Rabu, 27 Agustus 2014

Skripsi Syariah: STUDI ANALISIS TERHADAP PENDAPAT AL- IMAM AL-MAWARDI TENTANG WARIS KHUNTSA MUSYKIL

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang Masalah.
Mawaris  secara  etimologi  adalah  bentuk  jama‟  dari  kata  miras  artinya  warisan.
 Hukum kewarisan, merupakan salah satu aspek  yang di  atur secara  jelas dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul. Hal ini membuktikan bahwa masalah  kewarisan  cukup  penting  dalam  agama  Islam.  Apalagi  Islam  pada  awal  pertumbuhannya telah mampu merombak tatanan atau sistem kewarisan pada  masyarakatnya.

 Oleh  karna  banyaknya  permasalahan  yang  mendasari  dinamika  dan  problematika  sosial  dalam  dkehidupan  masyarakat  terutama  dalam  pembagian  harta  waris,  hukum  kewarisan  Islam  memberi  solusi  penyelesaian pengatur tatanan hidup masyarakat guna  hal pembagian waris.
Dalam  pembagian  waris  Islam  terkait  masalah  genre    (jenis  kelamin), Islam sejak dahulu telah memiliki sikap tersendiri berkaitan dengan status jenis  kelamin  seseorang.  Sederhananya,  bila  alat  kelamin  salah  satu  jenis  itu  lebih  dominan,  maka  dia  ditetapkan  sebagai  jenis  kelamin  tersebut,  misalnya  bila  organ kelamin laki-lakinya lebih dominan baik dari segi bentuk, ukuran, fungsi  dan sebagainya, maka  berlaku padanya hukum-hukum syari‟at  bagi laki-laki,,  antara  lain  mengenai  batas  aurat,  mahram,  nikah,  wali,  warisan  dan  hukumhukum  lain  yang  berkaitan  dengan  hukum  syari‟at  bagi  laki-laki.  Dan  sebaliknya, bila organ kelamin wanita yang lebih dominan dan berfungsi, maka   Ahmad Rofik, Fiqih Mawaris, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998, hal. 1.
 Abdul  Ghofur  Anshori,  Hukum  Kewarisan  Islam  Di  Indonesia,  Yogyakarta:  Ekonisia,  2002, hal. 14.
 jelas dia adalah wanita dan pada dirinya berlaku hukum-hukum syari‟at sebagai  wanita.
 Namun  ada  juga  yang  dari  segi  dominasinya  berimbang,  dalam  literatur  fiqih disebut dengan istilah  khuntsa musykil  yakni  orang yang mempunyai alat  kelamin  laki-laki  dan  perempuan  atau  tidak  mempunyai  kedua-duanya  sama  sekali.
 Khuntsa  musykil  dalam  dunia  kedokteran  dikenal  dengan  istilah  hermafrodit  (kelamin  ganda).
 Jelas  orang  tersebut  dinamakan  khuntsa  musykil,  karna  sulit  baginya  untuk  menentukan  indentitasnya,  dengan   kedua  alat kelamin yang sama-sama berfungsi.
Salah satu    permasalahan  khuntsa musykil    adalah  dalam  hal menentukan hak waris atau kewarisanya,  dan juga  menjadikan persoalan kepada penetapan  status  hak  memperoleh  bagian  warisnya.  Hukum  waris  di  Indonesia  telah  di  atur  di  dalam  perundang-undangan  yang  telah  ditetapkan,  seperti  dalam  KUHPerdata  (Kitab  Undang-Undang  Hukum  Perdata)  dan  juga  dalam  dasar  kewarisan  hukum  Islam  atau  dalam  KHI  (Kompilasi  Hukum  Islam).  Namun  baik  dalam  KUHPerdata  maupun  KHI  tidak  diterangkan  mengenai  ketentuan  hukum  waris  bagi  khuntsa,  hal  inilah  yang  mendorong  penulis  untuk  mempelajari  dan  mengkaji  tentang  penentuan  hukum  waris  bagi  khuntsa.
Seperti halnya qonun al-mawarits (kitab undang-undang hukum warisan mesir)  di  dalam  menetapkan  harta  pusaka  kepada  khuntsa  musykil  mengambil    dari   Zunly  Nadia,  Antara  Hermaproditif  (Khuntsa)  dan  Transeksualitas  (Mukhannats) http://www.syariahonline.com/new_index.php/id/9/cn/117  Fatchur Rahman, Ilmu Mawaris, Bandung: PT. Alma‟arif, hlm. 482.
 Burhani MS, Hasbi Lawrens, Kamus Ilmiah Populer, Jombang: Lintas Media, hlm. 183.
 pendapat Abu Hanifah.    Pendapat tersebut dicantumkan dalam K.U.H.W, pada  pasal 46.
 Dalam  KHI  tinjauan  hukum  waris  yang  digunakan  adalah  dasar-dasar  dalam hukum  Islam dan ijtihad para Fuqoha‟  (ulama-ulama ahli fiqih) dalam  ilmu Faroid (ilmu Kewarisan).
Dalam salah satu riwayat di jelaskan.
Artinya  :“Dari  Abbas  r.a,  Rosulullah  bersabda:  “Bagikanlah  harta  pusaka  antara ahli waris menurut kitabullah (Al-Qur’an)” , HR. Muslim.
 Namun demikian masih ada  masalah mengenai hukum waris yang tidak  tercantum  dalam  Al-Qur‟an,  sehingga  menimbulkan  beberapa  pendapat,  seperti  pada  permasalahan  khuntsa  musykil.  Mengenai  permasalahan  kewarisan khuntsa musykil,  para fuqoha‟ sepakat bahwa penentuan waris bagi  khuntsa  musykil  harus  di  tinjau  secara  biological  (jasmaniah)  bukan  secara  pesicological (kejiwaan).
 Para ulama‟  ahli  faroid berbeda-beda pendapat  mengenai cara-cara untuk  memberikan  bagian  harta  pusaka  khuntsa  musykil  setelah  di  ketahui  dua  Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, Semarang: Mujahidin. 1993, hlm. 84.
 Imam Muslim, Sakhih Muslim, Bairut: Darul Kutub Alamiah, 1992, Juz, 3, hlm. 23.
 Muslich Maruzi, op. cit hlm. 85.
 macam penerimaan berdasarkan perkiraan laki-laki dan perkiraan perempuan  dan bagian para ahli waris lainnya.
Ulama‟ Syafi‟iyah berpendapat bahawa khuntsa musykil mendapat bagian  atas  perkiraan  yang  terkecil  dan  meyakinkan  kepada  si  khuntsa  musykil  dan  ahli waris lain, kemudian sisanya yang masih diragukan ditahan dulu sampai  status  hukum  khuntsa  menjadi  jelas  atau  sampai  ada  perdamaian  bersama  antara  ahli  waris  (menghibahkan  sisa  yang  diragukan)”.
 Menurut  pendapat  yang  lebih  unggul  (madzhab  Syafi‟iyah)   khuntsa  diperlakukan    dengan  perlakuan  yang  merugikan.  Maka  harus  di  perhatikan  perolehan  warisannya  dengan perkiraan sebagai laki-laki atau sebagai perempuan.
 Sedangkan  ulama‟  Hanafiyah  berpendapat  bahwa,  khuntsa  musykil mendapat  bagian  yang  terkecil  lagi  terjelek  dari  dua  perkiraan  bagian  lelaki  dan perempuan dan ahli waris lainnya mendapat bagian yang terbaik dari dua  perkiraan tersebut di atas, dan tidak ada sisa untuk ditahan terlebih dahulu .
 Sedangkan  pada  kalangan  ulama‟  Malikiyah  berpendapat  lain  lagi, khuntsa musykil  mendapat separoh dari dua perkiraan lelaki atau perempuan  dan demikian juga ahli waris lainnya”.
 Konsep penentuan hak waris  khuntsa musykil  menurut  pendapat Ulama‟  Syafi‟iyah,  seperti  halnya  Al-Imam  Al-Mawardi,  Al-Imam  Al-Nawawi,  AlImam  As-Syarbaniy,  dan  ulama‟-ulama‟  Syafiiyah  lainnya,  di  kerjakan  dua  kali, yang pertama dianggap sebagai lelaki dan yang ke dua dianggap sebagai   Ali Ash-Shabuni, Al-Mawaris, Baerut: „Alamul Kutub hlm. 165.
 Suhrawadi K.  Lubis, S.H. dan Komis Simanjuntak, S.H.,  Hukum Waris Islam,  Jakarta:  Sinar Grafika. 1997, hlm. 165.
 Ash-Shabuni, Ibid., hlm. 165.
 Ash-Shabuni, Ibid,, hlm. 167.
 perempuan.  Kemudian  si  banci  (khuntsa  musykil)  tersebut  diberi  bagian  terkecil  di  antara  dua  bagian  tadi,  sisanya  ditangguhkan  menunggu  sampai  persoalannya  jelas,  atau  sampai  ada  perdamaian  antara  para  ahli  waris,  atau  sampai pada si  matinya  banci dan hartanya di bagikan pada ahli waris  yang  ada.
 Makna  pemberian  hak  khuntsa  musykil  dengan  bagian  paling  sedikit  menurut  kalangan  fuqoha‟  mawarits  mu’amalah  bil  adhar  yaitu  jika  khuntsa dinilai sebagai wanita bagiannya lebih sedikit, maka hak waris yang diberikan  kepadanya  adalah  hak  waris  wanita,  dan  bila  dinilai  sebagai  laki-laki  dan  bagiannya ternyata lebih sedikit, maka divonis sebagai laki-laki.
 Berpijak  pada  pentingnya  masalah  di  atas,  maka  penulis  hendak  mengangkat  tema  ini  dengan  judul:  “Studi  Analisis  Pendapat  Al-Imam  AlMawardi Tentang Konsep Hukum Waris  Khuntsa Musykil”.



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi