A. Latar Belakang Masalah.
Perkawinan merupakan pintu gerbang kehidupan yang wajar
atau biasa dilalui oleh umumnya umat
manusia. Dimana-mana di seluruh pelosok bumi, termasuk di tempat paling jauh, didapati orang
laki-laki dan perempuan hidup sebagai suami
istri. Apabila kita
mengakui keluarga yang
kokoh merupakan syarat
penting bagi kesejahteraan
masyarakat, haruslah diakui
pula langkah persiapan untuk membentuk sebuah keluarga.
Dalam
Al-Qur’an dinyatakan bahwa
hidup berpasang-pasangan, adalah sunnatullah. Sebagimana firman-Nya : Artinya:
“Dan segala sesuatu
kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” (Q.S.
Ad-Dzariyat : 49) Hal yang senada
juga diterangkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya dalam ayat yang lain, dinyatakan bahwa: H.
Sutan Marajo Nasaruddin Latif, Ilmu
Perkawinan : Problematika Seputar
Keluarga Dan Rumah Tangga, Bandung :
Pustaka Hidayah, 2001, hal. 13.
Abdul Ghofur Ghozali, Fiqih Munakahat, Jakarta
: Kencana, 2008, hlm. 12.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahannya, Surabaya : Surya Cipta Aksara, 1993, hlm. 862.
Artinya:
“Maha Suci Tuhan
yang Telah menciptakan
pasangan-pasangan semuanya, baik
dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka
ketahui.” (Q.S. Yaasin: 36) Berpasang-pasangan merupakan pola hidup yang
ditetapkan oleh Allah SWT bagi
makhluk-Nya sebagai sarana
untuk memperbanyak (melanjutkan) keturunan
dan mempertahankan hidup,
yang mana masing-masing
pasangan telah diberi
bekal oleh Allah
SWT untuk mencapai
tujuan tersebut dengan sebaik mungkin.
Allah SWT berfirman: Artinya: “Hai manusia,
Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa -bangsa
dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal.” (QS. Al -Hujurat: 13) Artinya:
“Hai sekalian manusia,
bertakwalah kepada Tuhan-mu
yang telah menciptakan
kamu dari seorang
diri, dan dari
padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari
pada keduanya Allah memperkembang biakkan
laki-laki dan perempuan
yang banyak.” (QS. An-Nisa: 1) 4 Ibid,
hlm. 710.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 3, Jakarta :
Cakrawala Publishing, 2008, hal. 196.
Departemen Agama RI, op cit, hlm. 847.
Ibid, hlm. 114.
Pada umumnya,
banyak orang yang lebih tertarik
dengan sesama yang memiliki harta yang melimpah, paras yang menawan,
pangkat dan kedudukan yang tinggi,
atau pun kemuliaan
nasab orang tuanya.
Dengan tanpa memerhatikan
akhlak dan pendidikan
yang dijalaninya, kehidupan
rumah tangganya akan berakhir
dengan menyisakan kepiluan dan rasa sedih.
Dalam
hal menilih pasangan,
yang harus diperhatikan
adalah hendaknya dia melihat
agamanya, apakah wawasan keagamaanya cukup baik atau
belum, sebab agama
merupakan muara akal
dan hati. Jika
hal itu telah terpenuhi oleh
pasangan hidupnya, maka
hal lain boleh
dijadikan sebagai bahan pertimbangan, sesuai dengan keinginan
masing-masing individu.
Rasulullah SAW bersabda : .
Artiya :
“Perempuan dinikahi karena
empat perkara: karena
hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan
karena agamanya. Pilihlah karena agamanya, niscaya kamu beruntung.” Berdasarkan hadis
di atas, kebanyakan
pemuda dari dahulu
sampai sekarang ingin menikahi
perempuan karena beberapa sebab: a.
Harta Sayyid Sabiq, op cit., hlm.
214.
Ibid., hlm. 216.
Muhammad
Ibn Ismail As
San’ani, Subulus Salam,
Sarah Bulughul Maram,
juz 3, Beirut: Darul Kitab al Arabi, 1991, hlm. 231.
Kebanyakan orang ingin menikah dengan seorang
hartawan, sekalipun dia tahu perkawinan
ini tidak akan sesuai dengan keadaan dirinya.
Orang yang mementingkan perkawinan
disebabkan karena harta
benda. Pandangan inibukanlah
pandangan yang sehat, terlebih lagi
hal ini terjadi
pada lakilaki. Karena
sudah pasti akan
menjatuhkan dirinya di
bawah pengaruh perempuan dari hartanya.
b.
Keturunan Karena
mengharapkan keturunan atau
bangsawan. Berarti mengharapkan gelar atau pangkat. Ini juga tidak akan
memberi faidah sebagaimana yang diharapkannya, bisa
saja terjadi kemungkinan
akan menambah hina
dan dihinakan. Karena
kebangsawanan salah seorang
suami isteri itu
tidak akan berpindah kepada orang
lain.
c.
Kecantikan Memilih karena kecantikan, ini sedikit lebih baik daripada
memilih karen harta dan
keturunan. Karena harta dapat
lenyap dengan cepat,
tetapi kecantikan seseorang dapat
bertahan sampai tua.
d. Agama Memilih karena agama inilah yang patut
ddan baik untuk dijadikan ukuran dalam pergaulan
yang akan kekal.
Serta dapat menjadi
dasar kerukunan dan kemaslahatan rumah tangga serta keluarga.
Selain beberapa hal di atas, perlu
diperhatikan lagi beberapa hal yang harus
ada pada diri perempuan yang akan dilamar adalah: Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, cetakan 17,
Jakarta: Attahiriyah, 1976. hlm. 357.
Ibid. hlm. 358.
Ibid.
Yang
pertama, dia berasal
dari lingkungan (keluarga)
yang baik, mampu
mengendalikan diri, tidak
berperilaku aneh sehingga
sehingga dia layak
untuk menjalankan perannya
dalam mengasihi anak -anaknya
dan memenuhi hak
suami. Sebab, perempuan
yang memiliki sifat
seperti ini, kemungkinan
besar dia bisa
mencurahkan kasih sayangnya
kepada anakanaknya dan mampu
menjaga hak suaminya.
Yang kedua, dapat memberi keturunan atau
tidak mandul ( walud). Di antara
tujuan dari pernikahan
adalah unruk mendapatkan
keturunan.
Karenanya, hendaknya
perempuan yang (akan
dijadikan istri) dapat melahirkan (tidak
mandul). Hal ini
dapat diketahui dengan
melihat kondisi fisik calon istri, juga dapat dilihat dari
keluarga yang lain. Sebagaimana sabda Nabi saw: Artinya: “Nikahilah oleh kalian
wanita yang pencinta dan subur, karena aku akan
bangga dengan banyaknya
kalian kepada umat-umat
yang lain.” Yang ketiga, memiliki
paras yang menawan. Yang ada pada diri setiap orang adalah menyukai dan tertarik pada
sesuatu yang indah, dia akan hampa jika
suatu yang indah jauh dari dirinya. Jika sesuatu yang indah dan menarik hatinya
selalu berdekatan dengannya,
dia akan merasakan
kedamaian dan ketenangan. Karena itu, Islam tidak menafikan kecantikan sebagai salah satu kriteria yang perlu diperhatikan saat memilih
istri.
Abu Daud, Sunan Abu Daud, Jilid II, Beirut, 1996, hlm. 86.
Sayyid Sabiq, op cit, hlm. 218.
Yang
keempat, mendahulukan yang masih perawan
bagi laki-laki yang belum menikah.
Hendaknya perempuan yang
dijadikan istri yang
ma sih perawan, karena
dia cenderung lebih
tulus dan belum
pernah menjalin hubungan dengan laki-laki lain (bersuami).
Dengan demikian, cinta yang ada pada
dirinya merupakan cinta yang pertama.
Yang kelima,
hendaknya mencari yang
sepadan. Hal lain
yang perlu diperhatikan usia, yaitu hendaknya tidak
terpaut amat jauh, kedudukan sosial, pendidikan, dan
ekonomi. Adanya kesetaraan
dalam beberapa hal
tersebut dapat menjaga
keharmonisan rumah tangga.
Islam
hanya mengakui perkawinan antara
laki-laki dan perempuan dan tidak boleh
lain dari itu,
seperti sesama laki-laki
atau sesama perempuan, karena
ini yang tersebut
dalam Al-Qur’an. Adapun
syarat-syarat yang mesti dipenuhi
untuk laki-laki dan perempuan yang
akan kawin ini adalah sebagai berikut:
Yang pertama, keduanya
jelas identitasnya dan
dapat dibedakan dengan yang lainnya, baik menyangkut nama,
jenis kelamin, keberadaan, dan hal lain
yang berkenaan dengan
dirinya. Adanya syariat
peminangan yang terdapat
dalam Al -Qur’an dan
Hadis Nabi kiranya
merupakan suatu syarat supaya
kedua calon pengantin
telah sama-sama tahu
mengenal pihak lain, secara baik
dan terbuka. Yang
kedua, keduanya sama-sama
beragama Islam.
Yang ketiga,
antara keduanya tidak
terlarang melangsungkan perkawinan.
Yang keempat,
kedua belah pihak
telah setu ju untuk
kawin dan setuju
pula Ibid, hlm. 220.
Amir
Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia : Antara Fiqh
Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan,
Jakarta : Kencana, 2009, hlm. 64.
dengan
pihak yang akan
mengawininya. Yang kelima,
keduanya telah mencapai usia yang layak untuk melangsungkan
perkawinan.
Selain
beberapa syarat di
atas, calon mempelai
dalam hukum perkawinan
Islam di Indonesia
menentukan salah satu
syarat, yaitu persetujuan calon mempelai. Hal ini berarti
calon mempelai sudah menyetujui yang
akan menjadi pasangan (suami istri), baik dari pihak perempuan maupun pihak
laki-laki yang akan
menjalani ikatan perkawinan,
sehingga mereka nantinya menjadi senang dalam melaksanakan hak
dan kewajibannya sebagai suami dan
istri. Persetujuan calon mempelai merupakan hasil dari peminangan (khitbah)
dan dapat diketahui
sesudah pegawai pencatat
nikah meminta calon
mempelai untuk menandatangani blanko
sebaga i bukti persetujuanya sebelum melaksanakan akad nikah.
Akhir-akhir
ini banyak sekali perubahan
peradaban yang terjadi pada manusia.
Sejalan dengan tuntutan
perkembangan zaman, manusia
semakin banyak kehilangan
nilai-nilai yang diyakini
sebelumnya. Budaya yang
serba permisif membuat
manusia hingga masuk
ke dalam kemaksiatan.
Pergaulan bebas hingga
free sex melanda
kalangan muda-mudi. Oleh
karena itu, hendaknya
memilih perempuan itu yang
tidak menjerumuskan suami kepada kemaksiatan. Sebagaimana hadis dari Ibnu
Abbas, Nabi saw bersabda: Ibid, hlm. 66.
Khitbah
(peminangan) adalah suatu
bentuk aktifitas yang
menjadi pembuka untuk melangsungkan pernikahan.
Allah swt memberlakukan
pinangan (sebagai langkah
awal) agar orang yang akan melangsungkan pernikahan
saling mengenal satu sama lain (antara calon istri dan calon
suami), sehingga di
antara ke duanya
mantap melangsungkan pernikahan.
Lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 3, Jakarta : Cakrawala
Publishing, 2008, hal. 225.
Zainuddin
Ali, Hukum Perdata Islam Di
Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2006, hlm.
13.
οΊ€
Artinya: “Empat perkara
yang mendapatkan kebaikan
didunia dan akhirat: hati
yang selalu bersyukur,
lisan yang selalu
berdzikir, sabar diwaktu
sakit, istri yang
mau dikawini bukan
karena mau menjerumuskannya ke dalam kemaksiatan dan
menjaga hartanya.” Para muda-mudi bebas
bergaul tanpa ada yang menghalangi. Dampak dari pergaulan bebas dapat kita lihat dari
perubahan pandangan di masyarakat dimana terjadi
perubahan nilai atau
cara pandang terhadap
pergaulan antar lawan
jenis yang ternyata
sudah berubah. Dulu
pacaran atau bermesraan
di depan umum
dianggap tabu, kini
hal itu dianggap
biasa. Jangankan bersentuhan
atau sekadar berciuman,
yang lebih dari
itu pun bahkan dilakukan,
dengan tanpa rasa
malu. Pelan tapi
pasti, para pelaku
pacaran tersebut akhirnya
terjerumus kedalam jurang
dosa karena melakukan perbuatan
yang amat keji
dan dilarang oleh
Allah SWT, yaitu
berzina. Dan dampak
kerugian yang lebih
banyak diterima akibat
pergaulan seperti ini adalah
pihak perempuan.
Komisi Perlindungan
Anak (KPA) mengungkapkan 97 persen
remaja pernah menonton
atau mengakses pornografi.
didapatkan, sebanyak 62,7 persen remaja
pernah melakukan hubungan
badan atau dalam
istilah remaja Muhammad
Abdul Rauf Munawi,
Faid al Qadir:
Syarah Jami’ al
Shaghir, Juz I, Beirut:
Darul Kutub al Ilmiyah, 1994, hlm. 595.
ML (making love). “Survei KPA yang dilakukan terhadap 4.500
remaja di 12 kota besar
seluruh Indonesia juga
menemukan 93 persen
remaja pernah berciuman, dan 62,7 persen pernah berhubungan
badan, dan 21 persen remaja telah melakukan oborsi,” ujar Tifatul dalam
siaran persnya di Jakarta, Minggu (9/5/2010).
“Ini sangat memprihatinkan, saya minta semua
pihak ikut mendukung upaya pembatasan
distribusi konten negatif,
baik melalui internet,
maupun dunia perfilman.
Semuanya harus terlibat
menjaga generasi muda
kita,” ujar Tifatul.
Menteri Komunikasi dan
Informatika (Menkominfo) juga menyatakan,
pertarungan antar
nilai-nilai budaya, pengaruh
asing, setiap hari
terus berlangsung, sehingga
bangsa ini harus
menjaga kekokohan nilai-nilai karakter bangsa. Jika tidak, maka Indonesia
akan kehilangan identitas sebagai bangsa
besar.
Jika
seorang wanita yang
telah melakukan zina,
ingin melaksanakan pernikahan.
Dalam kasus seperti
ini, terjadi perbedaan
pendapat dikalangan ulama tentang
syarat nikah bagi wanita yang telah melakukan zina.
Mazhab Ahmad
bin Hanbal berpendapat:
tidak boleh menikahi perempuan
yang telah dizinai
kecuali dengan dua
syarat berikut: pertama, telah
bertaubat dari perbuatanya.
Kedua, iddah yaitu hingga melahirkan jika ia http://nasional.kompas.com/read/2010/05/09/19005745/62.7.Persen.Remaja.Indonesia.
Pernah.Ml. Di unggah tanggal 15
Okrober 2011.
Ibid.
hamil
atau menunggu tiga
kali haid jika
ia tidak hamil.
Pendapat
ini dinyatakan oleh Ibnu Hazm,
Ibnu Qudamah, dan Ibnu Taimiyah.
Ulama Malikiyah
berpendapat bahwa perempuan
yang dicampuri dalam bentuk zina sama hukumnya dengan
perempuan yang dicampuri secara syubhat, berdasarkan
akad yang batil
maupun fasid yaitu
dia harus menyucikan
dirinya dalam waktu
yang sama dengan
iddah kecuali jika dikehendaki untuk
dilakukan had atas
dirinya, maka ia
cukup menyucikan dirinya dengan satu kali haid.
Menurut Syafi’iyah dan Hanafiyah
perempuan hamil karena zina tidak diwajibkan untuk menjalankan
iddah, karena iddah
bertujuan untuk menjaga nasab
sementara persetubuhan dalam
bentuk zina tidak
menyebabkan hubungan nasab dengan
laki-laki yang menyebabkan hamil.
Dari
persoalan yang disampaikan
di atas, penyusun
ingin melakukan analisis
dalam bentuk skripsi
terhadap pendapat Ulama
Hanabilah dengan mengambil pendapat Ibnu Qudamah. Karena beliau
seorang ulama yang lebih dahulu dari
pada Ibnu Taimiyah.
Sedangkan Ibnu Hazm
adalah seorang pengembang Mazhab Az-Zhahiri, bahkan dinilai
sebagai pendiri kedua setelah Daud
Az-Zhahiri.
Selain itu, pendapat ulama Hanabilah dalam
permasalahan ini berbeda
dengan yang lain.
Di mana para
pelaku zina ini
disyaratkan sebelum melakukan
pernikahan. Maka penulis membuat
skripsi dengan judul Syaikh Allamah Muhammad Bin Abdurrahman Ad
Damasyqi, Fikih Empat Mazhab, Bandung :
Hasyimi Press, 2001, hlm. 360.
25) Sayyid Sabiq, op cit, hlm.
282-283.
Abdul
Azis Dahlan, Ensiklopedi
Hukum Islam, cetakan
I, Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1996, hlm. 608.
“Studi
Analisis Pendapat Ibnu
Qudamah Tentang Syarat
Wanita Zina Yang Akan Menikah” B. Pokok Permasalahan.
Berdasarkan dari
latar belakang yang telah
dipaparkan di atas,
maka dapat dikemukakan
di sini pokok-pokok
permasalahan yang akan
dibahas dalam skripsi ini.
Pokok-pokok permasalahan tersebut
adalah sebagai berikut :.
1. Bagaimana pendapat Ibnu Qudamah tentang
syarat wanita zina yang
akan menikah? 2. Bagaimana
istinbath hukum Ibnu
Qudamah tentang syarat
wanita zina yang akan menikah? C. Tujuan Penulisan Skripsi.
Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi
ini adalah sebagai berikut : 1. Tujuan material.
a. Untuk mengetahui pendapat Ibnu Qudamah
tentang syarat wanita zina yang akan
menikah.
b. Untuk mengetahui istinbath hukum yang digunakan Ibnu Qudamah tentang syarat wanita zina yang akan menikah.
2. Tujuan formal .
Adapun
tujuan formal dari
penelitian ini adalah
untuk memenuhi persyaratan
dalam rangka memperoleh
gelar sarjana hukum
Islam pada Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.
D. Telaah Pustaka.
Sejauh penelusuran
penulis, belum ditemukan
tulisan dalam bentuk skripsi
yang secara spesifik
dan mendetail membahas
tentang syarat nikah bagi
wanita yang telah melakukan zina. Bahan
pustaka yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu dengan mencari
kitab-kitab, buku-buku, maupun
dalam bentuk skripsi.
Sumirah (286137)
dengan skripsinya yang
berjudul “Studi Analisis Terhadap
Persepsi Imam Syafi’i
Tentang Kebolehan Mengawini
Wanita Pezina”. Dalam
skripsi ini membahas
tentang pendapat Imam
Syafi’ i yang membolehkan menikahi wanita pezina tanpa
adanya syarat apapun.
Moch Asrori
dengan skripsinya yang
berjudul “Analisis Terhadap Pendapat
Imam Hanafi Tentang
Tidak Ada Iddah
Bagi Perempuan Hamil Karena Zina”
yang membahas pendapat
Imam Hanafi tentang
tidak adanya iddah bagi perempuan yang hamil akibat zina.
Fatachudin Latif (2101086) dengan
skripsinya yang berjudul “Analisis Hukum
Islam Terhadap Wali Nikah Bagi Anak Perempuan Hasil Nikah Hamil (Studi kasus di KUA Kec. Semarang Tengah Kota
Semarang) ”. dalam skripsi ini,
menjelaskan tentang bagaimana
cara KUA dalam menentukan
bagi anak gadis yang lahir akibat
peristiwa nikah hamil kedua orang tuanya.
Dari beberapa skripsi di atas,
maka penulis akan lebih fokus terhadap pendapat
Ibnu Qudamah yang menerangkan tentang adanya syarat nikah bagi wanita yang telah melakukan zina.
E. Metode Penelitian.
Sebagai pegangan
dalam penulisan skripsi ini berdasarkan pada suatu penelitian kepustakaan yang relevan dengan
pokok pembahasan dalam skripsi ini. Penelitian
ini merupakan penelitian
studi pustaka (library
research) dengan pendekatan kualitatif.
Dalam penulisan, skripsi ini akan menggunakan metode sebagai berikut: 1. Sumber Data.
Terdapat dua sumber data
penelitian ini yaitu primer dan sekunder.
Sumber data primer adalah bahan
orisinil yang menjadi dasar bagi peneliti lain, dan merupakan penyajian formal pertama
dari hasil penelitian. Yaitu pendapat
Ibnu Qudamah dalam
kitabnya Al-Mughni, yang
menjelaskan tentang syarat nikah
bagi wanita yang tela h melakukan zina.
Sumber data sekunder, adalah
sumber yang mempermudah proses penilaian literatur
primer, yang mengemas
ulang, menata kembali, menginterprestasi ulang,
merangkum, mengindeks atau
dengan cara lain “menambah nilai”
pada informasi baru
yang dilaporkan dalam
literatur primer.
Pendapat
Ibnu Taimiyah dalam
kitabnya Al Fatawa
juz 32 halaman 109, yang menjelaskan tentang tidak
boleh menikahi wanita zina Lexi J. Meleong,
Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : PT. Remaja Rosda Karya, 2007, hlm. 11.
sebelum ia bertaubat. Sayyid Sabiq dalam Fikih
Sunnah, yang menjelaskan tentang nikah
wanita zina. Amir Syarifuddin dalam
bukunya Hukum Perkawinan
Islam Di Indonesia:
Antara Fiqh Menakahat
Dan UndangUndang Perkawinan,
yang menjelaskan perkawinan
dengan pezina dan perkawinan dengan
perempuan hamil karena
zina. Direktorat Jenderal Pembinaan
Kelembagaan Agama Islam
Departemen Agama, dalam bukunya Ilmu
Fiqh Jilid II.
Yang membahas tentang
mengawini perempuan yang berzina.
Teungku muhammad hasbi ash-shiddieqy, dalam bukunya
Koleksi Hadis-Hadis Hukum
8, yang membahas
tentang nikah pezina.
2. Teknik Pengumpulan Data.
Teknik pengumpulan
data berupa teknik
dokumentasi atau studi dokumenter. Yaitu
dengan menggunakan data
primer yang berupa
kitab karya Ibnu Qudamah yang
mengkaji tentang syarat nikah bagi wanita yang telah
melakukan zina dan
data sekunder yang
berupa buku-buku sebagai penunjang dalam analisis masalah tersebut.
3. Teknik Analisa Data.
Berangkat dari studi yang
bersifat literatur ini,
maka sumber data skripsi disandarkan
pada riset kepustakaan.
Demikian pula untuk menghasilkan
kesimpulan yang benar-benar
valid, maka data
yang terkumpul dianalisis dengan
menggunakan metode deskriptif analitis.
Metode deskriptif analit is ini untuk memberikan data yang seteliti mungkin
dan menggambarkan sikap
suatu keadaan dan
sebab-sebab dari suatu
gejala tertentu. Untuk
dianalisis dengan pemeriksaan
secara konseptual atas suatu
pendapat, sehingga dapat diperoleh suatu
kejelasan arti seperti yang terkandung
dalam pendapat tersebut.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi