Kamis, 28 Agustus 2014

Skripsi Syariah: STUDI ANALISIS PENDAPAT TM. HASBI ASH SHIDDIEQY TENTANG TIDAK DIPERLUKANNYA LAFADZ IJAB QABUL DALAM JUAL BELI

BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Manusia  pada  umumnya  dilahirkan  seorang  diri;  namun  demikian hidupnya  harus  bermasyarakat.  Dalam  hal  ini  Allah  SWT  telah  menjadikan manusia  masing-masing  berhajat  kepada  yang  lain,  agar  mereka  tolong menolong,  tukar  menukar  keperluan  dalam  segala  urusan  kepentingan  hidup masing-masing,  baik  dengan  jual  beli,  sewa  menyewa,  bercocok  tanam, dalam urusan diri sendiri maupun untuk kemaslahatan umum.

Keterangan di atas menjadi indikator bahwa manusia untuk memenuhi kebutuhannya memerlukan orang lain. Salah satu kebutuhan yang memerlukan interaksi dengan orang lain adalah akad jual beli. Peristiwa ini terjadi dalam kehidupan  sehari-hari  yang  menimbulkan  akibat  hukum  yaitu  akibat  sesuatu tindakan hukum.
 Dalam  hukum  Islam,  secara  etimologi  jual  beli  adalah  menukarkan sesuatu  dengan  sesuatu  yang  lain,  sedangkan  menurut  syara’  ialah menukarkan  harta  dengan  harta.
 Syekh  Muhammad  ibn  Qasyim  al-Gazzi menerangkan: Artinya:  Jual  beli  itu  menurut  bahasanya  ialah  suatu  bentuk  akad penyerahan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Karena itu akad ini memasukkan juga segala sesuatu yang tidak berupa uang, seperti tuak. Sedangkan menurut syara’, maka pengertian jual beli  yang  paling  benar  ialah  memiliki  sesuatu  harta  (uang) dengan mengganti sesuatu atas dasar izin syara’, atau sekedar memiliki  manfaatnya  saja  yang  diperbolehkan  syara’untuk selamanya,  dan  yang  demikian  itu  harus  dengan  melalui pembayaran yang berupa uang.
Dalam  kitabnya,  Sayyid  Sabiq  merumuskan,  jual  beli  menurut pengertian lughawinya  adalah  saling  menukar  (pertukaran),  sedang  menurut pengertian syari’at, jual beli ialah pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan  milik  dengan  ganti  yang  dapat  dibenarkan.
 Jual  beli dibenarkan  oleh al-Qur’an, as-Sunnah  dan  ijma umat.  Landasan  Qur’aninya, firman Allah: Artinya:  Dan  Allah  menghalalkan  jual  beli  dan  mengharamkan  riba (al-Baqarah: 275)  Landasan sunnahnya sabda Rasulullah SAW.
Artinya:  Dari  Rifa’ah  bin  Rafi’  r.a.  (katanya):  Sesungguhnya  Nabi Muhammad  SAW.  pernah  ditanyai,  manakah  usaha  yang paling baik? beliau menjawab : ialah amal usaha seseorang dengan  tangannya sendiri  dan  semua  jual  beli  yang  bersih.
(HR. al-Bazzar, dan dinilai Shahih oleh al-Hakim).
Landasan ijmanya, para ulama sepakat bahwa jual beli diperbolehkan dengan  alasan  bahwa  manusia  tidak  akan  mampu  mencukupi  kebutuhan dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau barang milik orang lain yang dibutuhkannya itu, harus diganti dengan barang lainnya yang sesuai.
 Jual  beli  itu  dihalalkan,  dibenarkan  agama,  asal  memenuhi  syaratsyarat yang diperlukan. Demikian hukum ini disepakati para ahli ijma (ulama’ Mujtahidin)  tak  ada  khilaf  padanya.  Memang  dengan  tegas-tegas  al-Qur’an menerangkan  bahwa  menjual  itu  halal;  sedang  riba  diharamkan.
 Sejalan dengan itu dalam jual beli ada persyaratan yang harus dipenuhi, di antaranya salah satu rukun dalam akad (perjanjian) jual-beli itu adalah ijab-qabul yaitu ucapan penyerahan hak milik di satu pihak dan ucapan penerimaan di pihak lain.  Adanya ijab-qabul dalam  transaksi  ini  merupakan  indikasi  adanya  rasa suka  sama  suka  dari  pihak-pihak  yang  mengadakan transaksi.  Transaksi berlangsung  secara  hukum  bila  padanya  telah  terdapat  rasa  suka  sama  suka yang  menjadi  kriteria  utama  dan  sahnya  suatu  transaksi.  Namun  suka  sama suka  itu  merupakan  perasaan  yang  berada  pada  bagian  dalam  diri  manusia, yang  tidak  mungkin diketahui  orang  lain.  Oleh  karenanya  diperlukan  suatu indikasi  yang  jelas  yang  menunjukkan  adanya  perasaan  dalam  tentang  suka  Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, Bandung: CV.Pustaka Setia, 2001, hlm. 75.
 T.M Hasbi ash-Shiddiqi, Hukum-hukum Fiqh Islam, Tinjauan Antar Mazhab, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet ke-2, hlm. 328.
 sama suka itu. Para ulama terdahulu menetapkan ijab-qabul itu sebagai suatu indikasi.
 Ibnu Rusyd dalam kitabnya menyatakan:   Artinya: dan akad tidak sah kecuali dengan lafadz jual dan beli.
Dari  pendapat  tersebut  mengisyaratkan  bahwa ijab dan qabul merupakan  salah  satu  syarat  sahnya  jual  beli.  Namun,  salah  seorang  ulama Indonesia  kelahiran  Lhokseumawe,  Aceh  Utara  10  maret  19  TM.Hasbi ash Shiddieqy justru pendapatnya berbeda dengan pendapat di atas. TM.Hasbi Ash Shiddieqy dalam bukunya: Al-Islam, mengemukakan sebagai berikut: Jual beli itu dianggap sah bila terjadi dengan persetujuan kedua belah pihak.  Persetujuan  dapat  dilakukan  dengan  ucapan  dan  dapat  pula dengan isyarat (sikap kedua belah pihak itu). Apabila seorang penjual menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli, sebaliknya pembeli menyerahkan harga dan mengambil barang, maka muamalah jual beli sudah terlaksana. Penjual tidak perlu mengucapkan lafadz ijab. Bukti persetujuan tidak mesti diucapkan.
 Pendapatnya ia perkuat lagi dalam bukunya: Pengantar Hukum Islam, antara lain dinyatakan: Sebagian ahli fikih menolak segala rupa akad (perjanjian-perjanjian) yang  tidak  diikrarkan  dengan  lidah.  Mereka  yang  mewajibkan ijab (kata  penyerahan)  dan qabul (kata  penerimaan)  dengan  perkataan "ucapan  lidah"  tidak  mensahkan  suatu  penjualan  atau  sesuatu perjanjian yang dilakukan dengan jalan surat menyurat, karena tidak terjadi ijab dan qabul antara  penjual  dengan  pembeli.  Padahal  jika  Amir Syarifuddin, Garis-garis Besar Fiqh, Bogor: Kencana, 2003, hlm. 1  Ibnu Rusyd, Bidayat al Mujtahid Wa Nihayat al Muqtasid, Juz 3, Beirut: Dar Al-Jiil, 1409 H/1989, hlm. 128.
 TM.Hasbi  Ash  Shiddieqy, Pengantar  Ilmu  Fiqh,  Semarang:  PT.Pustaka  Rizki  Putra, 1999, hlm. 2  TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Al-Islam, Jilid  2, Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 1  dipikirkan benar-benar Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat alMaidah ayat 1:   ِدﻮُﻘُﻌْﻟﺎِﺑ ْاﻮُﻓْوَأ ْاﻮُﻨَﻣآ َﻦﻳِﺬﱠﻟا ﺎَﻬﱡـﻳَأ ﺎَﻳ )... ةﺪﺋﺎﳌا  : 1 ( Artinya:  Hai  orang-orang  yang  beriman,  penuhilah  aqad-aqad  itu (QS.5: 1).
 Nyatalah menurut TM.Hasbi Ash Shiddieqy bahwa jual beli tanpa lafadz ijab  qabul adalah  sah.  Dari  pendapat  TM.Hasbi  Ash  Shiddieqy tersebut, penulis tertarik untuk meneliti apa yang menjadi latar belakang pemikiran TM.Hasbi Ash Shiddieqy sehingga berpendapat seperti di atas, dan  apa  pula  yang  menjadi  metode istinbath hukumnya.  Menariknya masalah  ini  adalah  TM.Hasbi  Ash  Shiddieqy  yang  secara  sosiologis  ia lahir  dari  lingkungan  keluarga  dan  masyarakat  yang  demikian  kuat  dan respeknya  terhadap  ulama salaf,  tapi  justru  ia  berseberangan  dengan jumhur  ulama.  Adapun  pentingnya  masalah  ini  diteliti  adalah  karena kenyataan  di  masyarakat  sering  dijumpai  dan  dialami  oleh  setiap  orang yaitu  transaksi  jual  beli  tanpa  lafadz ijab  qabul,  sedangkan  harga barangnya pun tidak kecil.
Karena  itu  diharapkan  dari  penulisan  ini  dapat  memberikan  jawaban yang lebih mendekati kebenaran, yaitu apakah jual beli tanpa lafadz ijab qabul itu sah.
Hal  khusus  melekat  pada  diri  TM.Hasbi  Ash  Shiddieqy  yang  karena dia patut diangkat menjadi objek kajian, adalah karena ia orang pertama yang  TM.Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, 2001, hlm. 471 – 4  Yayasan Penyelenggara Penterjemah Pentafsir al-Qur’an, op. cit., hlm. 156.
 menganjurkan  agar  fiqh  yang  diterapkan  di  Indonesia  adalah  berkepribadian Indonesia.
B. Perumusan Masalah Perumusan  masalah  merupakan  upaya  untuk  menyatakan  secara tersurat  pertanyaan-pertanyaan  apa  saja  yang  ingin  dicarikan  jawabannya.
 maka yang menjadi rumusan masalah penulisan ini sebagai berikut: 1. Bagaimana  pendapat  T.M.Hasbi  Ash  Shiddieqy  tentang  tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli? 2. Bagaimana  metode istinbath hukum  T.M.Hasbi  Ash  Shiddieqy  tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli? C. Tujuan Penelitian Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Untuk  mendeskripsikan  dan  menganalisis  pendapat  T.M.Hasbi  Ash Shiddieqy tentang tidak diperlukannya lafadz ijab qabul dalam jual beli.
2. Untuk  mendeskripsikan  dan  menganalisis  metode istinbath hukum T.M.Hasbi  Ash  Shiddieqy  tentang  tidak  diperlukannya  lafadz ijab  qabul dalam jual beli  Jujun  S.  Suria  Sumantri, Filsafat  Ilmu  Sebuah  Pengantar  Populer, Cet.  VII,  Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Anggota IKAPI, 1993, hlm. 1  D. Telaah Pustaka Ada beberapa penelitian yang membahas persoalan jual beli, penelitian yang dimaksud di antaranya sebagai berikut: Skripsi  yang  berjudul: Tinjauan  Hukum  Islam  terhadap  Asas Kebebasan Berkontrak dalam Jual Beli (Studi Analisis Terhadap Pasal 14 KUH Perdata) yang disusun Sulistiyono. Menurut penyusun skripsi ini bahwa asas kebebasan berkontrak dalam jual beli adalah suatu asas yang menyatakan bahwa  setiap  orang  pada  dasarnya  boleh  membuat  kontrak  (perjanjian)  jual beli  yang  berisi  dan  macam apapun asal  tidak  bertentangan  dengan  undangundang,  kesusilaan  dan  ketertiban  umum.  Hal  ini  sebagaimana  ditegaskan dalam  pasal  1493  KUH  Perdata:  Kedua  belah  pihak  diperbolehkan  dengan persetujuan-persetujuan  istimewa  memperluas  atau  mengurangi  kewajiban yang ditetapkan  oleh  undang-undang  ini;  bahkan  mereka  diperbolehkan mengadakan persetujuan bahwa si penjual tidak akan diwajibkan menanggung sesuatu apapun.
Dalam hukum Islam, para ulama menyatakan, jual beli dengan syarat berakibat batalnya jual beli itu. Di antara fuqaha yang berpendapat demikian ialah  Imam  Syafi’i  dan  Abu  Hanifah.  Dengan  demikian  perjanjian  jual  beli yang  dibuat  di  luar  ketentuan  hukum  Islam  atau  bertentangan  dengan ketentuan hukum Islam, maka jual belinya menjadi batal. Jadi bila misalnya penjual meminta dikurangi kewajibannya seperti lepas tangan terhadap cacat barang atau kerusakan barang maka perjanjian jual beli dengan syarat seperti itu  menjadi  batal  meskipun  pembeli  sepakat.  Implikasinya  maka  bagi  produsen dan konsumen dapat menarik kembali perjanjian atau membatalkan perjanjian  jual  beli,  manakala  menyimpang  dari  ketentuan  hukum  Islam, apalagi jika hukum Islam melarangnya.
 Skripsi  yang  berjudul: Studi  Analisis  Pendapat  Sayyid  Sabiq  tentang Persyaratan Suci bagi Barang yang Dijadikan Obyek Jual Beli yang disusun Khilmi Tamim. Menurut penyusun skripsi ini bahwa mengkomparasi pendapat berbagai  ulama  dengan  Sayyid  Sabiq  ternyata  ada  ulama  yang  berbeda pendapatnya  dengan  Sayyid  Sabiq,  misalnya  mazhab  Hanafi  dan  Zahiri.
Menurut  kedua  mazhab  ini  bahwa  jual  beli  barang  yang  mengandung  unsur najis  boleh  asalkan  barang  itu  memiliki  nilai  manfaat  bagi  manusia.
Sedangkan  dalam  perspektif  Sayyid  Sabiq  bahwa  meskipun  barang  itu mengandung  manfaat  namun  jika  najis  maka  barang  itu  tidak  boleh  dijual belikan.  Dalam  perspektif  Sayyid  Sabiq  barang  yang  bernajis  mengandung madarat yang lebih besar daripada manfaatnya.
 Skripsi yang berjudul "Studi Analisis Pendapat Sayyid Sabiq Tentang Jual  Beli  Jizaf''  yang  dikaji  oleh  Tati  Nurjanah,  lebih  memfokuskan  pa da pendapat Sayyid Sabiq tentang jual beli jizaf yaitu jual beli yang serampangan, tidak memakai timbangan atau ukuran (taksiran atau dikira-kira saja).
 Skripsi  yang  berjudul  "Persepsi  Ulama  terhadap  Jual  Beli  Kodok  di Purwodadi  Kabupaten  Grobogan"  yang  dikaji  oleh  Slamet  Sholikhin,  lebih  Sulistiyono, Tinjauan Hukum Islam terhadap Asas Kebebasan Berkontrak dalam Jual Beli  (Studi  Analisis  Terhadap  Pasal  1493  KUH  Perdata),  (Tidak  dipublikasikan.  Skripsi  IAIN Walisongo, 2004)  Khilmi Tamim, Studi Analisis Pendapat Sayyid Sabiq tentang Persyaratan Suci bagi Barang yang Dijadikan Obyek Jual Beli, (Tidak dipublikasikan. Skripsi IAIN Walisongo, 2005)  Tati  Nurjanah, Studi  Analisis  Pendapat  Sayyid  Sabiq  Tentang  Jual  Beli  Jizaf,  (Tidak dipublikasikan. Skripsi IAIN Walisongo, 2006)  memfokuskan  pada  pendapat  ulama  terhadap  jual  beli  kodok  yaitu menjualbelikan kodok hukumnya haram, karena memakannya haram, tapi ada kalanya  Islam  membolehkan  terhadap  sesuatu  yang  diharamkan,  karena mengambil manfaatnya.
 Skripsi  yang  berjudul  "Studi  Analisis  Pendapat  Imam  Syafi'i  tentang Hukum Jual Beli Anjing dalam Kitab Al-Umm" yang dikaji oleh Fauzul Muna, lebih  memfokuskan  pada  pendapat  Imam  Syafi'i  tentang  hukum  jual  beli anjing  dan  memelihara  anjing  adalah  tidak  boleh,  namun  Imam  Syafi'i mengecualikan  pada  orang  yang  menggunakan  anjing  itu  untuk  menjaga ternak dan untuk berburu, dan apabila telah selesai kegunaan anjing itu untuk menjaga dan berburu maka tidak diperbolehkan memelihara anjing.
 Skripsi yang berjudul "Studi Analisis Pendapat Imam Nawawi tentang Syarat  Manfaat  Benda  yang  Diperjualbelikan" yang  ditulis  oleh  Sawidi, dalam  skripsi  ini  dijelaskan  bahwa  Imam  Nawawi  mengharuskan  adanya manfaat dalam benda yang diperjualbelikan, tetapi benda yang bermanfaat itu juga harus suci, halal di makan, tidak menjijikkan, tidak sedikit jumlahnya dan manfaatnya tidak di larang oleh syara.
 Sejauh penelusuran penulis, belum ada penelitian yang membahas jual beli tanpa lafadz ijab qabul perspektif T.M.Hasbi Ash Shiddieqy.



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi