Kamis, 28 Agustus 2014

Skripsi Syariah: STUDI KOMPARASI TENTANG PENARIKAN HIBAH DALAM PASAL 212 KHI DAN PASAL 1688 KUH PERDATA

BAB I.
PENDAHULUAN .
A.  Latar Belakang Masalah.
Salah  satu  bentuk  taqarrub  kepada  Allah  SWT  dalam  rangka  mempersempit  kesenjangan  sosial  serta  menumbuhkan  rasa  kesetiakawanan  dan  kepedulian  sosial  adalah  hibah  atau  pemberian.  Hibah,  yang  dalam  pengertian umum shadaqah dan hadiah, dilihat dari aspek vertikal (hubungan  antara  manusia  dengan  Tuhan)  memiliki  dimensi  taqarrub,  artinya  ia  dapat  meningkatkan keimanan dan ketakwaan seseorang. Semakin banyak berderma  dan bershadaqah akan semakin memperkuat dan memperkokoh keimanan dan  ketakwaan, inilah aspek vertikal hibah.
 Dilihat  dari  sudut  lain,  hibah  juga  mempunyai  aspek  horisontal  (hubungan antara sesama manusia serta lingkungannya) yaitu dapat berfungsi  sebagai  upaya  mengurangi  kesenjangan  antara  kaum  yang  berpunya  dengan  kaum  yang  tidak  punya,  antara  si  kaya  dan  si  miskin,  serta  me nghilangkan  rasa kecemburuan sosial, inilah aspek horisontal hibah.  Hibah  dalam  bahasa  Arab  berarti  "kebaikan  atau  keutamaan  yang  diberikan oleh suatu pihak kepada pihak yang lain berupa harta atau bukan''.  Seperti  Zakaria  mohon  kepada  Allah  agar  dihibahkan  kepadanya  keturunan  yang baik. Allah SWT, berfirman:  Artinya:   Zakaria berkata (berdo'a): Ya Tuhanku, berilah aku dari  sisi  Engkau  seorang  anak  yang  baik,  sesungguhnya  Engkau  Maha Pendengar do'a (Q.S. Ali Imran: 38)  Secara  bahasa,  dalam  kamus  Al-Munjid,  hibah  berasal  dari  akar  kata  بهو –   بهي –   ةبه  (wahaba-yahabu-hibatan) berarti memberi atau pemberian.
 Dalam  Kamus  al-Munawwir  kata  "hibah"  ini  merupakan  mashdar  dari  kata (ببهو)  yang  berarti pemberian.
 Demikian pula dalam  Kamus Besar Bahasa  Indonesia  berarti  pemberian  dengan  sukarela  dengan  mengalihkan  hak  atas  sesuatu kepada orang lain.
 Dalam hukum perdata Barat disebut schenking.
 Menurut  terminologi,  kata  hibah  dirumuskan  dalam  redaksi  yang  berbeda-beda,  di  antaranya:  menurut  Abu  Bakar  Jabir  al-Jazairi,  hibah  ialah  pemberian oleh orang yang berakal  sempurna dengan  asset yang dimilikinya;  harta atau perabotan yang mubah.
 Menurut Sayyid Sabiq,  hibah  adalah  akad  yang dilakukan dengan maksud memindahkan milik seseorang  kepada orang  lain  ketika  masih  hidup  dan  tanpa  imbalan.
 Dari  kedua  definisi  ini  dapat  disimpulkan  bahwa  hibah  adalah  pemberian  yang  dilakukan  secara  su karela  dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT tanpa mengharap balasan apa pun.
 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Surya Cipta Aksara, 1999, hlm.   Louis  Ma’luf,  al-Munjid  fi  al-Lughah  wa  al-A'lam,  Beirut  Libanon:  Dar  al-Masyriq,  1986, hlm. 920.   Ahmad  Warson  Al-Munawwir,  Kamus  Al-Munawwir  Arab-Indonesia  Terlengkap,  Yogyakarta: Pustaka Progressif, 1997, hlm. 1584   Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm. 398.
 Ilham Gunawan dan Marthus Sahrani,  Kamus Hukum, Jakarta: CV Restu Agung, 2002,  hlm. 4  Abu Bakar Jabir al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, Kairo: Maktabah Dar al-Turas, 2004, hlm.  345.   Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz III, Kairo: Maktabah Dâr al-Turas, tth, hlm. 315   Dalam  prakteknya,  banyak  hibah  yang  dicabut  atau  ditarik  oleh  pemberi  hibah  dengan  berbagai  alasan,  misalnya  si  penerima  hibah  berkelakuan  buruk  atau  memiliki  jiwa  pemboros.  Hal  ini  diketahui  setelah  hibah  itu  diberikan.  Padahal  orang  itu  sebelumnya  menampakkan  kelakuan  baik  namun  kemudian  berubah  seiring  perubahan  waktu.  Sebagai  buktinya  yaitu adanya kasus gugat menggugat di pengadilan antara penghibah dengan  yang  diberi  hibah.  Alasan  penarikan  kembali  hibah  itu  karena  si  penerima  hibah telah menyalahgunakan barang hibah itu.
Dalam  hubungannya  dengan  penarikan  hibah,  bahwa  para  ulama  mazhab  Hanafi  mengatakan,  orang  yang  memberi  hibah  diperkenankan  dan  sah  baginya  mencabut  pemberiannya  setelah  pemberian  itu  diterima  oleh  orang  yang  diberi,  lebih-lebih  sebelum  diterima.  Ulama  mazhab  Maliki  mengatakan,  pihak  pemberi  hibah  tidak  mempunyai  hak  menarik  pemberiannya,  sebab,  hibah  akad  yang  tetap.  Ulama  mazhab  Syafi'i  menerangkan, apabila hibah telah dinilai sempurna dengan adanya penerimaan  dengan  seizin  pemberi  hibah,  atau  pihak  pemberi  hibah  telah  menyerahkan  barang  yang  diberikan,  maka  hibah  yang  demikian  ini  telah  berlangsung.  Ulama  mazhab  Hambali  menegaskan,  orang  yang  memberikan  hibah  diperbolehkan mencabut pemberiannya sebelum pemberian itu diterima.
 Jumhur  ulama  mengatakan  bahwa  pemberi  hibah  tidak  boleh  menarik/mencabut hibahnya dalam keadaan apa pun, kecuali apabila pemberi   Abdurrrahmân  al-Jazirî,  Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, Beirut: Dâr al-Fikr,  1972, Juz III, hlm. 216.    hibah  itu  adalah  ayah  dan  penerima  hibah  adalah  anaknya  sendiri.
 Alasan Jumhur ulama adalah sabda Rasulullah SAW:  Artinya:  Bersumber  dari  Ibnu  Abbas:  "Sesungguhnya  Nabi  saw.  bersabda:  "Orang  yang  meminta  kembali  pemberiannya  itu  sama seperti orang yang menelan kembali air ludahnya. (HR.  Al Bukhari dan Muslim) Dalam  ketentuan  Kitab  Undang-Undang  Hukum  Perdata  tentang  penarikan  hibah  ini  diatur  dalam  ketentuan  pasal  1688,  yang  mana  menurut  pasal ini kemungkinan untuk mencabut atau menarik atas sesuatu hibah yang  diberikan  kepada  orang  lain  ada,  sedangkan  dalam  Pasal  212  Kompilasi  Hukum  Islam  dengan  sangat  tegas  menyatakan  bahwa  hibah  tidak  dapat  ditarik kembali.
Dengan demikian dalam perspektif fiqih dan KHI bahwa hibah tidak  dapat  ditarik,  sedangkan  dalam  KUH  Perdata,  hibah  dapat  ditarik.  Yang  menjadi  masalah  adakah  persamaannya  antara  KHI  dan  KUH  Perdata,  serta  apa yang melatar belakangi perbedaan dari kedua sistem hukum itu dalam hal  penarikan hibah.
Menariknya  tema  ini  untuk  diteliti  adalah  karena  dalam  prakteknya,  banyak pemberi hibah yang menarik hibahnya.  Berdasarkan keterangan di atas   Ibnu Rusyd,  Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid, Juz II, Beirut: Dâr Al-Jiil,  1409 H/1989, hlm. 249.   Muhammad  bin  Ali  bin  Muhammad  Asy  Syaukani,  Nail  al-Autar, Cairo: Dar al-Fikr,  1983, Juz VI, hlm. 196.    mendorong  penulis  memilih judul  ini  dengan  tema:  "Tinjauan  Hukum  Islam  tentang Penarikan Hibah dalam Pasal 1688 KUH Perdata”  B.  Perumusan Masalah Permasalahan  merupakan  upaya  untuk  menyatakan  secara  tersurat  pertanyaan-pertanyaan  apa  saja  yang  ingin  dicarikan  jawabannya.
 Bertitik  tolak pada keterangan itu, maka yang menjadi pokok permasalahan:  1.  Bagaimana ditinjau dari hukum Islam tentang penarikan hibah dalam Pasal  1688 KUH Perdata? 2.  Bagaimana penarikan hibah dalam Pasal 1688 KUH Perdata? C.  Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1.  Untuk  mengetahui  tinjauan  hukum  Islam  tentang  penarikan  hibah  dalam  Pasal 1688 KUH Perdata.
2.  Untuk mengetahui penarikan hibah dalam Pasal 1688 KUH Perdata.
D.  Telaah Pustaka Dalam  penelitian  di  perpustakaan  dijumpai  skripsi  yang  judul  atau  materi  bahasanya  hampir  sama  dengan  penelitian  saat  ini,  dan  ada  beberapa  kepustakaan yang telah membahas masalah hibah. Skripsi yang dimaksud di  antaranya:  Jujun  S.  Suriasumantri,  Filsafat  Ilmu  Sebuah  Pengantar  Populer,  Cet.  7,  Jakarta:  Pustaka Sinar Harapan, 1993, hlm. 312.   Skripsi yang  disusun Amalia Sholikhah  dengan judul:  Analisis  Hukum  Islam tentang Sengketa Tanah Wakaf dan Hibah Aset Yayasan al -Amin Kab.  Blora.  Pada  intinya  penulis  skripsi  ini  menyatakan  status  kepemilikan  tanah  wakaf  dan  hibah  aset  Yayasan  al-Amin  Kab.  Blora  berada  dalam  sengketa  yang  berkepanjangan  antara  keluarga  almarhum  pemberi  wakaf  dan  hibah  dengan  yayasan.  Atas  dasar  ini  maka  ditinjau  dari  hukum  Islam  (fiqih  muamalah) status kepemilikan tanah wakaf aset Yayasan al-Amin Kabupaten  Blora  termasuk  milk  naqish  (pemilikan  tidak  sempurna)  karena  pada  prinsipnya,  wakaf  termasuk  kategori  milk  naqish.  Di  samping  itu  keluarga  almarhum  pemberi  wakaf  juga  berpendapat  bahwa  yayasan  hanya  memiliki  hak memiliki benda itu akibat tidak dipenuhinya syarat al-aqd.  Cara  pemanfaatan  tanah  wakaf  dan  hibah  di  Yayasan  al -Amin  Kabupaten Blora belum didayagunakan secara maksimal. Hal ini disebabkan  oleh beberapa hal: (a) tanah masih dipersengketakan; (b) ada pemahaman di  masyarakat bahwa tanah wakaf itu tidak boleh dialih fungsikan. Pemahaman  ini  dipengaruhi  oleh  adanya  pendapat  mazhab  Syafi'i  yang  tidak  boleh  mengalih fungsikan tanah wakaf.
Skripsi  yang  disusun  Muhammad  Munir  dengan  judul:  Analisis  terhadap Pendapat Imam Syafi’î tentang Hukum Pencabutan Kembali Hibah.  Pada  intinya  penulis  skripsi  ini  menyatakan  bahwa  menurut  Imam  Syafi’i,  hibah  tidak  boleh  dicabut  kembali  manakala  si  penghibah  memberi  hibah  dengan maksud untuk memperkuat silaturahmi atau sebagai sedekah sukarela  tanpa  mengharap  imbalan.  Sedangkan  bila  si  penghibah  membe ri  hibah   dengan maksud mendapat imbalan maka hibah boleh dicabut kembali. Karena  hibah merupakan pemberian yang mempunyai akibat hukum perpindahan hak  milik,  maka  pihak  pemberi  hibah  tidak  boleh  meminta  kembali  harta  yang  sudah dihibahkannya, sebab hal itu bertentangan dengan prinsip-prinsip hibah.
Alasan hukum Imam Syafi’i tentang pencabutan kembali hibah, dapat  ditegaskan bahwa ia menggunakan metode  istinbat  hukum berupa hadis yang  diriwayatkan Imam Malik dalam  Kitab al-Muwatta'.  Hadis tersebut memberi qarinah  (petunjuk) bahwa sesungguhnya orang yang memberi hibah apakah  dalam  bentuk  sedekah  atau  hadiah,  dan  si  penghibah  memberikannya  tanpa  mengharap  imbalan  maka  pemberian  itu tidak  bisa  dicabut  kembali.  Namun  demikian bila si penghibah mengharapkan imbalan maka hibah yang demikian  dapat dicabut kembali, karena hibah yang demikian boleh jadi ada semacam  akad  atau  komitmen  antara  penghibah  dengan  yang  menerima  hibah.  Komitmen itu bisa misalnya penghibah  bersedia memberi, dengan catatan si  penerima hibah memberi imbalan apakah berupa nafkah hidup dan sebagainya Skripsi  yang  disusun  oleh  Abdul  Khamid  dengan  judul:  Analisis  Pendapat Imam Syafi'i tentang Serah Terima Sebagai Syarat Sahnya Hibah.  Penulis  skripsi  ini  menjelaskan  bahwa  menurut  Imam  Syafi'i,  syarat  sahnya  hibah  harus  ada  serah  terima,  tanpa  serah  terima maka  hibah  menjadi  batal.  Pendirian Imam Syafi'i seperti ini didasarkan atas beberapa hadis yang secara  implisit  mengharuskan  hibah  dengan  serah  terima.  Dengan  kata lain metode  istinbath  hukum  yang  di gunakan  Imam  Syafi'i  adalah  beberapa  hadis  di  antaranya:  diriwayatkan  oleh  Al  Bukhari  dalam  "Al  Adabul  Mufrad,  dan   diriwayatkan oleh Abu Ya'la dengan sanad yang bagus. Kemudian hadis yang  diriwayatkan oleh Al Bazzar.  Menurut Imam Syafi'i bahwa serah terima merupakan salah satu syarat  sahnya  hibah;  jika  tidak  ada  serah  terima,  maka  tidak  sahlah  hibah.  Oleh  karenanya,  bila  salah  seorang  pemberi  atau  penerima  hibah  itu  meninggal  sebelum ada timbang terima, maka batallah hibah itu.
Skripsi  yang  disusun  oleh  Dedi  Hermawan  dengan  judul:  "Studi  Analisis Pemikiran Imam Syafi’i Tentang Batalnya Hibah. Pada intinya skripsi  ini memaparkan sebagai berikut: pada dasarnya pemikiran Imam Syafi’i tidak  bertentangan dengan maksud dan tujuan adanya pembatalan hibah, lebih -lebih  lagi bila konsepnya dihubungkan kurun waktu masa itu dan negara di mana ia  berdomisili. Dengan kata lain pemikiran Iman Syafi’i pada waktu itu sangat  sesuai  dengan  kebutuhan  masyarakat  di  negara  di  mana  ia  hidup.  Namun  demikian  jika  pemikirannya  dibandingkan  dengan  kebutuhan  masyarakat  dewasa ini sudah barang tentu tidak relevan lagi, mengingat keadaan geografis  dan  kultur  masa  itu  dengan  masa  kini  jauh  berbeda,  sehingga  sukar  dicari  benang merahnya. Perbedaan itu tampaknya dapat dilihat dari berbagai   aspek,  antara  lain:  keadaan  negara  saat  ini  sudah  demikian  luas  dengan  jumlah  penduduk  yang  relatif  tinggi  baik  dalam  kuantitas  maupun  kualitasnya.  Sementara,  jumlah  penduduk  di  negara  di  mana  Iman  Syafi’i  berdomisili  relatif kecil baik dalam sudut pandang kualitas maupun kuantitasnya. Karena  itu kebutuhan manusia, antara saat itu dengan masa kini jauh berbeda.    Dari  penelitian  di  atas  menunjukkan  bahwa  penelitian  terdahulu  berbeda dengan saat ini karena penelitian terdahulu hanya memfokuskan pada  pendapat  Imam  Syafi'i,  sedangkan  penelitian  yang  hendak  dilakukan  ini  memfokuskan pada  penarikan hibah dalam Pasal 1688 KUH Perdata ditinjau  dari perspektif hukum Islam.  E.  Metode Penelitian Metodologi  penelitian  bermakna  seperangkat  pengetahuan  tentang  langkah-langkah  sistematis  dan  logis  tentang  pencarian  data  yang  berkenaan  dengan  masalah  tertentu  untuk  diolah,  dianalisis,  diambil  kesimpulan  dan  selanjutnya  dicarikan  cara  pemecahannya.  Dalam  versi  lain  dirumuskan,  metode  penelitian  adalah  cara  yang  dipakai  dalam  mengumpulkan  data,  sedangkan instrumen adalah alat bantu yang digunakan dalam mengumpulkan  data  itu,  maka  metode  penelitian  skripsi  ini  dapat  dijelaskan  sebagai  berikut:  1.  Jenis Penelitian Penulisan  ini  menggunakan  jenis  penelitian  kepustakaan  yaitu  penelitian terhadap naskah dokumen yang ada dalam perundang-undangan  atau dokumen lainnya dalam hal ini literatur yang relevan.
 Suharsimi  Arikunto,  Prosedur  Penelitian  Suatu  Pendekatan  Praktek,  Jakarta:  PT  Rineka Cipta, 2002, hlm. 194.   Menurut Hadari Nawawi, metode penelitian atau metodologi research adalah ilmu yang  memperbincangkan  tentang  metode-metode  ilmiah  dalam  menggali  kebenaran  pengetahuan.  Hadari  Nawawi,  Metode  Penelitian  Bidang  Sosial,  Yogyakarta:  Gajah  Mada  University  Press,  1991, hlm. 24.   2.  Sumber Data  a.  Data Primer, yaitu Kompilasi Hukum Islam dan Kitab Undang-undang  Hukum Perdata .   b.  Data Sekunder, yaitu literatur lainnya yang mendukung data primer, di  antaranya:  Kompilasi  Hukum  Islam,  Imam  Taqi  al-Din,  Kifâyah  Al  Akhyâr; Ibnu Rusyd,  Bidâyah al Mujtahid Wa Nihâyah al Muqtasid; Abd Arrahmân al-Jazirî, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah.  3.  Teknik Pengumpulan Data Teknik  pengumpulan  data  berupa  teknik  studi  dokumentasi  atau  studi  dokumenter  yaitu  dengan  meneliti  sejumlah  kepustakaan  (library  research),  kemudian  memilah-milahnya  dengan  memprioritaskan  sumber  bacaan  yang  memiliki  nilai  aktual  dan  kualitas,  baik  dari  aspek  isinya  maupun  otoritas  pengarangnya.  Untuk  itu  digunakan  data  kepustakaan  yang berkaitan dengan masalah penarikan hibah.
4.  Metode Analisis Data Dalam  penyusunan  skripsi  ini,  peneliti  menggunakan  metode  deskriptif  analitis  yakni  menggambarkan  dan  menganalisis  penarikan  hibah  dalam  Pasal  1688  KUH  Perdata  ditinjau  dari  perspektif  hukum  Islam.  Alasan  digunakannya  metode  analisis  ini  karena  penelitian  ditujukan  pada  sejumlah  kepustakaan  yang  relevan  dengan  tema  skripsi   Menurut  Suharsimi  Arikunto,  metode  dokumentasi.  yaitu  mencari  data  mengenai  halhal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,  lengger,  agenda,  dan  sebagainya.  Suharsimi  Arikunto,  Prosedur  Penelitian  Suatu  Pendekatan  Praktek, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002, hlm. 206.     ini.  F.  Sistematika Penulisan Sistematika  penulisan  skripsi  ini  terdiri  dari  lima  bab  yang  masingmasing  menampakkan  titik  berat  yang  berbeda,  namun  dalam  satu  kesatuan  yang saling mendukung dan melengkapi.
Bab  pertama  berisi  pendahuluan,  merupakan  gambaran  umum  secara  global namun integral komprehensif dengan memuat: latar belakang masalah,  permasalahan,  tujuan  penelitian,  telaah  pustaka,  metode  penelitian  dan  sistematika Penulisan.
Bab kedua berisi  hibah dalam Pasal 212 kompilasi  hukum Islam  yang  meliputi  hibah  dalam  hukum  Islam  (definisi  hibah,  syarat  dan  rukun  hibah,  macam-macam  hibah),  hibah  dalam  pasal  212  kompilasi  hukum  Islam (pengertian  kompilasi  hukum  Islam,  latar  belakang  penyusunan  kompilasi  hukum Islam, hibah dalam pasal 212 kompilasi hukum Islam).  Bab ketiga berisi  hibah dalam Pasal 1688 KUH Perdata  yang meliputi  latar  belakang  KUH  Perdata,  hibah  dalam  KUH  Perdata,  penarikan  hibah  dalam Pasal 1688 KUH Perdata.
Bab  keempat  berisi  analisis  tinjauan  hukum  Islam  tentang  penarikan  hibah dalam Pasal 1688 KUH Perdata  yang meliputi analisis penarikan hibah  dalam Pasal 1688 KUH Perdata, analisis hukum Islam tentang penarikan hibah  dalam Pasal 1688 KUH Perdata.

Bab  kelima  merupakan  penutup  yang  berisi  kesimpulan,  saran  dan  penutup.  

Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi