Rabu, 27 Agustus 2014

Skripsi Syariah: STUDI ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA PONTIANAK NOMOR: 28/G/PTUN-PTK/2001

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang Masalah.
Perwakafan tanah milik merupakan perbuatan suci, mulia dan terpuji yang  dilakukan  oleh  seorang  (umat  Islam)  atau  badan  hukum,  dengan  memisahkan  sebagian  dari  harta  kekayaan  yang  ia  cintai  berupa  tanah  hak  milik  dan melembagakannya  untuk  selama-lamanya  menjadi  tanah  “wakaf-sosial”,  yaitu  wakaf  yang  diperuntukkan  bagi  kepentingan  peribadatan  atau  keperluan  umum  lainnya, sesuai dengan ajaran hukum Islam.

 Dari  perbuatan  perwakafan  tersebut,  nantinya  diharapkan  mendapat  investasi pahala yang dijanjikan Allah kepada seorang wakif  sebagai amal jariyah yang  tidak  terputus  hingga  ia  meninggal  dunia,  selama  harta  yang  diwakafkan  masih  dimanfaatkan  oleh  masyarakat  selama  itu  pula  pahalanya  akan  mengalir.
Hal ini merupakan menifestasi dari ajaran Agama Islam, sebagaimana yang tertera  dalam sebuah hadits, yaitu: ُ Artinya:  Dari  Abi  Hurairah  ra.,  bahwa  Rasulullah  telah  bersabda:  “Apabila  orang  itu  mati,  putuslah  amalnya  kecuali  tiga  perkara,  yaitu:  amal  jariyah  atau ilmu yang  memberi manfaat (yang diajarkannya) atau doa  kepadanya dari anak yang sholeh.” (HR. Muslim).
Adapun  tujuan  dari  wakaf  yang  diberikan  wakif  kepada  nadzir  adalah  untuk keperluan kepentingan ibadah dan kesejahteraan umum menurut syari’ah  .
 Menurut UU No. 41/04 tentang Wakaf, bahwa wakaf juga diperbolehkan untuk jangka  waktu tertentu.
 Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Pokok Agraria, Isi dan  Pelaksanaannya, Jakarta: Djambatan, 2008, cet. XII, hal. 348.
 Imam  Muslim  Bin  Al-Ahwaj  Al-Qusyairi,  Shahih  Muslim,  Razak  dan  Rais  Lathier  (terj.), Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1980, jld. 2, hal. 281.
 Untuk  mewujudkan  tujuan  wakaf  tersebut,  maka  pelaksanaannya  harus  sesuai  dengan  peraturan-peraturan  yang  berlaku,  baik  menurut  hukum  Islam  maupun  hukum yang telah ditetapkan oleh Negara (hukum positif).
Di dalam hukum  Islam  tidak  diatur secara rinci tentang pelaksanaan dan  tata  cara  perwakafan,  akan  tetapi  di  dalam  Peraturan  Perundang-Undangan  di  Indonesia  mengatur  secara  rinci  mengenai  hal  tersebut  dengan  tujuan  untuk  kemaslahatan  bersama.  Hal  ini  tertera  dalam  Peraturan  Pemerintah  Nomor  28  Tahun  1977  tentang  Perwakafan  Tanah  Milik  dan  Undang-Undang  Nomor  41  Tahun 2004 tentang Wakaf yang secara rinci mengaturnya.
Setelah  tanah  wakaf  tersebut  diwakafkan  sesuai  dengan  peruntukannya,  tanah wakaf tersebut tidak boleh ditarik kembali oleh ahli warisnya  ,  bahkan oleh  wakifnya itu sendiri. Hal ini sebagaimana hadits dari Ibn Umar, Rasul menjawab: Artinya:  “Umar  menyedekahkan  pohonnya.  Tidak  boleh  dijual  dan  juga  tidak  boleh dihibahkan. Tetapi buahnya disedekahkan.” (HR al-Bukhari).
Hadits di atas telah jelas melarang kita untuk menarik kembali tanah wakaf  tersebut, menghibahkannya, menggadaikannya, apalagi mewarisinya. Hal ini  pun  diatur  lebih  rinci  dan  sistematis  dalam  Undang-Undang  Nomor  41  Tahun  2004  tentang wakaf, Pasal  40  dan  41  Ayat  (1) menyatakan bahwa:   Harta  benda  wakaf  yang  sudah  diwakafkan  dilarang: a)  Dijadikan  jaminan b)  Disita c)  Dihibahkan d)  Dijual e)  Diwariskan  Lihat UU No. 41/04 tentang Wakaf.
 Kecuali tanah wakaf yang diwakafkan hanya untuk sementara, lihat UU No. 41/04.
 Imam Muslim Bin Al-Ahwaj Al-Qusyairi, op.cit. hal. 281-282.
 f)  Ditukar atau g)  Dialihkan  dalam  bentuk  pengalihan  hak  lainnya.
Dari  peraturan-peraturan  yang  telah  penulis  paparkan,  baik  dari  hukum  Islam  maupun  Peraturan  Perundang-Undangan  menyatakan  bahwa,  hukum  menarik kembali harta benda wakaf oleh wakif apalagi oleh ahli warisnya adalah  tidak boleh. Akan tetapi, faktanya tidak seindah dan tidak sesuai dengan apa yang  telah  diatur.  Fakta  empirisnya,  masih  banyak  harta  wakaf  yang  ditarik  kemba li  oleh wakif, bahkan oleh ahli warisnya.
Hal  tersebut  juga  terjadi  pada  almarhum  Abdul  Majid  yang  hendak  mewakafkan  tanahnya  seluas  10.000  M  (satu  hektar)  yang  terletak  di  Jalan  Jurusan Pontianak RT. 05 RW. 03,  Kelurahan Sungai Pinyuh,  Kecamatan Sungai  Pinyuh,  Kabupaten  Pontianak  untuk  keperluan  pembangunan  Pondok  Pesantren.
Namun sebelum sampai niat untuk mewakafkan tanahnya, almarhum Abdul Majid  meninggal  dunia  dan  tanah  tersebut  diserahkan  kepada  anaknya  (Hanafi/ahli  waris) untuk mewakafkannya.
Pada  tanggal  8  Juli  1987  dibuatlah  Surat  Pernyataan  Penyerahan  tanah  wakaf oleh ahli warisnya, yaitu Hanafi bin Abdul Majid (anak laki-laki), Nasidah  binti  Abdul  Majid  (anak  perempuan),  Latifah  (istri  dari  almarhum)  diserahkan  kepada nadzir Qomarudin yang dihadiri oleh tiga orang saksi, yakni Herdi,  Abdul Karim,  Hanafi  Sani  dan  Saluddin  untuk  keperluan  kuburan  muslim  dan  pembangunan  Pondok  Pesantren  “Riyadul  Ulum”.  Dalam  surat  pernyataan  tersebut,  hanya  ahli  waris  Natiah  Binti  Abdul  Majid  yang  tidak  tercantum ,  dikarenakan kesehatan pikirannya terganggu.
 Tanah wakaf tersebut  juga  telah dibuat  Salinan Akta Pengganti Akta Ikrar  Wakaf Nomor: K-VIII/1-d/BA.03.2/003/1990 yang menyatakan bahwa, pada hari  Selasa  3  April  1980,  datang  kepada  kami  M.  Juhdi  M,  Kepala  Kantor  Urusan  Agama  Kecamatan  selaku  Pejabat  Pembuat  Akta  Ikrar  Wakaf  (PPAIW)  Kecamatan  Sungai  Pinyuh,  Kabupaten  Pontianak,  yang  oleh  Menteri  Agama  dengan peraturannya  Nomor  1  Tahun  1978  Pasal  16  Ayat  (2) huruf d ditugaskan  untuk  membuat  Akta  Pengganti  Akta  Ikrar  Wakaf  Wilayah  Kecamatan  Sungai Pinyuh dengan disaksikan oleh dua orang saksi (Hanafi Sani selaku  Kepala Lurah  Sungai  Pinyuh  dan  Herdi,  Abdul  Karim)  yang  kami  kenal.  Dalam  hal  ini  ahli  waris diwakili oleh Hanafi bin Abdul Majid.
Adapun  nama-nama  nadzir  sesuai  dengan  Surat  Pengesahan  Nadzir Nomor: K-VIII/1-d/BA.03.2/003/1990, yaitu Qomaruddin,  umur 51 tahun,  Islam,  guru  agama  swasta,  alamat  RT.01  RW.  03  Kel.  Sungai  Pinyuh  Kec.  Sungai Pinyuh  sebagai  ketua  pengurus  komplek  pesantren.  Fathurrozi,  33  tahun,  Islam, swasta, alamat  RT.  05  RW.  02  Kel.  Sungai  Pinyuh  Kec.  Sungai  Pinyuh  sebagai  sekertaris,  dan Aswar Midin, 63 tahun,  Islam,  swasta, alamat  Sungai  Bakau  Besar  Laut, Kec. Sungai Pinyuh sebagai anggota pengurus dan bendahara.
Kemudian  tanah  wakaf  milik  tersebut  didaftarkan  ke  Kantor  Pertanahan  Kabupaten  Pontianak  dengan  diterbitkannya  keputusan  Sertifikat  Nomor  345/Wakaf.  Setelah  proses  tersebut  seharusnya  tanah  itu  tidak  dapat  ditarik  kembali oleh ahli waris,  melainkan sudah menjadi milik masyarakat umum untuk keperluan kuburan muslim dan  pembangunan Pondok Pesantren “Riyadul  Ulum”  yang dipergunakan untuk sarana pendidikan.
 Akan  tetapi  pada  akhir  tahun  2001,  tanah  wakaf  yang  telah  dibuatkan  sertifikat  oleh  Kantor  Pertanahan  Kabupaten  Pontianak  digugat  oleh  ahli  waris  wakif  ke  Pengadilan  Tata  Usaha  Negara.  Latifah  sebagai  Penggugat,  sedangkan  Kepala  Kantor  Pertanahan  Kabupaten  Pontianak  sebagai  Tergugat.  Hasilnya  Latifah  dimenangkan  oleh  Pengadilan  Tata  Usaha  Negara  Pontianak  tanggal  7  Januari  2002  Nomor:  28/G/PTUN-PTK/2001,  dengan  dibatalkannya  Surat  Keputusan Tergugat Nomor: 345/Wakaf tanggal 11 Juli 1991.
Perkara  tersebut  kemudian  naik banding di  Pengadilan Tinggi Tata Usaha  Negara  Jakarta  dengan hasil menguatkan putusan Pengadilan Tata Usaha  Negara Pontianak  Nomor:  28/G/PTUN-PTK/2001  tertanggal  07  Januari  2001.  Hal  tersebut sesuai dengan isi  Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha  Negara  dengan  Nomor Perkara: 102/B/2002/PT.TUN.JKT.
Berdasarkan ketentuan hukum  Islam  yang dinyatakan oleh Jumhur Ulama  (kecuali  Imam  Hanafi),  bahwa  tanah  yang  sudah  diikrarkan  untuk  diwakafkan  tidak dapat ditarik kembali oleh wakif atau ahli warisnya dengan alasan apapun,  karena sejak tanah tersebut diwakafkan, maka kepemilikan tanah tersebut terputus  dan  menjadi  milik  umum  berdasarkan  Peraturan  Pemerintah  Nomor  28  Tahun  1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Dari  latar  belakang  masalah  di  atas,  penulis  tertarik  dan  merasa  penting  untuk  melakukan  penelitian  skripsi  ini  dengan  judul,  “STUDI  ANALISIS  PUTUSAN  PENGADILAN  TATA  USAHA  NEGARA  PONTIANAK  NOMOR: 28/G/PTUN-PTK/2001 (Penarikan Tanah Wakaf oleh Ahli Waris).
 Dikarenakan belum ada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Pontianak.
 B. Rumusan Masalah.
Dari  pembahasan  yang  telah  dijelaskan  pada  latar  belakang  masalah  di atas, penulis dapat memformulasikan ada beberapa pokok masalah yang menjadi  obyek pembahasan dalam penulisan ini, antara lain adalah sebagai berikut: .
1.  Bagaimana  tinjauan  hukum  Islam  terhadap  putusan  Pengadilan Tata Usaha  Negara  Pontianak  Nomor:  28/G/PTUN-PTK/2001  dengan  dibatalkannya  Sertifikat  Tanah  Wakaf  yang  berakibat  penarikan  tanah  wakaf  oleh  ahli  waris?
2.  Apakah  yang  menjadi  dasar  pertimbangan  hakim  terhadap  Putusan  Pengadilan  Tata  Usaha  Negara  Pontianak  Nomor:  28/G/PTUN-PTK/20 dengan  dibatalkannya  Sertifikat  Tanah  Wakaf  yang  berakibat  penarikan  tanah wakaf oleh ahli waris?
3.  Apa  yang  lebih  diprioritaskan  jika  ada  perbedaan  hukum  penarikan  tanah  wakaf oleh warisnya dalam hal ini pembatalan Sertifikat Tanah Wakaf oleh  PTUN  Pontianak  Nomor:  28/G/PTUN-PTK/2001  jika  ditinjau  dari  hukum  Islam dan hukum positif di Indonesia?




Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi