BAB I.
PENDAHULUAN .
A. Latar Belakang Masalah.
Salah satu
bentuk taqarrub kepada
Allah SWT dalam
rangka mempersempit kesenjangan
sosial serta menumbuhkan
rasa kesetiakawanan dan
kepedulian sosial adalah
hibah atau pemberian.
Hibah, yang dalam pengertian
umum shadaqah dan hadiah, dilihat dari aspek vertikal (hubungan antara
manusia dengan Tuhan)
memiliki dimensi taqarrub,
artinya ia dapat meningkatkan
keimanan dan ketakwaan seseorang. Semakin banyak berderma dan bershadaqah akan semakin memperkuat dan memperkokoh
keimanan dan ketakwaan, inilah aspek
vertikal hibah.
Dilihat dari
sudut lain, hibah
juga mempunyai aspek
horisontal (hubungan antara
sesama manusia serta lingkungannya) yaitu dapat berfungsi sebagai
upaya mengurangi kesenjangan
antara kaum yang
berpunya dengan kaum
yang tidak punya,
antara si kaya
dan si miskin,
serta me nghilangkan rasa kecemburuan sosial, inilah aspek
horisontal hibah. Hibah dalam
bahasa Arab berarti
"kebaikan atau keutamaan
yang diberikan oleh suatu pihak
kepada pihak yang lain berupa harta atau bukan''. Seperti
Zakaria mohon kepada
Allah agar dihibahkan
kepadanya keturunan yang baik. Allah SWT, berfirman: Artinya:
Zakaria berkata (berdo'a): Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang
anak yang baik,
sesungguhnya Engkau Maha Pendengar do'a (Q.S. Ali Imran: 38) Secara
bahasa, dalam kamus
Al-Munjid, hibah berasal
dari akar kata بهو – بهي
– ةبه (wahaba-yahabu-hibatan) berarti memberi atau
pemberian.
Dalam
Kamus al-Munawwir kata
"hibah" ini merupakan
mashdar dari kata (ببهو) yang
berarti pemberian.
Demikian pula dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
berarti pemberian dengan
sukarela dengan mengalihkan
hak atas sesuatu kepada orang lain.
Dalam hukum perdata Barat disebut schenking.
Menurut
terminologi, kata hibah
dirumuskan dalam redaksi
yang berbeda-beda, di
antaranya: menurut Abu
Bakar Jabir al-Jazairi,
hibah ialah pemberian oleh orang yang berakal sempurna dengan asset yang dimilikinya; harta atau perabotan yang mubah.
Menurut Sayyid Sabiq, hibah
adalah akad yang dilakukan dengan maksud memindahkan milik
seseorang kepada orang lain
ketika masih hidup
dan tanpa imbalan.
Dari
kedua definisi ini
dapat disimpulkan bahwa
hibah adalah pemberian
yang dilakukan secara
su karela dalam mendekatkan diri
kepada Allah SWT tanpa mengharap balasan apa pun.
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya:
Surya Cipta Aksara, 1999, hlm. Louis Ma’luf,
al-Munjid fi al-Lughah
wa al-A'lam, Beirut
Libanon: Dar al-Masyriq, 1986, hlm. 920. Ahmad
Warson Al-Munawwir, Kamus
Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, hlm.
1584 Depdiknas, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm. 398.
Ilham Gunawan dan Marthus Sahrani, Kamus Hukum, Jakarta: CV Restu Agung, 2002, hlm. 4 Abu
Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, 2004,
hlm. 345. Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, Kairo:
Maktabah Dâr al-Turas, tth, hlm. 315 Dalam prakteknya,
banyak hibah yang
dicabut atau ditarik
oleh pemberi hibah dengan berbagai
alasan, misalnya si
penerima hibah berkelakuan
buruk atau memiliki
jiwa pemboros. Hal
ini diketahui setelah hibah
itu diberikan. Padahal
orang itu sebelumnya
menampakkan kelakuan baik
namun kemudian berubah
seiring perubahan waktu.
Sebagai buktinya yaitu adanya kasus gugat menggugat di
pengadilan antara penghibah dengan yang diberi
hibah. Alasan penarikan
kembali hibah itu
karena si penerima hibah telah menyalahgunakan barang hibah itu.
Dalam hubungannya
dengan penarikan hibah,
bahwa para ulama mazhab Hanafi
mengatakan, orang yang
memberi hibah diperkenankan
dan sah baginya
mencabut pemberiannya setelah
pemberian itu diterima
oleh orang yang
diberi, lebih-lebih sebelum
diterima. Ulama mazhab
Maliki mengatakan, pihak
pemberi hibah tidak
mempunyai hak menarik pemberiannya,
sebab, hibah akad
yang tetap. Ulama
mazhab Syafi'i menerangkan, apabila hibah telah dinilai
sempurna dengan adanya penerimaan dengan seizin
pemberi hibah, atau
pihak pemberi hibah
telah menyerahkan barang
yang diberikan, maka
hibah yang demikian
ini telah berlangsung. Ulama
mazhab Hambali menegaskan,
orang yang memberikan
hibah diperbolehkan mencabut
pemberiannya sebelum pemberian itu diterima.
Jumhur
ulama mengatakan bahwa
pemberi hibah tidak
boleh menarik/mencabut hibahnya
dalam keadaan apa pun, kecuali apabila pemberi Abdurrrahmân
al-Jazirî, Kitab al-Fiqh ‘alâ
al-Mazâhib al-Arba’ah, Beirut: Dâr al-Fikr, 1972, Juz III, hlm. 216. hibah itu
adalah ayah dan
penerima hibah adalah
anaknya sendiri.
Alasan Jumhur ulama adalah sabda Rasulullah
SAW: Artinya: Bersumber
dari Ibnu Abbas:
"Sesungguhnya Nabi saw. bersabda: "Orang
yang meminta kembali
pemberiannya itu sama seperti orang yang menelan kembali air
ludahnya. (HR. Al Bukhari dan Muslim) Dalam ketentuan
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata tentang penarikan
hibah ini diatur
dalam ketentuan pasal
1688, yang mana
menurut pasal ini kemungkinan
untuk mencabut atau menarik atas sesuatu hibah yang diberikan
kepada orang lain
ada, sedangkan dalam
Pasal 212 Kompilasi Hukum
Islam dengan sangat
tegas menyatakan bahwa
hibah tidak dapat ditarik
kembali.
Dengan demikian dalam perspektif
fiqih dan KHI bahwa hibah tidak dapat ditarik,
sedangkan dalam KUH
Perdata, hibah dapat
ditarik. Yang menjadi
masalah adakah persamaannya
antara KHI dan
KUH Perdata, serta apa
yang melatar belakangi perbedaan dari kedua sistem hukum itu dalam hal penarikan hibah.
Menariknya tema
ini untuk diteliti
adalah karena dalam
prakteknya, banyak pemberi hibah
yang menarik hibahnya. Berdasarkan
keterangan di atas Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid,
Juz II, Beirut: Dâr Al-Jiil, 1409
H/1989, hlm. 249. Muhammad bin
Ali bin Muhammad
Asy Syaukani, Nail
al-Autar, Cairo: Dar al-Fikr, 1983,
Juz VI, hlm. 196. mendorong
penulis memilih judul ini
dengan tema: "Tinjauan Hukum
Islam tentang Penarikan Hibah
dalam Pasal 1688 KUH Perdata” B. Perumusan Masalah Permasalahan merupakan
upaya untuk menyatakan
secara tersurat pertanyaan-pertanyaan apa
saja yang ingin
dicarikan jawabannya.
Bertitik tolak pada keterangan itu, maka yang menjadi
pokok permasalahan: 1. Bagaimana ditinjau dari hukum Islam tentang
penarikan hibah dalam Pasal 1688 KUH
Perdata? 2. Bagaimana penarikan hibah
dalam Pasal 1688 KUH Perdata? C. Tujuan
Penelitian Tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Untuk
mengetahui tinjauan hukum
Islam tentang penarikan
hibah dalam Pasal 1688 KUH Perdata.
2. Untuk mengetahui penarikan hibah dalam Pasal
1688 KUH Perdata.
D. Telaah Pustaka Dalam penelitian
di perpustakaan dijumpai
skripsi yang judul
atau materi bahasanya
hampir sama dengan
penelitian saat ini,
dan ada beberapa kepustakaan yang telah membahas masalah hibah.
Skripsi yang dimaksud di antaranya: Jujun
S. Suriasumantri, Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar
Populer, Cet. 7,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1993, hlm. 312. Skripsi yang disusun Amalia Sholikhah dengan judul:
Analisis Hukum Islam tentang Sengketa Tanah Wakaf dan Hibah
Aset Yayasan al -Amin Kab. Blora. Pada
intinya penulis skripsi
ini menyatakan status
kepemilikan tanah wakaf
dan hibah aset
Yayasan al-Amin Kab.
Blora berada dalam sengketa yang
berkepanjangan antara keluarga
almarhum pemberi wakaf
dan hibah dengan
yayasan. Atas dasar
ini maka ditinjau
dari hukum Islam
(fiqih muamalah) status
kepemilikan tanah wakaf aset Yayasan al-Amin Kabupaten Blora
termasuk milk naqish
(pemilikan tidak sempurna)
karena pada prinsipnya,
wakaf termasuk kategori
milk naqish. Di
samping itu keluarga almarhum
pemberi wakaf juga
berpendapat bahwa yayasan
hanya memiliki hak memiliki benda itu akibat tidak
dipenuhinya syarat al-aqd. Cara pemanfaatan
tanah wakaf dan
hibah di Yayasan
al -Amin Kabupaten Blora belum
didayagunakan secara maksimal. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal: (a) tanah masih
dipersengketakan; (b) ada pemahaman di masyarakat
bahwa tanah wakaf itu tidak boleh dialih fungsikan. Pemahaman ini
dipengaruhi oleh adanya
pendapat mazhab Syafi'i
yang tidak boleh mengalih
fungsikan tanah wakaf.
Skripsi yang
disusun Muhammad Munir
dengan judul: Analisis terhadap Pendapat Imam Syafi’î tentang Hukum
Pencabutan Kembali Hibah. Pada intinya
penulis skripsi ini
menyatakan bahwa menurut
Imam Syafi’i, hibah
tidak boleh dicabut
kembali manakala si
penghibah memberi hibah dengan
maksud untuk memperkuat silaturahmi atau sebagai sedekah sukarela tanpa
mengharap imbalan. Sedangkan
bila si penghibah
membe ri hibah dengan maksud mendapat imbalan maka hibah
boleh dicabut kembali. Karena hibah
merupakan pemberian yang mempunyai akibat hukum perpindahan hak milik,
maka pihak pemberi
hibah tidak boleh
meminta kembali harta
yang sudah dihibahkannya, sebab
hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip hibah.
Alasan hukum Imam Syafi’i tentang
pencabutan kembali hibah, dapat ditegaskan
bahwa ia menggunakan metode
istinbat hukum berupa hadis yang diriwayatkan Imam Malik dalam Kitab al-Muwatta'. Hadis tersebut memberi qarinah (petunjuk) bahwa sesungguhnya orang yang
memberi hibah apakah dalam bentuk
sedekah atau hadiah,
dan si penghibah
memberikannya tanpa mengharap
imbalan maka pemberian
itu tidak bisa dicabut
kembali. Namun demikian bila si penghibah mengharapkan
imbalan maka hibah yang demikian dapat
dicabut kembali, karena hibah yang demikian boleh jadi ada semacam akad
atau komitmen antara
penghibah dengan yang
menerima hibah. Komitmen itu bisa misalnya penghibah bersedia memberi, dengan catatan si penerima hibah memberi imbalan apakah berupa
nafkah hidup dan sebagainya Skripsi
yang disusun oleh
Abdul Khamid dengan
judul: Analisis Pendapat Imam Syafi'i tentang Serah Terima
Sebagai Syarat Sahnya Hibah. Penulis skripsi
ini menjelaskan bahwa
menurut Imam Syafi'i,
syarat sahnya hibah
harus ada serah
terima, tanpa serah
terima maka hibah menjadi
batal. Pendirian Imam Syafi'i
seperti ini didasarkan atas beberapa hadis yang secara implisit
mengharuskan hibah dengan
serah terima. Dengan
kata lain metode istinbath hukum
yang di gunakan Imam
Syafi'i adalah beberapa
hadis di antaranya:
diriwayatkan oleh Al
Bukhari dalam "Al
Adabul Mufrad, dan diriwayatkan
oleh Abu Ya'la dengan sanad yang bagus. Kemudian hadis yang diriwayatkan oleh Al Bazzar. Menurut Imam Syafi'i bahwa serah terima
merupakan salah satu syarat sahnya hibah;
jika tidak ada
serah terima, maka
tidak sahlah hibah.
Oleh karenanya, bila
salah seorang pemberi
atau penerima hibah
itu meninggal sebelum ada timbang terima, maka batallah
hibah itu.
Skripsi yang
disusun oleh Dedi
Hermawan dengan judul:
"Studi Analisis Pemikiran
Imam Syafi’i Tentang Batalnya Hibah. Pada intinya skripsi ini memaparkan sebagai berikut: pada dasarnya
pemikiran Imam Syafi’i tidak bertentangan
dengan maksud dan tujuan adanya pembatalan hibah, lebih -lebih lagi bila konsepnya dihubungkan kurun waktu
masa itu dan negara di mana ia berdomisili.
Dengan kata lain pemikiran Iman Syafi’i pada waktu itu sangat sesuai
dengan kebutuhan masyarakat
di negara di
mana ia hidup.
Namun demikian jika
pemikirannya dibandingkan dengan
kebutuhan masyarakat dewasa ini sudah barang tentu tidak relevan
lagi, mengingat keadaan geografis dan kultur
masa itu dengan
masa kini jauh
berbeda, sehingga sukar
dicari benang merahnya. Perbedaan
itu tampaknya dapat dilihat dari berbagai
aspek, antara lain:
keadaan negara saat
ini sudah demikian
luas dengan jumlah penduduk
yang relatif tinggi
baik dalam kuantitas
maupun kualitasnya. Sementara,
jumlah penduduk di
negara di mana
Iman Syafi’i berdomisili relatif kecil baik dalam sudut pandang
kualitas maupun kuantitasnya. Karena itu
kebutuhan manusia, antara saat itu dengan masa kini jauh berbeda. Dari penelitian
di atas menunjukkan
bahwa penelitian terdahulu berbeda dengan saat ini karena penelitian
terdahulu hanya memfokuskan pada pendapat Imam
Syafi'i, sedangkan penelitian
yang hendak dilakukan
ini memfokuskan pada penarikan hibah dalam Pasal 1688 KUH Perdata
ditinjau dari perspektif hukum Islam. E.
Metode Penelitian Metodologi
penelitian bermakna seperangkat
pengetahuan tentang langkah-langkah sistematis
dan logis tentang
pencarian data yang
berkenaan dengan masalah
tertentu untuk diolah,
dianalisis, diambil kesimpulan
dan selanjutnya dicarikan
cara pemecahannya. Dalam
versi lain dirumuskan, metode
penelitian adalah cara
yang dipakai dalam
mengumpulkan data, sedangkan instrumen adalah alat bantu yang
digunakan dalam mengumpulkan data itu, maka metode
penelitian skripsi ini
dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian Penulisan ini
menggunakan jenis penelitian
kepustakaan yaitu penelitian terhadap naskah dokumen yang ada
dalam perundang-undangan atau dokumen
lainnya dalam hal ini literatur yang relevan.
Suharsimi
Arikunto, Prosedur Penelitian
Suatu Pendekatan Praktek,
Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002, hlm. 194. Menurut Hadari Nawawi, metode penelitian atau
metodologi research adalah ilmu yang memperbincangkan tentang
metode-metode ilmiah dalam
menggali kebenaran pengetahuan. Hadari
Nawawi, Metode Penelitian
Bidang Sosial, Yogyakarta:
Gajah Mada University
Press, 1991, hlm. 24. 2.
Sumber Data a. Data Primer, yaitu Kompilasi Hukum Islam dan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata . b. Data Sekunder, yaitu literatur lainnya yang
mendukung data primer, di antaranya: Kompilasi
Hukum Islam, Imam
Taqi al-Din, Kifâyah
Al Akhyâr; Ibnu Rusyd, Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid; Abd
Arrahmân al-Jazirî, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah. 3.
Teknik Pengumpulan Data Teknik
pengumpulan data berupa
teknik studi dokumentasi
atau studi dokumenter
yaitu dengan meneliti
sejumlah kepustakaan (library research),
kemudian memilah-milahnya dengan
memprioritaskan sumber bacaan
yang memiliki nilai
aktual dan kualitas,
baik dari aspek
isinya maupun otoritas
pengarangnya. Untuk itu
digunakan data kepustakaan yang berkaitan dengan masalah penarikan hibah.
4. Metode Analisis Data Dalam penyusunan
skripsi ini, peneliti
menggunakan metode deskriptif
analitis yakni menggambarkan
dan menganalisis penarikan hibah
dalam Pasal 1688
KUH Perdata ditinjau
dari perspektif hukum Islam. Alasan
digunakannya metode analisis
ini karena penelitian ditujukan
pada sejumlah kepustakaan
yang relevan dengan
tema skripsi Menurut
Suharsimi Arikunto, metode
dokumentasi. yaitu mencari
data mengenai halhal atau variabel yang berupa catatan,
transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, lengger,
agenda, dan sebagainya.
Suharsimi Arikunto, Prosedur
Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002, hlm.
206. ini. F. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan
skripsi ini terdiri
dari lima bab
yang masingmasing menampakkan
titik berat yang
berbeda, namun dalam
satu kesatuan yang saling mendukung dan melengkapi.
Bab pertama
berisi pendahuluan, merupakan
gambaran umum secara global namun integral komprehensif dengan
memuat: latar belakang masalah, permasalahan, tujuan
penelitian, telaah pustaka,
metode penelitian dan sistematika
Penulisan.
Bab kedua berisi hibah dalam Pasal 212 kompilasi hukum Islam
yang meliputi hibah
dalam hukum Islam
(definisi hibah, syarat
dan rukun hibah, macam-macam
hibah), hibah dalam
pasal 212 kompilasi
hukum Islam (pengertian kompilasi
hukum Islam, latar
belakang penyusunan kompilasi hukum Islam, hibah dalam pasal 212 kompilasi
hukum Islam). Bab ketiga berisi hibah dalam Pasal 1688 KUH Perdata yang meliputi latar
belakang KUH Perdata,
hibah dalam KUH
Perdata, penarikan hibah dalam
Pasal 1688 KUH Perdata.
Bab keempat
berisi analisis tinjauan
hukum Islam tentang
penarikan hibah dalam Pasal 1688
KUH Perdata yang meliputi analisis
penarikan hibah dalam Pasal 1688 KUH
Perdata, analisis hukum Islam tentang penarikan hibah dalam Pasal 1688 KUH Perdata.
Bab kelima
merupakan penutup yang
berisi kesimpulan, saran
dan penutup.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi