BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Kebiasaan mewarisi harta
peninggalan dari si mayat kepada ahli waris yang
masih hidup telah
ada dan berkembang
jauh sebelum Islam
datang. Ketika Islam tumbuh
dan berkembang kebiasaan
tersebut masih terus berlanjut dengan
sekian modifikasi di
dalamnya. Praktek yang
tidak sesuai dengan
ajaran dan moral
Islam dihapuskan dan
diganti dengan aturan
yang ditetapkan oleh Allah SWT.
Hukum kewarisan
yang dibawa oleh
Islam sebagaimana termaktub dalam
al-Qur‟an memberikan suatu
kepastian secara hukum bagi umat Islam untuk
menyelesaikan berbagai masalah
kewarisan. Hal ini
berjalan tanpa paksaan
dari ahli waris
maupun muwarristnya. Di
samping itu, Nabi Muhammad SAW
melalui Hadis memberikan
penjelasan tentang masalah kewarisan.
Hukum kewarisan
menempati tempat yang
sangat penting dalam perkembangan
sejarah hukum Islam . Karenanya, para fuqaha’
dan mufassir banyak
memperbincangkan masalah
tersebut, mulai dari masa klasik
sampai sekarang. Bahkan para fuqaha’ menjadikan hukum tersebut sebagai salah satu cabang ilmu tersendiri yang disebut dengan
ilmu ”waris” atau ilmu fara’id.
Ilmu
waris adalah ilmu yang membahas
tentang berpindahnya sesuatu dari
seseorang kepada orang
lain atau dari
suatu kaum kepada
kaum lain, Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunnah,
jilid 14, Alih
Bahasa oleh Mudzakir
A.S, Bandung, Al Ma‟arif, cet. 1, 1997, h. 252.
sesuatu
tersebut bersifat umum
bisa berupa harta,
ilmu atau kemuliaan.
Sedangkan dari segi terminologi
berarti berpindahnya hak milik dari si mati kepada
ahli warisnya yang
hidup, baik yang
ditinggalkan itu berupa
ha rta (uang), tanah, atau apa
saja yang berupa hak milik legal secara syar‟i.
Ilmu
fara’id dianggap penting,
karena disandarkan pada
sabda Rasulullah SAW: Artinya: Dari
Abu Hurairah r.a.
bahwa Nabi SAW
bersabda: “Hai Abu Hurairah
belajarlah ilmu fara‟id dan ajarkanlah ilmu itu. Karena ilmu tersebut merupakan
separuh dari ilmu-ilmu
yang ada. Ilmu
ini merupakan ilmu yang pertama
dilupakan orang”.
Berdasarkan hadis
tersebut Jumhur ulama
fiqh berpendapat bahwa mempelajari
dan mengajarkan ‟ilmu fara’id bagi seluruh umat Islam
adalah hukumnya fardu kifayah
(kewajiban kolektif).
Perbedaan
pemahaman dan aplikasi
mengantarkan hukum waris bersifat legal
formalis dan menyebabkan
fragmentasi aliran pemikiran
yang berujung dengan
kelahiran mazhab-mazhab. Penyebab
utama timbulnya beragam
interpretasi hukum kewarisan
adalah: Pertama, metode
dan pendekatan yang
digunakan oleh para
ulama dalam melakukan
ijtihad Muhammad Ali
Ash-Shabuni, Pembagian Waris
Menurut Islam, Penerjemah:
A.M.
Basalamah, Jakarta: Gema Insani
Press, Cet. X, 2007, h. 33.
Abi
Abdilah Muhammad Bin Yazid Al-Qazwini,
Sunan Ibn Majah, juz II, Semarang: Toha Putra, tt, h. 908.
Suparman
Usman, dan Yusuf
Somawinata, Fiqh Mawaris
(Hukum Kewarisan Islam), Jakarta: Gaya Media Pratama, Cet. 2,
2002, h. 23.
berbeda.
Kedua, perbedaan kondisi
masyarakat dan waktu
kapan ulama melakukan ijtihad.
Di
sisi yang lain,
masalah kewarisan tidak
jarang menimbulkan sengketa
di antara ahli
waris. Masalah kewarisan
ini menyangkut tiga
unsur atau menyangkut rukun dan
syarat, yakni: Pertama, harta warisan (maurust), bagaimana
wujud harta benda
yang beralih dipengaruhi
oleh sifat kekeluargaan
di mana pewaris
dan ahli waris
berada. Kedua, pewaris (muwarrist),
bagaimana hubungan pewaris
dengan harta bendanya dipengaruhi oleh sistem, sifat dan lingkungan
kekeluargaan di mana pewaris berada. Ketiga, ahli waris, bagaimana dan
sejauh mana ada ikatan kekerabatan antara
pewaris dan ahli waris.
Ketika dilihat
dari nas-nas kewarisan
yang ada, maka
masalah kewarisan dianggap
telah jelas (qat’i)
dalam beberapa hal,
sebagai contoh bahwa ayat tersebut qat’i
adanya adalah surat an-Nisa‟
(4) : 12, yaitu tentang bagian suami.
Namun dalam beberapa hal yang lain tidak
disinggung secara jelas oleh
al-Qur‟an sehingga masih
banyak menimbulkan beragam interpretasi.
Masalah kewarisan
yang tidak disinggung
secara jelas di
dalam alQur‟an di
antaranya masalah kewarisan
kakek bersama saudara.
Di mana kakek di
sini adalah kakek yang sahih,
yakni kakek yang nasabnya terhadap Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, jilid I,
Jakarta: CV. Haji Masagung, cet. 7, 1994, h.
197.
Abdul Azis Dahlan,
dkk., Ensiklopedi Hukum
Islam, jld. I,
Jakarta: Ichtiar Baru
van Hoeve, cet. ke-1, h. 308-309.
Abdul
Wahab Khallaf, Ilmu
Usul Fiqh, Semarang,
Dina Utama, (Toha
Putra Group), cet. ke-1, 1994, h. 38.
pewaris
tidak tercampuri unsur
wanita, misalnya ayah
dari bapak dan seterusnya ke
atas. Sedangkan kakek
yang tercampuri unsur
wanita disebut juga sebagai kakek yang ghairu Shahih.
Hak waris Saudara diterangkan dalam al-Qur' an Surat An-Nisa‟ ayat: 11dan 12, yaitu: Artinya: “Jika yang meninggal itu mempunyai beberapa
saudara, maka ibunya mendapat
seperenam.
(Pembagian-pembagian
tersebut di atas) sesudah dipenuhi
wasiat yang ia
buat atau (dan)
sesudah dibayar hutangnya…” Jika seseorang
mati, baik laki-laki
maupun perempuan yang
tidak meninggalkan ayah dan tidak
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara
laki-laki (seibu saja)
atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi
masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. Tetapi
jika saudara -saudara seibu
itu lebih dari seorang, maka
mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.
(QS. An-Nisa‟: 11-12).
Dalam surat An-Nisa‟ disebutkan bahwa apabila
yang meninggal itu, meninggalkan
ibu-bapak dan saudara-saudara, laki-laki
atau perempuan, dua ke
atas, menurut Jumhur Ulama, maka ibu mendapat 1/6 dan bapak
mendapat sisanya. Allah menjelaskan bahwa apabila seseorang
meninggal dunia sedang ia tidak
meninggalkan bapak maupun anak, tapi
hanya meninggalkan saudara laki-laki
atau perempuan yang seibu saja maka masing-masing saudara seibu itu
apabila seorang diri
bagiannya adalah 1/6
dari harta warisan
dan apabila Muhammad Ali
Ash-Shabuni, Op.Cit., h. 84.
Departemen Agama R.I, Al-Qur’an Dan
Terjemahannya. Surabaya: Karya Agung, Edisi Revisi, 2006, h. 102.
lebih dari seorang, mereka mendapat 1/3 dan
kemudian dibagi rata di antar a mereka.
Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Kewarisan kakek dijelaskan dalam hadis, yaitu:
Artinya: Dari Hasan dari „Imran Bin Husaein, bahwa seseorang laki-laki telah datang kepada
Rasulullah saw, lalu
berkata: “Sesungguhnya anak laki-laki dari anak laki-lakiku telah meninggal dunia, apa yang saya dapat
dari harta warisannya.
“Nabi berkata:”engkau mendapatkan seperenam.” Ketika orang itu hendak pergi, Nabi
memanggilnya dan berkata: “Engkau
mendapatkan seperenam lainnya”. Ketika orang itu hendak
pergi, Nabi memanggilnya
dan berkata: “Sesungguhnya seperenam yang lainnya itu adalah tambahan”.
Adapun kewarisan
kakek ketika bersamaan
dengan para saudara,
di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar r.a.,
disebutkan bahwa Umar berkhutbah di atas mimbar Rasulullah SAW. setelah membaca hamdalah
dan memuji Allah, ia berkata: Artinya: “Sesungguhnya
telah diturunkan ayat
tentang pengharaman khamar (minuman keras) yang terbuat dari lima
jenis; biji gandum,
gandum, kurma, anggur
dan madu. Khamar
adalah sesuatu yang menghilangkan
kesadaran akal. Dan ada tiga perkara,
wahai hadirin sekalian, yang aku ingin
sekali Rasulullah saw. mewasiatkan
kepada Departemen Agama
R.I, Al-Qur’an Dan
Tafsirnya. Jilid II,
Yogyakarta, PT. Dana Bhakti
Wakaf (Milik Badan Wakaf Universitas Islam Indonesia), 1995, h. 130-131.
Abu
Dawud, Sunan Abi
Dawud, Juz. 2,
Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah,
Beirut Libanon,1996, h. 331.
Abi Al-Husain Muslim Bin al -Hajjaj
al-Qusyairi an-Naisaburiy, Sahih Muslim,
Juz. 4, Dar Ihya‟ At-turats
Al-Arabi, Beirut, Libanon, 1991, h. 2322.
kita yaitu mengenai warisan kakek, kalalah dan
perkara-perkara yang masuk dalam
kategori riba.” Oleh karena itu,
mayoritas sahabat sangat
berhati-hati dalam menentukan
masalah ini, bahkan
mereka cenderung sangat
takut untuk memberi fatwa yang berkenaan dengan masalah
ini.
Ibn Mas'ud r.a. dalam hal ini
pernah mengatakan: Artinya:
"Bertanyalah kalian kepada kami tentang masalah yang sangat pelik sekalipun,
namun janganlah kalian
tanyakan kepadaku tentang masalah warisan kakek yang sahih dengan
saudara." Di lain pihak Umar bin
Khattab menyatakan: Artinya: “Jika
engkau telah berani
dalam membagi warisan
kepada kakek bersama saudara berarti engkau lebih berani di
dalam neraka”.
Sedang pernyataan serupa di tegaskan oleh Ali
bin Abi Thalib: Artinya: “Barang
siapa ingin diceburkan
ke dalam neraka
jahanam, maka putuskanlah kewarisan kakek bersama dengan
saudara”.
Para imam mazhab pun berbeda pendapat mengenai
kewarisan kakek bila bersama dengan
saudara, sama seperti perbedaan yang terjadi di kalangan para sahabat Rasulullah SAW.
Muhammad
Abd Aziz al-Khalidiy,
Hawasyi al-Syarwani Wa
Ibni Qasim al-‘Ubbadi Ala Tuhfah al-Muhtaj Bi Syarh al-Minhaj,
J-VIII, Dar Al-Kutub, Beirut Libanon, 1996, h. 383.
Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris,
Penerjemah: Abdul Hamid Zahwan, Solo: CV.
Pustaka Mantiq, 1994, h. 84.
Beni Ahmad Saebani, Fiqih Mawaris, Bandung,
CV. Pustaka Setia, cet. I, 2009, h. 238.
Perbedaan
tersebut antara lain:
Golongan yang dipelopori
oleh Ali, Zaid
ibn Tsabit, Ibn
Mas‟ud, yang kemudian
diamalkan oleh Malik ,
Syafi‟i
, Ahmad , Abu Yusuf , dan Muhammad Al -Syaibani dari kalangan Hanafiyah, Al-Auza‟i berpendapat bahwa para
saudara sekandung dan saudara seayah,
baik laki-laki maupun perempuan berhak mendapat hak waris ketika bersamaan
dengan kakek. Kakek
tidaklah menggugurkan hak waris para saudara
sekandung dan yang seayah, seperti halnya ayah.
Alasan
yang dikemukakan oleh
pendapat ini ialah,
bahwa derajat kekerabatan
saudara dan kakek
dengan pewaris sama.
Kedekatan kakek terhadap
pewaris melewati ayah,
demikian juga saudara.
Kakek merupakan pokok dari ayah (ayahnya ayah), sedangkan
saudara adalah cabang dari ayah (anak-anaknya ayah),
karena itu tidaklah
layak untuk mengutamakan
yang satu dari yang lain karena
mereka sama derajatnya. Bila kita
mengutama kan yang satu
dan mencegah yang
lain berarti telah
melakukan kezaliman tanpa alasan yang
dapat diterima. Hal
ini sama dengan
memberikan hak waris kepada para
saudara sekandung kemudian
di antara mereka
ada yang tidak diberi.
Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amru
bin Ghaiman bin Huthail bin Amru bin Al-Haris
yang dikenal dengan
sebutan Imam Malik
dan sebagai pendiri
madzhab Maliki.
Imam Malik
lahir di kota
Madinah tahun 93
H dan wafat
tahun 179 H.
(Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah dan Biografi Empat Imam Madhab, Amzah,
Jakarta, cet. ke-5, 2008, h. 71).
Abu
Abdillah Muhammad Bin
Idris Bin ‟Abbas
Bin Usman dan dikenal dengan sebutan Imam Syafi'i dan pendiri mazhab
Syafi'i. Imam Syafi'i lahir di Gazza
tahun 150 H/767 M, dan wafat tahun 204
H. (Ibid., h. 141).
Ahmad
bin Muhammad bin
Hanbal al-Syaibani, lahir
di Bagdad pada
bulan Rabi‟ul Awwal 164 H dan wafat pada tahun 241 H. Ahmad
bin Muhammad bin Hanbal al-Syaibani adalah pendiri mazhab Hanabilah. Ibid, h. 191.
Ya‟qub bin Ibrahim al-Ansari lahir di Kufah
(113 H/731 M-182 H/798 M). Ya‟qub bin Ibrahim al-Ansari
adalah salah satu
sahabat Imam Abu
Hanifah yang ahli
fikih, ahli tafsir,
ahli hadis, sejarawan, sastrawan,
teolog, dan ketua Mahkamah Agung Daulah ‘Abbasiyah. (Abdul Azis Dahlan, dkk., Op.Cit., h. 16.) Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam,
Jakarta: Kencana, Cet. ke-3, 2008, h. 117.
Alasan
lain yang dikemukakan
ialah, bahwa kebutuhan
para saudara terhadap harta jauh lebih besar daripada kakek.
Sebagai gambaran, misalnya saja warisan pewaris ini dibagikan atau
diberikan hanya kepada kakek tanpa saudara
diberi bagian, kemudian kakek ini wafat, maka harta peninggalan nya akan berpindah kepada anak-anaknya kakek, yang
berarti paman-paman para saudara.
Pendapat berbeda
yang dipelopori oleh
Abu Bakar dan
juga diikuti oleh
Ibnu Abbas, Abdullah
ibn Zubair, Usman,
Aisyah, Ubay bin
Ka‟ab, Muaz bin
Jabal, Abu Musa
yang kemudian diikuti
oleh Abu Hanifah,
alMuzani, Daud dan Ibnu Munzir menyatakan bahwa para saudara, baik
saudara sekandung, saudara
seayah, ataupun seibu,
terhalang (gugur) hak
warisnya dengan adanya kakek.
Menurut
Imam Abu Hanifah, kakek akan
mengganti kedudukan ayah bila telah tiada, karena kakek merupakan
bapak yang paling tinggi.
Hal ini didasarkan pula bahwa
kata ”al-ab” dalam al-Qur‟an meliputi kakek, yaitu ayahnya ayah sampai ke atas jalur
nasab, sebagaimana kata ”ibn” mencakup
anaknya anak (cucu) sampai ke bawah. Hal
ini diambil dari katakata “al-ab” dalam firman Allah surat Yusuf ayat 38: Artinya: Dan
aku pengikut agama
bapak-bapakku yaitu Ibrahim,
Ishak dan Ya'qub…….
Muhammad Ali ash-Shabuni, Op.Cit., h. 86.
Amir Syarifuddin, Op. Cit., h. 116.
Departemen Agama R.I, Op.Cit., h.323.
Artinya:
“Kamu tidak menyembah
yang selain Allah
kecuali Hanya (menyembah)
nama-nama yang kamu
dan nenek moyangmu membuat-buatnya…” (QS. Yusuf: 40).
Ayat
di atas menunjukkan
bahwa lafal “al-ab”
juga mencakup di dalamnya
kakek, karena Nabi Ibrahim, Ishaq adalah kakek Nabi Yusuf.
Pendapat Imam Abu Hanifah
mengikuti pendapat Abu Bakr as-Siddiq yang
mengatakan kakek adalah ayah. Beliau mengikuti pendapat Abu Bakr as Siddiq
karena beliau adalah sahabat Nabi yang paling
’alim dan paling utama, serta
tidak ada sahabat
lain yang menentang
pendapatnya. Dan pendapat
ini diikuti pula oleh empat belas
sahabat yang lain.
Karena perbedaan pendapat para ulama‟ Madzhab
dengan Imam Abu Hanifah itulah
penulis tertarik untuk
menganalisis pendapat Abu
Hanifah dalam bentuk skripsi
yang berjudul “Studi
Analisis Pendapat Imam
Abu Hanifah Tentang Kewarisan
Kakek Bersama Saudara”.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi