Senin, 25 Agustus 2014

Skripsi Syariah: STATUS ANAK DI LUAR NIKAH” (Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Sleman Nomor 408/Pdt.G/ 2006/PA.Smn Tentang Pengesahan Anak Di Luar Nikah)

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang Masalah .
Pernikahan  merupakan  media  untuk  mencapai  tujuan  Syari‟at  Islam  yang salah satunya adalah bentuk aktif-ofensif perlindungan keturunan (hifzh  an-nasl),  demi  melestarikan  keturunan  dan  menghindari  kesyubhatan (tercemar)  dalam penentuan nasab. Oleh karena itu, penyaluran nafsu biologis  manusia harus dengan batas koridor agama, sehingga terhindar dari perangkap  perbuatan mesum atau zina di luar pagar pernikahan.

 Bahkan Rasulullah Saw.  mendorong untuk menikah  bagi kaum  muda  yang tak mampu mengendalikan dorongan biologisnya, dengan sabdanya : Artinya : “Dari Yahya bin Yahya at-Tamimi  dan abu  Bakar  bin abi  Syaibah  dan  Muhammad  bin  al-„Ala‟i  al-Mahdaniy  semunya  dari  abi  Muawiyyah  (sedangkan lafaznya dari yahya). Telah mengabarkan   Abu  Yasid,  Islam  Akomodatif:  Rekonstruksi  Pemahaman  Islam  Se bagai  Agama  Universal,Yogyakart; LKiS, 2004, hlm.
 Imam Muslim, Shahih Muslim, Beirut: Daar Ihya‟ at-Turats al-„Arabi, t.th, hlm. 1018.
1   kepada  kita  abu  Muawiyyah  dari  A‟masy  dai  Ibrahim  dari  „alQomah  berkata:  kemarin  saya  dengan  „Abdillah  di  kota  Mina  maka  Utsman  menemuinya  kemudian  bersamanya  mengabarkan  maka  berkata  Utsman  kepada  „Abdillah:  wahai  bapaknya  Abdurrahman, adakah kita telah menikahkan kamu dengan  Jariyah  Syabbah semoga dia mengingatkan kamu kepada sebagian perkara  yang  telah  berlalu  dari  zaman  mu.  Maka  Abdullah  berkata:  Apabila  kamu  telah  berbicara  seperti  itu  telah  berbicara  kepada  kita  Rasulullah  Saw:  Wahai  pemuda,  barang  siapa  di  antara  kalian sudah mampu untuk menikah, nikahlah, karena nikah itu  dapat  mengendalikan  mata  (yang  jalang)  dan  memelihara  kesucian  kehormatan  (dari  berzina),  dan  barang  siapa  yang  belum siap,  hendaknya ia berpuasa, karena puasa bisa menjadi  obat  (dari  dorongan  nafsu)”  (H.R.  Bukhari  Muslim).
 (  HR.
Muslim) Status  anak  dalam  hukum  keluarga  dapat  dikategorisasikan  menjadi  dua macam yaitu: anak yang sah dan anak yang tidak sah.  Pertama, Definisi  mengenai  anak  sah  diatur  dalam  UU  No  1  Tahun  1974  pada  Pasal  42  yang  berbunyi:  “ Anak yang sah adalah anak yang di lahirkan dalam atau sebagai  akibat  perkawinan  yang  sah”.
 Sedangkan  perkawinan  yang  diakui  di  Indonesia  ialah  perkawinan  yang  dilakukan  menurut  hukum  masing -masing  agamanya  dan  kepercayaannya,  dan  di  catat  menurut  peraturan   perundang undangan yang berlaku Pasal 2 UU No.1 tahun 1974.
 Dalam  pandangan  fikih  anak  yang  dianggap  sah,  jika  terjadi  dalam  perkawinan antara suami dan istri yang sah dan kelahiran anak tersebut sesuai  dengan batas minimal  kehamilan. Jumhur ulama‟ menetapkan batas minimal  kehamilan  adalah  selama  6  bulan.  Dasarnya  adalah  firman  Allah   surah  alAhqaf ayat   Baca  lebih lanjut:  Amir  Syarifuddin,  Hukum  Perkawinan  Islam  Di Indonesia:  Antara  Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta; kencana, 2009, hlm 42-44   Tim Penyusun: Bahan Penyuluhan Hukum, Jakarta:  Departemen Agama R.I Direktorat  Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2000 hlm. 1  Ibid, hlm 117   Artinya: mengandung dan menyapih itu selama tiga puluh bulan.
 Selanjutnya di dalam surah Luqman ayat 14 Allah SWT. Berfirman: Artinya:  Dan  kami  perintahkan  kepada  manusia  terhadap  dua  orang  ibu  bapaknya;  ibunya  telah  mengandung  dalam  keadaan  lemah  dan  bertambah  lemah,  dan  menyapihnya  dalam  dua  tahun.  Bersyukur  kepada-Ku lah kembalimu.
 Pada  surah  al-Ahqaf  tersebut  menjelaskan  secara  kumulatif,  jumlah  mengandung  dan  menyapih  yaitu  30  (tiga  puluh)  bulan.  Sedangkan  dalam  surat  Luqman  menerangkan  batas  maksimal  menyapih  adalah  2  tahun  (24  bulan).  Jadi  masa  hamil  yang  paling  sedikit  adalah  30  bulan  dikurangi  24  bulan sama dengan 6 bulan.
 Apabila terjadi perkawinan antara suami dan istri  secara sah, kemudian istri mengandung dan melahirkan anaknya, suami dapat  mengingkari kesahan anak itu apabila: a.  Istri  melahirkan anak sebelum masa kehamilan b.   Istri melahirkan anak setelah batas waktu maksimal masa kehamilan dari  masa perceraian.
  Khadim Al Haramain Asy Syarifain, Fahd Ibn Abdl Al Aziz Al Sa‟ud,  Al-Qur‟an dan  Terjemahnya,  Kementrian  Urusan  Agama  Islam,  Wakaf,  Da‟wah  Dan  Irsyad  Kerajaan  Saudi  Arabia.  hal. 8  Ibid, hlm. 6  Ahmad   Rafiq,   Hukum Islam Di Indonesia,    Jakarta;  Rajawali   Pers,    1998,  hlm.  2  Faturrahman Djamil, Pengakuan Anak Luar Nikah dan Akibat Hukumnya: Problematika  Hukum Islam Kontemporer, Chuzaimah T Yanggo dan Hafiz Anshari AZ (pd), Jakarta; firdaus,  1999 hlm.109   Menurut hukum perdata seorang anak sah (wetig kind) ialah anak yang  dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya, sehubungan  dengan  itu,  Undang-undang   telah  menetapkan  bahwa  tenggang  waktu  kandungan seseorang paling  lama adalah 300  hari dan paling pendek  adalah  180  hari.  Maka  anak  yang  dilahirkan  sebelum  lewat  180  hari  setelah  hari  perkawinan, suami berhak menyangkal sahnya anak itu. Kecuali, jika ia sudah  mengetahui  bahwa  istrinya  mengandung  sebelum  pernikahan  dilangsungkan  atau jika suami hadir pada waktu dibuatnya surat kelahiran dan surat kelahiran  itu  turut  ditandatanganinya.  Dalam  hal  tersebut  sang  suami  dianggap  telah  menerima dan mengakui anak yang lahir itu sebagai anaknya sendiri.
 Begitu  juga  jika  seorang  anak  yang  lahir  300  hari  setelah  perkawinan  orang  tuanya  dihapuskan, maka anak itu merupakan anak yang tidak sah.
Kedua,  Anak  hasil  hubungan  di  luar  nikah  dalam  pandangan  Islam  disebut dengan istilah anak zina  (walad al-zina),  anak tabi‟y atau anak li‟an  dan dianggap sebagai anak yang tidak sah.
 Sedangkan dalam KUH perdata  (Burgelijk Wetboek)  anak tersebut dinamakan “naturlijk kind”  anak itu dapat  diakui atau tidak diakui oleh ayah atau ibunya.
Anak  dari  hasil  hubungan  luar  nikah  tersebut  menjadi  problematika  hukum  tersendiri  atas  kedudukannya  dalam  hal  keperdataannya.  Menurut   Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet ke 31, Jakarta: Inter Massa, 2003 hlm   Secara  etimologis  zina  berasal  dari  bahasa  Arab  yang  artinya  persetubuhan  di  luar  pernikahan. Dalam bahasa Inggris kata zina disebut sebagai fornication  yang artinya persetubuhan  di antara orang dewasa yang belum kawin dan  adultery  yang artinya persetubuhan yang dilakukan  oleh  laki-laki  dengan  perempuan  yang  bukan  suami  istri  dan  salah  satu  atau  keduanya  sudah  terikat  dengan  perkawinan  dengan  suami/istri  lain.  Baca  lebih  lanjut:  Fadhel  llahi,  Zina,  (terj),  Qisthi  Press,  Jakarta;  2004, hal.7,  Oemar  Seno  Adji,  Hukum  (Acara)  Pidana  Dalam  Prospeksi,  Cet. Ke-2, Erlangga; Jakarta 1976, hal 49-  Tim Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Analisa Hukum Islam Tentang Anak Luar  Nikah, Jakarta: 2004, hal. 49    Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai sumber rujukan hukum umat Islam di  Indonesia sekaligus referensi keputusan hukum di lembaga Pengadilan Agama  menjelaskan:   Pada  pasal  100  KHI  berbunyi:  ”Anak  yang  lahir  di  luar  hubungan perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan  keluarga ibunya”.
 Maka, anak tersebut hanya ditetapkan sebagai  anak dari  seorang ibu. Secara tersurat di jelaskan pula pada Pasal 43 ayat (2) UU No.1  Tahun 1974 yang berbunyi: “Anak yang di lahirkan di luar perkawinan hanya  mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya ”.
 Di  sinilah  letak permasalahannya, di  mana  anak zina tidak  memiliki  hubungan nasab dengan ayah kandungnya maka akan gugur dengan sendirinya  segala kewajiban sang ayah yang merupakan hak dari sang anak. Oleh karena  itu tanggung jawab atas keperluan anak, baik materiil maupun spiritual adalah  ibunya  dan  keluarga  ibunya  saja,  demikian  pula  halnya  dengan  hak  waris  mewarisi,   sang anak juga akan kehilangan haknya untuk mendapatkan wali  nasab  pada  saat  pernikahan.   Hal  demikian  dikarenakan  dalam  pandangan  Islam  anak  di  luar  pernikahan  atau  anak  zina  dianggap  sebagai  anak  yang  tidak sah.
Jika  diamati  kondisi  yang  demikian  itu  akan  sangat  kontra  produktif  dengan UU perlindungan anak No 23 tahun 2002. sebagaimana tercantum di  bawah ini:   Amiur Nuruddin , Azhari Akmal Tarigan,  Hukum Perdata Islam Di Indonesia: Studi  Kritis  Perkembangan  Hukum  Islam  Dari  Fikih  UU  No  1/1974  Sampai  KHI,  Kencaran,  Jakarta;  2006, hal. 29   Tim  Penyusun:  Kompilasi  Hukum  Islam,  Jakarta:  Departemen  Agama  R.I  Direktorat  Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997. hlm.
 Tim Penyusun : Bahan Penyuluhan Hukum, Op.Cit, hlm. 1  Tim Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Op.Cit , hal. 50   Pasal  “Setiap  anak  berhak  untuk  beribadah  menurut  agamanya,  berpikir,  dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam  bimbingan orang tua.” Pasal  “Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan  diasuh oleh orang tuanya sendiri.” Pasal  “Setiap  anak  berhak  memperoleh  pendidikan  dan  pengajaran  dalam  rangka  pengembangan  pribadinya  dan  tingkat  kecerdasannya  sesuai  dengan minat dan bakatnya” Oleh karena itu sudah semestinya anak selaku tunas bangsa mendapat  perlindungan  secara  hukum  baik  dari  orang  tua,  keluarga,  masyarakat  dan  Negara.  Sebagaimana  diatur  dalam  Undang-undang  yang  mengatur  hak-hak  anak atas kesejahteraan, yakni sebagai berikut:  a.  “Anak  berhak  atas  kesejahteraan,  perawatan,  asuhan  dan  bimbingan  “(pasal 1 angka 32 PP No. 2 Tahun 1988) b.  “Hak  atas  pemeliharaan  dan  perlindungan”  (Pasal  2  ayat  3  Undangundang No. 4 Tahun 1979) c.  “Hak mendapatkan pertolongan pertama” (Pasal 3 Undang-undang No. 4  Tahun 1979)  d.  “Hak memperoleh asuhan” (Pasal 4 ayat 1 Undang-undang No. 4 Tahun  1979) Hal tersebut menimbulkan paradoks antara  UU perlindungan anak No  23 tahun 2002 dengan No.1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Di  satu  sisi  adanya  perlindungan  terhadap  hak-hak  anak,  namun  di  sisi  lain  justru  anak  kehilangan  haknya  karena  perbedaan  status  yang  dianggap  anak  tidak  sah  disebabkan  karena  hubungan  luar  nikah  ia  menjadi  kehilangan  hubungan nasab (perdata) dengan sang ayah kandungnya.
Akan  tetapi  ada  salah  satu  alternatif  solusi  untuk  mendapatkan  hubungan  nasab  antara  anak  di  luar  pernikahan  dengan  ayah  kandungnya,   Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung; 2003 hal 80     yaitu dengan cara pengakuan anak. UU perdata mengatur adanya pengakuan  anak pada pasal 280 K.U.H. Perdata, pengakuan itu cukup dilakukan dengan  pernyataan  sepihak  dari  laki-laki  yang  mengakui.  Sebagaimana  yang  ditetapkan  dalam  Pasal  281  K.U.H.  Perdata,  tidak  ada  syarat  lain  untuk  menyepakati  pengakuan  anak  itu  dari  siapa  pun,  bahkan  jika  ibu  dari  anak  masih  hidup  ia  harus  menyetujuinya,  “menyetujui”  dalam  arti  “tidak  keberatan”.Jadi, pengakuan tidak didasarkan atas suatu perjanjian.
 KHI  sendiri  tidak  mengatur  secara  tegas  adanya  pengakuan  anak.  Di  dalam KHI hanya mengatur tentang asal usul anak, yang berbunyi: Pasal 1 (1) “Asal usul seorang anak yang hanya dapat dibuktikan dengan akta  kelahiran atau alat bukti lainnya.”  (2)  “Bila  akta  kelahiran  tidak  ada,  maka  Pengadilan  Agama  dapat  mengeluarkan penetapan tentang asal-usul seorang anak setelah  mengadakan  pemeriksaan  secara  teliti  berdasarkan  bukti-bukti  yang sah.” (3)  “Atas  dasar  ketetapan  Pengadilan  Agama tersebut  maka  instansi  pencatatan kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan  Agama  tersebut  mengeluarkan  akta  kelahiran  bagi  anak  yang  bersangkutan.
Akan  tetapi  dalam  praktek  beracara,  penulis  menjumpai  adanya  perkara  pengakuan  anak  di  Pengadilan  Agama  Sleman.  yang  mampu  menjawab persoalan mengenai perlindungan anak di luar nikah, dengan tetap  menjaga  amanat  UU  No  23  tahun  2002  tentang  perlindungan  anak.  Hal  tersebut  terjadi  karena  sang  suami  ingin  mengakui  anaknya  yang  lahir  atas  hubungan  seksual pranikah  bersama  istrinya sebelum  ia  menikah secara sah.
Menurut  perspektif  fikih  dan  KHI  anak  tersebut  tidak  di  nasabkan  kepada   J Satrio, Hukum Keluarga Tentang Kedudukan Anak Dalam Undang-Undang, PT citra  Aditya Bakti, Bandung; 2005 hal. 113-114   ayahnya.  Begitu  juga  dalam  akta  kelahiran  anak  tersebut  berstatus  anak  ibu.
Setelah pernikahan yang sah, sang ayah mengajukan permohonan pengakuan  anak di Pengadilan Agama Sleman tercatat dalam register Nomor 408/Pdt.G/  2006/PA.Smn,  kemudian  majelis  hakim  memutuskan  bahwa  anak  tersebut  diakui  sebagai  anak  dari  pemohon  secara  syah,  akan  tetapi  tidak  memiliki  hubungan  nasab  (keperdataan)  dengan  pemohon  karena  lahir  di  luar  pernikahan yang sah.
Namun,  hakim  mewajibkan  pemohon  selaku  ayah  biologisnya  agar  tetap  memberikan  nafkah  dan  perawatan  sampai  anak  tersebut  telah  dewasa.
Hal  tersebut  dilakukan  untuk  memberikan  tanggung  jawab  kepada  pemohon  yang  terikat  secara  yuridis  oleh  keputusan  hakim  tersebut.  Putusan  tersebut  menunjukkan adanya disparitas antara hukum fikih dan KHI yang menyatakan  anak  di  luar  nikah  adalah  anak  tidak  sah,  anak  hanya  di  nasabkan  kepada  ibunya secara hukum anak luar nikah itu ha nya menjadi tanggung jawab sang  ibu saja. Hal itu berarti ada hal yang bertolak belakang antara substansi KHI  dan UUP No 1 Tahun 1974 dengan realitasnya penerapannya. .
Berangkat  dari  permasalahan  di  atas,  maka  penulis  bertujuan  untuk  mengkaji  putusan  di  Pengadilan  Agama  Sleman  Nomor  408/Pdt.G/  2006/PA.Smn  Tentang  Perkara  Pengakuan  Anak  Tahun  2006  tersebut,  kemudian  penulis  tuangkan  dalam  skripsi  yang  berjudul:  “STATUS  ANAK  DI  LUAR  NIKAH”  (Studi  Analisis  Putusan  Terhadap  Pengadilan  Agama  Sleman  Nomor  408/Pdt.G/  2006/PA.Smn  Tentang  Pengesahan Anak Di Luar Nikah )”.
 B.  Rumusan Masalah.
Berpijak  dari  pembahasan  judul  tersebut,  maka  dapat  ditarik  pokok  permasalahan yang akan menjadi fokus utama, adalah sebagai berikut : 1.  Bagaimanakah  Pertimbangan  Hukum  Dalam  Putusan  Pengesahan  Anak  Di  Luar  Nikah  Dalam  Nomor  408/Pdt.G/  2006/PA.Smn  di  Pengadilan  Agama Sleman? 2.  Bagaimanakah  Istinbat  Hukum  Hakim  Mengenai  Pengesahan  Anak  Di  Luar  Nikah  Dalam  Putusan  Nomor  408/Pdt.G/  2006/PA.Smn  di  Pengadilan Agama Sleman? C.  Tujuan Penulisan Skripsi.
Tujuan utama dalam pembahasan  judul Skripsi  ini, dapat dirumuskan  sebagai berikut di bawah ini, yaitu :  1.  Untuk  mengetahui  Pertimbangan  Hukum  Dalam  Putusan  Pengesahan  Anak  Di  Luar  Nikah  Dalam  Nomor  408/Pdt.G/  2006/PA.Smn  di  Pengadilan Agama Sleman.
2.  Untuk  Istinbat  Hukum  Hakim  Mengenai  Pengesahan  Anak  Di  Luar  Nikah  Dalam  Putusan  Nomor  408/Pdt.G/  2006/PA.Smn  di  Pengadilan  Agama Sleman.



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi