BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah .
Islam adalah
agama yang kaffah
(sempurna). Islam tidak
hanya agama yang sarat dengan nilai-nilai normatif, tetapi
Islam secara integral juga memiliki nilai-nilai sosial
yang diharapkan dapat
menghancurkan ketimpangan struktur sosial
yang terjadi saat
ini. Islam juga
berkehendak untuk mewujudkan kesejahteraan
masyarakat dengan turut
berpartisipasi dalam berbagai
problem sosial kemasyarakatan.
Wakaf merupakan
salah satu bagian
yang sangat penting
dari hukum Islam, ia mempunyai jalinan hubungan antara
kehidupan spiritual dengan bidang sosial
ekonomi masyarakat muslim.
Wakaf selain
berdimensi ubudiyah ilahiyah,
ia juga berfungsi
sosial kemasyarakatan. Ibadah
wakaf merupakan manifestasi
dari rasa keimanan seseorang
yang mantap dan
rasa solidaritas yang
tinggi terhadap sesama
umat manusia.
Ciri utama
wakaf yang membedakan
adalah ketika wakaf
dilaksanakan terjadi pergeseran
kepemilikan dari milik
pribadi menuju kepemilikan masyarakat
muslim yang diharapkan
abadi dan memberikan
manfaat secara berkelanjutan.
Abdul Halim, Hukum Perwakafan di
Indonesia, Ciputat: Ciputat Pres, 2005, hlm.3 Dalam sebuah hadits diterangkan Artinya : Menceritakan kepadaku Yahya bin Ayyub,
Qutaibah ( Ibnu Sa’id ), dan Ibnu Hujrin
mereka berkata, telah menceri takan
kepada kami Isma’il (Ibnu
Ja’far) dari al-Allak
dari ayahnya, dari
Abi Hurairah sesungguhnya Rasulallah
SAW bersabda: “
Apabila manusia meninggal
dunia, maka putuslah
amalnya, kecuali dari
tiga perkara : shadaqah Jariyah,
ilmu yang bermanfaat,
dan anak shaleh
yang mendoakan orang tuanya”.
(HR. Muslim) Hadits ini menyebutkan
bahwa shadaqah jariyah
merupakan salah satu amal
yang akan selalu mengalir manfaat dan pahalanya. Sedangkan inti shadaqah jariyah sebagaimana disebut oleh ulama fikih adalah wakaf, karena manfaatnya berlangsung lama dan bisa diberdayakan oleh
masyarakat umum.
Wakaf merupakan
salah satu perbuatan
hukum yang sudah
melembaga dan dipraktekkan
di Indonesia. Pengaturan
tentang sumber hukum,
tata cara, prosedur dan praktik
perwakafan dalam bentuk peraturan yakni
sejak Tahun 1960 dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Pokok-Pokok Agraria, Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977, Peraturan Menteri dalam negeri
Nomor 6 Tahun
1977 tentang Tata
Cara Pendaftaran Tanah
Mengenai Imam Abi al-Husain
Muslim bin al-Hujjaj
bin Muslim, Al-Jami’
al-Shahih al-Mushamma Shahih Muslim, Semarang: Toha Putra, Juz 3,
t,th, hlm.7Perwakafan Tanah Milik,
Inpres Nomor 28
Tahun 1991 tentang
Kompilasi Hukum Islam, dan
Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.
Pelaksanaan wakaf
yang biasa dilaksanakan
sejak dahulu adalah
hanya dengan pertimbangan agama
semata tanpa diiringi dengan bukti tertulis. Karena pelaksanaan wakaf tidak melalui administrasi
tertulis, maka dikhawatirkan terjadi gugatan
atau beralih fungsi, dan akhirnya status wakaf kabur.
Kejadian itu
menimbulkan keresahan dikalangan
umat Islam. Di
lain pihak banyak terdapat
persengketaan tanah disebabkan tidak jelasnya status tanah tersebut,
sehingga apabila tidak
segera diadakan pengaturan,
maka tidak saja mengurangi kesadaran
keagamaan dari mereka
yang beragama Islam,
bahkan lebih jauh akan menghambat
usaha pemerintah untuk menggalakkan semangat ke arah bimbingan kewajiban
beragama.
Dengan melihat
kemungkinan-kemungkinan yang terjadi,
kita optimis dengan adanya aturan-aturan seperti dikemukakan diatas bila diikuti oleh semua pihak,
kemungkinan terjadi gugatan
terhadap wakaf semakin
kecil serta kelangsungan wakaf semakin terjamin.
Kegiatan mewakafkan
tanah milik sebetulnya
sudah sah sesaat
setelah wakif selesai
mengucapkan Ikrar Wakaf kepada orang
yang bertugas mengelola tanah
wakaf (Nadzir) dihadapan
PPAIW dan disaksikan
oleh dua orang
saksi.
Namun demikian untuk urusan
administrasi dan hukum pertanahan keabsahannya itu
belumlah sempurna, artinya
belum bisa memperoleh
kepastian dan perlindungan
hukum apabila perwakafan
tersebut tidak sampai
diterbitkannya Abdul Halim,
op.cit, hlm.5 Akta Ikrar Wakaf oleh
PPAIW di KUA dan sertifikat tanah wakaf oleh Kepala Kantor Pertanahan.
Dalam Undang-Undang
Nomor 41 Tahun
2004 pasal 32
disebutkan bahwa PPAIW
atas nama Nadzir
mendaftarkan harta benda
wakaf kepada instansi
yang berwenang paling
lambat 7 (tujuh)
hari kerja sejak
Akt a Ikrar Wakaf ditanda tangani.
Dari keterangan
di atas, diperoleh
gambaran betapa pentingnya kedudukan
wakaf dalam masyarakat
Islam. Oleh karena
itu, wakaf mendapat perhatian
serius dikalangan ahli
hukum Islam, baik
dari segi persyaratan
yang menyangkut dengan
sah dan batalnya,
maupun dari segi
efisiensi pendayagunaannya. Dalam
buku-buku fiqih, wakaf mendapat perhatian tersendiri dan teorinya dibicarakan secara rinci.
Namun dalam
prakteknya dikalangan umat
Islam, wakaf mempunyai banyak permasalahan. Permasalahan ini bukan
hanya muncul dalam masyarakat perkotaan saja,
tetapi juga masyarakat
pedesaan. Di antara
permasalahan yang dihadapi
adalah tidak jelasnya
status tanah wakaf
yang diwakafkan sebelum adanya ketentuan persertifikatan atau
pendaftaran tanah wakaf secara resmi. Hal ini terjadi di Kecamatan Banjarejo Kabupaten
Blora, yang mana masih ada tanah wakaf
di daerah tersebut
belum bersertifikat atau
belum sempurna persertifikatannya, yakni hanya sampai
diikrarkan di KUA. Dari keterangan yang
penulis
peroleh dari KUA
Banjarejo dan Kantor
Desa (bagi yang
belum didaftarkan) adalah sebagai berikut: dari 147
bidang tanah wakaf, jumlah tanah Departemen Agama
(Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam Tahun
2006), Peraturan Perundangan
Perwakafan ,hlm.15 wakaf yang
belum didaftarkan sebanyak
83 bidang, yang
sudah sampai ikrar wakaf
sebanyak 43 bidang, dan yang sudah disertifikatkan di Badan Pertanahan Nasional
sebanyak 21 bidang.
Keadaan seperti ini
akan berakibat fatal
apabila dikemudian hari
seseorang atau ahli
waris tidak mengakui
adanya ikrar wakaf dari wakif
dan akan menggugat
tanah yang dahulunya
diwakafkan serta tidak mempunyai bukti
otentik, meskipun agama
telah mengesahkan wakaf,
seperti dilakukan di
Kecamatan Banjarejo Kabupaten
Blora, tetapi Negara mempunyai aturan yang harus dipatuhi dan dilaksanakan
oleh setiap warga Negaranya.
Dari uraian
di atas akan
menjadi menarik apabila
dijadikan suatu penelitian,
sehingga dapat mengetahui
bentuk kegiatan masyarakat
serta alasan yang
melatarbelakangi
permasalahan tentang sertifikasi
tanah wakaf di Kecamatan Banjarejo
Kabupaten Blora. Untuk
itulah penulis akan
membahas lebih lanjut
dalam skripsi yang
berjudul “Sertifikasi Tanah
Wakaf (Studi Kasus di Kecamatan Banjarejo Kabupaten
Blora).” B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar
belakang masalah di
atas, selanjutnya penulis
akan merumuskan masalah sebagai
berikut :.
1. Bagaimana
pelaksanaan sertifikasi tanah
wakaf di Kecamatan
Banjarejo Kabupaten Blora? 2. Faktor-faktor
apa yang melatarbelakangi rendahnya
sertifikasi tanah wakaf di
Kecamatan Banjarejo Kabupaten Blora? 3. Bagaimana status hukum tanah wakaf yang belum
bersertifikat di Kecamatan Banjarejo
Kabupaten Blora? C. Tujuan Penelitian Tujuan
yang ingin diperoleh dari penelitian ini adalah 1. Mengetahui
pelaksanaan sertifikasi tanah
wakaf di Kecamatan
Banjarejo Kabupaten Blora.
2. Mengetahui
faktor-faktor yang melatarbelakangi rendahnya
sertifikasi tanah wakaf di Kecamatan Banjarejo Kabupaten Blora.
3. Mengetahui status hukum tanah wakaf yang
belum bersertifikat di Kecamatan Banjarejo
Kabupaten Blora.
Download lengkap Versi PDF
halo kak,, mau lihat 2 kok ndakb bisa ya?
BalasHapus