Selasa, 26 Agustus 2014

Skripsi Syariah:TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP PRAKTEK MAKELAR JUAL BELI BAWANG MERAH ( Studi Kasus di Desa Keboledan Wanasari Brebes )

BAB I PENDAHULUAN
 A.  Latar Belakang Masalah Islam adalah suatu sistem dan jalan hidup yang utuh dan terpadu  (a  comprehensive way of life).  Ia memberikan panduan yang dinamis dan lugas  terhadap semua aspek kehidupan termasuk sektor bisnis dan transaksi  .  Di sisi  lain, sesuai dengan perkembangan  peradaban manusia,  berkat kemajuan ilmu  pengetahuan  dan  teknogi  modern,  banyak  bermunculan  bentuk-bentuk  transaksi  yang  belum  di  temui  pembahasannya  dalam  khazanah  fiqh  klasik.
Dalam kasus seperti ini, tentunya seorang  muslim harus mempertimbangkan  dan  memperhatikan,  apakah  transaksi  yang  baru  muncul  itu  sesuai  dengan  dasar-dasar dan prinsip-prinsip muamalah yang di syariatkan.
Ajaran islam dalam persoalan muamalah  bukanlah ajaran yang kaku,  sempit  dan  jumud,  melainkan  suatu  ajaran  yang  fleksibel  dan  elastis,  yang  dapat mengakomodir berbagai perkembangan transaksi modern, selama tidak  bertentangan dengan  nash  Al Quran dan sunnah  .  Misalnya, dalam persoalan  jual-beli,  utang  piutang,  kerjasama  dagang,  perserikatan,  kerjasama  dalam  penggarapan tanah, dan sewa-menyewa  .

 Muhammad Syafii Antonio,  Bank  Syariah  dari Teori ke Praktik,  Jakarta : Gema  insani, 2001, cet ke-1, hlm. v  Nasrun  Haroen,  Fiqh  Muamalah,  Jakarta  :  Gaya  Media  Pratama,  2007,  cet  ke-2  hlm. v   Ibid, hlm. vii   Perkembangan  jenis  dan  bentuk  muamalah  yang  dilaksanakan  oleh  manusia  sejak  dahulu  sampai  sekarang  sejalan  dengan  perkembangan  kebutuhan  dan  pengetahuan  manusia  itu  sendiri.  Atas  dasar  itu,  di  jumpai  dalam berbagai suku bangsa jenis dan bentuk  muamalah  yang beragam, yang  esensinya  adalah  saling  melakukan  interaksi  sosial  dalam  upaya  memenuhi  kebutuhan masing-masing. Allah sendiri berfirman:  ُ:…Katakanlah  :  Tiap  tiap  orang  berbuat  menurut  keadaannya masing masing….(QS. al Isra 84) Persoalan muamalah merupakan suatu hal  yang pokok dan menjadi  tujuan  penting  agama  islam  dalam  upaya  memperbaiki  kehidupan  manusia.
Atas dasar itu, syariat  muamalah  diturunkan Allah hanya dalam bentuk yang  global  dan  umumnya  saja,  dengan  mengemukakan  berbagai  persepektif  dan  norma  yang  dapat  menjamin  prinsip  keadilan  dalam  bermuamalah  antara  manusia  .
Banyak  sekali  usaha-usaha  manusia  yang  berhubungan  dengan  barang dan jasa. Dalam transaksi saja para ulama menyebutkan tidak kurang  dari 25 macam, antara lain : jual-beli  „inah  (transaksi yang pembayarannya di  belakang),  jual-beli  „urbun  (jual beli-beli dengan pengikat uang muka), jualbeli  ahlul-hadhar  (orang kota) dengan  al-badi  (orang desa), khiyar, jual-beli  ushul  dan  tsamar  (buah-buahan),  salam  (pesanan),  istishna  (pemesanan  membuat  barang),  rahn  (gadai),  kafalah  (jaminan),  wakalah  (perwakilan),   Ibid,  hlm. viii   syirkah  (perserikayan),  ijarah  (sewa menyewa),  wadiah  (barang titipan) dan  lain  sebagainya.  Yang  kesemuanya  itu  sudah  barang  tentu  dengan  teknologi  serta  tuntutan  masyarakat  yang  makin  meningkat,  melahirkan  model-model  transaksi  baru  yang  membutuhkan  penyelesaiannya  dari  sisi  Hukum  Islam (Fiqih).  Penyelesaian  yang  di  satu  sisi  tetap  Islami  dan  disisi  lain  mampu  menyelesaikan  masalah  kehidupan  yang  nyata.  Sudah  tentu  caranya  adalah  dengan  menggunakan  kaidah-kaidah  khususnya  di  bidang  muamalah  mulai  dari kaidah asasi dan cabangnya, di antara kaidah khusus di bidang  muamalah adalah :  َ “Hukum  asal  dari  semua  bentuk  muamalah  adalah  boleh  dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”   Dipertegas dengan QS. Al Baqarah 29  ْ “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada dibumi  untuk  kamu”(QS. Al Baqarah 29)  Bagi sementara pihak, bisnis adalah aktivitas ekonomi manusia yang  bertujuan mencari laba  semata-mata. karena itu, cara apapun boleh dilakukan  demi meraih tujuan tersebut, konsekuansinya bagi pihak ini, aspek moralitas  dalam  persaingan  bisnis,  di  anggap  akan   menghalangi  kesuksesannya.
 .A.  Djazuli,  Kaidah  Kaidah  Fikih,  Jakarta  :  kencana,  2007,  cet  ke-1,   hlm.  130.
Lihat  juga,  Moh.  Adib  Bisri,  Terjemah  Al  Faraidul  Bahiyyah  Risalah  Qawa-id  Fiqh,  Kudus  :  Menara, 1977, hlm. 11   Departemen Agama Republik Indonesia, Al Quran dan Terjemahannya , Surabaya  : Al-Hidayah, hlm. 13   Berlawanan dengan yang pertama, yang kedua  ini berpendapat bahwa, bisnis  bisa di satukan dengan etika, kalangan ini beralasan bahwa, etika merupakan  alasan-alasan  rasional  tentang  semua  tindakan  manusia  dalam  semua  aspek  kehidupannya,  tak  terkecualikan  aktivitas  bisnis  (transaksi  jual-beli)  secara umum  .  Orang yang terjun dalam dunia usaha, berkewajiban mengetahui halhal  yang  dapat  mengakibatkan  jual-beli  itu  sah  atau  tidak  (fasid).  Ini  dimaksudkan  agar  muamalah  berjalan  sah  dan  segala  sikap  dan  tindakannya  jauh dari kerusakan yang tidak dibenakan.
Diriwayatkan, bahwa Umar ra. berkeliling pasar dan beliau memukul  sebagian  pedagang  dengan  tongkat,  dan  berkata  :  “tidak  boleh  ada  yang  berjualan   di  pasar  kami  ini,  kecuali  mereka  yang  memahami  Hukum.  Jika  tidak, maka dia berarti memakan riba, sadar ia atau tidak.”  Banyak  kaum muslimin yang mengabaikan mempelajari  muamalah,  mereka melalaikan aspek ini, sehingga tidak peduli mereka memakan barang  haram,  sekalipun  semakin  hari  usahanya  kian  meningkat  dan  keuntungan  semakin  banyak  .  Sebagaimana  diketahui  jual-beli  berlangsung  dengan  ijab  dan qabul  , adanya rukun jual-beli, dan syarat yang lainnya.
  .Muhammad, & Lukman Fauroni,  Visi Al Quran Tentang Etika dan Bisnis, Jakarta  :: Salemba Diniyah, 2002, hlm. 2.
 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 12, Bandung : PT Al Maarif, a987, hlm.
 .ibid    .  Ijab adalah ucapan dari seorang penjual kepada pembeli sepert ucapan: Aku jual  baju ini seharga sekian, dan Qabul adalah jawaban dari seorang pembeli kepada penjual sepaerti  ucapan : Saya beli baju ini darimu dengan harga sekian.
 .  Abdul  Aziz  Muhammad  Azzam,  Fiqh  Muamalat  Sistem  Transaksi  dalam  Fiqh  Islam, Jakarta : AMZAH, 2010, cet ke-1, hlm. 28.
 Islam  mensyariatkan  jual-beli  dengan  wakil  karena  manusia  membutuhkannya.  Tidak  semua  manusia  berkemampuan  untuk  menekuni  segala  urusannya  secara  pribadi.  Ia  membutuhkan  kepada  pendelegasian  mandat  orang  lain  untuk  melakukannya  sebagai  wakil  darinya.

 yaitu  orang  menjalankan  usaha  sebagai  perantara,  yakni  perantara  antara  penjual  dan  pembeli  untuk  melaksanakan  transaksi  jual-beli.  Dalam  kitab  Tajul-Arus  disebutkan  :  “yaitu  orang  yang  disebut  sebagai  penunjuk  :  ia  menunjukkan  pembeli  mengenai  komoditi  (barang),  dan  menunjukkan  kepada  penjual  patokan harga”.

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi