BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Perwakafan tanah milik merupakan
perbuatan suci, mulia dan terpuji yang dilakukan
oleh
seorang (umat Islam)
atau badan hukum,
dengan memisahkan sebagian
dari harta kekayaan
yang ia cintai
berupa tanah hak
milik dan melembagakannya untuk
selama-lamanya menjadi tanah
“wakaf-sosial”, yaitu wakaf
yang diperuntukkan bagi
kepentingan peribadatan atau
keperluan umum lainnya, sesuai dengan ajaran hukum Islam.
Dari
perbuatan perwakafan tersebut,
nantinya diharapkan mendapat investasi pahala yang dijanjikan Allah kepada
seorang wakif sebagai amal jariyah yang tidak
terputus hingga ia
meninggal dunia, selama
harta yang diwakafkan masih
dimanfaatkan oleh masyarakat
selama itu pula
pahalanya akan mengalir.
Hal ini merupakan menifestasi
dari ajaran Agama Islam, sebagaimana yang tertera dalam sebuah hadits, yaitu: ُ Artinya: Dari
Abi Hurairah ra.,
bahwa Rasulullah telah
bersabda: “Apabila orang
itu mati, putuslah
amalnya kecuali tiga
perkara, yaitu: amal jariyah atau ilmu yang memberi manfaat (yang diajarkannya) atau doa kepadanya dari anak yang sholeh.” (HR. Muslim).
Adapun tujuan
dari wakaf yang
diberikan wakif kepada
nadzir adalah untuk keperluan kepentingan ibadah dan
kesejahteraan umum menurut syari’ah .
Menurut UU No. 41/04 tentang Wakaf, bahwa
wakaf juga diperbolehkan untuk jangka waktu
tertentu.
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah
Pembentukan Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya,
Jakarta: Djambatan, 2008, cet. XII, hal. 348.
Imam
Muslim Bin Al-Ahwaj
Al-Qusyairi, Shahih Muslim,
Razak dan Rais
Lathier (terj.), Jakarta: Pustaka
Al-Husna, 1980, jld. 2, hal. 281.
Untuk
mewujudkan tujuan wakaf
tersebut, maka pelaksanaannya harus
sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku, baik
menurut hukum Islam
maupun hukum yang telah
ditetapkan oleh Negara (hukum positif).
Di dalam hukum Islam
tidak diatur secara rinci tentang
pelaksanaan dan tata cara
perwakafan, akan tetapi
di dalam Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia
mengatur secara rinci
mengenai hal tersebut
dengan tujuan untuk kemaslahatan bersama.
Hal ini tertera
dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun
1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik dan
Undang-Undang Nomor 41 Tahun
2004 tentang Wakaf yang secara rinci mengaturnya.
Setelah tanah
wakaf tersebut diwakafkan
sesuai dengan peruntukannya, tanah wakaf tersebut tidak boleh ditarik
kembali oleh ahli warisnya , bahkan oleh wakifnya itu sendiri. Hal ini sebagaimana
hadits dari Ibn Umar, Rasul menjawab: Artinya:
“Umar menyedekahkan pohonnya.
Tidak boleh dijual
dan juga tidak boleh
dihibahkan. Tetapi buahnya disedekahkan.” (HR al-Bukhari).
Hadits di atas telah jelas
melarang kita untuk menarik kembali tanah wakaf tersebut, menghibahkannya, menggadaikannya,
apalagi mewarisinya. Hal ini pun diatur
lebih rinci dan
sistematis dalam Undang-Undang
Nomor 41 Tahun
2004 tentang wakaf, Pasal 40
dan 41 Ayat
(1) menyatakan bahwa: Harta
benda wakaf yang
sudah diwakafkan dilarang: a)
Dijadikan jaminan b) Disita c)
Dihibahkan d) Dijual e) Diwariskan
Lihat UU No. 41/04 tentang Wakaf.
Kecuali tanah wakaf yang diwakafkan hanya
untuk sementara, lihat UU No. 41/04.
Imam Muslim Bin Al-Ahwaj Al-Qusyairi, op.cit.
hal. 281-282.
f)
Ditukar atau g) Dialihkan dalam
bentuk pengalihan hak
lainnya.
Dari peraturan-peraturan yang
telah penulis paparkan,
baik dari hukum Islam maupun
Peraturan Perundang-Undangan menyatakan
bahwa, hukum menarik kembali harta benda wakaf oleh wakif
apalagi oleh ahli warisnya adalah tidak
boleh. Akan tetapi, faktanya tidak seindah dan tidak sesuai dengan apa yang telah
diatur. Fakta empirisnya,
masih banyak harta
wakaf yang ditarik
kemba li oleh wakif, bahkan oleh
ahli warisnya.
Hal tersebut
juga terjadi pada
almarhum Abdul Majid
yang hendak mewakafkan
tanahnya seluas 10.000
M (satu hektar)
yang terletak di
Jalan Jurusan Pontianak RT. 05
RW. 03, Kelurahan Sungai Pinyuh, Kecamatan Sungai Pinyuh,
Kabupaten Pontianak untuk
keperluan pembangunan Pondok
Pesantren.
Namun sebelum sampai niat untuk
mewakafkan tanahnya, almarhum Abdul Majid meninggal
dunia dan tanah
tersebut diserahkan kepada
anaknya (Hanafi/ahli waris) untuk mewakafkannya.
Pada tanggal
8 Juli 1987
dibuatlah Surat Pernyataan
Penyerahan tanah wakaf oleh ahli warisnya, yaitu Hanafi bin Abdul
Majid (anak laki-laki), Nasidah binti Abdul
Majid (anak perempuan),
Latifah (istri dari
almarhum) diserahkan kepada nadzir Qomarudin yang dihadiri oleh
tiga orang saksi, yakni Herdi, Abdul Karim, Hanafi
Sani dan Saluddin
untuk keperluan kuburan
muslim dan pembangunan
Pondok Pesantren “Riyadul
Ulum”. Dalam surat
pernyataan tersebut, hanya
ahli waris Natiah
Binti Abdul Majid
yang tidak tercantum , dikarenakan kesehatan pikirannya terganggu.
Tanah wakaf tersebut juga
telah dibuat Salinan Akta
Pengganti Akta Ikrar Wakaf Nomor:
K-VIII/1-d/BA.03.2/003/1990 yang menyatakan bahwa, pada hari Selasa
3 April 1980,
datang kepada kami
M. Juhdi M,
Kepala Kantor Urusan Agama
Kecamatan selaku Pejabat
Pembuat Akta Ikrar
Wakaf (PPAIW) Kecamatan
Sungai Pinyuh, Kabupaten
Pontianak, yang oleh
Menteri Agama dengan peraturannya Nomor
1 Tahun 1978
Pasal 16 Ayat
(2) huruf d ditugaskan untuk membuat
Akta Pengganti Akta
Ikrar Wakaf Wilayah
Kecamatan Sungai Pinyuh dengan
disaksikan oleh dua orang saksi (Hanafi Sani selaku Kepala Lurah Sungai
Pinyuh dan Herdi,
Abdul Karim) yang
kami kenal. Dalam
hal ini ahli waris
diwakili oleh Hanafi bin Abdul Majid.
Adapun nama-nama
nadzir sesuai dengan
Surat Pengesahan Nadzir Nomor: K-VIII/1-d/BA.03.2/003/1990,
yaitu Qomaruddin, umur 51 tahun, Islam, guru
agama swasta, alamat
RT.01 RW. 03
Kel. Sungai Pinyuh
Kec. Sungai Pinyuh sebagai
ketua pengurus komplek
pesantren. Fathurrozi, 33
tahun, Islam, swasta, alamat RT.
05 RW. 02
Kel. Sungai Pinyuh
Kec. Sungai Pinyuh
sebagai sekertaris, dan Aswar Midin, 63 tahun, Islam,
swasta, alamat Sungai Bakau
Besar Laut, Kec. Sungai Pinyuh
sebagai anggota pengurus dan bendahara.
Kemudian tanah
wakaf milik tersebut
didaftarkan ke Kantor
Pertanahan Kabupaten Pontianak
dengan diterbitkannya keputusan
Sertifikat Nomor 345/Wakaf.
Setelah proses tersebut
seharusnya tanah itu
tidak dapat ditarik kembali oleh ahli waris, melainkan sudah menjadi milik masyarakat umum
untuk keperluan kuburan muslim dan
pembangunan Pondok Pesantren “Riyadul
Ulum” yang dipergunakan untuk
sarana pendidikan.
Akan tetapi pada
akhir tahun 2001,
tanah wakaf yang
telah dibuatkan sertifikat
oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Pontianak digugat
oleh ahli waris wakif ke
Pengadilan Tata Usaha
Negara. Latifah sebagai
Penggugat, sedangkan Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten
Pontianak sebagai Tergugat.
Hasilnya Latifah dimenangkan
oleh Pengadilan Tata
Usaha Negara Pontianak
tanggal 7 Januari
2002 Nomor: 28/G/PTUN-PTK/2001, dengan
dibatalkannya Surat Keputusan Tergugat Nomor: 345/Wakaf tanggal 11
Juli 1991.
Perkara tersebut
kemudian naik banding di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Jakarta dengan hasil menguatkan
putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Pontianak Nomor:
28/G/PTUN-PTK/2001
tertanggal 07 Januari
2001. Hal tersebut sesuai dengan isi Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
dengan Nomor Perkara:
102/B/2002/PT.TUN.JKT.
Berdasarkan ketentuan hukum Islam
yang dinyatakan oleh Jumhur Ulama (kecuali
Imam Hanafi), bahwa
tanah yang sudah
diikrarkan untuk diwakafkan tidak dapat ditarik kembali oleh wakif atau
ahli warisnya dengan alasan apapun, karena
sejak tanah tersebut diwakafkan, maka kepemilikan tanah tersebut terputus dan
menjadi milik umum
berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 28 Tahun 1977
tentang Perwakafan Tanah Milik.
Dari latar
belakang masalah di
atas, penulis tertarik
dan merasa penting untuk
melakukan penelitian skripsi
ini dengan judul,
“STUDI ANALISIS PUTUSAN
PENGADILAN TATA USAHA
NEGARA PONTIANAK NOMOR: 28/G/PTUN-PTK/2001 (Penarikan Tanah
Wakaf oleh Ahli Waris).
Dikarenakan belum ada Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara Pontianak.
B. Rumusan Masalah.
Dari pembahasan
yang telah dijelaskan
pada latar belakang
masalah di atas, penulis dapat
memformulasikan ada beberapa pokok masalah yang menjadi obyek pembahasan dalam penulisan ini, antara
lain adalah sebagai berikut: .
1. Bagaimana
tinjauan hukum Islam
terhadap putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Pontianak Nomor: 28/G/PTUN-PTK/2001 dengan
dibatalkannya Sertifikat Tanah
Wakaf yang berakibat
penarikan tanah wakaf
oleh ahli waris?
2. Apakah
yang menjadi dasar
pertimbangan hakim terhadap
Putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara Pontianak
Nomor: 28/G/PTUN-PTK/20 dengan dibatalkannya
Sertifikat Tanah Wakaf
yang berakibat penarikan tanah wakaf oleh ahli waris?
3. Apa
yang lebih diprioritaskan jika
ada perbedaan hukum
penarikan tanah wakaf oleh warisnya dalam hal ini pembatalan
Sertifikat Tanah Wakaf oleh PTUN Pontianak
Nomor: 28/G/PTUN-PTK/2001 jika
ditinjau dari hukum Islam
dan hukum positif di Indonesia?
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi