika  tanah  itu  anda  berikan  kepada  kami?”  Maka  Abu  Bakar  membuat  surat  (catatan)  untuk mereka untuk diserahkan kepada  Umar bin Khattab, ketika itu Umar  tidak  ada  disitu,  namun  ketika  mereka  menyerahkan  surat  tersebut  kepada  Umar,  ia  menolak  memberikan  zakat  kepada  mereka  dan  langsung  menyobek  surat  itu  kemudian  berkata,  “dahulu  Rasulullah  menganggap  kalian  sebagai  muallaf,  ketika  Islam  saat  itu  masih  kecil  dan  pemeluknya  masih sedikit. Sedangkan  sekarang Allah telah menjadikan Islam besar dan  jaya, maka  pergilah kalian bekerja sebagaimana kaum muslimin bekerja.”  Selanjutnya  Umar bin Khattab  mengutip al-Qur‟an  surat al-Kahfi ayat : 29  yang berbunyi :   Ibnu Katsir,  Musnad al-Faruq  Amir al-Mu‟minin,  Juz I,  Dar al-Wafa‟, hal. 259. Lihat  juga Al-Jashshash, Ahkam al-Qur‟an, jil. III, Dar al-Fikr, hal 182-183. Ahmad Amin, Fajrul Islam,  Beirut : Dar al-Kutub, 1975, hal. 238.
 Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, jilid. 6, Beirut : Dar al-Kitab al-Ilmiyah, hal. 400. Riwayat  lain mencatat bahwa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab adalah : Lihat  Wahbah  al-Zuhayli,   “Dan  katakanlah  kebenaran  itu  datangnya  dari  Tuhanmu,  Maka  barang  siapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa  yang ingin (kafir) biarlah ia kafir”.
Mendengar kata-kata Umar bin Khattab  seperti ini, mereka langsung  datang kepada Abu  Bakar dan berkata, “siapakah yang sebenarnya menjadi  khalifah, kamu atau Umar? Kami menyerahkan suratmu tetapi disobek oleh  Umar”. Maka Abu Bakar menjawab, “dia, jika ia mau”.
 Sayyid  Sabiq  menjelaskan  bahwa  ketika  Umar  bin  Khattab  mengatakan demikian, tidak ada seorang sahabat pun yang mengingkarinya.
Bahkan Abu  Bakar as-Siddiq sendiri sepakat dengan pendapatnya. Sehingga  maqalah  Umar  bin  Khattab  menjadi  ketetapan  (ijma‟)  para  sahabat  dan  dianggap menasakh bagian muallaf.
 Di  sini  Umar  bin  Khattab  mengeluarkan  satu  statemen  hukum,  bahwa al-muallafah qulubuhum tidak mendapatkan bagian zakat, yang tidak  ada satu pun dari sahabat  yang menentangnya,  bahkan mereka menyetujui  pendapat dan apa  yang  dilakukan oleh Umar.  Adakah dalam hal ini Umar  bin  Khattab  menyalahi  hukum  yang  telah  ditetapkan  al-Qur‟an?  Apakah  pemikiran  Umar  tersebut  bisa  dijadikan  dasar  hukum  untuk  tidak  memberikan hak muallaf sebagai mustahiq zakat?  Sayyid Sabiq,  Fiqh as-Sunnah, vol. 1 Beirut : Dar al -Fikr, 1992, hal. 330.  lihat juga Abu Ubaid, Al-Amwal, Dar al-Fikr, hal. 351-352, dengan matan yang berbeda.
 Sayyid  Sabiq,  Ibid,.  Bandingkan  dengan  Yusuf  Qardawi,   Hukum  Zakat,  Bogor  :  Pustaka Litera Antar Nusa, 2002, hal.563.    Keunikan  pendapat  Umar  bin  Khattab  inilah  yang  menjadi  alasan  bagi  penulis  untuk  meneliti  lebih  dalam  pada  sebuah  penelitian  dengan  judul;  Pengguguran  Hak  Muallaf  Sebagai  Mustahiq  Zakat  (Analisis  Pemikiran  Umar  bin  Khattab  Tentang  Pengguguran  Hak  Muallaf  Sebagai Mustahiq Zakat).
B.  Perumusan Masalah.
Berpijak  pada  latar  belakang  masalah  yang  telah  diuraikan  di  atas,  maka  rumusan  masalah  yang  menurut  penulis  menarik  untuk  diangkat  dalam skripsi ini adalah :.
1.  Apa  alasan  Umar  bin  Khattab  tidak  memberikan  bagian  zakat  kepada  muallaf sebagai mustahiq zakat? 2.  Bagaimana  ulama khalaf  (kontemporer)  mendudukkan pemikiran  Umar  bin  Khattab  tentang  pengguguran  hak  muallaf  sebagai  mustahiq  zakat dalam khazanah ilmu fiqh? C.  Tujuan Penelitian .
Dalam  penelitian  ini  mempunyai  beberapa  tujuan,  adapun  tujuannya antara lain :.
1.  Untuk  mengetahui  apa  alasan  Umar  bin  Khattab  tidak  memberikan  bagian zakat kepada muallaf sebagai mustahiq zakat.
2.  Untuk  mengetahui  bagaimana  ulama  khalaf  (kontemporer) mendudukkan  pemikiran  Umar  bin  Khattab  tentang  pengguguran  hak  muallaf sebagai mustahiq zakat dalam khazanah ilmu fiqh.



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi