BAB I .
PENDAHULUAN .
A. Latar Belakang .
Zakat, merupakan suatu kewajiban
bagi umat Islam yang telah ditetapkan dalam al
Qur’an, Sunah nabi,
dan ijma’ para
ulama. Tak kurang
dari 28 kali Allah SWT
menempatkan teks zakat
beriringan dengan shalat.
Hal ini bisa memberi pengertian
kepada kesempurnaan perlambangan hubungan antara
dua ibadah tersebut dalam hal
keutamaan dan kepentingannya.
Dari kelima pokok bangunan
fundamen ajaran Islam, sepertinya zakatlah yang paling dekat dengan inti persoalan
ketidakadilan. Apa yang dihasilkan oleh diskursus
tentang zakat semakin tidak sepadan dengan ketidakadilan yang justru semakin tidak terkendali. Ini tidak mustahil
bila kejenuhan itu terus terjadi. Lalu, akan mencul
tiga sikap dikalangan
umat Islam yang
sama-sama membersitkan keputusasaan.
Pertama, sikap
fatalis yang mengatakan
bahwa dalam keunggulan
yang dijamin Tuhan, Islam melalui
ajaran zakatnya pasti akan mengatasi ketidakadilan itu
dengan kemampuannya sendiri.
Tidak mungkin Tuhan
memproklamasikan Bukanlah
semata-mata urusan yang
bersifat kedermawanan (karitatif), tetapi juga
bersifat otoritatif (perlu
ada kekuatan yang
memaksa). Contoh
pelaksanaannya pada masa
Abu Bakar dan Umar bin
Abdul Aziz. Lihat
Moh. Asror Yusuf
(ed), Agama Sebagai
Kritik Sosial di Tengah
Arus Kapitalisme Global,
(Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), cet. Pertama, hlm. 131.
Abdul
Al-Hamid Mahmud Al-Ba’ly,
Ekonomi Zakat: Sebuah
Kajian Moneter dan Keuangan
Syari’ah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 1.
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy,
Pedoman Zakat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 26.
1 2 Islam sebagai
agama paling unggul
tanpa disertai pembuktian
nyata atas keunggulannya.
Kedua, sikap
apatis yang menyakini
bahwa klaim Islam
sebagai agama yang
dapat mengatasi persoalan-persoalan kemanusiaan,
dalam kenyataannya tidak
lebih dari sekadar
mitos. Upaya untuk
mencari kaitan antara Islam
dan persoalan-persoalan kemanusiaan
seperti keadilan sosial
yang masih tampak belakangan
ini, sebenarnya tidak
lebih dari sekadar olah
pikir dan retorika kosong. Persoalan-persoalan nyata pada level
sosialtetap saja merupakan daerah otonom
yang pada kewenangan manusia dengan potensi nalarnya.
Ketiga, sikap dogmatis-formalistis
lama yang merasa memperoleh hujjah kuat untuk
meneguhkan diri kembali.
Sikap ini berpendapat
bahwa terhadap ajaran
agama yang mana
saja, tak terkecuali
zakat, tugas manusia
bukannya mendiskusikannya. Akan
tetapi, menerima ajaran
itu sebagaimana adanya mengamalkannya.
Sebagai bagian
dari ajaran agama
untuk kehidupan sosial,
zakat pada dasarnya adalah konsep etik dan moral.
Maksud utamanya, dengan mau
berzakat, minimal secara moral seseorang
akan dapat menghilangkan sifat rakus dan tamak serta
bisa meminimalisirkan kemiskinan.
Terlebih lagi, sebagai
konsep keagamaan, zakat itu
bersifat ruhaniah dan keikhlasan personal.
Masdar
Farid Mas’udi, Agama
Keadilan: Risalah Zakat
(Pajak) Dalam Islam,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993),
hlm. 4-5.
Masdar Farid Mas’udi dalam
“Prakata” penulis buku “Pajak Itu Zakat: Uang Allah Untuk Kemaslahatan Rakyat”, (Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2010), cet. Pertama. 3 Dalam rangka
itulah, zakat merupakan
ibadah maliyyah ijtimaiyyah (ibadah yang
berkaitan dengan ekonomi
keuangan dan kemasyarakat) yang memiliki posisi
penting, strategis, dan
menentukan baik dari
segi ajaran Islam maupun
sisi pembangunan kesejahteraan sosial.
Pertumbuhan dan perkembangan usaha
manusia yang mendatangkan
hasil dan keuntungan
bisa pula membawa pengaruh
terhadap pertumbuhan dan
perkembangan zakat. Dan,
seseorang yang memenuhi
syarat-syaratnya, yaitu setiap
muslim yang mempunyai kekayaankekayaan tertentu dan telah sampai
syarat-syaratnya, seperti kekayaan itu sampai nishab-nya, ia wajib mengeluarkan zakat.
Para pengusaha
yang sukses, apakah
ia melalui usaha pertanian, perkebunan,
peternakan, perikanan, perhutanan,
pertambangan, perindustrian, perdagangan dan jasa atau usaha-usaha lainnya
harusmenyadari bahwa di dalam kekayaannya
itu ada sebagian hak milik orang lain
yang harus segera diberikan kepada yang
berhak menerimanya melalui
”investasi” zakat bila
telah sampai nishab-nya.
Maka dari
itu, permasalahan yang
muncul saat ini
tidak sama seperti zaman
dahulu. Lebih-lebih terkait
dengan perkembangan ekonomi
rakyat Indonesia yang sudah
terlibat pola dan cara perekonomian di abad digitalisasi ini Masjfuk
Zuhdi, Masail Fiqhiyah,
(Jakarta: Toko Gunung
Agung, 1997 ), cet.
Kesepuluh.
hlm. 225.
Didin
Hafidhuddin, Zakat Dalam
Perekonomian Modern, (Jakarta:
Gema Insani Press, 2002), cet. Kedua, hlm. 1-2 B. Wiwoho dan Usman Yatim (ed), Zakat dan
Pajak, (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1991), cet. Kedua, hlm. 17.
Ibid., 4 memungkinkan
timbulnya wujud-wujud baru dari harta benda serta cara-cara baru bagi pengembangan dan perolehan harta benda
tersebut.
1Tepatnya era
globalisasi modern yang
acap kali dikatakan
mempunyai kekuatan raksasa
itu dapat mempengaruhi
tata kehidupan dunia
secara menyeluruh, stimulan,
dan berdampak multi
effect. Hal ini
tak diragukan lagi bahwa berbagai
pengaruh tersebut akan
melahirkan berbagai macam
persoalan dalam dunia
usaha dan persoalan
baru dalam bidang
ekonomi serta keuangan.
Yang mana,
persoalan baru ini
belum pernah dikenal
orang-orang yang hidup paling
dekat dengan zaman Nabi Muhammad SAW.
Salah satu
permasalahan yang penulis
ajukan dalam penelitian
muncul pada masa
sekarang yakni persoalan
uang kertas. Dijelaskan,
uang telah mengalami
perubahan dari mulai
konsep, fungsi serta bentuknya dari
waktu ke waktu.
Perkembangan uang secara
dinamis telah menyisakan
persoalan dikalangan umat
Islam. Sehingga, alangkah
baiknya ia harus
membutuhkan sentuhan perhatian
serius untuk menemukan solusi nyata atas problematika yang muncul ini. Salah satunya persoalan tersebut
berkaitan dengan hukum zakat uang.
Perlu disebutkan
bahwa uang pada
zaman Rasulullah SAW
terbuat dari emas
dan perak. Sehingga,
ia terkena kewajiban
untuk mengeluarkan zakatnya.
Sedangkan pada
masa sekarang, uang
sudah terbuat dari
bahan kertas di
mana 1Ali Yafie, Menggagas Fiqih
Sosial, (Bandung: Mizan, 1994), cet. Kedua, hlm. 238.
5 kertas
tersebut bukan komoditas
yang wajib dikeluarkan
zakatnya.
1 Kemudian, permasalahan lain muncul ketika terkait
penentuan nishab dibicarakan seksama.
Kedua mata uang tersebut memang
mempunyai nisab masing-masing. Uang emas (dinar) wajib dikeluarkan zakatnya apabila
mencapaijumlah 20 dinar, sedangkan uang perak
(dirham) wajib dikeluarkan
zakatnya bila mencapai jumlah
200 dirham. Lalu,
pada masa sekarang
kira-kira uang standar
mana yang akan dijadikan patokan
karena kedua nishab
tersebut mempunyai nominal
yang berbeda jika diwujudkan
dengan uang kertas.
1Sungguh menarik
bila kasus ini
kita teliti terhadap hasil pendapat KH.
Sahal Mahfudh.
Sebab, menurut pendapat
KH. Sahal Mahfudh,
zakat ini disamping berfungsi utama sebagai sarana untuk
beribadah dan mendekatkan diri kepada
Allah (li al taqarrub), juga memiliki fungsi sosial yang amat besar. Yakni, sebagai
salah satu cara
mempersempit jurang perbedaan
pendapatan dalam 1 Pada
zaman Rasulullah SAW
uang emas dinamakan
dinar dan uang
perak dinamakan dirham.
Ketika pada zaman
Khalifah Umar bin
al-Khatab, sekitar tahun
642 M bersamaan
dengan pencetakan uang dirham
pertama di kekhalifahan, standar hubungan berat antara uang emas dan perak dibakukan yaitu berat 7 dinar sama dengan
berat 10 dirham. Berat 1 dinar ini sama dengan 1 mitsqal atau setara dengan berat gandum 72 butir gandum
ukuransedang yang dipotong kedua ujungnya.
Dari dinar-dinar yang tersimpan
di musium setelah ditimbang dengan timbangan yang akurat maka diketahui bahwa timbangan berat uang 1
dinar Islam yang diterbitkan pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan adalah 4,25 gram. Berat ini
sama dengan berat mata uang Byzantium yang disebut Solidos dan mata uang Yunani yang disebut
drachma. Atas dasar rumusan hubungan berat antara dinar dan
dirham serta hasil
penimbangan dinar di
musium ini, maka dapat pula
dihitung berat 1
dirham adalah 7/10
x 4,25 gram
atau setara dengan
2,975 gram. Simak
Muhaimin Iqbal, Dinar
the real Money: Dinar Emas, Uang dan
Investasiku,(Jakarta: Gema Insani Press, 2009), cet. Ketiga, hlm.30 1Menurut Muhaimin Iqbal, kala ia ketika sedang
menuliskan bukunya berpendapat bahwa 1 dinar
seharga Rp. 1.171.725,- Jadi, 20 dinar seharga Rp. 23.434.500,- sedangkan 1
dirham seharga Rp.
15.000,- sehingga 200 dirham
seharga Rp. 3.000.000,- Ibid.,hlm. 35.
6 masyarakat. Sehingga, ia tidak terjadi
kesenjangan atau kecemburuan sosial, yang pada akhirnya akan mengganggu keharmonisan
dalam bermasyarakat.
1Lebih lanjut,
kyai kelahiran Kajen
ini mengemukakan bahwa hubungan antara si miskin dan si kaya, bukan lagi
hubungan yang dipenuhi rasa iri, dengki, dan
permusuhan. Sebaliknya, ia
saling membantu dan
menolong dalam segala hal.
Adalah suatu hal
yang harus disadari
bersama, tidaklah mungkin
kita menyamaratakan kekayaan
antar individu dalam
masyarakat. Karena itu,
zakat hanya dibebankan kepada
orang yang kaya (aghniya) dan diberikan kepada orang yang membutuhkan, dengan menurut aturan yang
telah ditetapkan oleh syarak.
1Berkaitan dengan
masalah itu, KH.
Sahal Mahfudh tampaknya
telah mempunyai argumentasi
yang representatif dengan
mewajibkan untuk dizakati.
Alasan logis yang dipakai dalam
amatan KH. Sahal Mahfudh ialah karena uang telah
menggantikan fungsi emas
dan perak sebagai
alat tukar dalam
suatu transaksi dan untuk
mengukur jasa. Bahkan, jika dibandingkan dengan emas dan perak,
uang memiliki banyak
keistimewaan dan lebih
praktis. Di samping
itu, uang pun dapat sewaktu-waktu
ditukar dengan emas dan perak tanpa mengalami banyak kesulitan.
Adapun yang
menjadikan alasan penulis
memilih KH. Sahal
Mahfudh sebagai objek
kajian dalam penelitian
kali ini adalah
ia merupakan tokoh
yang representatif dalam bidang
hukum Islam di Indonesia. Begitu pula, metode yang 1Sasongko
Tedjo (koordinator), Dialog Dengan KH..
Sahal Mahfudh: Telaah Fiqh Sosial, (Semarang:
Yayasan Karyawan Suara Merdeka, 1997), cet. Pertama, hlm. 40.
1Ibid., 7 ditempuh Sahal
Mahfudh pun dalam
pengambilan suatu hukum
tidak hanya menyeleksi
dari beberapa pendapat
ulama. Namun, ia
mencoba mentarjih beberapa
pendapat tersebut serta
mengadakan penelitian terhadap
dalil yang digunakan
masing-masing ulama untuk
saling menguatkan pendapat
tersebut.
Sehingga, yang
tampak dari simpulan
beberapa pendapat tersebut
terekam jejaknya mana yang lebih
kuat untuk diikuti.
Sebagai tokoh muslim intelektual
yang hidup di abaddigitalisasi ini, KH.
Sahal Mahfudh
merupakan sosok pemikir
yang mempunyai integritas
keilmuan diberbagai bidang.
Khususnya, bidang hukum
Islam yang mampu
dijadikan rujukan oleh
kalangan akademisi maupun
masyarakat umum. Akhirnya,
dalam proses kertas
kerja penulisan karya
ilmiah ini penulis
memberi judul “Studi Terhadap Pemikiran KH. Sahal Mahfud Tentang
Zakat Uang”. Insya Allahbegitu.
B. Rumusan Masalah.
Untuk menghindari
terjadinya pembiasan dan
pelebaran dalam pembahasan,
maka sangat perlu
membatasi dan menspesifikasikan rumusan masalah
agar menghasilkan pengetahuan
yang mendalam dan terperinci.
Bila merujuk Jujun
S. Suriasumantri, permasalahan
merupakan upaya untuk menyatakan
secara tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja
yang ingin dicarikan jawabannya.
1 Oleh karena
itu, keperluan kajian
dan perbincangan dari 1Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer,
(Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1993),
hlm. 312.
8 penghampiran
latar belakang di
atas, muncullah pertanyaan-pertanyaan dari penulis
mengenai kajian skripsi ini yang dapat dijadikan pokok-pokok perumusan masalah: 1.
Bagaimana pendapat KH. Sahal Mahfudh tentang zakat uang? 2.
Bagaimana metodologi yang
digunakan KH. Sahal
Mahfudh dalam menentukan hukum zakat uang? C.
Tujuan Penelitian.
Secara terperinci,
tujuan dari penulisan
karya ini sebenarnya
untuk menjawab apa
yang telah dirumuskan
penulis di atas. Lalu,
berdasarkan uraian pada latar belakang dan rumusan masalah
tersebut, maka tujuan penelitian ini: 1. Untuk
mengetahui, memahami, dan
mendeskripsikan pendapat KH.
Muhammad Achmad Sahal Mahfudh
tentang zakat uang.
2. Untuk
memaparkan dasar pijakan
dan pengambilan hukum
yang dijadikan pegangan berfikir
KH. Muhammad Achmad Sahal Mahfudh.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi