BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang Masalah.
Mawaris secara
etimologi adalah bentuk
jama‟ dari kata
miras artinya warisan.
Hukum kewarisan, merupakan salah satu
aspek yang di atur secara jelas dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul. Hal
ini membuktikan bahwa masalah kewarisan cukup
penting dalam agama
Islam. Apalagi Islam
pada awal pertumbuhannya telah mampu merombak tatanan
atau sistem kewarisan pada masyarakatnya.
Oleh
karna banyaknya permasalahan
yang mendasari dinamika
dan problematika sosial
dalam dkehidupan masyarakat
terutama dalam pembagian
harta waris, hukum
kewarisan Islam memberi
solusi penyelesaian pengatur
tatanan hidup masyarakat guna hal
pembagian waris.
Dalam pembagian
waris Islam terkait
masalah genre (jenis
kelamin), Islam sejak dahulu telah memiliki sikap tersendiri berkaitan
dengan status jenis kelamin seseorang.
Sederhananya, bila alat
kelamin salah satu
jenis itu lebih dominan, maka
dia ditetapkan sebagai
jenis kelamin tersebut,
misalnya bila organ kelamin laki-lakinya lebih dominan baik
dari segi bentuk, ukuran, fungsi dan
sebagainya, maka berlaku padanya
hukum-hukum syari‟at bagi laki-laki,, antara
lain mengenai batas
aurat, mahram, nikah,
wali, warisan dan
hukumhukum lain yang
berkaitan dengan hukum
syari‟at bagi laki-laki.
Dan sebaliknya, bila organ
kelamin wanita yang lebih dominan dan berfungsi, maka Ahmad Rofik, Fiqih Mawaris, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1998, hal. 1.
Abdul
Ghofur Anshori, Hukum
Kewarisan Islam Di
Indonesia, Yogyakarta: Ekonisia, 2002, hal. 14.
jelas dia adalah wanita dan pada dirinya
berlaku hukum-hukum syari‟at sebagai wanita.
Namun
ada juga yang
dari segi dominasinya
berimbang, dalam literatur fiqih disebut dengan istilah khuntsa musykil yakni
orang yang mempunyai alat kelamin laki-laki
dan perempuan atau
tidak mempunyai kedua-duanya
sama sekali.
Khuntsa
musykil dalam dunia
kedokteran dikenal dengan
istilah hermafrodit (kelamin
ganda).
Jelas
orang tersebut dinamakan
khuntsa musykil, karna
sulit baginya untuk
menentukan indentitasnya, dengan
kedua alat kelamin yang sama-sama
berfungsi.
Salah satu permasalahan khuntsa musykil adalah
dalam hal menentukan hak waris
atau kewarisanya, dan juga menjadikan persoalan kepada penetapan status
hak memperoleh bagian
warisnya. Hukum waris
di Indonesia telah
di atur di
dalam perundang-undangan yang
telah ditetapkan, seperti
dalam KUHPerdata (Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata)
dan juga dalam
dasar kewarisan hukum
Islam atau dalam
KHI (Kompilasi Hukum
Islam). Namun baik
dalam KUHPerdata maupun
KHI tidak diterangkan
mengenai ketentuan hukum
waris bagi khuntsa,
hal inilah yang
mendorong penulis untuk mempelajari dan
mengkaji tentang penentuan
hukum waris bagi
khuntsa.
Seperti halnya qonun al-mawarits
(kitab undang-undang hukum warisan mesir) di
dalam menetapkan harta
pusaka kepada khuntsa
musykil mengambil dari Zunly
Nadia, Antara Hermaproditif
(Khuntsa) dan Transeksualitas (Mukhannats) http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/9/cn/117 Fatchur Rahman, Ilmu Mawaris, Bandung: PT.
Alma‟arif, hlm. 482.
Burhani MS, Hasbi Lawrens, Kamus Ilmiah
Populer, Jombang: Lintas Media, hlm. 183.
pendapat Abu Hanifah. Pendapat tersebut dicantumkan dalam
K.U.H.W, pada pasal 46.
Dalam
KHI tinjauan hukum
waris yang digunakan
adalah dasar-dasar dalam hukum
Islam dan ijtihad para Fuqoha‟
(ulama-ulama ahli fiqih) dalam ilmu
Faroid (ilmu Kewarisan).
Dalam salah satu riwayat di
jelaskan.
Artinya :“Dari
Abbas r.a, Rosulullah
bersabda: “Bagikanlah harta
pusaka antara ahli waris menurut
kitabullah (Al-Qur’an)” , HR. Muslim.
Namun demikian masih ada masalah mengenai hukum waris yang tidak tercantum
dalam Al-Qur‟an, sehingga
menimbulkan beberapa pendapat, seperti
pada permasalahan khuntsa
musykil. Mengenai permasalahan kewarisan khuntsa musykil, para fuqoha‟ sepakat bahwa penentuan waris
bagi khuntsa musykil
harus di tinjau
secara biological (jasmaniah)
bukan secara pesicological (kejiwaan).
Para ulama‟
ahli faroid berbeda-beda pendapat mengenai cara-cara untuk memberikan
bagian harta pusaka
khuntsa musykil setelah
di ketahui dua Muslich
Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, Semarang: Mujahidin. 1993, hlm. 84.
Imam Muslim, Sakhih Muslim, Bairut: Darul
Kutub Alamiah, 1992, Juz, 3, hlm. 23.
Muslich Maruzi, op. cit hlm. 85.
macam penerimaan berdasarkan perkiraan
laki-laki dan perkiraan perempuan dan
bagian para ahli waris lainnya.
Ulama‟ Syafi‟iyah berpendapat
bahawa khuntsa musykil mendapat bagian atas perkiraan
yang terkecil dan
meyakinkan kepada si
khuntsa musykil dan ahli
waris lain, kemudian sisanya yang masih diragukan ditahan dulu sampai status
hukum khuntsa menjadi
jelas atau sampai ada
perdamaian bersama antara
ahli waris (menghibahkan
sisa yang diragukan)”.
Menurut
pendapat yang lebih
unggul (madzhab Syafi‟iyah)
khuntsa diperlakukan dengan perlakuan
yang merugikan. Maka
harus di perhatikan
perolehan warisannya dengan perkiraan sebagai laki-laki atau
sebagai perempuan.
Sedangkan
ulama‟ Hanafiyah berpendapat
bahwa, khuntsa musykil mendapat bagian
yang terkecil lagi
terjelek dari dua
perkiraan bagian lelaki dan perempuan dan ahli waris lainnya mendapat
bagian yang terbaik dari dua perkiraan
tersebut di atas, dan tidak ada sisa untuk ditahan terlebih dahulu .
Sedangkan
pada kalangan ulama‟
Malikiyah berpendapat lain
lagi, khuntsa musykil mendapat
separoh dari dua perkiraan lelaki atau perempuan dan demikian juga ahli waris lainnya”.
Konsep penentuan hak waris khuntsa musykil menurut
pendapat Ulama‟ Syafi‟iyah, seperti
halnya Al-Imam Al-Mawardi,
Al-Imam Al-Nawawi, AlImam
As-Syarbaniy, dan ulama‟-ulama‟
Syafiiyah lainnya, di
kerjakan dua kali, yang pertama dianggap sebagai lelaki dan
yang ke dua dianggap sebagai Ali
Ash-Shabuni, Al-Mawaris, Baerut: „Alamul Kutub hlm. 165.
Suhrawadi K.
Lubis, S.H. dan Komis Simanjuntak, S.H.,
Hukum Waris Islam, Jakarta: Sinar Grafika. 1997, hlm. 165.
Ash-Shabuni, Ibid., hlm. 165.
Ash-Shabuni, Ibid,, hlm. 167.
perempuan.
Kemudian si banci
(khuntsa musykil) tersebut
diberi bagian terkecil
di antara dua
bagian tadi, sisanya
ditangguhkan menunggu sampai persoalannya
jelas, atau sampai
ada perdamaian antara
para ahli waris,
atau sampai pada si matinya
banci dan hartanya di bagikan pada ahli waris yang ada.
Makna
pemberian hak khuntsa
musykil dengan bagian
paling sedikit menurut
kalangan fuqoha‟ mawarits
mu’amalah bil adhar
yaitu jika khuntsa dinilai sebagai wanita bagiannya
lebih sedikit, maka hak waris yang diberikan kepadanya
adalah hak waris
wanita, dan bila
dinilai sebagai laki-laki
dan bagiannya ternyata lebih
sedikit, maka divonis sebagai laki-laki.
Berpijak
pada pentingnya masalah
di atas, maka
penulis hendak mengangkat
tema ini dengan
judul: “Studi Analisis
Pendapat Al-Imam AlMawardi Tentang Konsep Hukum Waris Khuntsa Musykil”.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi