Senin, 25 Agustus 2014

Skripsi Syariah: STUDI ANALISIS PENDAPAT KH. SAHAL MAHFUDH TENTANG ZAKAT UANG

BAB I .
PENDAHULUAN .
A.  Latar Belakang .
Zakat, merupakan suatu kewajiban bagi umat Islam yang telah ditetapkan  dalam  al  Qur’an,  Sunah  nabi,  dan  ijma’  para  ulama.  Tak  kurang  dari  28  kali  Allah  SWT  menempatkan  teks  zakat  beriringan  dengan  shalat.  Hal  ini  bisa  memberi  pengertian  kepada  kesempurnaan  perlambangan hubungan  antara  dua  ibadah tersebut dalam hal keutamaan dan kepentingannya.

Dari kelima pokok bangunan fundamen ajaran Islam, sepertinya zakatlah  yang paling dekat dengan inti persoalan ketidakadilan. Apa yang dihasilkan oleh  diskursus tentang zakat semakin tidak sepadan dengan ketidakadilan yang justru  semakin tidak terkendali. Ini tidak mustahil bila kejenuhan itu terus terjadi. Lalu,  akan  mencul  tiga  sikap  dikalangan  umat  Islam  yang  sama-sama  membersitkan  keputusasaan.
Pertama,  sikap  fatalis  yang  mengatakan  bahwa  dalam  keunggulan  yang  dijamin Tuhan, Islam melalui ajaran zakatnya pasti akan mengatasi ketidakadilan  itu  dengan  kemampuannya  sendiri.  Tidak  mungkin  Tuhan  memproklamasikan   Bukanlah  semata-mata  urusan  yang  bersifat  kedermawanan  (karitatif), tetapi  juga  bersifat  otoritatif  (perlu  ada  kekuatan  yang  memaksa).  Contoh pelaksanaannya  pada  masa  Abu  Bakar  dan  Umar  bin  Abdul  Aziz.  Lihat  Moh.  Asror  Yusuf  (ed),  Agama  Sebagai  Kritik  Sosial  di Tengah  Arus  Kapitalisme Global, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), cet. Pertama, hlm. 131.
 Abdul  Al-Hamid  Mahmud  Al-Ba’ly,  Ekonomi  Zakat:  Sebuah  Kajian  Moneter  dan  Keuangan Syari’ah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 1.
T. M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 26.
1  2  Islam  sebagai  agama  paling  unggul  tanpa  disertai  pembuktian  nyata  atas  keunggulannya.
Kedua,  sikap  apatis  yang  menyakini  bahwa  klaim  Islam  sebagai  agama  yang  dapat  mengatasi  persoalan-persoalan  kemanusiaan,  dalam  kenyataannya  tidak  lebih  dari  sekadar  mitos.  Upaya  untuk  mencari kaitan  antara  Islam  dan  persoalan-persoalan  kemanusiaan  seperti  keadilan  sosial  yang  masih  tampak  belakangan  ini,  sebenarnya  tidak  lebih  dari  sekadar olah  pikir  dan  retorika  kosong. Persoalan-persoalan nyata pada level sosialtetap saja merupakan daerah  otonom yang pada kewenangan manusia dengan potensi nalarnya.
Ketiga, sikap dogmatis-formalistis lama yang merasa memperoleh  hujjah kuat  untuk  meneguhkan  diri  kembali.  Sikap  ini  berpendapat  bahwa  terhadap  ajaran  agama  yang  mana  saja,  tak  terkecuali  zakat,  tugas  manusia  bukannya  mendiskusikannya.  Akan  tetapi,  menerima  ajaran  itu  sebagaimana  adanya  mengamalkannya.
Sebagai  bagian  dari  ajaran  agama  untuk  kehidupan  sosial,  zakat  pada  dasarnya adalah konsep etik dan moral.
Maksud utamanya, dengan mau berzakat,  minimal secara moral seseorang akan dapat menghilangkan sifat rakus dan tamak  serta  bisa  meminimalisirkan  kemiskinan.  Terlebih  lagi,  sebagai  konsep  keagamaan, zakat itu bersifat ruhaniah dan keikhlasan personal.
 Masdar  Farid  Mas’udi,  Agama  Keadilan:  Risalah  Zakat  (Pajak)  Dalam  Islam,  (Jakarta:  Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 4-5.
Masdar Farid Mas’udi dalam “Prakata” penulis buku “Pajak Itu Zakat: Uang Allah Untuk  Kemaslahatan Rakyat”, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2010), cet. Pertama.    3  Dalam  rangka  itulah,  zakat  merupakan  ibadah  maliyyah  ijtimaiyyah (ibadah  yang  berkaitan  dengan  ekonomi  keuangan  dan  kemasyarakat)  yang  memiliki  posisi  penting,  strategis,  dan  menentukan  baik  dari  segi  ajaran  Islam  maupun sisi pembangunan kesejahteraan sosial.
Pertumbuhan dan perkembangan  usaha  manusia  yang  mendatangkan  hasil  dan  keuntungan  bisa  pula  membawa  pengaruh  terhadap  pertumbuhan  dan  perkembangan  zakat.  Dan,  seseorang  yang  memenuhi  syarat-syaratnya,  yaitu  setiap  muslim  yang mempunyai  kekayaankekayaan tertentu dan telah sampai syarat-syaratnya, seperti kekayaan itu sampai  nishab-nya, ia wajib mengeluarkan zakat.
Para  pengusaha  yang  sukses,  apakah  ia  melalui  usaha pertanian,  perkebunan,  peternakan,  perikanan,  perhutanan,  pertambangan,  perindustrian,  perdagangan dan jasa atau usaha-usaha lainnya harusmenyadari bahwa di dalam  kekayaannya itu ada sebagian hak milik orang lain  yang harus segera diberikan  kepada  yang  berhak  menerimanya  melalui  ”investasi”  zakat  bila  telah  sampai  nishab-nya.
Maka  dari  itu,  permasalahan  yang  muncul  saat  ini  tidak  sama  seperti  zaman  dahulu.  Lebih-lebih  terkait  dengan  perkembangan  ekonomi  rakyat  Indonesia yang sudah terlibat pola dan cara perekonomian di abad digitalisasi ini   Masjfuk  Zuhdi,  Masail  Fiqhiyah,  (Jakarta:  Toko  Gunung  Agung,  1997 ),  cet.  Kesepuluh.
hlm. 225.
 Didin  Hafidhuddin,  Zakat  Dalam  Perekonomian  Modern,  (Jakarta:  Gema  Insani  Press,  2002), cet. Kedua, hlm. 1-2  B. Wiwoho dan Usman Yatim (ed), Zakat dan Pajak, (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 1991),  cet. Kedua, hlm. 17.
Ibid.,  4  memungkinkan timbulnya wujud-wujud baru dari harta benda serta cara-cara baru  bagi pengembangan dan perolehan harta benda tersebut.
1Tepatnya  era  globalisasi  modern  yang  acap  kali  dikatakan  mempunyai  kekuatan  raksasa  itu  dapat  mempengaruhi  tata  kehidupan  dunia  secara  menyeluruh,  stimulan,  dan  berdampak  multi  effect.  Hal  ini  tak  diragukan  lagi  bahwa  berbagai  pengaruh  tersebut  akan  melahirkan  berbagai  macam  persoalan  dalam  dunia  usaha  dan  persoalan  baru  dalam  bidang  ekonomi  serta  keuangan.
Yang  mana,  persoalan  baru  ini  belum  pernah  dikenal  orang-orang  yang  hidup  paling dekat dengan zaman Nabi Muhammad SAW.
Salah  satu  permasalahan  yang  penulis  ajukan  dalam  penelitian  muncul  pada  masa  sekarang  yakni  persoalan  uang  kertas.  Dijelaskan,  uang  telah  mengalami  perubahan  dari  mulai  konsep,  fungsi  serta bentuknya  dari  waktu  ke  waktu.  Perkembangan  uang  secara  dinamis  telah  menyisakan  persoalan  dikalangan  umat  Islam.  Sehingga,  alangkah  baiknya  ia  harus  membutuhkan  sentuhan perhatian serius untuk menemukan solusi nyata atas problematika yang  muncul ini. Salah satunya persoalan tersebut berkaitan dengan hukum zakat uang.
Perlu  disebutkan  bahwa  uang  pada  zaman  Rasulullah  SAW  terbuat  dari  emas  dan  perak.  Sehingga,  ia  terkena  kewajiban  untuk  mengeluarkan  zakatnya.
Sedangkan  pada  masa  sekarang,  uang  sudah  terbuat  dari  bahan  kertas  di  mana  1Ali Yafie, Menggagas Fiqih Sosial, (Bandung: Mizan, 1994), cet. Kedua, hlm. 238.
5  kertas  tersebut  bukan  komoditas  yang  wajib  dikeluarkan  zakatnya.
1 Kemudian,  permasalahan lain muncul ketika terkait penentuan nishab dibicarakan seksama.
Kedua mata uang tersebut memang mempunyai nisab masing-masing. Uang emas  (dinar) wajib dikeluarkan zakatnya apabila mencapaijumlah 20 dinar, sedangkan  uang  perak  (dirham)  wajib  dikeluarkan  zakatnya  bila mencapai  jumlah  200  dirham.  Lalu,  pada  masa  sekarang  kira-kira  uang  standar  mana  yang  akan  dijadikan  patokan  karena  kedua  nishab  tersebut  mempunyai  nominal  yang  berbeda jika diwujudkan dengan uang kertas.
1Sungguh  menarik  bila  kasus  ini  kita  teliti  terhadap hasil  pendapat  KH.
Sahal  Mahfudh.  Sebab,  menurut  pendapat  KH.  Sahal  Mahfudh,  zakat  ini  disamping berfungsi utama sebagai sarana untuk beribadah dan mendekatkan diri  kepada Allah (li al taqarrub), juga memiliki fungsi sosial yang amat besar. Yakni,  sebagai  salah  satu  cara  mempersempit  jurang  perbedaan  pendapatan  dalam  1 Pada  zaman  Rasulullah  SAW  uang  emas  dinamakan  dinar  dan  uang  perak  dinamakan  dirham.  Ketika  pada  zaman  Khalifah  Umar  bin  al-Khatab,  sekitar  tahun  642  M  bersamaan  dengan  pencetakan uang dirham pertama di kekhalifahan, standar hubungan berat antara uang emas dan perak  dibakukan yaitu berat 7 dinar sama dengan berat 10 dirham. Berat 1 dinar ini sama dengan 1 mitsqal  atau setara dengan berat gandum 72 butir gandum ukuransedang yang dipotong kedua ujungnya.
Dari dinar-dinar yang tersimpan di musium setelah ditimbang dengan timbangan yang akurat  maka diketahui bahwa timbangan berat uang 1 dinar Islam yang diterbitkan pada masa Khalifah Abdul  Malik bin Marwan adalah 4,25 gram. Berat ini sama dengan berat mata uang Byzantium yang disebut  Solidos dan mata uang Yunani yang disebut drachma. Atas dasar rumusan hubungan berat antara dinar  dan  dirham  serta  hasil  penimbangan  dinar  di  musium ini, maka  dapat  pula  dihitung  berat  1  dirham  adalah  7/10  x  4,25  gram  atau  setara  dengan  2,975  gram.  Simak  Muhaimin  Iqbal,  Dinar  the  real  Money: Dinar Emas, Uang dan Investasiku,(Jakarta: Gema Insani Press, 2009), cet. Ketiga, hlm.30  1Menurut Muhaimin Iqbal, kala ia ketika sedang menuliskan bukunya berpendapat bahwa 1  dinar seharga Rp. 1.171.725,- Jadi, 20 dinar seharga Rp. 23.434.500,- sedangkan 1 dirham seharga Rp.
15.000,- sehingga 200 dirham seharga Rp. 3.000.000,- Ibid.,hlm. 35.
6  masyarakat. Sehingga, ia tidak terjadi kesenjangan atau kecemburuan sosial, yang  pada akhirnya akan mengganggu keharmonisan dalam bermasyarakat.
1Lebih  lanjut,  kyai  kelahiran  Kajen  ini  mengemukakan bahwa  hubungan  antara si miskin dan si kaya, bukan lagi hubungan yang dipenuhi rasa iri, dengki,  dan  permusuhan.  Sebaliknya,  ia  saling  membantu  dan  menolong  dalam  segala  hal.  Adalah  suatu  hal  yang  harus  disadari  bersama,  tidaklah  mungkin  kita  menyamaratakan  kekayaan  antar  individu  dalam  masyarakat.  Karena  itu,  zakat  hanya dibebankan kepada orang yang kaya (aghniya) dan diberikan kepada orang  yang membutuhkan, dengan menurut aturan yang telah ditetapkan oleh syarak.
1Berkaitan  dengan  masalah  itu,  KH.  Sahal  Mahfudh  tampaknya  telah  mempunyai  argumentasi  yang  representatif  dengan  mewajibkan  untuk  dizakati.
Alasan logis yang dipakai dalam amatan KH. Sahal Mahfudh ialah karena uang  telah  menggantikan  fungsi  emas  dan  perak  sebagai  alat  tukar  dalam  suatu  transaksi dan untuk mengukur jasa. Bahkan, jika dibandingkan dengan emas dan  perak,  uang  memiliki  banyak  keistimewaan  dan  lebih  praktis.  Di  samping  itu,  uang pun dapat sewaktu-waktu ditukar dengan emas dan perak tanpa mengalami  banyak kesulitan.
Adapun  yang  menjadikan  alasan  penulis  memilih  KH.  Sahal  Mahfudh  sebagai  objek  kajian  dalam  penelitian  kali  ini  adalah  ia  merupakan  tokoh  yang  representatif dalam bidang hukum Islam di Indonesia. Begitu pula, metode yang    1Sasongko Tedjo (koordinator),  Dialog Dengan KH.. Sahal Mahfudh: Telaah Fiqh Sosial,  (Semarang: Yayasan Karyawan Suara Merdeka, 1997), cet. Pertama, hlm. 40.
1Ibid.,  7  ditempuh  Sahal  Mahfudh  pun  dalam  pengambilan  suatu  hukum  tidak  hanya  menyeleksi  dari  beberapa  pendapat  ulama.  Namun,  ia  mencoba  mentarjih  beberapa  pendapat  tersebut  serta  mengadakan  penelitian  terhadap  dalil  yang  digunakan  masing-masing  ulama  untuk  saling  menguatkan  pendapat  tersebut.
Sehingga,  yang  tampak  dari  simpulan  beberapa  pendapat  tersebut  terekam  jejaknya mana yang lebih kuat untuk diikuti.
Sebagai tokoh muslim intelektual yang hidup di abaddigitalisasi ini, KH.
Sahal  Mahfudh  merupakan  sosok  pemikir  yang  mempunyai  integritas  keilmuan  diberbagai  bidang.  Khususnya,  bidang  hukum  Islam  yang  mampu  dijadikan  rujukan  oleh  kalangan  akademisi  maupun  masyarakat  umum.  Akhirnya,  dalam  proses  kertas  kerja  penulisan  karya  ilmiah  ini  penulis  memberi  judul  “Studi  Terhadap Pemikiran KH. Sahal Mahfud Tentang Zakat Uang”. Insya Allahbegitu.
B.  Rumusan Masalah.
Untuk  menghindari  terjadinya  pembiasan  dan  pelebaran  dalam  pembahasan,  maka  sangat  perlu  membatasi  dan  menspesifikasikan  rumusan  masalah  agar  menghasilkan  pengetahuan  yang  mendalam dan  terperinci.  Bila  merujuk  Jujun  S.  Suriasumantri,  permasalahan  merupakan  upaya  untuk  menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja  yang ingin dicarikan  jawabannya.
1 Oleh  karena  itu,  keperluan  kajian  dan  perbincangan dari  1Jujun S. Suriasumantri,  Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar  harapan, 1993), hlm. 312.
8  penghampiran  latar  belakang  di  atas,  muncullah  pertanyaan-pertanyaan  dari  penulis mengenai kajian skripsi ini yang dapat dijadikan pokok-pokok perumusan  masalah:  1.  Bagaimana pendapat KH. Sahal Mahfudh tentang zakat uang?  2.  Bagaimana  metodologi  yang  digunakan  KH.  Sahal  Mahfudh  dalam  menentukan hukum zakat uang?  C.  Tujuan Penelitian.
Secara  terperinci,  tujuan  dari  penulisan  karya  ini  sebenarnya  untuk  menjawab  apa  yang  telah  dirumuskan  penulis  di  atas. Lalu,  berdasarkan  uraian  pada latar belakang dan rumusan masalah tersebut, maka tujuan penelitian ini:  1.  Untuk  mengetahui,  memahami,  dan  mendeskripsikan  pendapat  KH.
Muhammad Achmad Sahal Mahfudh tentang zakat uang.
2.  Untuk  memaparkan  dasar  pijakan  dan  pengambilan  hukum  yang  dijadikan pegangan berfikir KH. Muhammad Achmad Sahal Mahfudh.



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi