Jumat, 22 Agustus 2014

Skripsi Syariah: STUDI ANALISIS PENDAPAT IMAM ABU HANIFAH TENTANG KEWARISAN KAKEK BERSAMA SAUDARA

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang Masalah.
Kebiasaan mewarisi harta peninggalan dari si mayat kepada ahli waris  yang  masih  hidup  telah  ada  dan  berkembang  jauh  sebelum  Islam    datang. Ketika  Islam    tumbuh  dan  berkembang  kebiasaan  tersebut  masih  terus  berlanjut  dengan  sekian  modifikasi  di  dalamnya.  Praktek  yang  tidak  sesuai  dengan  ajaran  dan  moral  Islam    dihapuskan  dan  diganti  dengan  aturan  yang  ditetapkan oleh Allah SWT.

Hukum  kewarisan  yang  dibawa  oleh  Islam    sebagaimana  termaktub  dalam  al-Qur‟an  memberikan suatu kepastian secara hukum bagi umat  Islam  untuk  menyelesaikan  berbagai  masalah  kewarisan.  Hal  ini  berjalan  tanpa  paksaan  dari  ahli  waris  maupun  muwarristnya.  Di  samping  itu,  Nabi  Muhammad  SAW  melalui  Hadis  memberikan  penjelasan  tentang  masalah  kewarisan.
Hukum  kewarisan  menempati  tempat  yang  sangat  penting  dalam  perkembangan sejarah hukum  Islam  . Karenanya, para  fuqaha’  dan  mufassir  banyak  memperbincangkan  masalah tersebut, mulai  dari masa  klasik  sampai  sekarang.  Bahkan para fuqaha’  menjadikan hukum tersebut sebagai salah satu  cabang ilmu tersendiri yang disebut dengan ilmu ”waris” atau ilmu fara’id.
 Ilmu  waris adalah  ilmu yang membahas tentang  berpindahnya sesuatu  dari  seseorang  kepada  orang  lain  atau  dari  suatu  kaum  kepada  kaum  lain,   Sayyid  Sabiq,  Fiqih  Sunnah,  jilid  14,  Alih  Bahasa  oleh  Mudzakir  A.S,  Bandung,  Al Ma‟arif, cet. 1, 1997, h. 252.
 sesuatu  tersebut  bersifat  umum  bisa  berupa  harta,  ilmu  atau  kemuliaan.
Sedangkan dari segi terminologi berarti berpindahnya hak milik dari si mati  kepada  ahli  warisnya  yang  hidup,  baik  yang  ditinggalkan  itu  berupa  ha rta  (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar‟i.
 Ilmu  fara’id  dianggap  penting,  karena  disandarkan  pada  sabda  Rasulullah SAW: Artinya:  Dari  Abu  Hurairah  r.a.  bahwa  Nabi  SAW  bersabda:  “Hai  Abu  Hurairah belajarlah ilmu fara‟id dan ajarkanlah ilmu itu. Karena ilmu  tersebut  merupakan  separuh  dari  ilmu-ilmu  yang  ada.  Ilmu  ini  merupakan ilmu yang pertama dilupakan orang”.
Berdasarkan  hadis  tersebut  Jumhur  ulama  fiqh  berpendapat  bahwa  mempelajari dan mengajarkan  ‟ilmu fara’id  bagi seluruh umat  Islam  adalah  hukumnya fardu kifayah (kewajiban kolektif).
 Perbedaan  pemahaman  dan  aplikasi  mengantarkan  hukum  waris  bersifat  legal  formalis  dan  menyebabkan  fragmentasi  aliran  pemikiran  yang  berujung  dengan  kelahiran  mazhab-mazhab.  Penyebab  utama  timbulnya  beragam  interpretasi  hukum  kewarisan  adalah:  Pertama,  metode  dan  pendekatan  yang  digunakan  oleh  para  ulama  dalam  melakukan  ijtihad   Muhammad  Ali  Ash-Shabuni,  Pembagian  Waris  Menurut  Islam,  Penerjemah:  A.M.
Basalamah, Jakarta: Gema Insani Press, Cet. X, 2007, h. 33.
 Abi  Abdilah Muhammad  Bin Yazid  Al-Qazwini,  Sunan Ibn Majah,  juz II,  Semarang:  Toha Putra, tt, h. 908.
 Suparman  Usman,  dan  Yusuf  Somawinata,  Fiqh  Mawaris  (Hukum  Kewarisan  Islam), Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. 2, 2002, h. 23.
 berbeda.  Kedua,  perbedaan  kondisi  masyarakat  dan  waktu  kapan  ulama  melakukan ijtihad.
 Di  sisi  yang  lain,  masalah  kewarisan  tidak  jarang  menimbulkan  sengketa  di  antara  ahli  waris.  Masalah  kewarisan  ini  menyangkut  tiga  unsur  atau menyangkut rukun dan syarat,  yakni:  Pertama, harta warisan  (maurust),  bagaimana  wujud  harta  benda  yang  beralih  dipengaruhi  oleh  sifat  kekeluargaan  di  mana  pewaris  dan  ahli  waris  berada.  Kedua,  pewaris  (muwarrist),  bagaimana  hubungan  pewaris  dengan  harta  bendanya  dipengaruhi oleh sistem, sifat dan lingkungan kekeluargaan di  mana pewaris  berada. Ketiga, ahli waris, bagaimana dan sejauh mana ada ikatan kekerabatan  antara pewaris dan ahli waris.
Ketika  dilihat  dari  nas-nas  kewarisan  yang  ada,  maka  masalah  kewarisan  dianggap  telah  jelas  (qat’i)  dalam  beberapa  hal,  sebagai  contoh  bahwa ayat tersebut  qat’i  adanya adalah surat  an-Nisa‟ (4)  : 12, yaitu tentang bagian suami.
 Namun dalam beberapa hal yang lain tidak disinggung secara  jelas  oleh  al-Qur‟an  sehingga  masih  banyak  menimbulkan  beragam  interpretasi.
Masalah  kewarisan  yang  tidak  disinggung  secara  jelas  di  dalam  alQur‟an  di  antaranya  masalah  kewarisan  kakek  bersama  saudara.  Di   mana  kakek di  sini adalah kakek yang  sahih, yakni  kakek yang nasabnya terhadap   Masjfuk Zuhdi,  Masail Fiqhiyah,  jilid I,  Jakarta: CV. Haji Masagung, cet. 7, 1994,  h.
197.
 Abdul  Azis  Dahlan,  dkk.,  Ensiklopedi  Hukum  Islam,  jld.  I,  Jakarta:  Ichtiar  Baru  van  Hoeve, cet. ke-1, h. 308-309.
 Abdul  Wahab  Khallaf,  Ilmu  Usul  Fiqh,  Semarang,  Dina  Utama,  (Toha  Putra  Group),  cet. ke-1, 1994, h. 38.
 pewaris  tidak  tercampuri  unsur  wanita,  misalnya  ayah  dari  bapak  dan  seterusnya  ke  atas.  Sedangkan  kakek  yang  tercampuri  unsur  wanita  disebut  juga sebagai kakek yang  ghairu Shahih.
 Hak waris Saudara diterangkan  dalam al-Qur' an  Surat An-Nisa‟ ayat:  11dan 12, yaitu: Artinya: “Jika  yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara,  maka ibunya  mendapat  seperenam.  (Pembagian-pembagian  tersebut  di  atas)  sesudah  dipenuhi  wasiat  yang  ia  buat  atau  (dan)  sesudah  dibayar  hutangnya…” Jika  seseorang  mati,  baik  laki-laki  maupun  perempuan  yang  tidak  meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai  seorang  saudara  laki-laki  (seibu  saja)  atau  seorang  saudara  perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis  saudara  itu  seperenam  harta.  Tetapi  jika  saudara -saudara  seibu  itu  lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.
(QS. An-Nisa‟: 11-12).
 Dalam surat An-Nisa‟ disebutkan bahwa apabila yang meninggal itu, meninggalkan  ibu-bapak  dan  saudara-saudara,  laki-laki  atau  perempuan,  dua  ke atas,  menurut Jumhur  Ulama, maka ibu mendapat 1/6 dan bapak mendapat  sisanya.  Allah menjelaskan bahwa apabila seseorang meninggal dunia sedang  ia tidak meninggalkan bapak maupun anak,  tapi hanya meninggalkan saudara  laki-laki atau perempuan yang seibu saja maka masing-masing saudara seibu  itu  apabila  seorang  diri  bagiannya  adalah  1/6  dari  harta  warisan  dan apabila   Muhammad Ali Ash-Shabuni, Op.Cit., h. 84.
 Departemen Agama R.I, Al-Qur’an Dan Terjemahannya. Surabaya: Karya Agung, Edisi  Revisi, 2006, h. 102.
 lebih dari seorang, mereka mendapat 1/3 dan kemudian dibagi rata di antar a  mereka. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
 Kewarisan kakek dijelaskan dalam hadis, yaitu: Artinya: Dari Hasan dari „Imran Bin Husaein, bahwa seseorang laki-laki  telah  datang  kepada  Rasulullah  saw,  lalu  berkata:  “Sesungguhnya  anak  laki-laki  dari anak laki-lakiku telah  meninggal dunia, apa yang saya  dapat  dari  harta  warisannya.  “Nabi  berkata:”engkau  mendapatkan seperenam.”  Ketika orang itu hendak pergi, Nabi memanggilnya dan  berkata: “Engkau mendapatkan seperenam lainnya”. Ketika orang itu  hendak  pergi,  Nabi  memanggilnya  dan  berkata:  “Sesungguhnya  seperenam yang lainnya itu adalah tambahan”.
Adapun  kewarisan  kakek  ketika  bersamaan  dengan  para  saudara,  di  dalam hadis  yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a., disebutkan bahwa Umar  berkhutbah di  atas mimbar Rasulullah SAW.  setelah membaca  hamdalah  dan  memuji Allah, ia berkata: Artinya:  “Sesungguhnya  telah  diturunkan  ayat  tentang  pengharaman  khamar  (minuman keras) yang terbuat dari lima jenis;   biji  gandum,  gandum,  kurma,  anggur  dan  madu.  Khamar  adalah  sesuatu  yang  menghilangkan kesadaran akal.  Dan ada tiga perkara, wahai hadirin  sekalian, yang aku ingin sekali  Rasulullah saw. mewasiatkan kepada   Departemen  Agama  R.I,  Al-Qur’an  Dan  Tafsirnya.  Jilid  II,  Yogyakarta,  PT.  Dana  Bhakti Wakaf (Milik Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia), 1995, h. 130-131.
 Abu  Dawud,  Sunan  Abi  Dawud,  Juz.  2,  Dar  Al-Kutub  Al-Ilmiyah,  Beirut  Libanon,1996, h. 331.
 Abi Al-Husain Muslim Bin al -Hajjaj al-Qusyairi an-Naisaburiy, Sahih Muslim,  Juz. 4,  Dar Ihya‟ At-turats Al-Arabi, Beirut, Libanon, 1991, h. 2322.
 kita yaitu mengenai warisan kakek, kalalah dan perkara-perkara yang  masuk dalam kategori riba.” Oleh  karena  itu,  mayoritas  sahabat  sangat  berhati-hati  dalam  menentukan  masalah  ini,  bahkan  mereka  cenderung  sangat  takut  untuk  memberi fatwa yang berkenaan dengan masalah ini.
Ibn Mas'ud r.a. dalam hal ini pernah mengatakan: Artinya:  "Bertanyalah kalian kepada kami tentang masalah yang sangat pelik  sekalipun,  namun  janganlah  kalian  tanyakan  kepadaku  tentang  masalah warisan kakek yang sahih dengan saudara."  Di lain pihak Umar bin Khattab menyatakan:  Artinya:  “Jika  engkau  telah  berani  dalam  membagi  warisan  kepada  kakek  bersama saudara berarti engkau lebih berani di dalam neraka”.
 Sedang pernyataan serupa di tegaskan oleh Ali bin Abi Thalib:  Artinya:  “Barang  siapa  ingin  diceburkan  ke  dalam  neraka  jahanam,  maka  putuskanlah kewarisan kakek bersama dengan saudara”.
 Para imam mazhab pun berbeda pendapat mengenai kewarisan kakek  bila bersama dengan saudara, sama seperti perbedaan yang terjadi di kalangan  para sahabat Rasulullah SAW.
 Muhammad  Abd  Aziz  al-Khalidiy,  Hawasyi  al-Syarwani  Wa  Ibni  Qasim  al-‘Ubbadi  Ala Tuhfah al-Muhtaj Bi Syarh al-Minhaj, J-VIII, Dar Al-Kutub, Beirut Libanon, 1996, h. 383.
 Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris, Penerjemah: Abdul Hamid Zahwan, Solo:  CV. Pustaka Mantiq, 1994, h. 84.
 Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, Bandung, CV. Pustaka Setia, cet. I, 2009, h. 238.
 Perbedaan  tersebut  antara  lain:  Golongan  yang  dipelopori  oleh  Ali,  Zaid  ibn  Tsabit,  Ibn  Mas‟ud,  yang  kemudian  diamalkan  oleh  Malik  ,  Syafi‟i  , Ahmad  , Abu Yusuf  , dan Muhammad Al -Syaibani dari kalangan  Hanafiyah, Al-Auza‟i berpendapat bahwa para saudara sekandung dan saudara  seayah, baik laki-laki maupun perempuan berhak mendapat hak waris ketika  bersamaan  dengan  kakek.  Kakek  tidaklah  menggugurkan  hak  waris  para  saudara sekandung dan yang seayah, seperti halnya ayah.
 Alasan  yang  dikemukakan  oleh  pendapat  ini  ialah,  bahwa  derajat  kekerabatan  saudara  dan  kakek  dengan  pewaris  sama.  Kedekatan  kakek  terhadap  pewaris  melewati  ayah,  demikian  juga  saudara.  Kakek  merupakan  pokok dari ayah (ayahnya ayah), sedangkan saudara adalah cabang dari ayah  (anak-anaknya  ayah),  karena  itu  tidaklah  layak  untuk  mengutamakan  yang  satu dari yang lain karena mereka sama derajatnya.  Bila kita mengutama kan  yang  satu  dan  mencegah  yang  lain  berarti  telah  melakukan  kezaliman  tanpa  alasan  yang  dapat  diterima.  Hal  ini  sama  dengan  memberikan  hak  waris  kepada  para  saudara  sekandung  kemudian  di  antara  mereka  ada  yang  tidak  diberi.
 Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amru bin Ghaiman bin Huthail bin Amru  bin  Al-Haris  yang  dikenal  dengan  sebutan  Imam  Malik  dan  sebagai  pendiri  madzhab  Maliki.
Imam  Malik  lahir  di  kota  Madinah  tahun  93  H  dan  wafat  tahun  179  H.  (Ahmad  Asy-Syurbasi,  Sejarah dan Biografi Empat Imam Madhab, Amzah, Jakarta, cet. ke-5, 2008, h. 71).
 Abu  Abdillah  Muhammad  Bin  Idris  Bin  ‟Abbas  Bin  Usman  dan  dikenal  dengan  sebutan Imam Syafi'i dan pendiri mazhab Syafi'i. Imam Syafi'i  lahir di Gazza tahun 150 H/767 M,  dan wafat tahun 204 H. (Ibid., h. 141).
 Ahmad  bin  Muhammad  bin  Hanbal  al-Syaibani,  lahir  di  Bagdad  pada  bulan  Rabi‟ul  Awwal 164 H dan wafat pada tahun 241 H. Ahmad bin Muhammad bin Hanbal al-Syaibani adalah  pendiri mazhab Hanabilah. Ibid, h. 191.
 Ya‟qub bin Ibrahim al-Ansari lahir di Kufah (113 H/731 M-182 H/798 M). Ya‟qub bin  Ibrahim  al-Ansari  adalah  salah  satu  sahabat  Imam  Abu  Hanifah  yang  ahli  fikih,  ahli  tafsir,  ahli  hadis, sejarawan, sastrawan, teolog, dan ketua Mahkamah Agung Daulah ‘Abbasiyah. (Abdul Azis  Dahlan, dkk., Op.Cit., h. 16.)  Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, Cet. ke-3, 2008, h. 117.
 Alasan  lain  yang  dikemukakan  ialah,  bahwa  kebutuhan  para  saudara  terhadap harta jauh lebih besar daripada kakek.
 Sebagai gambaran, misalnya  saja warisan pewaris ini dibagikan atau diberikan hanya kepada kakek tanpa  saudara diberi bagian, kemudian kakek ini wafat, maka harta peninggalan nya  akan berpindah kepada anak-anaknya kakek, yang berarti paman-paman para  saudara.
Pendapat  berbeda  yang  dipelopori  oleh  Abu  Bakar  dan  juga  diikuti  oleh  Ibnu  Abbas,  Abdullah  ibn  Zubair,  Usman,  Aisyah,  Ubay  bin  Ka‟ab,  Muaz  bin  Jabal,  Abu  Musa  yang  kemudian  diikuti  oleh  Abu  Hanifah,  alMuzani, Daud dan Ibnu Munzir menyatakan bahwa para saudara, baik saudara  sekandung,  saudara  seayah,  ataupun  seibu,  terhalang  (gugur)  hak  warisnya  dengan adanya kakek.
 Menurut  Imam Abu Hanifah,  kakek akan mengganti  kedudukan  ayah bila telah tiada, karena kakek merupakan bapak yang paling  tinggi.
Hal ini didasarkan pula bahwa kata ”al-ab” dalam  al-Qur‟an  meliputi  kakek, yaitu ayahnya ayah sampai ke atas jalur nasab, sebagaimana kata ”ibn”  mencakup anaknya anak (cucu) sampai ke  bawah. Hal ini diambil dari katakata “al-ab” dalam firman Allah surat Yusuf ayat 38: Artinya:  Dan  aku  pengikut  agama  bapak-bapakku  yaitu  Ibrahim,  Ishak  dan  Ya'qub…….
  Muhammad Ali ash-Shabuni, Op.Cit., h. 86.
 Amir Syarifuddin, Op. Cit., h. 116.
 Departemen Agama R.I, Op.Cit., h.323.
 Artinya:  “Kamu  tidak  menyembah  yang  selain  Allah  kecuali  Hanya  (menyembah)  nama-nama  yang  kamu  dan  nenek  moyangmu  membuat-buatnya…” (QS. Yusuf: 40).
 Ayat  di  atas  menunjukkan  bahwa  lafal  “al-ab”  juga  mencakup  di  dalamnya kakek, karena Nabi Ibrahim, Ishaq adalah kakek Nabi Yusuf.
Pendapat Imam Abu Hanifah mengikuti pendapat Abu Bakr as-Siddiq  yang mengatakan kakek adalah ayah. Beliau mengikuti pendapat Abu Bakr as Siddiq karena beliau adalah sahabat Nabi yang paling  ’alim  dan paling utama,  serta  tidak  ada  sahabat  lain  yang  menentang  pendapatnya.  Dan  pendapat  ini  diikuti pula oleh empat belas sahabat yang lain.
 Karena perbedaan pendapat para ulama‟  Madzhab  dengan  Imam  Abu  Hanifah  itulah  penulis  tertarik  untuk  menganalisis  pendapat  Abu  Hanifah dalam  bentuk  skripsi  yang  berjudul  “Studi  Analisis  Pendapat  Imam  Abu  Hanifah Tentang Kewarisan Kakek Bersama Saudara”.



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi