Rabu, 27 Agustus 2014

Skripsi Syariah: PERANAN PPAIW DALAM MENCEGAH TERJADINYA SENGKETA TANAH WAKAF

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang Masalah.
Dalam  kehidupan  manusia  tanah  sangat  penting  karena  fungsi  dan perannya mencakup berbagai aspek sosial,  ekonomi, politik maupun budaya. Jumlah  penduduk yang selalu bertambah sedangkan lahan tanah yang sangat terbatas  ditambah  dengan  perkembangan  pembangunan  sehingga mengakibatkan  fungsi  tanah  sangat  dominan,  karena  lahan  tanah  tidak sebanding  dengan  kebutuhan  yang  diperlukan.  Oleh  karena  itu  masalah  pertanahan  merupakan  tanggung  jawab  secara  nasional  untuk  mewujudkan  cara pemanfaatan penguasaan dan  pemilikan tanah bagi kemakmuran rakyat  sebagaimana dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi : “ Bumi, air dan kekayaan alam yang  terkandung didalamnya  dikuasai oleh  Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kepentingan rakyat ”  .

Kehidupan  manusia  sangat  erat  sekali  hubungannya  dengan  tanah,  setiap  orang  pasti  memerlukan  tanah,  tidak  hanya  dalam  kehidupannya,  bahkan  dalam beribadah pun manusia memerlukan tanah. Dalam kehidupan  manusia  salah  satu  dari  persoalan  yang  banyak  di  jumpai  pada  masyarakat  adalah  persoalan mengenai sengketa tanah.  Masalah tanah tersebut sangatlah  kompleks, karena tanah adalah  merupakan sumber daya dan faktor produksi   Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, h. 59.
 yang  utama,  baik  bagi  pembangunan  maupun  untuk  memenuhi  kebutuhan  hidup sehari – hari bagi semua kehidupan masyarakat.
 Persoalan  mengenai  tanah  dalam  kehidupan  masyarakat  adalah mempunyai  arti  penting,  karena  tanah  merupakan  sumber  kehidupan  bagi manusia  sehingga kehidupan sebagian besar manusia tergantung pada tanah.
Tanah dapat dinilai pula suatu harta yang permanen, berbagai jenis hak dapat melekat pada tanah, dengan perbedaan prosedur, syarat dan ketentuan untuk memperoleh  hak  tersebut.  Tanah  juga  dapat  digunakan  untuk  keperluan  peribadatan dan  keperluan suci lainya. Indonesia sebagai negara yang sedang  berkembang  menyadari  betapa  pentingnya  permasalahan  tentang  tanah  berupaya untuk membuat aturan tentang hukum agaria nasional yang berdasar  atas  hukum  adat  tentang  tanah,  yang  sederhana  dan  menjamin  kepastian  hukum bagi seluruh  rakyat Indonesia dengan tidak mengabaikan unsur-unsur  yang bersandar pada hukum agama  .
Sengketa  tanah  merupakan  persoalan  yang  bersifat  klasik  dan  selalu terjadi  dimana–mana  di  muka  bumi.  Oleh  karena  itu  sengketa  yang  berhubungan  dengan  tanah  senantiasa  berlangsung  secara  terus–menerus  karena  setiap  orang  memiliki  kepentingan  yang  berhubungan  dengan  tanah.
Salah  satu  sengketa  tanah  yang  sering  terjadi  didalam  masyarakat  adalah  sengketa  mengenai  tanah  wakaf.  Mengingat  akan  pentingnya  persoalan  mengenai  pertanahan  yang  berdasarkan  hukum  agama,  sudah  diatur  dalam   Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,  1997, h.
 Ibid, h. 2   ketentuan pasal 49 undang-undang  No 5 tahun 1960 tentang Pokok Agaria, yaitu sebagai berikut:  1.  Hak  milik  tanah  badan-badan  keagamaan  dan  sosial  sepanjang dipergunakan  untuk  usaha  dalam  bidang  keagamaan  dan  sosial  ,  diakui dan  dilindungi.  Badan-badan  tersebut  dijamin  pula  akan  memperoleh tanah  yang  cukup  untuk  bangunan  dan  usahanya  dalam  bidang keagamaan dan sosial.
2.  Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainya sebagai dimaksud dalam  pasal  14  dapat  diberikan  tanah  yang  di  kuasai  langsung  oleh Negara dengan hak pakai.
3.  Perwakafan  tanah  milik  dilindungi  dan  diatur  dengan  peraturan pemerintah.
Kata  wakaf  berasal  dari  kata  “Waqafa”  dengan  makna  berhenti  atau diam ditempat atau tetap berdiri atau penahanan. Sedangkan Wakaf menurut bahasa  Arab  berarti  “al-habsu”,  yang  berasal  dari  kata  kerja  habasayahbisuhabsan,  menjauhkan  orang  dari  sesuatu  atau  memenjarakan,  kemudian kata  ini berkembang menjadi  “habbasa”  dan berarti mewakafkan  harta karena Allah  .
Sedangkan dalam pasal 1 angka 1 Undang-undang No 41 Tahun 2004, yang dimaksud wakaf adalah sebagai berikut :  “Wakaf  adalah  perbuatan  hukum  wakif  untuk  memisahkan  sebagian  benda  miliknya,  untuk  dimanfaatkan  selamanya  atau  dalam  jangka  waktu  tertentu  sesuai  kepentingannya  guna  keperluan  ibadah  dan  atau  kesejehateraan  umum menurut syariah  .
 Rachmadin Usman,  Hukum Perwakafan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2009,. h.
 Adijani Al-Alabij, op. cit., h.
 Rachmadi Usman, op. cit., h. 181   Dalam Buku ke III Bab I Pasal 215 angka (1) Kompilasi Hukum  Islam  menjelaskan bahwa yang di maksud dengan wakaf adalah  : “Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan  hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakanya  untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan umum lainya  sesuai dengan ajaran Islam Jadi  menurut  penjelasan  diatas  maka  yang  dimaksud  Wakaf  adalah perbuatan  seseorang  atau  badan  hukum  (wakif)  yang  memisahkan  sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai  dengan  ajaran  agama  Islam.  Sehingga  dengan  adanya  wakaf diperuntungkan  untuk  memfasilitasi  sarana  ibadah,  membantu  fakir  miskin serta anak-anak yang terlantar.
Benda  wakaf  disini  adalah  benda  yang  di  wakafkan  oleh  Wakif  yang memiliki daya tahan lama dan manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi  menurut  syariah.  Menurut  pasal  215  angka  1  Kompilasi  Hukum  Islam  menyatakan  bahwa  benda  wakaf  adalah  segala  benda  baik  benda  bergerak  atau  tidak  bergerak  yang  memiliki  daya  tahan  yang  tidak  hanya  sekali  pakai  dan  bernilai  menurut  ajaran  Islam  .  Dan  benda  wakaf  hanya  dapat di wakafkan  apabila di miliki dan dikuasai oleh Wakif secara sempurna  Agar penulisan  skripsi ini tidak menyimpang dari pokok permasalahan  maka  penulis  memfokuskan  penelitian  pada  benda  tidak  bergerak  yaitu  mengenai   Ibid.
 Rachmadi Usman, op. cit., h. 67-68   tanah  yang di dalamnya dilekati oleh hak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan  yang  berlaku.  Syarat-syarat  mengenai  benda  yang  di wakafkan  yang  berupa  benda  tidak  bergerak  yaitu  tanah  maka  yang  akan diwakafkan itu harus merupakan tanah hak milik atau tanah milik yang bebas dari segala pembebanan, sitaan dan perkara  . Perbuatan mewakafkan adalah perbuatan yang suci, mulia dan terpuji sesuai dengan ajaran agama Islam.
Berhubungan  dengan  itu  maka  tanah  yang  hendak  di  wakafkan  itu  betul-betul  merupakan  milik  bersih  dan  tidak  ada  cacatnya  dari  sudut  kepemilikan.  Untuk  melaksanakan  perwakafan  tanah  itu  wakif  harus  dulu mengucapakan ikrar wakaf yaitu di depan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Tanah Wakaf (PPAIW). Menurut Peraturan pemerintah Nomor 1 Tahun 1978 maka kepala  Kantor  Urusan  Agama  (KUA)  ditunjuk  sebagai  PPAIW  sedangkan untuk  administrasi  perwakafan  diselenggarakan  oleh  Kantor  Urusan  Agama (KUA)  Kecamatan,  dalam  hal  suatu  kecamatan  tidak  ada  Kantor  Urusan Agamanya,  maka  Kanwil  Depag  menunjuk  Kepala  KUA  terdekat  sebagai PPAIW  di  Kecamatan  tersebut.  Dalam  hal  ini  PPAIW  berkewajiban  untuk meneliti  kehendak  wakif,  meneliti  dan  mengesahkan  Nadzir,  meneliti  saksi Ikrar  wakaf,  menyaksikan  pelaksanaan  ikrar  wakaf,  membuat  akte  ikrar wakaf,  menyampaikan  akta  ikrar  wakaf  dan  salinannya  selambat-lambatnya dalam  waktu  1  bulan  sejak  dibuatnya,  menyelenggarakan,  daftar  akta  ikrar wakaf, menyimpan dan memelihara akte dan daftaranya.
 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, h. 495.
 Menurut  ketentuan  pasal  40  undang-undang  No  41  tahun  20 menjelaskan bahwa setelah benda wakaf yang sudah di wakafkan itu dilarang untuk dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar, atau dialihkan  dalam  bentuk  pengalihan  hak  lainya  .  Menurut  ketentuan  pasal tersebut  maka  seorang  nadzir  atau  pihak  yang  menerima  benda  wakaf  dari wakif  tersebut  harus  dapat  menjaga  tanah  wakaf  itu.  Apabila  dalam  perwakafan  seorang  nadzir  telah  melanggar  perjanjian  yang  telah  dibuat  dengan  wakif  sehingga  menimbulkan  suatu  sengketa  maka  penyelesainya  yang harus dilakukan oleh pihak yang merasa di rugikan atau  seorang wakif  diselesaikan  dengan  cara  musyawarah  bila  dengan  jalan  musyawarah  tidak  berhasil  maka  upaya  terakhir  adalah  melalui  sidang  di  Pengadilan  Agama.
Hal  ini  di  atur  dalam  pasal  62  Undang-undang  No  41  Tahun  2004  yaitu  sebagai berikut :  1)  Penyelesian  sengketa  perwakafan  dapat  di  tempuh  melalui  musyawarah  untuk mencapai mufakat.
2)  Apabila  cara  penyelesianya  sengketa  sebagaimana  di  maksud  pada  ayat  (1)  tidak  berhasil  maka  dapat  di  selesaikan  melalui  mediasi,  arbitrase  atau pengadilan.” Pengadilan  yang  berwenang  menyelesaikan  sengketa  perwakafan adalah  Pengadilan  Agama  sebagaimana  dalam  pasal  49  Undang-undang  No  Tahun 2006 yaitu:   Rachmadi Usman, op. cit., h. 1  Ibid,  h. 1  Ahmad Rofiq, op. cit., h. 524   “Pengadilan Agama bertugas dan berwenang yaitu memeriksa, memutus dan menyelesaikan  perkara  ditingkat  pertama  antara  orang-orang  yang  beragama Islam dibidang:  a.  Perkawinan,  b.  Waris, c.  Wasiat, d.  Hibah, e.  Wakaf, f.  Zakat, g.  Infaq.
h.  Shadaqah; dan i.  Ekonomi Syari'ah.
Ketentuan  ini  memberi  wewenang  kepada  Pengadilan  Agama  untuk  sekaligus  memutuskan  sengketa  milik  atau  keperdataan  lainya  yang  terkait  dengan obyek sengketa antara orang-orang yang beragam Islam.  Sehubungan  dengan  latar  belakang  masalah  tersebut  pada  dasarnya  dalam  pengurusan  tanah wakaf itu masih ada masalah yang di hadapi oleh  wakif  dengan Wakif yang ingin mewakafkan hal ini terjadi di Kecamatan Pedurungan Berdasarkan  hal-hal  tersebut  maka  penulis  mencoba  untuk  meninjau  lebih  jauh  melalui  penulisan  skripsi  dengan  Judul  “PERANAN  PPAIW  DALAM  MENCEGAH  TERJADINYA  SENGKETA  TANAH  WAKAF  (Studi Kasus di Kecamatan Pedurungan Kota Semarang)”.



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi