BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Keadaan sebuah lembaga pernikahan
yang sah merupakan landasan utama bagi masyarakat demi terbentuknya sebuah
keluarga yang sakinah, karena keluarga merupakan embrio dari kehidupan yang
terkecil dari komunitas masyarakat. Proses pembentukan keluarga melalui sebuah
lembaga pernikahan yang sah pada dasarnya merupakan satu hal yang telah
disyariatkan dalam Al-Qur¶an.
Untuk mencapai sebuah rumah tangga yang ideal
(mawaddah warohmah), sedini mungkin perlu adanya berbagai macam upaya persiapan
untuk mendukung terlaksananya pernikahan. Persiapan ini harus sudah dimulai
sejak proses perkenalan hingga ada ketetapan hati untuk menuju ke jenjang
pernikahan. Secara garis besar persiapan yang harus dibutuhkan antara lain
calon suami istri harus siap atau matang secara fisik, mental (psikologis),
sosial dan seksual.
Dalam hal ini yang perlu
diperhatikan antara lain adalah mempersiapkan kematangan alat-alat reproduksi,
rasa tanggung jawab baik secara materi maupun mental serta kesiapan untuk hidup
di tengah-tengah masyarakat yang plural.
Seiring dengan persiapan yang dibutuhkan
sebelum pernikahan maka yang tidak kalah pentingnya adalah proses pengenalan
pribadi masing-masing, baik dari segi sifatnya, karakter individu, agamanya,
kehormatannya maupun bentuk fisiknya.
Hal ini sangat dibutuhkan agar
dalam mengarungi bahtera rumah tangga tidak
Mahmud Syaltut, Aqidah dan Syari¶at Islam, Terjemah Fahruddin HS, Cet
III, Jakarta: Bumi Aksara, 1999, hlm.
Ahmad Kuseri, Nikah Sebagai Perikatan,
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, hlm. 26.
muncul sebuah penyesalan yang timbul dari
sesuatu yang sebelumnya disembunyikan.
Langkah selanjutnya yang diambil
setelah mengetahui pribadi masingmasing adalah melakukan khitbah atau meminang.
Meminang maksudnya seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk
menjadi istrinya, dengan caracara yang sudah umum berlaku ditengah-tengah
masyarakat.
Khitbah dalam bahasa Indonesia
sama artinya dengan peminangan, pertunangan atau lamaran. Kata
"khitbah"ini berasal dari bahasa arab yang merupakan bentuk masdar
dari kata ΐτΧyang berarti meminang atau melamar.
Dalam Ensiklopedi Islam Indonesia dijelaskan
bahwa Khitbah artinya lamaran atau pinangan, yaitu lamaran seorang laki-laki
yang hendak memperistri seorang perempuan, baik perempuan itu masih gadis atau sudah
janda. Dalam hal ini pinangan bisa dilakukan oleh pihak laki-laki maupun wanita
sesuai dengan adat yang berlaku pada masyarakat atau lingkungan mereka tinggal.
Sebenarnya Khitbah ini tidaklah termasuk ke
dalam syarat dan rukun pernikahan, karena hal ini menurut fuqoha adalah suatu
hal yang tidak wajib ataupun harus dilaksanakan sebelum pernikahan. Ada
beberapa pendapat yang dikemukakan oleh seorang ahli fiqih yaitu dari Imam
Malik yang berpendapat tentang hukum meminang di atas pinangan orang lain itu
hukumnya tidak boleh dilakukan. Namun demikian praktek yang biasa dilakukan
dalam masyarakat menunjukkan bahwa peminangan itu dianggap sebagai pendahuluan
pernikahan yang hampir pasti dilakukan, karena
Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: PP Al-Munawir,
1984, hlm. 376.
Tim Penyusun IAIN Syarif Hidayatullah,
Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1992, hlm. 555-556.
meminang termasuk usaha pendahuluan dalam
rangka pernikahan, hal tersebut sesuai dengan firman Allah Swt dalam Al-Qur¶an
Q.S. Al-Baqarah ayat 235: Artinya :³Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang
wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu menyembunyikan (keinginan mengawini
mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka,
dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji kawin dengan mereka secara
rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) perkataan yang ma'ruf. Dan
janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis
'iddahnya. dan Ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam
hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan Ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyantun´. (Q.S. Al-Baqarah: 235)
Allah menggariskan agar masing-masing pasangan yang mau kawin lebih dulu
saling mengenal sebelum dilakukan akad nikahnya, sehingga pelaksanaan pernikahannya
nanti benar-benar berdasarkan pandangan dan penilaian yang jelas.
Perempuan boleh dipinang bilamana memenuhi dua
syarat yaitu : 1. Pada waktu dipinang tidak ada halangan-halangan hukum yang
melarang dilangsungkannya pernikahan.
2. Belum dipinang orang lain
secara sah.
Al-Qur¶an Surat Al Baqarah ayat 235, Yayasan
Penyelenggara Penerjemah Al Qur¶an, Al-Qur¶an dan Terjemahnya, Semarang: CV.
Toha Putra, 1989, hlm. 57.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah,Terjemah Mahyudin
Syaf Jilid 6, Bandung: PT. Al Ma¶arif , 1980, hlm. 38.
Bilamana terdapat halangan-halangan hukum,
seperti perempuan yang haram untuk dikawin baik selamanya atau sementara ataupun
telah dipinang lebih dulu oleh orang lain, maka tidak boleh orang lain
meminangnya, adapun pendapat dari Imam Malik, beliau berpendapat tidak
dibolehkannya meminang pinangan orang lain atau saudaranya, dan apabila hal itu
terjadi maka akan berpengaruh pada keharaman seseorang yang meminang pinangan
saudaranya yang berarti ia telah menyerang hak dan menyakiti hati peminang
pertama, dan serta bisa memecah belah hubungan kekeluargaan dan menganggu
ketentraman dari saudaranya.
Dalam Kompilasi Hukum Islam ada beberapa pasal
yang dirumuskan tentang hukum peminangan yaitu: Pasal 11 : Peminangan dapat
langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh tetapi
dapat pula dilakukan oleh perantara yang dapat dipercaya.
Pasal 12 : (1) Peminangan dilakukan
terhadap seorang wanita
yang masih perawan atau janda
yang telah habis masa µiddahnya.
(2) Wanita yang ditalak suami
yang masih berada dalam masa µiddah Raj¶i
haram dan dilarang untuk dipinang.
(3) Dilarang juga meminang
seorang wanita yang sedang dipinang pria lain selama pinangan pria tersebut
belum putus atau belum ada penolakan dari pihak wanita.
Ibid.
(4) Putus pinangan pihak pria, karena adanya
pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau diam-diam pria yang meminang
telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.
Pasal 13 : (1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum
dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.
(2) Kebebasan memutuskan hubungan
peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntutan agama
dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.
Dari pasal di atas pada intinya menjelaskan
bahwa peminangan dapat dilakukan secara langsung maupun melalui perantaraan
orang lain, peminangan dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan
maupun yang sudah janda yang telah habis masa iddahnya. Seorang pria dilarang
meminang wanita yang sudah dipinang orang lain selama pinangan pria tadi belum
diputuskan. Dalam hal peminangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak
bebas memutuskan hubungan peminangan.
Dengan demikian di dalam
Kompilasi Hukum Islam telah diatur undangundang tentang peminangan, baik
mengenai kebolehan dalam meminang maupun larangan dalam peminangan.
Dalam kitab Al-Muwattayang
diriwayatkannya dari Malik bin Anas dari Nafi¶dari Ibnu Umar r.a, bahwasannya
Rasulullah SAW bersabda: Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam
Depag RI, Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Akademika Pressindo, 1990, hlm. 37.
Artinya :
³Dari Abu Hurairah, sesungguhnya Rasulullah SAW pernah bersabda: salah
seorang dari kamu tidak boleh melamar yang telah di lamar oleh saudaranya´. (
H.R. Imam Malik dalam kitab Al-Muwatta¶) Seorang muslim tidak diperbolehkan
melamar wanita yang telah dilamar oleh saudaranya sesama muslim, kecuali jika
orang kedua yang lebih baik baginya (wanita itu) dalam hal agama dan
pergaulannya. Apabila dilakukan maka pengaruhnya adalah bahwa akad nikahnya
akan batal baik akad itu telah dilakukan atau belum dan kejadian itu jelas
bahwa apabila belum dilakukan maka tidak batal.
Atau jika pelamar pertama memberi ijin kepada
pelamar kedua, maka ketika itu ia (pelamar kedua) diperbolehkan melamar wanita
tersebut. Atau jika pelamar pertama membatalkan lamarannya, maka pada saat itu
diperbolehkan bagi laki-laki lainnya melamar wanita tersebut. Atau jika wanita
itu menolak lamaran pelamar pertama, maka diperbolehkan bagi laki-laki lain
untuk melamarnya. Dasar metode yang digunakan Imam Malik berdasarkar dengan
Al-Qur¶an, Al-Sunnah (hadits) serta ijma¶dan qiyas, dan dari Abdurrahman bin
Syamasah ia berkata, bahwa ia pernah mendengar
³Uqbah bin Amir berbicara di atas mimbar, dimana Rasulullah SAW pernah
bersabda : Artinya: Bercerita kepadaku Abu Tohir dari Abdullah bin Wahab dari
Laits dan lainnya dari Yazid bin Abi Habib dari Abdurrahman bin Syumasah bahwa dia
mendengar Uqbah bin Amir berkata waktu di mimbar sesungguhnya Rasulullah SAW
berkata: ³Orang mukmin itu bersaudara dengan mukmin yang lain. Karena itu, ia
tidak diperbolehkan untuk membeli barang yang sedang ditawar oleh saudaranya
dan tidak diperkenankan untuk meminang pinangan saudaranya hingga saudaranya
itu meninggalkannya (memutuskan pertunangannya).´(HR. Muslim) Hadis ini
menunjukkan diharamkannya melamar wanita muslimah yang telah dilamar oleh
saudaranya sesama seorang muslim, sehingga ia meninggalkan wanita yang
dilamarnya itu. Tirmizi yang meriwayatkan dari Syafi¶i tentang makna hadist
tersebut yaitu ³Bilamana perempuan yang
dipinang sudah ridha dan senang, maka tidak seorangpun boleh meminangnya lagi.
Tetapi kalau belum tahu ridha dan senangnya, maka tidaklah dosa meminangnya.´ Pendapat ini di dasarkan atas hadist Fatimah
binti Qois, bahwa Rasulullah SAW pernah berkata kepada Fatimah : Artinya:³
³Fatimah datang kepada Nabi SAW., ia menceritakan bahwa Abu Jahm bin Hudzaifah dan Mu¶awiyah bin Abu Sufyan telah meminangnya. Maka berkatalah Nabi SAW., µAbu Jahm adalah orang yang tidak pernah mengangkat tongkatnya dari orang-orang perempuan (yakni suka memukul). Sedang Mu¶awiyah orang miskin yang tak berharta. Tetapi, kawinlah kamu dengan Usamah.¶¶ (H.R. Tirmidzi) Dijelaskan lebih lanjut dalam kitab Al-Umm, Jilid V oleh Imam Syafi¶i:
³Maka adalah jelas, bahwa keadaan yang dipinang padanya oleh Rasulullah SAW akan Fatimah kepada Usamah, bukan keadaan yang dilarang dari meminang padanya. Dan telah diberitahukan oleh Fatimah akan Rasulullah Sayid Sabiq, op.cit., hlm. 42.
Abi Isa Muhammad bin Isa bi Saunan, Jami¶u
shani at Tirmidzi, Juz 3, Beirut: Darul kutub µalamiyah, t.t hlm. 441.
SAW bahwa Abu Jahm dan Mu¶awiyah telah
meminangnya. Dan saya tidak ragu (Syafi¶i) bahwa pinangan salah satu dari
keduanya itu sesudah peminangan yang lain. Maka Rasulullah tidak melarang
Fatimah dan tidak melarang seseorang dari keduanya. Dan kami tidak
mengetahuinya, bahwa Fatimah itu mengijinkan pada salah satu dari keduanya,
lalu Nabi SAW meminangnya untuk Usamah´.
Keadaan saat Fatimah binti Qoyis dipinang
adalah setelah selesai menjalani iddah, keadaan tersebut adalah keadaan
diperbolehkannya seorang pria meminang seorang wanita. Kemudian Rasulullah
meminangkan Fatimah binti Qoyis untuk Usamah. Fatimah berkata kepada Rasul
bahwa sebelumnya dia telah dipinang oleh Mu¶awiyah dan Abu Jahm, kemudian Rasul
berkata bahwa Mu¶awiyah itu orang miskin dan Abu Jahm adalah orang yang suka
memukul, maka menikahlah dengan Usamah. Hal itu menunjukkan bahwa Rasul
meminang atas pinangan orang lain.
Jadi pada saat itu tidak
diketahui bahwa Fatimah binti Qoyis telah mengijinkan kepada salah satu
diantara Mu¶awaiyah atau Abu Jahm, kemudian Rasul meminang Fatimah binti Qoyis
untuk Usamah. Fatimah akhirnya menikah dengan Usamah.
Mengenai hukum meminang di atas
pinangan orang lain, para fuqoha berselisih pendapat yaitu menurut Abu Hanifah
dalam kitabal-ahwal al-Syahsiyyah adalah makruh meminang wanita yang sedang
dalam pinangan orang lain, akan tetapi menurut Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul
Mujtahidbahwa boleh meminang wanita yang sedang dalam pinangan orang lain,
asalkan laki-laki tersebut tidak kafir atau fasik dan sama-sama suka. Apakah
larangan tersebut menunjukkan atas rusaknya perbuatan yang dilarang atau tidak?
dan jika menunjukkan perbuatan Ibid., hlm. 273.
tersebut dalam kondisi bagaimanakah dapat berlaku?
dan bagaimanakah status pernikahannya
dengan peminang kedua ?
Melihat dari perbedaan mengenai dampak
pinangan diatas pinangan orang lain menurut pendapat Imam Malik dalam kitabnya
Al-Muwattaberpendapat bahwa Yahya menyampaikan kepadaku (hadits) dari malik,
dari Muhammad ibn Yahya ibn Habban, dari al-Ar¶raj, dari Abu Hurayra bahwa
Rasul Allah SAW. Berkata: jangan meminta seorang wanita untuk menikah
(melamarnya) jika seorang lainnya sudah melakukannya.´Dan Malik juga
berkata:´Penjelasan untuk pernyataan Rasul Allah SAW., menurut pemikirannya
adalah jangan melamar seorang wanita jika seorang muslim lainnya telah
melakukannya¶ialah jika seorang laki-laki telah melamar seorang wanita, si
wanita telah cenderung kepadanya (menyukainya), mereka telah menyetujui nilai
mahar (mas Kawin), keduanya puas (terhadap pengaturan itu), dan si wanita telah
membuat persyaratan (ketentuan) tertentu untuk dirinya sendiri, maka tidak
boleh bagi laki-laki lain untuk melamar wanita tersebut. Oleh karena itu penulis
mencoba menganalisa bagaimana pandangan Imam Malik tentang pernikahan dengan
wanita pinangan orang lain dalam pemikiran dan istinbath hukumnya dalam sebuah
skripsi yang berjudul : “Studi Analisis Tentang Hukum Meminang Di atas Pinangan
Orang Lain Menurut Pendapat Imam Malik”.
B. Rumusan Masalah.
Berangkat dari latar belakang
yang telah dipaparkan dapat dirumuskan inti pokok masalah ini yaitu: Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul
Muqtashid, Penerjemah Drs. Imam Ghazali Said, MA dan Drs. Ahmad Zaidun, jilid
2, Jakarta: Pustaka Amani, 2007, hlm. 395.
1. Dalam kondisi bagaimanakah seseorang
dibolehkan meminang pinangan orang lain menurut pendapat Imam Malik ?
2. Bagaimana metode
istinbathhukum yang digunakan Imam Malik dalam menentukan hukum pinangan atas
pinangan orang lain ?
C. Tujuan Penulisan Skripsi.
Tujuan utama sehingga penulis
mengangkat judul ³Studi Analisis
Pendapat Imam Malik Tentang Pernikahan dengan Wanita Pinangan Orang Lain´untuk dibahas
dalam skripsi ini adalah : 3. Untuk mengetahui dalam kondisi bagaimanakah
seseorang diperbolehkan meminang pinangan orang lain menurut pendapat Imam
Malik.
4. Untuk mengetahui metode
istinbathhukum Imam Malik mengenai pinangan atas pinangan.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi