BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Islam adalah suatu sistem dan jalan hidup yang
utuh dan terpadu (a comprehensive way of life). Ia memberikan panduan yang dinamis dan
lugas terhadap semua aspek kehidupan
termasuk sektor bisnis dan transaksi
. Di sisi lain, sesuai dengan perkembangan peradaban manusia, berkat kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknogi modern,
banyak bermunculan bentuk-bentuk
transaksi yang belum
di temui pembahasannya
dalam khazanah fiqh
klasik.
Dalam kasus seperti ini, tentunya
seorang muslim harus
mempertimbangkan dan memperhatikan, apakah
transaksi yang baru
muncul itu sesuai
dengan dasar-dasar dan
prinsip-prinsip muamalah yang di syari‟atkan.
Ajaran islam dalam persoalan
muamalah bukanlah ajaran yang kaku, sempit
dan jumud, melainkan
suatu ajaran yang
fleksibel dan elastis,
yang dapat mengakomodir berbagai
perkembangan transaksi modern, selama tidak
bertentangan dengan nash Al Qur‟an dan
sunnah . Misalnya, dalam persoalan jual-beli,
utang piutang, kerjasama
dagang, perserikatan, kerjasama
dalam penggarapan tanah, dan
sewa-menyewa .
Muhammad Syafi‟i Antonio, Bank
Syari‟ah dari Teori ke Praktik, Jakarta : Gema insani, 2001, cet ke-1, hlm. v Nasrun
Haroen, Fiqh Muamalah,
Jakarta : Gaya
Media Pratama, 2007,
cet ke-2 hlm. v
Ibid, hlm. vii Perkembangan jenis
dan bentuk muamalah
yang dilaksanakan oleh
manusia sejak dahulu
sampai sekarang sejalan
dengan perkembangan kebutuhan
dan pengetahuan manusia
itu sendiri. Atas
dasar itu, di
jumpai dalam berbagai suku bangsa
jenis dan bentuk muamalah yang beragam, yang esensinya
adalah saling melakukan
interaksi sosial dalam
upaya memenuhi kebutuhan masing-masing. Allah sendiri
berfirman: ُ:…Katakanlah
: Tiap tiap
orang berbuat menurut
keadaannya masing masing….(QS. al Isra 84) Persoalan muamalah merupakan
suatu hal yang pokok dan menjadi tujuan
penting agama islam
dalam upaya memperbaiki
kehidupan manusia.
Atas dasar itu, syari‟at muamalah diturunkan Allah hanya dalam bentuk yang global
dan umumnya saja,
dengan mengemukakan berbagai
persepektif dan norma
yang dapat menjamin
prinsip keadilan dalam
bermuamalah antara manusia
.
Banyak sekali
usaha-usaha manusia yang
berhubungan dengan barang dan jasa. Dalam transaksi saja para
ulama menyebutkan tidak kurang dari 25
macam, antara lain : jual-beli „inah (transaksi yang pembayarannya di belakang),
jual-beli „urbun (jual beli-beli dengan pengikat uang muka),
jualbeli ahlul-hadhar (orang kota) dengan al-badi
(orang desa), khiyar, jual-beli
ushul dan tsamar
(buah-buahan), salam (pesanan),
istishna‟ (pemesanan membuat
barang), rahn‟ (gadai), kafalah
(jaminan), wakalah (perwakilan), Ibid,
hlm. viii syirkah (perserikayan), ijarah
(sewa menyewa), wadi‟ah (barang titipan) dan lain
sebagainya. Yang kesemuanya
itu sudah barang
tentu dengan teknologi
serta tuntutan masyarakat
yang makin meningkat,
melahirkan model-model transaksi
baru yang membutuhkan
penyelesaiannya dari sisi
Hukum Islam (Fiqih). Penyelesaian
yang di satu
sisi tetap Islami
dan disisi lain
mampu menyelesaikan masalah
kehidupan yang nyata.
Sudah tentu caranya
adalah dengan menggunakan
kaidah-kaidah khususnya di
bidang muamalah mulai
dari kaidah asasi dan cabangnya, di antara kaidah khusus di bidang muamalah adalah : َ
“Hukum asal dari
semua bentuk muamalah
adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya” Dipertegas dengan QS.
Al Baqarah 29 ْ “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada
dibumi untuk kamu”(QS. Al Baqarah 29) Bagi sementara pihak, bisnis adalah aktivitas
ekonomi manusia yang bertujuan mencari
laba semata-mata. karena itu, cara
apapun boleh dilakukan demi meraih
tujuan tersebut, konsekuansinya bagi pihak ini, aspek moralitas dalam
persaingan bisnis, di
anggap akan menghalangi
kesuksesannya.
.A.
Djazuli, Kaidah Kaidah
Fikih, Jakarta :
kencana, 2007, cet
ke-1, hlm. 130.
Lihat juga,
Moh. Adib Bisri,
Terjemah Al Faraidul
Bahiyyah Risalah Qawa-id
Fiqh, Kudus :
Menara, 1977, hlm. 11 Departemen
Agama Republik Indonesia, Al Qur‟an dan
Terjemahannya , Surabaya :
Al-Hidayah, hlm. 13 Berlawanan dengan
yang pertama, yang kedua ini berpendapat
bahwa, bisnis bisa di satukan dengan
etika, kalangan ini beralasan bahwa, etika merupakan alasan-alasan
rasional tentang semua
tindakan manusia dalam
semua aspek kehidupannya,
tak terkecualikan aktivitas
bisnis (transaksi jual-beli)
secara umum . Orang yang terjun dalam dunia usaha,
berkewajiban mengetahui halhal yang dapat
mengakibatkan jual-beli itu
sah atau tidak
(fasid). Ini dimaksudkan
agar muamalah berjalan
sah dan segala
sikap dan tindakannya
jauh dari kerusakan yang tidak dibenakan.
Diriwayatkan, bahwa Umar ra.
berkeliling pasar dan beliau memukul
sebagian pedagang dengan
tongkat, dan berkata
: “tidak boleh
ada yang berjualan
di pasar kami
ini, kecuali mereka
yang memahami Hukum.
Jika tidak, maka dia berarti
memakan riba, sadar ia atau tidak.”
Banyak kaum muslimin yang
mengabaikan mempelajari muamalah, mereka melalaikan aspek ini, sehingga tidak
peduli mereka memakan barang haram, sekalipun
semakin hari usahanya
kian meningkat dan
keuntungan semakin banyak
. Sebagaimana diketahui
jual-beli berlangsung dengan
ijab dan qabul , adanya rukun jual-beli, dan syarat yang
lainnya.
.Muhammad, & Lukman Fauroni,
Visi Al Qur‟an Tentang Etika dan Bisnis, Jakarta :: Salemba Diniyah, 2002, hlm. 2.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 12, Bandung : PT Al
Ma‟arif, a987, hlm.
.ibid
. Ijab adalah ucapan dari seorang
penjual kepada pembeli sepert ucapan: Aku jual
baju ini seharga sekian, dan Qabul adalah jawaban dari seorang pembeli
kepada penjual sepaerti ucapan : Saya
beli baju ini darimu dengan harga sekian.
.
Abdul Aziz Muhammad
Azzam, Fiqh Muamalat
Sistem Transaksi dalam
Fiqh Islam, Jakarta : AMZAH,
2010, cet ke-1, hlm. 28.
Islam
mensyari‟atkan jual-beli dengan
wakil karena manusia membutuhkannya. Tidak
semua manusia berkemampuan
untuk menekuni segala
urusannya secara pribadi.
Ia membutuhkan kepada
pendelegasian mandat orang
lain untuk melakukannya
sebagai wakil darinya.
yaitu
orang menjalankan usaha
sebagai perantara, yakni
perantara antara penjual
dan pembeli untuk
melaksanakan transaksi jual-beli.
Dalam kitab Tajul-Arus
disebutkan : “yaitu
orang yang disebut
sebagai penunjuk :
ia menunjukkan pembeli
mengenai komoditi (barang),
dan menunjukkan kepada
penjual patokan harga”.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi