BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Tata
surya kita adalah
suatu kelompok benda
langit, mulai dari Matahari dan planet-planet yang mengitarinya yang
terdiri dari Merkurius, Venus, Bumi,
Mars, Yupiter, Saturnus, Uranus dan Neptunus beserta 165 buah
satelit planet yang
sudah diketahui sampai
sekarang, serta objekobjek
tata surya yang
lainnya seperti asteroid,
planet katai, meteorid, planetoid,
komet dan debu
angkasa, yang bergerak
mengikuti hukum dinamika
Newton.
Di
antara semua anggota
tata surya tersebut,
planet Bumi, Bulan dan
Matahari merupakan tiga
benda langit yang
banyak menarik perhatian
para ahli falak
karena menjadi penanda
waktu dalam pelaksanaan
beberapa ibadah seperti
sholat fardhu, salat
gerhana dan ibadah puasa.
Hal yang
paling spektakuler dalam
kaitan Bumi, Bulan
dan Matahari adalah
ketika terjadi fenomena
gerhana, baik gerhana
Bulan maupun gerhana Matahari.
Gerhana adalah peristiwa
alam yang terjadi beberapa
kali setiap tahunnya.
Dalam hadis-hadis Nabi
saw peristiwa tersebut dinyatakan sebagai bagian dari tanda-tanda kebesaran Allah. Ada dua
macam gerhana yang
dapat disaksikan di
Bumi, yaitu gerhana Gunawan Admiranto, Menjelajah Tata Surya,
Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2009,
hlm. 8.
Matahari
dan gerhana Bulan.
Muhammad
Wardan mengatakan bahwa gerhana Bulan
ialah peristiwa ketika
Bulan bergerak mengelilingi
Bumi, masuk ke dalam inti bayangan Bumi, sehingga pada waktu itu
Bulan tidak menerima sinar
Matahari. Oleh karena
itu, gerhana Bulan
terjadi ketika bulan
berada pada saat
istiqbal (oposisi).
Sedangkan
gerhana Matahari adalah
fenomena yang terjadi
di saat Bulan
berada di antara
Bumi dan Matahari,
yaitu saat ijtima
(konjungsi), dimana Bulan
atau Matahari berada di salah satu titik simpul atau di
dekatnya.
Gerhana Matahari dapat terjadi
2 sampai 3
kali dalam setahun,
tetapi hanya dapat
disaksikan di wilayah-wilayah tertentu
di permukaan Bumi.
Sedangkan gerhana Bulan dapat
terjadi 2 sampai
3 kali dalam
setahun dan dapat
disaksikan oleh seluruh
penduduk Bumi yang
menghadap ke Bulan.
Fenomena
gerhana ini sudah lama
menjadi objek pengamatan
manusia. Sejak zaman Babilonia,
catatan observasi gerhana sudah rutin dilakukan.
Tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP
Muhammadiyah, Pedoman Hisab
Muhammadiyah, Yogyakarta: Majelis Tarjih
dan Tajdid Muhammadiyah, Cet. II, 2009, hlm. 95.
Ahli falak, yang bernama Wardan Diponingrat K.R.T, sedangkan
Muhammad Wardan adalah nama kecilnya. Ia
dilahirkan pada 19 Mei 1911 M bertepatan
dengan tanggal 20 Jumadil Awwal 1329 H di Kauman, Yogyakarta dan
meninggal dunia pada 3 Februari 1991 M/
19 Rajab 14 11 H. Ayahnya, yaitu Kyai Muhammad Sangidu seorang
penghulu Kraton Yogyakarta dengan gelar
Kanjeng Penghulu Kyai Muhammad Kamalunidiningrat sejak 1913 M/1332 H sampai
1940 M/1359 H. Sejak 1973 hingga
wafatnya, Wardan dipercaya sebagai anggota
Badan Hisab Rukyah Departemen
Agama RI. Muhammad Wardan merupakan seorang tokoh penggagas teori Wujudul Hilal
yang hingga kini masih digunakan oleh persyarikatan Muhammadiyah.
Selengkapnya lihat Susiknan Azhari,
Ensiklopedi Hisab Rukyah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. II, 2008, hlm.
235-236.
Muhammad Wardan, Kitab
Falak dan Hisab, Yogyakarta: Toko Pandu,
Cet. I, 1957, hlm. 52-53.
Muhyiddin Khazin, Ilmu Falak (Dalam Teori dan
Praktik), Yogyakarta: Buana Pustaka, Cet.
I, 2004, hlm. 187.
Ibid hlm. 188.
Ahmad Izzudin, Fiqh Hisab Rukyah, Jakarta: PT
Gelora Aksara Pratama, 2007 hlm. 43.
Gerhana merupakan salah satu tanda-tanda
kekuasaan Allah yang sering
disalahartikan. Dulu pernah
terjadi gerhana pada
masa Nabi Muhammad saw.
Fenomena itu bertepatan
dengan kematian putra
Nabi saw yang bernama Sayyid
Ibrahim. Sebagian golongan mengatakan bahwa peristiwa
gerhana terjadi disebabkan
wafatnya Ibrahim. Mereka mengatakan
demikian dengan maksud
mengagungkan Nabi saw
dan putranya.
Ketika
Nabi saw mendengar
apa yang mereka
katakan, beliau marah,
lalu berkhotbah kepada
mereka yang isinya
menjelaskan bahwa Matahari
dan Bulan merupakan
dua pertanda di
antara tanda-tanda yang menunjukkan
kekuasaan Allah swt dan tidak ada satu
kekuasaan-pun bagi seseorang terhadap
keduanya.
Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari yang berbunyi : “Syihab bin
„Ibad telah bercerita
kepada kami, ia
berkata: telah bercerita kepada kami Ibrahim bin Humaid dari
Ismail dari Qais, ia
berkata: aku mendengar
Abu Mas‟ud berkata:
Nabi saw bersabda:
sesungguhnya Matahari dan Bulan tidak
mengalami gerhana karena
kematian seorang manusia,
tapi keduanya merupakan
tanda di antara
tanda-tanda kebesaran Allah.
Jika kalian melihat keduanya
(gerhana), maka berdirilah lalu salatlah.”
„Alawi Abbas al-Maliki, Penjelasan Hukum-Hukum Syari’at Islam,
diterjemahkan oleh Bahrun Abu Bakar dari “Ibaanattul Ahkaam”, Bandung: Sinar
Baru Algensindo, Cet I, 1994, hlm.
802-803.
Ibid.
Imam
Abi „Abdillah Muhammad
bin Ismail ibnu
Ibrahim bin al-Mughirah
bin Bardazabah al-Bukhari
al-Ja‟fii, Shahih al-Bukhari,
Juz 1, Beirut,
Libanon: Daar al -Fikr,
1981, hlm. 24.
Hadis
di atas menjelaskan
bahwa ketika terjadi
gerhana dianjurkan melaksanakan salat sunat
yang dinamakan dengan salat sunat
gerhana. Para ulama sepakat
bahwa salat sunat
gerhana termasuk kategori
sunat muakkad.
Hukum
sunatnya sama dengan
hukum salat dua
hari raya.
Pelaksanaannya dilaksanakan
ketika peristiwa gerhana
mulai terlihat oleh mata
sampai prosesi gerhana berakhir.
Pada dasarnya, alam semesta
mengikuti hukum-hukum yang bersifat kuantitatif.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi