BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Manusia merupakan
makhluk sosial yang
membutuhkan orang lain
dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya. Banyak interaksi
yang dilakukan agar kebutuhannya
dapat terpenuhi. Disinilah hubungan timbal balik antara individu satu dengan yang lainnya
dapat terjalin dengan baik.
Hubungan ini dapat dilakukan
dalam segala bentuk kegiatan usaha dalam bidang
kehidupan; baik itu politik, keamanan,
kesehatan, pendidikan, hukum, ekonomi, dan sebagainya. Di bidang
ekonomi, banyak hubungan yang bisa
dilakukan, diantaranya: jual-beli,
pinjam-meminjam,
hutangpiutang, gadai, sewa-menyewa,
dan sebagainya. Kegiatan
usaha yang dilakukan
manusia diatas merupakan
kumpulan dari transaksi-transaksi yang mengikuti suatu tatanan tertentu. Salah
satu kegiatan usaha manusia adalah
transaksi yang menyangkut
suatu obyek tertentu,
baik obyek berupa barang maupun jasa.
Sewa menyewa
adalah salah satu
bentuk transaksi ekonomi.
Dalam Islam sewa menyewa disebut
dengan ijarah. Sewa menyewa atau ijarah disini
bukan hanya pemanfaatan
barang tetapi juga
pemanfaatan tenaga atau jasa yang
disebut upah mengupah.
Ijarah berasal dari kata ajru
yang berarti iwadhu (pengganti). Dan tsawab (pahala)
disebut juga dengan
ajru (upah). Dalam
syara’, ijarah 15 adalah
jenis akad untuk mengambil manfaat dengan kompensasi.
Tidak semua
harta
boleh diakadkan ijarah atasnya. Obyek
ijarah harus diketahui manfaatnya
secara jelas, dapat
diserahterimakan secara langsung,
pemanfaatannya tidak bertentangan
dengan hukum syara’, obyek yang disewakan adalah manfaat langsung
dari sebuah benda dan harta benda
yang menjadi obyek
ijarah adalah harta
yang bersifat isti’maly.
Untuk
terpenuhinya transaksi ijarah
harus ada mu’jir
dan musta’jir, yaitu orang yang
memberikan upah dan yang menerima upah.
Pada prinsipnya
setiap orang yang
bekerja pasti akan mendapatkan imbalan
dari apa yang
dikerjakannya dan masing-masing tidak
akan dirugikan. Sehingga
terciptalah suatu keadilan
diantara mereka. Dalam QS.
Al-Jaatsiyah: 22, Allah berfirman: “Dan
Allah menciptakan langit dan bumi dengan tujuan yang benar dan agar
dibalasi tiap-tiap diri
terhadap apa yang
dikerjakannya, dan mereka tidak akan dirugikan.(Qs. Al-Jaatsiyah:
22) Ayat ini menjamin tentang upah yang
layak kepada setiap pekerja sesuai
dengan apa yang telah disumbangkan dalam proses produksi. Jika ada
pengurangan dalam upah
mereka tanpa diikuti
oleh berkurangnya sumbangsih
mereka hal itu
dianggap ketidakadilan dan
penganiayaan.
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jilid 4, Jakarta:
Pena Pundi Aksara, 2006, hal. 203.
Ghufron
A. Mas’adi, Fiqh
Mu’amalah Kontekstual, Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hal.184 Ibid. Hal. 501 16 Ayat ini
memperjelas bahwa upah
setiap orang harus
ditentukan berdasarkan kerjanya
dan sumbangsihnya dalam
kerjasama produksi.
Dan untuk itu harus dibayar tidak
kurang, juga tidak lebih dari apa yang telah
dikerjakannya.
Desa
Gemulung adalah desa
petani yang sebagian
besar penduduknya menggantungkan hidupnya
dari hasil pertanian
padi.
Namun tidak semua penduduk
memiliki lahan untuk bertani, melainkan mereka hanya
bekerja jika dibutuhkan
pemilik sawah untuk
membantu menanam maupun di saat
memanen saja.
Pada saat padi mulai menguning
maka padi di sawah siap untuk di panen. Untuk
itu pemilik sawah
membutuhkan jasa orang
lain untuk membantu
memanennya. Mulai dari
ngerit sampai
padi terpisah dari jerami dan
bisa dimasukkan dalam
karung. Selain ngerit,
tenaganya buruh tani dibutuhkan
untuk ngerek .
Upah yang
mereka peroleh bukanlah
berupa uang melainkan berupa
padi yang berbeda
harganya, tergantung jenis
dan musimnya.
Keseluruhan hasil
panen ditimbang, kemudian
dibagi delapan, dan seperdelapannya itu
upah diberikan untuk buruh
tani. Jika sawah mendapatkan hasil
padi yang banyak
maka mereka mendapatkan
upah yang banyak
pula, tetapi jika
hasil padinya sedikit,
merekapun Afzalur
Rahman, Doktrin Ekonomi
Islam, Jilid 2,
Yogyakarta: PT. Dana Bhakti
Wakaf, 1995, hal 361 Ngerit adalah
istilah yang biasa
disebut warga Gemulung
Kel. Kwangen yaitu memotong
padi dari akarnya dengan menggunakan alat sabit.
Ngerekadalah istilah yang biasa disebut oleh
warga. Kwangen yaitu memisahkan padi
dari batang dan daunnya dengan menggunakan alat bantu.
17 mendapatkan
upah sedikit juga.
Selain itu, Tergantung
juga dengan jumlah
buruh tani yang
memanennya. Karena seperdelapan
dari hasil panen tadi dibagi dengan jumlah buruh tani
yang ada.
Berbeda ketika
menanam padi, pemilik
sawah membayar buruh tani untuk
menanam padi dengan
uang berkisar antara
Rp 35.000-Rp 40.000 per harinya. Meskipun kisaran bayaran
upah saat menanam padi bisa jadi
saja lebih kecil
dibanding upah saat
panen. Namun disini
ada kepastian jumlah
upah yang akan
diterima oleh buruh
tani tersebut.
Dalam hadits
riwayat Abu Daud
dari Sa’ad Bin
Abi Waqqash r.a melarang
pemberian upah berupa hasil pertanian, ia berkata “Kami pernah
menyewakan tanah dengan
(bayaran) hasil pertanian; maka,
Rosulullsh melarang kami
melakukan hal tersebut
dan memerintahkan agar kami
menyewakannya dengan emas atau perak.” Berdasarkan gambaran
diatas, karena cukup
penting, maka penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam
pada sebuah penelitian yang berjudul “TINJAUAN
HUKUM ISLAM TERHADAP
PRAKTEK AKAD BAWON
(Studi Kasus di
Desa Gemulung, Kel.
Kwangen, Kec. Gemolong, Kab. Sragen).”
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah,
diterjemahkan oleh Nor Hasanuddin dkk dari “Fiqhus Sunnah”,Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006, Cet.
1, hal. 204 18 B.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar
belakang tersebut di
atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut: 1. Bagaimana
Praktek pengupahan buruh tani dengan akad Bawon di Desa Gemulung, Kel. Kwangen, Kec. Gemolong,
Kab. Sragen? 2. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap
praktek pengupahan buruh tani dengan
akad Bawon di Desa Gemulung, Kel. Kwangen, Kec. Gemolong, Kab. Sragen? C.
Tujuan Penelitian 1. Untuk
mengetahui bagaimana praktek
pengupahan buruh tani dengan akad
Bawon di Desa
Gemulung, Kel. Kwangen,
Kec.Gemolong, Kab. Sragen.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi