BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Perwakafan atau
wakaf merupakan salah
satu dari ajaran-ajaran
Islam yang mengandung
nilai ibadah dan
sosial dikatakan mengandung
nilai ibadah karena salah satu dorongan wakaf adalah
untuk mencari keridhaan Allah SWT dan dikatakan
mengandung nilai sosial
karena mewakafkan atau
memberikan suatu untuk orang lain. Wakaf bukan
hanya merupakan shadaqah
biasa, tetapi merupakan shadaqah
yang memiliki nilai
lebih daripada shadaqah-shadaqah lainnya.
Shadaqah berupa
wakaf lebih besar
pahala dan manfaatnya
bagi orang yang memberikan wakaf,
karena harta yang
diwakafkan itu akan
terus-menerus mengalir pahalanya
kepada orang yang memberikan wakaf (wakif) sekalipun ia telah
meninggal, selama harta
yang diwakafkan itu
masih bisa dimanfaatk an.
Selain itu, wakaf bisa menjadi
jalan dan perantara untuk memajukan agama serta membangun
masyarakat dalam berbagai
bidang kehidupan. Seperti
ibadah, pendidikan, dakwah, sosial,
kesehatan dan lain-lain.
Dalam sebuah hadits
di terangkan : Imam Abi al Husain Muslim bin al Hujjaj bin
Muslim, Al Jami’ al Shahih al Mushamma Shahih Muslim, Semarang: Toha Putra, Juz 3,
t,th, hlm.73. Artinya
: Menceritakan kepadaku
Yahya bin Ayyub,
Qutaibah (Ibnu Sa‟id),
dan Ibnu Hujrin
mereka berkata, telah
menceritakan kepada kami
Isma‟il (Ibnu Ja‟far) dari al
„Allak dari ayahnya, dari Abi Hurairah sesungguhnya Rasulallah
SAW bersabda: “Apabila
manusia meninggal dunia,
maka putuslah amalnya, kecuali
dari tiga perkara : shadaqah Jariyah, ilmu yang bermanfaat,
dan anak shaleh
yang mendoakan orang
tuanya”. (HR.
Muslim) Dalam Islampun seseorang
dianjurkan untuk menafkahkan sebagian harta benda
miliknya. Sebagaimana dijelaskan
dalam Al-Qur‟an yang
sekaligus menjadi dasar hukum
wakaf, seperti ayat berikut: Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada
kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu
menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa
saja yang kamu
nafkahkan, maka sesungguhnya
Allah mengetahuinya.” (QS. Ali Imron, 92) Berdasarkan ayat
di atas dapat
diketahui bahwasanya Allah
SWT memerintahkan kepada
manusia untuk menyisihkan
dan merelakan sebagian harta
yang dicintainya untuk
dinafkahkan, karena itu
merupakan sebuah kebaikan
yang sempurna. Dengan
demikian sebagai orang
muslim tidaklah mengesampingkan ayat tersebut, tapi justru
harus sebaliknya, yakni senantiasa melakukannya
dengan baik sesuai dengan apa yang telah diperintahkannya.
Wakaf menurut
bahasa Arab berarti
“al-habsu”, yang berasal
dari kata kerja
habasa-yahbisu-habsan,
menjauhkan orang dari
sesuatu atau memenjarakan.
Kemudian kata itu berkembang
menjadi “habbasa” dan berarti mewakafkan
harta karena Allah.
Kata wakaf sendiri
berasal dari kata
kerja Lajnah Pentashih
Mushaf Al-Qur‟an Departemen
Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Bandung, 2005, hlm.
49.
waqafa
(fi’il madhi)-yaqifu (fi’il
mudhari’)-waqfan (isim masdar)
yang berarti berhenti atau berdiri. Sedangkan wakaf menurut
istilah syara‟ adalah “menahan harta
yang mungkin diambil manfaatnya tanpa menghabiskan atau merusakkan bendanya (ainnya) dan digunakan
untuk kebaikan”.
Adapun
definisi wakaf sebagaimana
tercantum dalam Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004
adalah Perbuatan hukum
wakif untuk memisahkan dan/atau
menyerahkan sebagian harta
benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk
jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan
umum menurut syariah.
Kemudian dengan adanya pertimbangan bahwa praktik wakaf
yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum
sepenuhnya berjalan tertib
dan efisien sehingga
dalam berbagai kasus
harta wakaf tidak
dipelihara dan dikelola
oleh nadzir sebagaimana mestinya.
Keadaan demikian itu tidak hanya karena kelalaian atau
ketidakmampuan nadzir dalam
mengelola dan mengembangkan
harta benda wakaf
tapi karena juga
sikap masyarakat yang
kurang peduli atau
belum memahami status
harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi demi untuk kesejahteraan
umum sesuai dengan tujuan, fungsi, dan
peruntukan wakaf.
Di Indonesia, wakaf telah dikenal dan
dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam
masuk di Indonesia.
Sebagai suatu lembaga
Islam, wakaf telah Adijani
Al-Alabij, Perwakafan Tanah
di Indonesia dalam
Teori dan Praktek,
Jakarta, PT, Raja Grafindo Persada, 1997, hlm. 23.
Direktorat
Jendral Pembinaan Kelembagaan
Islam, Departemen Agama
RI, Peraturan Perundangan Perwakafan, Jakarta, 2006, hlm.
2-3.
Departemen
Agama RI, Undang-Undang
Wakaf dan Peraturan
Pemerintah Tentang Pelaksanaannya, Jakarta, 2007, hlm. 39.
menjadi salah satu penunjang perkembangan masyarakat Islam. Sebagian
besar tanah wakaf di Indonesia
digunakan untuk rumah ibadah, perguruan tinggi Islam dan
lembaga-lembaga keagamaan Islam
lainnya.
Mengingat
manfaatnya yang sangat
besar bagi kepentingan
sosial, maka wakaf
harus dikelola dan dikembangkan oleh orang-orang
yang ahli di
dalam menangani obyek
wakaf serta mempunyai
jaminan kepastian hukum.
Berdasarkan kenyataan yang demikian, pemerintah
memandang perlu diberikan
landasan hukum yang
kuat dalam bentuk
peraturan perundang-undangan dalam
pengelolaan dan pemanfaatan obyek wakaf.
Undang-Undang Nomor
41 Tahun 2004
Pasal 11, menyatakan
bahwa: “Nadzir mempunyai
tugas melakukan pengadministrasian harta
benda wakaf, mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai
dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya,
mengawasi dan melindungi harta benda wakaf, melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf
Indonesia” .
Peraturan Pemerintah
Nomor 42 Tahun
2006 Pasal 1
(4) menjelaskan bahwa
nadzir adalah pihak
yang menerima benda
wakaf baik perorangan maupun badan hukum yang diberi tugas untuk
mengelola dan mengembangkan sesuai dengan
peruntukannya. Nadzir merupakan
unsur penting dalam
sistem perwakafan, karena
nadzir adalah ujung
tombak perwakafan tanpa
adanya nadzir peruntukan
dan tujuan wakaf
tidak akan tercapai.
Dalam usaha untuk Departemen Agama RI, Lembaga Pengelola Wakaf
(Nazhir), Jakarta, 2004, hal.
Direktorat
Jendral Pembinaan Kelembagaan
Islam, Departemen Agama
RI, Peraturan Perundangan Perwakafan, Jakarta, 2006, Hlm 8 melestarikan
dan mengembangkan objek
wakaf, nadzir harus
mengelola dan memelihara harta wakaf serta melaksanakan
syarat dari wakif.
Tetapi
kenyataan yang terjadi
ada nadzir yang
tidak mengurus harta wakaf.
Hal ini terjadi di Desa Dombo Kec. Sayung Kab. Demak. Dari data yang peneliti dapat di KUA Sayung juga observasi
di Desa Dombo terdapat 10 tanah wakaf, yang termasuk dalam kategori tanah
wakaf produktif yaitu 4 tanah wakaf yang
luas masing-masing 730 m , 500 m ,
650 m
, dan 135 m yang semula oleh wakif
diperuntukkan untuk 2
Masjid, 1 Madrasah,
dan 1 Musholla,
kemudian oleh pengelola
(bukan nadzir) dalam perkembangannya
terdapat penambahan 1 Madrasah Diniyyah
(MD), 1 Taman
Kanak-kanak (RA) dan
1 Madrasah Ibtidaiyyah (MI), dan 6 tanah wakaf lainnya
berfungsi sebagai tempat ibadah.
Sebenarnya tidak masalah ketika
nadzir mengelola 10 tanah wakaf, dengan ketentuan nadzir
dapat menjalankan kewajibannya
dalam mengelola tanah wakaf, namun
nadzir sebagai seorang
yang mempunyai kewajiban
mengelola tanah wakaf
ternyata tidak berperan
sama sekali terhadap
tanah wakaf yang dikelolanya, hal
ini yang menyebabkan
nadzir tersebut seperti
hanya sebuah formalitas.
Dengan melihat
uraian tersebut di
atas penulis tertarik
untuk mengkaji lebih lanjut dalam sebuah skripsi dengan judul:
Studi Analisis tentang Peran Nadzir
dalam Pengelolaan Tanah Wakaf Ditinjau dari Perspekti UU Nomor 41
Tahun 2004 pasal
11 (Studi Kasus
di Desa Dombo
Kec. Sayung Kab.
Demak).
Departemen Agama RI, op. cit hlm. 39 B.
Rumusan Masalah.
Berdasarkan pada
alasan-alasan yang dikemukakan
pada poin latar belakang di
atas, Maka muncul
beberapa permasalahan dalam
benak penulis untuk membahas masalah tersebut. Adapun
rumusan masalah yang akan dikaji adalah : .
1. Apakah
peran nadzir dalam pengelolaan tanah wakaf di Desa
Dombo Kec.
Sayung Kab. Demak sesuai dengan
UU Nomor 41 Tahun 2004 pasal 11 ? 2.
Faktor-faktor apa yang
mempengaruhi peran nadzir
yang tidak mengelola tanah wakaf di Desa Dombo Kec. Sayung Kab. Demak?
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi