BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Dalam kehidupan
manusia tanah sangat
penting karena fungsi
dan perannya mencakup berbagai aspek sosial, ekonomi, politik maupun budaya. Jumlah penduduk yang selalu bertambah sedangkan
lahan tanah yang sangat terbatas
ditambah dengan perkembangan
pembangunan sehingga mengakibatkan fungsi
tanah sangat dominan,
karena lahan tanah
tidak sebanding dengan kebutuhan
yang diperlukan. Oleh
karena itu masalah pertanahan
merupakan tanggung jawab
secara nasional untuk
mewujudkan cara pemanfaatan
penguasaan dan pemilikan tanah bagi
kemakmuran rakyat sebagaimana dalam
pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi : “ Bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kepentingan rakyat ” .
Kehidupan manusia
sangat erat sekali
hubungannya dengan tanah, setiap
orang pasti memerlukan
tanah, tidak hanya
dalam kehidupannya, bahkan
dalam beribadah pun manusia memerlukan tanah. Dalam kehidupan manusia
salah satu dari
persoalan yang banyak
di jumpai pada
masyarakat adalah persoalan mengenai sengketa tanah. Masalah tanah tersebut sangatlah kompleks, karena tanah adalah merupakan sumber daya dan faktor produksi Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar
Grafika, 2008, h. 59.
yang
utama, baik bagi
pembangunan maupun untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari – hari bagi semua kehidupan
masyarakat.
Persoalan
mengenai tanah dalam
kehidupan masyarakat adalah mempunyai arti
penting, karena tanah
merupakan sumber kehidupan
bagi manusia sehingga kehidupan
sebagian besar manusia tergantung pada tanah.
Tanah dapat dinilai pula suatu
harta yang permanen, berbagai jenis hak dapat melekat pada tanah, dengan
perbedaan prosedur, syarat dan ketentuan untuk memperoleh hak
tersebut. Tanah juga
dapat digunakan untuk
keperluan peribadatan dan keperluan suci lainya. Indonesia sebagai
negara yang sedang berkembang menyadari
betapa pentingnya permasalahan
tentang tanah berupaya untuk membuat aturan tentang hukum
agaria nasional yang berdasar atas hukum
adat tentang tanah,
yang sederhana dan
menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum
agama .
Sengketa tanah
merupakan persoalan yang
bersifat klasik dan
selalu terjadi dimana–mana di
muka bumi. Oleh
karena itu sengketa
yang berhubungan dengan
tanah senantiasa berlangsung
secara terus–menerus karena
setiap orang memiliki
kepentingan yang berhubungan
dengan tanah.
Salah satu
sengketa tanah yang
sering terjadi didalam
masyarakat adalah sengketa
mengenai tanah wakaf.
Mengingat akan pentingnya
persoalan mengenai pertanahan
yang berdasarkan hukum
agama, sudah diatur
dalam Adijani Al-Alabij,
Perwakafan Tanah di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997, h.
Ibid, h. 2 ketentuan pasal 49 undang-undang No 5 tahun 1960 tentang Pokok Agaria, yaitu
sebagai berikut: 1. Hak
milik tanah badan-badan
keagamaan dan sosial
sepanjang dipergunakan untuk usaha
dalam bidang keagamaan
dan sosial ,
diakui dan dilindungi. Badan-badan
tersebut dijamin pula
akan memperoleh tanah yang
cukup untuk bangunan dan
usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.
2. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan
suci lainya sebagai dimaksud dalam
pasal 14 dapat
diberikan tanah yang
di kuasai langsung
oleh Negara dengan hak pakai.
3. Perwakafan
tanah milik dilindungi
dan diatur dengan
peraturan pemerintah.
Kata wakaf
berasal dari kata
“Waqafa” dengan makna
berhenti atau diam ditempat atau
tetap berdiri atau penahanan. Sedangkan Wakaf menurut bahasa Arab
berarti “al-habsu”, yang
berasal dari kata
kerja habasayahbisuhabsan, menjauhkan
orang dari sesuatu
atau memenjarakan, kemudian kata
ini berkembang menjadi
“habbasa” dan berarti mewakafkan harta karena Allah .
Sedangkan dalam pasal 1 angka 1
Undang-undang No 41 Tahun 2004, yang dimaksud wakaf adalah sebagai berikut : “Wakaf
adalah perbuatan hukum
wakif untuk memisahkan
sebagian benda miliknya,
untuk dimanfaatkan selamanya
atau dalam jangka
waktu tertentu sesuai
kepentingannya guna keperluan
ibadah dan atau
kesejehateraan umum menurut
syariah .
Rachmadin Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2009,. h.
Adijani Al-Alabij, op. cit., h.
Rachmadi Usman, op. cit., h. 181 Dalam Buku ke III Bab I Pasal 215 angka (1)
Kompilasi Hukum Islam menjelaskan bahwa yang di maksud dengan wakaf
adalah : “Wakaf adalah perbuatan hukum
seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda
miliknya dan melembagakanya untuk
selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainya sesuai dengan ajaran Islam Jadi menurut
penjelasan diatas maka
yang dimaksud Wakaf
adalah perbuatan seseorang atau
badan hukum (wakif)
yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa
tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan
peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai
dengan ajaran agama
Islam. Sehingga dengan
adanya wakaf diperuntungkan untuk
memfasilitasi sarana ibadah,
membantu fakir miskin serta anak-anak yang terlantar.
Benda wakaf
disini adalah benda
yang di wakafkan
oleh Wakif yang memiliki daya tahan lama dan manfaat
jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi
menurut syariah. Menurut
pasal 215 angka
1 Kompilasi Hukum Islam menyatakan
bahwa benda wakaf
adalah segala benda
baik benda bergerak
atau tidak bergerak
yang memiliki daya
tahan yang tidak
hanya sekali pakai
dan bernilai menurut
ajaran Islam .
Dan benda wakaf
hanya dapat di wakafkan apabila di miliki dan dikuasai oleh Wakif
secara sempurna Agar penulisan skripsi ini tidak menyimpang dari pokok
permasalahan maka penulis
memfokuskan penelitian pada
benda tidak bergerak
yaitu mengenai Ibid.
Rachmadi Usman, op. cit., h. 67-68 tanah
yang di dalamnya dilekati oleh hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Syarat-syarat mengenai
benda yang di wakafkan
yang berupa benda
tidak bergerak yaitu
tanah maka yang
akan diwakafkan itu harus merupakan tanah hak milik atau tanah milik
yang bebas dari segala pembebanan, sitaan dan perkara . Perbuatan mewakafkan adalah perbuatan yang
suci, mulia dan terpuji sesuai dengan ajaran agama Islam.
Berhubungan dengan
itu maka tanah
yang hendak di
wakafkan itu betul-betul
merupakan milik bersih
dan tidak ada
cacatnya dari sudut kepemilikan. Untuk
melaksanakan perwakafan tanah
itu wakif harus
dulu mengucapakan ikrar wakaf yaitu di depan Pejabat Pembuat Akta Ikrar
Tanah Wakaf (PPAIW). Menurut Peraturan pemerintah Nomor 1 Tahun 1978 maka kepala Kantor
Urusan Agama (KUA)
ditunjuk sebagai PPAIW
sedangkan untuk administrasi perwakafan
diselenggarakan oleh Kantor
Urusan Agama (KUA) Kecamatan,
dalam hal suatu
kecamatan tidak ada
Kantor Urusan Agamanya, maka
Kanwil Depag menunjuk
Kepala KUA terdekat
sebagai PPAIW di Kecamatan
tersebut. Dalam hal
ini PPAIW berkewajiban
untuk meneliti kehendak wakif,
meneliti dan mengesahkan
Nadzir, meneliti saksi Ikrar
wakaf, menyaksikan pelaksanaan
ikrar wakaf, membuat
akte ikrar wakaf, menyampaikan
akta ikrar wakaf
dan salinannya selambat-lambatnya dalam waktu
1 bulan sejak
dibuatnya, menyelenggarakan, daftar
akta ikrar wakaf, menyimpan dan
memelihara akte dan daftaranya.
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, h. 495.
Menurut
ketentuan pasal 40
undang-undang No 41
tahun 20 menjelaskan bahwa
setelah benda wakaf yang sudah di wakafkan itu dilarang untuk dijadikan
jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar, atau dialihkan dalam
bentuk pengalihan hak
lainya . Menurut
ketentuan pasal tersebut maka
seorang nadzir atau
pihak yang menerima
benda wakaf dari wakif
tersebut harus dapat
menjaga tanah wakaf
itu. Apabila dalam perwakafan seorang
nadzir telah melanggar
perjanjian yang telah
dibuat dengan wakif
sehingga menimbulkan suatu
sengketa maka penyelesainya yang harus dilakukan oleh pihak yang merasa di
rugikan atau seorang wakif diselesaikan
dengan cara musyawarah
bila dengan jalan
musyawarah tidak berhasil
maka upaya terakhir
adalah melalui sidang
di Pengadilan Agama.
Hal ini
di atur dalam
pasal 62 Undang-undang
No 41 Tahun
2004 yaitu sebagai berikut : 1)
Penyelesian sengketa perwakafan
dapat di tempuh
melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.
2) Apabila
cara penyelesianya sengketa
sebagaimana di maksud
pada ayat (1)
tidak berhasil maka
dapat di selesaikan
melalui mediasi, arbitrase atau pengadilan.” Pengadilan yang
berwenang menyelesaikan sengketa
perwakafan adalah Pengadilan Agama
sebagaimana dalam pasal
49 Undang-undang No Tahun
2006 yaitu: Rachmadi Usman, op. cit.,
h. 1 Ibid, h. 1 Ahmad
Rofiq, op. cit., h. 524 “Pengadilan
Agama bertugas dan berwenang yaitu memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara
ditingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam dibidang: a.
Perkawinan, b. Waris, c.
Wasiat, d. Hibah, e. Wakaf, f.
Zakat, g. Infaq.
h. Shadaqah; dan i. Ekonomi Syari'ah.
Ketentuan ini
memberi wewenang kepada
Pengadilan Agama untuk sekaligus memutuskan
sengketa milik atau
keperdataan lainya yang
terkait dengan obyek sengketa
antara orang-orang yang beragam Islam.
Sehubungan dengan latar
belakang masalah tersebut
pada dasarnya dalam
pengurusan tanah wakaf itu masih
ada masalah yang di hadapi oleh
wakif dengan Wakif yang ingin
mewakafkan hal ini terjadi di Kecamatan Pedurungan Berdasarkan hal-hal
tersebut maka penulis
mencoba untuk meninjau
lebih jauh melalui penulisan
skripsi dengan Judul
“PERANAN PPAIW DALAM MENCEGAH TERJADINYA
SENGKETA TANAH WAKAF
(Studi Kasus di Kecamatan Pedurungan Kota Semarang)”.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi