BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah .
Pernikahan merupakan
media untuk mencapai
tujuan Syari‟at Islam yang
salah satunya adalah bentuk aktif-ofensif perlindungan keturunan (hifzh an-nasl),
demi melestarikan keturunan
dan menghindari kesyubhatan (tercemar) dalam penentuan nasab. Oleh karena itu,
penyaluran nafsu biologis manusia harus
dengan batas koridor agama, sehingga terhindar dari perangkap perbuatan mesum atau zina di luar pagar
pernikahan.
Bahkan Rasulullah Saw. mendorong untuk menikah bagi kaum
muda yang tak mampu mengendalikan
dorongan biologisnya, dengan sabdanya : Artinya : “Dari Yahya bin Yahya
at-Tamimi dan abu Bakar
bin abi Syaibah dan
Muhammad bin al-„Ala‟i
al-Mahdaniy semunya dari
abi Muawiyyah (sedangkan lafaznya dari yahya). Telah
mengabarkan Abu Yasid,
Islam Akomodatif: Rekonstruksi
Pemahaman Islam Se bagai
Agama Universal,Yogyakart; LKiS,
2004, hlm.
Imam Muslim, Shahih Muslim, Beirut: Daar Ihya‟
at-Turats al-„Arabi, t.th, hlm. 1018.
1 kepada
kita abu Muawiyyah
dari A‟masy dai
Ibrahim dari „alQomah
berkata: kemarin saya
dengan „Abdillah di
kota Mina maka
Utsman menemuinya kemudian
bersamanya mengabarkan maka
berkata Utsman kepada
„Abdillah: wahai bapaknya Abdurrahman, adakah kita telah menikahkan kamu
dengan Jariyah Syabbah semoga dia mengingatkan kamu kepada
sebagian perkara yang telah
berlalu dari zaman
mu. Maka Abdullah
berkata: Apabila kamu
telah berbicara seperti
itu telah berbicara
kepada kita Rasulullah
Saw: Wahai pemuda,
barang siapa di
antara kalian sudah mampu untuk
menikah, nikahlah, karena nikah itu dapat mengendalikan
mata (yang jalang)
dan memelihara kesucian
kehormatan (dari berzina),
dan barang siapa
yang belum siap, hendaknya ia berpuasa, karena puasa bisa
menjadi obat (dari
dorongan nafsu)” (H.R.
Bukhari Muslim).
( HR.
Muslim) Status anak
dalam hukum keluarga
dapat dikategorisasikan menjadi dua macam yaitu: anak yang sah dan anak yang
tidak sah. Pertama, Definisi mengenai
anak sah diatur
dalam UU No
1 Tahun 1974
pada Pasal 42
yang berbunyi: “ Anak yang sah adalah anak yang di lahirkan
dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah”.
Sedangkan
perkawinan yang diakui
di Indonesia ialah
perkawinan yang dilakukan
menurut hukum masing -masing agamanya
dan kepercayaannya, dan
di catat menurut
peraturan perundang undangan
yang berlaku Pasal 2 UU No.1 tahun 1974.
Dalam
pandangan fikih anak
yang dianggap sah,
jika terjadi dalam perkawinan
antara suami dan istri yang sah dan kelahiran anak tersebut sesuai dengan batas minimal kehamilan. Jumhur ulama‟ menetapkan batas
minimal kehamilan adalah
selama 6 bulan.
Dasarnya adalah firman
Allah surah alAhqaf ayat Baca
lebih lanjut: Amir Syarifuddin,
Hukum Perkawinan Islam
Di Indonesia: Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan,
Jakarta; kencana, 2009, hlm 42-44 Tim
Penyusun: Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta:
Departemen Agama R.I Direktorat Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000 hlm. 1
Ibid, hlm 117 Artinya:
mengandung dan menyapih itu selama tiga puluh bulan.
Selanjutnya di dalam surah Luqman ayat 14
Allah SWT. Berfirman: Artinya: Dan kami
perintahkan kepada manusia
terhadap dua orang
ibu bapaknya; ibunya
telah mengandung dalam
keadaan lemah dan bertambah lemah,
dan menyapihnya dalam
dua tahun. Bersyukur kepada-Ku lah kembalimu.
Pada
surah al-Ahqaf tersebut
menjelaskan secara kumulatif,
jumlah mengandung dan
menyapih yaitu 30
(tiga puluh) bulan.
Sedangkan dalam surat
Luqman menerangkan batas
maksimal menyapih adalah
2 tahun (24 bulan). Jadi
masa hamil yang
paling sedikit adalah
30 bulan dikurangi
24 bulan sama dengan 6 bulan.
Apabila terjadi perkawinan antara suami dan
istri secara sah, kemudian istri
mengandung dan melahirkan anaknya, suami dapat mengingkari kesahan anak itu apabila: a. Istri
melahirkan anak sebelum masa kehamilan b. Istri melahirkan anak setelah batas waktu
maksimal masa kehamilan dari masa
perceraian.
Khadim Al Haramain Asy Syarifain, Fahd Ibn Abdl Al Aziz Al Sa‟ud, Al-Qur‟an dan Terjemahnya,
Kementrian Urusan Agama
Islam, Wakaf, Da‟wah
Dan Irsyad Kerajaan
Saudi Arabia. hal. 8 Ibid,
hlm. 6 Ahmad Rafiq,
Hukum Islam Di Indonesia,
Jakarta; Rajawali Pers,
1998, hlm. 2 Faturrahman
Djamil, Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat Hukumnya: Problematika Hukum Islam Kontemporer, Chuzaimah T Yanggo
dan Hafiz Anshari AZ (pd), Jakarta; firdaus, 1999 hlm.109 Menurut hukum perdata seorang anak sah (wetig
kind) ialah anak yang dianggap lahir
dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya, sehubungan dengan
itu, Undang-undang telah
menetapkan bahwa tenggang
waktu kandungan seseorang
paling lama adalah 300 hari dan paling pendek adalah 180
hari. Maka anak
yang dilahirkan sebelum
lewat 180 hari
setelah hari perkawinan, suami berhak menyangkal sahnya
anak itu. Kecuali, jika ia sudah mengetahui bahwa
istrinya mengandung sebelum
pernikahan dilangsungkan atau jika suami hadir pada waktu dibuatnya
surat kelahiran dan surat kelahiran itu turut
ditandatanganinya. Dalam hal tersebut sang
suami dianggap telah menerima
dan mengakui anak yang lahir itu sebagai anaknya sendiri.
Begitu juga jika
seorang anak yang
lahir 300 hari
setelah perkawinan orang
tuanya dihapuskan, maka anak itu
merupakan anak yang tidak sah.
Kedua, Anak
hasil hubungan di
luar nikah dalam
pandangan Islam disebut dengan istilah anak zina (walad al-zina), anak tabi‟y atau anak li‟an dan dianggap sebagai anak yang tidak sah.
Sedangkan dalam KUH perdata (Burgelijk Wetboek) anak tersebut dinamakan “naturlijk kind” anak itu dapat diakui atau tidak diakui oleh ayah atau ibunya.
Anak dari
hasil hubungan luar
nikah tersebut menjadi
problematika hukum tersendiri
atas kedudukannya dalam
hal keperdataannya. Menurut Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet ke
31, Jakarta: Inter Massa, 2003 hlm Secara etimologis
zina berasal dari
bahasa Arab yang
artinya persetubuhan di
luar pernikahan. Dalam bahasa
Inggris kata zina disebut sebagai fornication
yang artinya persetubuhan di
antara orang dewasa yang belum kawin dan
adultery yang artinya
persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki
dengan perempuan yang
bukan suami istri
dan salah satu
atau keduanya sudah terikat dengan
perkawinan dengan suami/istri
lain. Baca lebih
lanjut: Fadhel llahi,
Zina, (terj), Qisthi
Press, Jakarta; 2004, hal.7,
Oemar Seno Adji,
Hukum (Acara) Pidana
Dalam Prospeksi, Cet. Ke-2, Erlangga; Jakarta 1976, hal 49- Tim Direktorat Pembinaan Peradilan Agama,
Analisa Hukum Islam Tentang Anak Luar Nikah,
Jakarta: 2004, hal. 49 Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai sumber
rujukan hukum umat Islam di Indonesia
sekaligus referensi keputusan hukum di lembaga Pengadilan Agama menjelaskan: Pada
pasal 100 KHI
berbunyi: ”Anak yang
lahir di luar hubungan
perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.
Maka, anak tersebut hanya ditetapkan
sebagai anak dari seorang ibu. Secara tersurat di jelaskan pula
pada Pasal 43 ayat (2) UU No.1 Tahun
1974 yang berbunyi: “Anak yang di lahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan
keluarga ibunya ”.
Di sinilah letak permasalahannya, di mana
anak zina tidak memiliki hubungan nasab dengan ayah kandungnya maka
akan gugur dengan sendirinya segala
kewajiban sang ayah yang merupakan hak dari sang anak. Oleh karena itu tanggung jawab atas keperluan anak, baik
materiil maupun spiritual adalah ibunya dan
keluarga ibunya saja,
demikian pula halnya
dengan hak waris mewarisi,
sang anak juga akan kehilangan haknya
untuk mendapatkan wali nasab pada
saat pernikahan. Hal
demikian dikarenakan dalam
pandangan Islam anak
di luar pernikahan
atau anak zina
dianggap sebagai anak
yang tidak sah.
Jika diamati
kondisi yang demikian
itu akan sangat
kontra produktif dengan UU perlindungan anak No 23 tahun 2002.
sebagaimana tercantum di bawah ini: Amiur Nuruddin , Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi Kritis
Perkembangan Hukum Islam
Dari Fikih UU
No 1/1974 Sampai
KHI, Kencaran, Jakarta; 2006, hal. 29 Tim
Penyusun: Kompilasi Hukum
Islam, Jakarta: Departemen
Agama R.I Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,
1997. hlm.
Tim Penyusun : Bahan Penyuluhan Hukum, Op.Cit,
hlm. 1 Tim Direktorat Pembinaan
Peradilan Agama, Op.Cit , hal. 50 Pasal
“Setiap
anak berhak untuk
beribadah menurut agamanya,
berpikir, dan berekspresi sesuai
dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.” Pasal “Setiap anak berhak untuk mengetahui orang
tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh
orang tuanya sendiri.” Pasal “Setiap anak
berhak memperoleh pendidikan
dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat
kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya” Oleh karena itu
sudah semestinya anak selaku tunas bangsa mendapat perlindungan
secara hukum baik
dari orang tua,
keluarga, masyarakat dan Negara. Sebagaimana
diatur dalam Undang-undang
yang mengatur hak-hak anak atas kesejahteraan, yakni sebagai
berikut: a. “Anak
berhak atas kesejahteraan, perawatan,
asuhan dan bimbingan “(pasal 1 angka 32 PP No. 2 Tahun 1988) b. “Hak
atas pemeliharaan dan
perlindungan” (Pasal 2
ayat 3 Undangundang No. 4 Tahun 1979) c. “Hak mendapatkan pertolongan pertama” (Pasal
3 Undang-undang No. 4 Tahun 1979) d.
“Hak memperoleh asuhan” (Pasal 4 ayat 1 Undang-undang No. 4 Tahun 1979) Hal tersebut menimbulkan paradoks
antara UU perlindungan anak No 23 tahun 2002 dengan No.1 tahun 1974 dan Kompilasi
Hukum Islam (KHI).
Di satu
sisi adanya perlindungan
terhadap hak-hak anak,
namun di sisi
lain justru anak
kehilangan haknya karena
perbedaan status yang
dianggap anak tidak
sah disebabkan karena
hubungan luar nikah
ia menjadi kehilangan hubungan nasab (perdata) dengan sang ayah
kandungnya.
Akan tetapi
ada salah satu
alternatif solusi untuk
mendapatkan hubungan nasab
antara anak di
luar pernikahan dengan
ayah kandungnya, Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung; 2003 hal 80 yaitu dengan cara pengakuan anak. UU perdata
mengatur adanya pengakuan anak pada
pasal 280 K.U.H. Perdata, pengakuan itu cukup dilakukan dengan pernyataan
sepihak dari laki-laki
yang mengakui. Sebagaimana
yang ditetapkan dalam
Pasal 281 K.U.H.
Perdata, tidak ada
syarat lain untuk menyepakati pengakuan
anak itu dari
siapa pun, bahkan
jika ibu dari
anak masih hidup
ia harus menyetujuinya, “menyetujui”
dalam arti “tidak keberatan”.Jadi, pengakuan tidak didasarkan
atas suatu perjanjian.
KHI
sendiri tidak mengatur
secara tegas adanya
pengakuan anak. Di dalam
KHI hanya mengatur tentang asal usul anak, yang berbunyi: Pasal 1 (1) “Asal
usul seorang anak yang hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.” (2)
“Bila akta kelahiran
tidak ada, maka
Pengadilan Agama dapat mengeluarkan
penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah mengadakan
pemeriksaan secara teliti
berdasarkan bukti-bukti yang sah.” (3)
“Atas dasar ketetapan
Pengadilan Agama tersebut maka
instansi pencatatan kelahiran
yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan
akta kelahiran bagi
anak yang bersangkutan.
Akan tetapi
dalam praktek beracara,
penulis menjumpai adanya perkara
pengakuan anak di
Pengadilan Agama Sleman.
yang mampu menjawab persoalan mengenai perlindungan anak
di luar nikah, dengan tetap menjaga amanat
UU No 23
tahun 2002 tentang
perlindungan anak. Hal tersebut terjadi
karena sang suami
ingin mengakui anaknya
yang lahir atas hubungan seksual pranikah bersama
istrinya sebelum ia menikah secara sah.
Menurut perspektif
fikih dan KHI
anak tersebut tidak
di nasabkan kepada J Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan
Anak Dalam Undang-Undang, PT citra Aditya
Bakti, Bandung; 2005 hal. 113-114 ayahnya. Begitu
juga dalam akta
kelahiran anak tersebut
berstatus anak ibu.
Setelah pernikahan yang sah, sang
ayah mengajukan permohonan pengakuan anak
di Pengadilan Agama Sleman tercatat dalam register Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn,
kemudian majelis hakim
memutuskan bahwa anak
tersebut diakui sebagai
anak dari pemohon
secara syah, akan
tetapi tidak memiliki hubungan
nasab (keperdataan) dengan
pemohon karena lahir
di luar pernikahan yang sah.
Namun, hakim
mewajibkan pemohon selaku
ayah biologisnya agar tetap memberikan
nafkah dan perawatan
sampai anak tersebut
telah dewasa.
Hal tersebut
dilakukan untuk memberikan
tanggung jawab kepada
pemohon yang terikat
secara yuridis oleh
keputusan hakim tersebut.
Putusan tersebut menunjukkan adanya disparitas antara hukum
fikih dan KHI yang menyatakan anak di
luar nikah adalah
anak tidak sah,
anak hanya di
nasabkan kepada ibunya secara hukum anak luar nikah itu ha nya
menjadi tanggung jawab sang ibu saja.
Hal itu berarti ada hal yang bertolak belakang antara substansi KHI dan UUP No 1 Tahun 1974 dengan realitasnya
penerapannya. .
Berangkat dari
permasalahan di atas,
maka penulis bertujuan
untuk mengkaji putusan
di Pengadilan Agama
Sleman Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn
Tentang Perkara Pengakuan
Anak Tahun 2006
tersebut, kemudian penulis
tuangkan dalam skripsi
yang berjudul: “STATUS ANAK
DI LUAR NIKAH”
(Studi Analisis Putusan
Terhadap Pengadilan Agama
Sleman Nomor 408/Pdt.G/
2006/PA.Smn Tentang Pengesahan Anak Di Luar Nikah )”.
B.
Rumusan Masalah.
Berpijak dari
pembahasan judul tersebut,
maka dapat ditarik
pokok permasalahan yang akan
menjadi fokus utama, adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah
Pertimbangan Hukum Dalam
Putusan Pengesahan Anak Di Luar
Nikah Dalam Nomor
408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn di
Pengadilan Agama Sleman? 2. Bagaimanakah
Istinbat Hukum Hakim
Mengenai Pengesahan Anak
Di Luar Nikah
Dalam Putusan Nomor
408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn di Pengadilan
Agama Sleman? C. Tujuan Penulisan
Skripsi.
Tujuan utama dalam
pembahasan judul Skripsi ini, dapat dirumuskan sebagai berikut di bawah ini, yaitu : 1.
Untuk mengetahui Pertimbangan
Hukum Dalam Putusan
Pengesahan Anak Di
Luar Nikah Dalam
Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn
di Pengadilan Agama Sleman.
2. Untuk
Istinbat Hukum Hakim
Mengenai Pengesahan Anak
Di Luar Nikah
Dalam Putusan Nomor
408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn di
Pengadilan Agama Sleman.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi