BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Islam adalah
suatu sistem dan
jalan hidup yang
utuh dan terpadu (a
comprehensive way of
life). Ia memberikan
panduan yang dinamis
dan lugas terhadap
aspek kehidupan, yakni
melalui al-Qur‟an dan as-Sunnah Rasulullah SAW. Al-Qur‟an dan
as-Sunnah sebagai penuntunan, mempunyai daya
jangkau dan daya
atur yang universal,
meliputi segenap aspek
dalam persoalan kehidupan
umat manusia, baik
pada masa lampau
(setelah alQur‟an diturunkan), masa kini, maupun masa yang akan datang. Hal itu dapat
terlihat dari
segi teksnya yang
selalu tepat untuk
diimplikasikan dalam kehidupan
aktual, misalnya dalam
bidang muamalah duniawiyah,
yaitu bidang yang
mengatur hubungan manusia
dalam masyarakat mengenai kebendaan dan hak-hak serta penyelesaian
persengketaan-persengketaan yang mungkin
terjadi dalam pelaksanaan muama lah
tersebut, dalam hal
ini salah satunya
yang berkaitan dengan pelaksanaan praktek gadai.
Muh. Syafi‟i Antonio, “Bank Syari‟ah „Dari Teori ke Praktek‟ ”, Jakarta: Gema Insani, Cet. 1, 2001,
bag. Pengantar.
Chairuman
Pasaribu dan Suhrawardi.
K. Lubis, “Hukum
Perjanjian Dalam Islam”, Jakarta: Sinar Grafika.
Gemala Dewi, dkk., “Hukum Perikatan Islam di
Indonesia”, Jakarta: Kencana, Cet. 1, 2005,
hlm. 5.
Pembahasan
tentang gadai ini
kembali muncul ke
permukaan dalam beberapa
tahun terakhir ini
seiring dengan makin
seringnya masyarakat melaksanakan
praktek gadai tersebut
dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Salah satu alasan yang
melatar belakangi dilaksanakannya gadai
oleh masyarakat ialah karena proses gadai yang tidak memakan waktu yang
berlebihan. Selain itu,
seseorang dapat menyelesaikan
masalah yang dihadapinya
dengan segera dengan
menggunakan barang berharga
yang dimilikinya sebagai
jaminan tanpa harus
takut kehilangan barang
tersebut, karena pada
akhirnya saat ia
mengembalikan pinjaman yang
diambilnya, maka ia
dapat langsung mengambil
kembali barang yang
dijaminkannya tersebut. Sehingga
ia dapat memperoleh
yang diinginkannya tanpa
harus mengorbankan apa
yang dimilikinya. Sehingga
kemudian banyak literaturliteratur mengenai akad gadai
tersebut.
Syafi‟i Antonio
dalam karyanya menerangkan
bahwa Gadai yang dalam fikih
dikenal dengan akad
ar-Rahn diartikan sebagai
“suatu akad dimana
menahan salah satu
harta milik si
peminjam sebagai jaminan
atas pinjaman yang diterimanya”.
Maksudnya bahwa dalam hal ini si peminjam (rahin) harus menyediakan harta benda yang
dimilikinya, yang benda tersebut kemudian akan
dijadikan jaminan untuk
piutang yang diambilnya
dari si pemberi pinjaman (murtahin).
Disampaikan pula oleh Hasbi as-Shiddieqy
sebagai berikut: Muh. Syafi‟i Antonio,
Bank Syari‟ah ‟Suatu Pengenalan Umum,
Jakarta: Tazkia Institute, 1999, hlm. 182.
Artinya:
“Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara‟ sebagai jaminan atas
utang selama ada dua
kemungkinan, untuk mengembalikan atau mengambil sebagian benda
itu”.
Penjelasan lain tentang gadai ini dikemukakan
pula oleh Dr. H. Hendi Suhendi dalam
bukunya, bahwa rahn merupakan: Artinya:
“Akad yang objeknya
menahan harga terhadap
sesuatu hak yang mungkin
diperoleh bayaran yang sempurna darinya”.
Berkenaan dengan akad gadai ini diberikan
penjelasan dalam firman Allah SWT. Qs.
Al- Baqarah: 283.
Artinya:
“Jika (hendak bermuamalah
tidak secara tunai)
engkau dalam perjalanan
sedangkan engkau idak
menemukan seorang Penulis, maka
hendaklah ada barang
jaminan. Jika kamu
sekalian saling mempercayai,
maka hendaklah orang
yang dipercayai tersebut selalu menjaga kepercayaan tersebut. (Al-
Baqarah: 283)”.
Hasbi as-Shiddieqy, “Pengantar Fiqh Muamalah”,
Jakarta: Bulan Bintang, 1984, hlm.
86-87.
Hendi Suhendi, M “Fiqh Muamalah”, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008, hlm.
105.
Departemen Aganma RI, „Abdul „Aziz „Abdur Ra‟uf dan Al- Hafiz (edit),
“Mushaf AlQur‟an Terjemah Edisi Tahun 2002”, Jakarta: Al- Huda, 2005.
Kemudian
telah dicontohkan pula
oleh Rasulullah SAW,
yang dijelaskan dalam
sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Imam
Bukhari dari Aisyah r.a.: Artinya: “Dan dari Aisyah r.a, bahwasanya Nabi saw,
mengambil makanan dari seorang
Yahudi yang harganya
akan dibayarkan dalam
satu jangka waktu
tertentu, sedang Nabi
saw, Sebagai jaminan
Nabi menggadaikan baju
besi beliau.” (HR.
Bukhary; Muslim; alMuntafaqa II: 350).
Seperti yang telah diketahui bahwasanya pada
umumnya aspek hukum keperdataan Islam
(fiqh mu‟amalah) dalam
hal transaksi mempersyaratkan rukun
dan syarat dan
syarat syah, hal
inipun berlaku dalam
akad gadai.
Demikian yang termasuk ke dalam
rukun gadai ialah: 1. Aqid (orang yang
berakad) Aqid ialah merupakan
pihak yang melaksanakan
akad tersebut yang
meliputi dua arah.
Dalam akad gadai
ini terdapat dua
aqid yang saling berkaitan, yakni; a. Rahin
yang merupakan pihak menggadaikan barangnya (barang gadai) dan; b.
Murtahin yang merupakan
pihak yang berpiutang
dan menerima barang gadai.
2. Ma‟qud ‟alaih (Barang yang diakadkan).
T.M.
Hasbi ash-Shiddieqy, “Koleksi
Hadis-Hadis Hukum 7”,
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putera, Cet. 3, Ed. 2, 2001, hlm. 130 Ma‟qud ‟alaih meliputi dua hal yakni; a. Marhun merupakan barang yang digadaikan dan; b. Marhun bihi merupakan utang yang karenanya
diadakan akad rahn.
3.
Shigat al-‟Aqd (Ijab dan kabul) Merupakan
ungkapan para pihak yang melakukan akad.
a. Ijab adalah pernyataan janji atau penawaran
dari pihak pertama untuk melakukan atau
tidak melakukan sesuatu.
b. Qabul
merupakan pernyataan menerima
dari pihak kedua
atas penawaran yang dilakukan
oleh pihak pertama.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi