BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Manusia pada
umumnya dilahirkan seorang
diri; namun demikian hidupnya harus
bermasyarakat. Dalam hal
ini Allah SWT
telah menjadikan manusia masing-masing
berhajat kepada yang
lain, agar mereka
tolong menolong, tukar menukar
keperluan dalam segala
urusan kepentingan hidup masing-masing, baik
dengan jual beli,
sewa menyewa, bercocok
tanam, dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum.
Keterangan di atas menjadi
indikator bahwa manusia untuk memenuhi kebutuhannya memerlukan orang lain.
Salah satu kebutuhan yang memerlukan interaksi dengan orang lain adalah akad
jual beli. Peristiwa ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari
yang menimbulkan akibat
hukum yaitu akibat
sesuatu tindakan hukum.
Dalam
hukum Islam, secara
etimologi jual beli
adalah menukarkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain,
sedangkan menurut syara’
ialah menukarkan harta dengan
harta.
Syekh
Muhammad ibn Qasyim
al-Gazzi menerangkan: Artinya:
Jual beli itu
menurut bahasanya ialah
suatu bentuk akad penyerahan sesuatu dengan sesuatu yang
lain. Karena itu akad ini memasukkan juga segala sesuatu yang tidak berupa
uang, seperti tuak. Sedangkan menurut syara’, maka pengertian jual beli yang
paling benar ialah
memiliki sesuatu harta
(uang) dengan mengganti sesuatu atas dasar izin syara’, atau sekedar memiliki manfaatnya
saja yang diperbolehkan
syara’untuk selamanya, dan yang
demikian itu harus
dengan melalui pembayaran yang
berupa uang.
Dalam kitabnya,
Sayyid Sabiq merumuskan,
jual beli menurut pengertian lughawinya adalah
saling menukar (pertukaran),
sedang menurut pengertian
syari’at, jual beli ialah pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik
dengan ganti yang
dapat dibenarkan.
Jual
beli dibenarkan oleh al-Qur’an,
as-Sunnah dan ijma umat.
Landasan Qur’aninya, firman
Allah: Artinya: Dan Allah
menghalalkan jual beli
dan mengharamkan riba (al-Baqarah: 275) Landasan sunnahnya sabda Rasulullah SAW.
Artinya: Dari
Rifa’ah bin Rafi’
r.a. (katanya): Sesungguhnya
Nabi Muhammad SAW. pernah
ditanyai, manakah usaha
yang paling baik? beliau menjawab : ialah amal usaha seseorang dengan tangannya sendiri dan
semua jual beli
yang bersih.
(HR. al-Bazzar, dan dinilai
Shahih oleh al-Hakim).
Landasan ijmanya, para ulama
sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan
alasan bahwa manusia
tidak akan mampu
mencukupi kebutuhan dirinya,
tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain
yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.
Jual
beli itu dihalalkan,
dibenarkan agama, asal
memenuhi syaratsyarat yang
diperlukan. Demikian hukum ini disepakati para ahli ijma (ulama’ Mujtahidin) tak
ada khilaf padanya.
Memang dengan tegas-tegas
al-Qur’an menerangkan bahwa menjual
itu halal; sedang
riba diharamkan.
Sejalan dengan itu dalam jual beli ada
persyaratan yang harus dipenuhi, di antaranya salah satu rukun dalam akad (perjanjian)
jual-beli itu adalah ijab-qabul yaitu ucapan penyerahan hak milik di satu pihak
dan ucapan penerimaan di pihak lain.
Adanya ijab-qabul dalam
transaksi ini merupakan
indikasi adanya rasa suka
sama suka dari
pihak-pihak yang mengadakan transaksi. Transaksi berlangsung secara
hukum bila padanya
telah terdapat rasa
suka sama suka yang
menjadi kriteria utama
dan sahnya suatu
transaksi. Namun suka
sama suka itu merupakan
perasaan yang berada
pada bagian dalam
diri manusia, yang tidak
mungkin diketahui orang lain.
Oleh karenanya diperlukan
suatu indikasi yang jelas
yang menunjukkan adanya
perasaan dalam tentang
suka Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah,
Bandung: CV.Pustaka Setia, 2001, hlm. 75.
T.M Hasbi ash-Shiddiqi, Hukum-hukum Fiqh
Islam, Tinjauan Antar Mazhab, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet ke-2,
hlm. 328.
sama suka itu. Para ulama terdahulu menetapkan
ijab-qabul itu sebagai suatu indikasi.
Ibnu Rusyd dalam kitabnya menyatakan: Artinya:
dan akad tidak sah kecuali dengan lafadz jual dan beli.
Dari pendapat
tersebut mengisyaratkan bahwa ijab dan qabul merupakan salah
satu syarat sahnya
jual beli. Namun,
salah seorang ulama Indonesia kelahiran
Lhokseumawe, Aceh Utara
10 maret 19 TM.Hasbi
ash Shiddieqy justru pendapatnya berbeda dengan pendapat di atas. TM.Hasbi Ash
Shiddieqy dalam bukunya: Al-Islam, mengemukakan sebagai berikut: Jual beli itu
dianggap sah bila terjadi dengan persetujuan kedua belah pihak. Persetujuan
dapat dilakukan dengan
ucapan dan dapat
pula dengan isyarat (sikap kedua belah pihak itu). Apabila seorang
penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli, sebaliknya pembeli menyerahkan
harga dan mengambil barang, maka muamalah jual beli sudah terlaksana. Penjual
tidak perlu mengucapkan lafadz ijab. Bukti persetujuan tidak mesti diucapkan.
Pendapatnya ia perkuat lagi dalam bukunya:
Pengantar Hukum Islam, antara lain dinyatakan: Sebagian ahli fikih menolak
segala rupa akad (perjanjian-perjanjian) yang
tidak diikrarkan dengan
lidah. Mereka yang
mewajibkan ijab (kata
penyerahan) dan qabul (kata penerimaan)
dengan perkataan "ucapan lidah"
tidak mensahkan suatu
penjualan atau sesuatu perjanjian yang dilakukan dengan
jalan surat menyurat, karena tidak terjadi ijab dan qabul antara penjual
dengan pembeli. Padahal
jika Amir Syarifuddin,
Garis-garis Besar Fiqh, Bogor: Kencana, 2003, hlm. 1 Ibnu Rusyd, Bidayat al Mujtahid Wa Nihayat al
Muqtasid, Juz 3, Beirut: Dar Al-Jiil, 1409 H/1989, hlm. 128.
TM.Hasbi
Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu
Fiqh, Semarang: PT.Pustaka
Rizki Putra, 1999, hlm. 2 TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Al-Islam, Jilid 2, Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm.
1 dipikirkan benar-benar Firman Allah
SWT dalam Al-Qur’an surat alMaidah ayat 1:
ِدﻮُﻘُﻌْﻟﺎِﺑ
ْاﻮُﻓْوَأ ْاﻮُﻨَﻣآ َﻦﻳِﺬﱠﻟا ﺎَﻬﱡـﻳَأ ﺎَﻳ )... ةﺪﺋﺎﳌا : 1 ( Artinya: Hai
orang-orang yang beriman,
penuhilah aqad-aqad itu (QS.5: 1).
Nyatalah menurut TM.Hasbi Ash Shiddieqy bahwa
jual beli tanpa lafadz ijab qabul
adalah sah. Dari
pendapat TM.Hasbi Ash
Shiddieqy tersebut, penulis tertarik untuk meneliti apa yang menjadi
latar belakang pemikiran TM.Hasbi Ash Shiddieqy sehingga berpendapat seperti di
atas, dan apa pula
yang menjadi metode istinbath hukumnya. Menariknya masalah ini
adalah TM.Hasbi Ash
Shiddieqy yang secara
sosiologis ia lahir dari
lingkungan keluarga dan
masyarakat yang demikian
kuat dan respeknya terhadap
ulama salaf, tapi justru
ia berseberangan dengan jumhur
ulama. Adapun pentingnya
masalah ini diteliti
adalah karena kenyataan di
masyarakat sering dijumpai
dan dialami oleh
setiap orang yaitu transaksi
jual beli tanpa
lafadz ijab qabul, sedangkan
harga barangnya pun tidak kecil.
Karena itu
diharapkan dari penulisan
ini dapat memberikan
jawaban yang lebih mendekati kebenaran, yaitu apakah jual beli tanpa
lafadz ijab qabul itu sah.
Hal khusus
melekat pada diri
TM.Hasbi Ash Shiddieqy
yang karena dia patut diangkat
menjadi objek kajian, adalah karena ia orang pertama yang TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum
Islam, Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 471 – 4 Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir
al-Qur’an, op. cit., hlm. 156.
menganjurkan
agar fiqh yang
diterapkan di Indonesia
adalah berkepribadian Indonesia.
B. Perumusan Masalah Perumusan masalah
merupakan upaya untuk
menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan apa
saja yang ingin
dicarikan jawabannya.
maka yang menjadi rumusan masalah penulisan
ini sebagai berikut: 1. Bagaimana
pendapat T.M.Hasbi Ash
Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam
jual beli? 2. Bagaimana metode istinbath
hukum T.M.Hasbi Ash
Shiddieqy tentang tidak
diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli? C. Tujuan Penelitian Adapun
yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Untuk mendeskripsikan dan
menganalisis pendapat T.M.Hasbi
Ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual
beli.
2. Untuk mendeskripsikan dan
menganalisis metode istinbath
hukum T.M.Hasbi Ash Shiddieqy
tentang tidak diperlukannya
lafadz ijab qabul dalam jual beli Jujun
S. Suria Sumantri, Filsafat Ilmu
Sebuah Pengantar Populer, Cet.
VII, Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, Anggota IKAPI, 1993, hlm. 1 D.
Telaah Pustaka Ada beberapa penelitian yang membahas persoalan jual beli,
penelitian yang dimaksud di antaranya sebagai berikut: Skripsi yang
berjudul: Tinjauan Hukum Islam
terhadap Asas Kebebasan
Berkontrak dalam Jual Beli (Studi Analisis Terhadap Pasal 14 KUH Perdata) yang
disusun Sulistiyono. Menurut penyusun skripsi ini bahwa asas kebebasan
berkontrak dalam jual beli adalah suatu asas yang menyatakan bahwa setiap
orang pada dasarnya
boleh membuat kontrak
(perjanjian) jual beli yang
berisi dan macam apapun asal tidak
bertentangan dengan undangundang,
kesusilaan dan ketertiban
umum. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam pasal
1493 KUH Perdata:
Kedua belah pihak
diperbolehkan dengan persetujuan-persetujuan istimewa
memperluas atau mengurangi
kewajiban yang ditetapkan
oleh undang-undang ini;
bahkan mereka diperbolehkan mengadakan persetujuan bahwa si
penjual tidak akan diwajibkan menanggung sesuatu apapun.
Dalam hukum Islam, para ulama
menyatakan, jual beli dengan syarat berakibat batalnya jual beli itu. Di antara
fuqaha yang berpendapat demikian ialah
Imam Syafi’i dan
Abu Hanifah. Dengan
demikian perjanjian jual
beli yang dibuat di
luar ketentuan hukum
Islam atau bertentangan
dengan ketentuan hukum Islam, maka jual belinya menjadi batal. Jadi bila
misalnya penjual meminta dikurangi kewajibannya seperti lepas tangan terhadap
cacat barang atau kerusakan barang maka perjanjian jual beli dengan syarat
seperti itu menjadi batal
meskipun pembeli sepakat.
Implikasinya maka bagi produsen
dan konsumen dapat menarik kembali perjanjian atau membatalkan perjanjian jual
beli, manakala menyimpang
dari ketentuan hukum
Islam, apalagi jika hukum Islam melarangnya.
Skripsi
yang berjudul: Studi Analisis
Pendapat Sayyid Sabiq
tentang Persyaratan Suci bagi Barang yang Dijadikan Obyek Jual Beli yang
disusun Khilmi Tamim. Menurut penyusun skripsi ini bahwa mengkomparasi pendapat
berbagai ulama dengan
Sayyid Sabiq ternyata
ada ulama yang
berbeda pendapatnya dengan Sayyid
Sabiq, misalnya mazhab
Hanafi dan Zahiri.
Menurut kedua
mazhab ini bahwa
jual beli barang
yang mengandung unsur najis
boleh asalkan barang
itu memiliki nilai
manfaat bagi manusia.
Sedangkan dalam
perspektif Sayyid Sabiq
bahwa meskipun barang
itu mengandung manfaat namun
jika najis maka barang itu
tidak boleh dijual belikan. Dalam
perspektif Sayyid Sabiq
barang yang bernajis
mengandung madarat yang lebih besar daripada manfaatnya.
Skripsi yang berjudul "Studi Analisis
Pendapat Sayyid Sabiq Tentang Jual
Beli Jizaf'' yang
dikaji oleh Tati
Nurjanah, lebih memfokuskan
pa da pendapat Sayyid Sabiq tentang jual beli jizaf yaitu jual beli yang
serampangan, tidak memakai timbangan atau ukuran (taksiran atau dikira-kira
saja).
Skripsi
yang berjudul "Persepsi Ulama
terhadap Jual Beli
Kodok di Purwodadi Kabupaten
Grobogan" yang dikaji
oleh Slamet Sholikhin,
lebih Sulistiyono, Tinjauan Hukum
Islam terhadap Asas Kebebasan Berkontrak dalam Jual Beli (Studi
Analisis Terhadap Pasal
1493 KUH Perdata),
(Tidak dipublikasikan. Skripsi
IAIN Walisongo, 2004) Khilmi
Tamim, Studi Analisis Pendapat Sayyid Sabiq tentang Persyaratan Suci bagi Barang
yang Dijadikan Obyek Jual Beli, (Tidak dipublikasikan. Skripsi IAIN Walisongo,
2005) Tati Nurjanah, Studi Analisis
Pendapat Sayyid Sabiq
Tentang Jual Beli
Jizaf, (Tidak dipublikasikan.
Skripsi IAIN Walisongo, 2006) memfokuskan pada
pendapat ulama terhadap
jual beli kodok
yaitu menjualbelikan kodok hukumnya haram, karena memakannya haram, tapi
ada kalanya Islam membolehkan
terhadap sesuatu yang
diharamkan, karena mengambil
manfaatnya.
Skripsi
yang berjudul "Studi
Analisis Pendapat Imam
Syafi'i tentang Hukum Jual Beli
Anjing dalam Kitab Al-Umm" yang dikaji oleh Fauzul Muna, lebih memfokuskan
pada pendapat Imam
Syafi'i tentang hukum
jual beli anjing dan
memelihara anjing adalah
tidak boleh, namun
Imam Syafi'i mengecualikan pada
orang yang menggunakan
anjing itu untuk
menjaga ternak dan untuk berburu, dan apabila telah selesai kegunaan
anjing itu untuk menjaga dan berburu maka tidak diperbolehkan memelihara anjing.
Skripsi yang berjudul "Studi Analisis
Pendapat Imam Nawawi tentang Syarat
Manfaat Benda yang
Diperjualbelikan" yang ditulis oleh
Sawidi, dalam skripsi ini
dijelaskan bahwa Imam
Nawawi mengharuskan adanya manfaat dalam benda yang
diperjualbelikan, tetapi benda yang bermanfaat itu juga harus suci, halal di makan,
tidak menjijikkan, tidak sedikit jumlahnya dan manfaatnya tidak di larang oleh
syara.
Sejauh penelusuran penulis, belum ada
penelitian yang membahas jual beli tanpa lafadz ijab qabul perspektif T.M.Hasbi
Ash Shiddieqy.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi