BAB I.
PENDAHULUAN.
A. LATAR BELAKANG MASALAH.
Sunnah merupakan sumber nilai
yang hingga kini masih menjadi pembahasan hangat. Terutama dalam posisinya untuk turut
menjadi sumber pertimbangan dalam pengambilan hukum
Islam. Seperti halnya
yang telah diwasiatkan
oleh Rasūlullah SAW
“Telah kutinggalkan pada
kalian dua perkara
yang selamanya kalian
tidak akan tersesat selama kalian
berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya”.
Memang dalam
perkara ijtiha>d dalam
Islam, Rasūlullah SAW telah
memberikan pandangannya
ketika suatu hari
Rasūlullah SAW bertanya
kepada Mu„adz bin Jabal yang
diutus Nabi untuk menjadi penguasa di Yaman. Nabi berkata: “Bagaimana anda mengambil keputusan jika
kepada anda dihadapkan kepada suatu persoalan?” Mu„adz
menjawab: “Saya memutuskan
berdasarkan apa yang
ada dalam al-Qur’a>n‛. Nabi
bertanya, “Seandainya anda
tidak menemukan pemecahannya
dalam al-Qur’a>n ?‛
Mu„adz menjawab: “Saya
memutuskan berdasarkan Sunnah”.
Kemudian Nabi bertanya
lagi: “Seandainya dalam
Sunnah tidak ditemukan
pemecahannya?”. Mu„adz menjawab: “Saya
mengamalkan ijtiha>d dengan ra‟yu dan saya tidak akan membiarkan
persoalan itu”. Rasūlullah kemudian menepuk
dadaku dan berkata:
“Segala puji bagi
Allah yang telah
memberikan taufi>q-Nya kepada
utusan Rasūlullah dengan hal yang melegakan hati Rasūlullah‛.
Walaupun Sunnah sudah sedemikian terpetakan menjadi sumber
hukum yang kedua setelah
al-Qur’a>n, namun dalam
perkembangannya masih menuai
pro dan kontra
di dalam memahaminya.
Ini disebabkan dari
perjalanan sejarahnya, bahwa pernah ada
pemalsuan Sunnah secara
besar-besaran, telah umum
diakui baik oleh sarjana
Muslim maupun Barat. Selain itu, keberadaan dan bahaya pemalsuan itu telah diketahui
dengan baik sejak
hampir masa-masa dini
Islam. Pada mulanya
Sunnah mungkin sudah cukup murni. Kebanyakan sahabat adalah orang yang
mengenal Nabi secara dekat dan pada
tataran psikologis dari kepercayaan terhadap
pandangan Nabi boleh jadi
membuat orang yakin,
walaupun pada kenyataannya
dia sendiri yang memutuskan, sehingga
orang yang berpikiran
jujur dengan mudah
mengambilnya tanpa menyadari
bahwa telah terjadi percampuran antara pendapat dan fakta. Begit u waktu
berlalu, banyak tradisi
yang terang-terangan mencoba
membaca kembali kontroversi-kontroversi yang
muncul ke dalam
periode paling awal
tersebut, dari mana petunjuk harus dicari.
Untuk itulah dalam hal pembatasan definisi
mengenai Sunnah ini,
Imam Syafi‟i kemudian
mengartikan Sunnah secara
khusus yakni Sunnah Rasul. Secara eksplisit, Imam Syafi‟i
menyatakan: طقف ىهسٔ ّيهع للها
ىهص للها لٕسر ةُس
لٔبُتي ةُسنا قهطي Artinya: “Konsep Sunnah hanya mencakup Sunnah
Rasūlullah SAW.” Sementara menurut
Azami, kata Sunnah
telah digunakan Nabi
SAW untuk menunjuk
arti tata cara.
Sunnah
juga berarti teladan
kehidupan, sehingga Sunnah
Abdullah Ahmed An-Na‟im, Toward an Islamic Reformation Civil Liberties,
Human Rights and International Law,
terj. Dekonstruksi Syariah, Wacana
Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan International
Dalam Islam, Terj.
Ahmad Suaedy dan
Amirudin ar-Rany, Yogyakarta; LKiS, 2001, h.
Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah:
Implikasinya pada perkembangan Hukum Islam, Semarang : Aneka Ilmu, 2000, h. 37 Nabi
berarti teladan beliau.
Kata sandang لا terkadang
ditambahkan dalam kata Sunnah untuk menunjukkan Sunnah
Nabi secara khusus. Kemudian, di
penghujung abad ke-2 H, kata Sunnah
mulai diartikan sebagai norma yang dicetuskan Nabi atau norma yang disimpulkan dari ketentuan yang
telah digariskan oleh Nabi.
Kemudian
Rasyi>d Rid}a, ketika
menafsirkan ittibā‘ (keharusan
mencontoh perilaku Nabi SAW)
dalam QS. Al-A„raf (7): 158, membagi perilaku Nabi menjadi dua
macam: (1) perilaku
Nabi yang termasuk
dalam kategori undang-undang, bisa jadi
dalam bentuk ibadah yang diperintahkan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah
SWT dan bisa
jadi dalam bentuk
yang tidak baik
(mafsadah) yang dilarang karena
khawatir akan berakibat
buruk bagi agama;
(2) perilaku Nabi
yang tidak termasuk dalam kategori undang-undang yang
harus dilaksanakan atau dijauhi.
Menurut
Rahman dalam bukunya
“Islam” dengan mengutip
pendapat Goldziher, bahwa
kandungan konsep Sunnah bagi kaum Muslimin berubah menjadi model
perilaku Nabi, yakni
norma-norma praktis yang
ditarik dari ucapan-ucapan dan
tindakan-tindakan Nabi yang
diwartakan. Disini Goldziher
mendefinisikan Sunnah sebagai praktek yang hidup yang aktual
(berlawanan dengan yang normatif) dari
masyarakat Muslim awal.
Jadi
menurut Rahman sendiri
dalam bukunya mengatakan,
bahwa Sunnah adalah informasi
tentang apa yang
dikatakan Nabi, dilakukan,
dan disetujui oleh beliau, juga
informasi yang sama
mengenai para sahabat,
terutama sahabat senior, Muhammad Mustafa Azami, Hadits Nabawi dan
Sejarah Kodifikasinya, Terj. Ali Mustafa Ya‟qub, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994, h.
Muhammad Mustafa Azami,
Metodologi Kritik Hadits, Terj. A. Yamin Jakarta : Pustaka Hidayah, 1992, h. 20- Muh}ammad
Rasyid Rid}a, Tafsir
al-Qur’ān al-Haki>m (Tafsi>r
al-Mana>r), jilid IX
(tanpa tempat : Dar al-Fikr,
tanpa tahun), h. 303-304.
Fazlur Rahman, Islam, Terj. Ahsin Mohammad,
Bandung : Penerbit Pustaka, 1994, h. 53 dan lebih khusus lagi, mengenai keempat
khalifah yang pertama.
Dengan pemikiran tersebut, Rahman membagi konsepnya menjadi
dua, yakni; Sunnah Nabi sendiri dan Sunnah
yang hidup.
Selanjutnya
Yu>suf al-Qord{owi dalam bukunya yang mengutip dari
pendapatpendapat ulama yang
berbeda dalam memahami
konsep Sunnah ini,
diantaranya seperti halnya
pertama, Ibnu Qutaibah
(wafat 276 H)
berpendapat dalam kitabnya ta’wi>l
mukhtala>f al-h}adis\ membagi
Sunnah menjadi 3
macam: (1) Sunnah
yang disampaikan Jibril
„Alaihis Salam dari
Allah SWT, (2)
Sunnah dimana Nabi diizinkan oleh
Allah untuk menetapkannya
sendiri dengan menggunakan pendapatnya, sehingga beliau bisa memberikan
keringanan hukum kepada siapa saja yang
beliau kehendaki sesuai dengan alasan
hukum dan ‘ud}ur tertentu, (3)
Sunnah yang Nabi SAW tetapkan sebagai pelajaran etika bagi kita. Jika
kita melaksanakan Sunnah itu
maka kita mendapatkan
keutamaannya, namun jika
tidak melaksanakannya kitapun
tidak berdosa. Kedua,
Menurut Imam Waliyullah
AlDah}lawi> beliau menjelaskan perbedaan Sunnah untuk tashri‘
(penetapan hukum yang mengikat) dan
bukan untuk tashri‘.
Pendapat beliau mengenai
Sunnah yang untuk tashri‘
didasarkan atas pemahaman beliau terhadap surat al-H}ashr ayat 7. Sedangkan Sunnah
yang bukan untuk
tashri‘ terbagi atas
ilmu pengetahuan, Syari„ah
dan ketentuan tentang ibadah
serta akad transaksi, kebijaksanaan dan kemaslahatan yang bersifat
umum, amal yang
utama dan keutamaan
orang yang beramal.
Dengan didasarkan atas
h}adis\ riwayat Muslim
“Aku hanyalah manusia,
apabila aku memerintahkan sesuatu mengenai agama kalian,
maka pegangilah perintah itu, dan Ibid,
h.
Ibid, h. 72 apabila
aku memerintahkan sesuatu
mengenai pendapatku pribadi,
maka aku hanyalah manusia”. Ketiga,
Syeih} Shalthu>t membagi
Sunnah menjadi 3; (1) Sunnah dalam konteks
hajat hidup manusia,
(2) Sunnah yang
merupakan hasil eksperimen dan
kebiasaan individual/ sosial,
(3) Sunnah dalam
konteks manajemen manusia dalam mengantisipasi kondisi tertentu.
Namun yang jelas dari berbagai pemahaman
mengenai Sunnah ini, menurut Al-Qard}awi>, Sunnah
Nabi yang dikemukakannya paling
tidak memiliki 3 karakteristik, yaitu
komprehensif (shummul), seimbang
(mutawazzun), dan memudahkan
(metode muyassar). Ketiga
karakteristik ini akan
mendatangkan pemahaman yang utuh
terhadap suatu h}adis\.
Atas dasar
inilah maka Al-Qard}awi>, menetapkan
tiga hal juga
yang harus dihindari
dalam berinteraksi dengan
Sunnah, yaitu pertama,
penyimpangan kaum ekstrim, kedua, manipulasi orang-orang
sesat, (Intih}al al-Mubt}ili>n), yaitu pemalsuan terhadap
ajaran-ajaran Islam, dengan
membuat berbagai macam
bid„ah yang jelas bertentangan
dengan akidah dan Syari„ah, dan ketiga, penafsiran orang-orang bodoh (ta’wil
al-ja>hili>n). Oleh sebab
itu, pemahaman yang
tepat terhadap Sunnah
adalah mengambil sikap
moderat (wasat}iya> ),
yaitu tidak berlebihan
atau ekstrim, tidak menjadi
kelompok sesat, dan tidak menjadi kelompok yang bodoh.
Namun seiring dengan perkembangan
zaman dan bertumbuhnya pemikiranpemikiran
baru atas pendapat
mereka terhadap Sunnah,
seperti pemikiran yang Yusu>f Qard}owi,
al-Sunnah Masdaran Lil-Ma’rifah
wal H}ad}arah, Terj.
As-Sunah sebagai Sumber Iptek dan Peradaban, Jakarta; Pustaka
al-Kautsar, 1998, h. 22 dimunculkan
oleh Hadzairin mengatakan bahwa Sunnah
yang menurutnya menerima kemungkinan
untuk digugat bagi hasil ketetapan ijtiha>d -nya .
Khali>d
Abu> al Fad}l
dalam pembahasan Sunnah
juga membangun konsep otoritas
dalam Islam dengan
doktrin Kedaulatan Tuhan
dan Kehendak Tuhan.
Kehendak Tuhan dijelaskan melalui
Kalam-Nya yang telah tertulis. Demikian
juga Nabi sebagai
pemegang otoritas kedua
setelah Tuhan, setelah
wafat meninggalkan tradisinya
(Sunnah) yang telah
terkodifikasi. Pada konteks
ini telah terjadi
proses pengalihan suara
Tuhan dan Nabi
pada teks-teks yang
tertulis dalam al-Quran (mus}h}af)
dan kitab-kitab Sunnah.
Pertama berkaitan dengan
kompetensi (autentisitas). Kedua,
berkaitan dengan penetapan
makna. Ketiga berkaitan
dengan perwakilan. Tiga pokok
persoalan menjadi tiga kunci bagi Khali>d untuk memisahkan diskursus yang otoritatif dan yang otoriter
dalam Islam.
Dalam pandangan
yang masih bias
mengenai perbedaan pendapat
Sunnah tersebut, penulis merasa sangat tertarik untuk membahas seorang
tokoh kontemporer Muh}ammad Syah}ru>r
yang memiliki pandangan
sendiri mengenai Sunnah.
Yang berangkat dari
sebuah analisanya mengenai
pembacaannya terhadap Sunnah,
yang apakah Sunnah
termasuk wahyu ataukah
ijtiha>d dari Rasūlullah
SAW? Dari sini, sebagian pihak
berpendapat bahwa seluruh
yang berasal dari
Nabi adalah wahyu, berdasarkan
firman Allah: “Dan
tidaklah yang diucapkannya
itu (al-Qur’a>n) menurut
keinginannya. Tidak lain
(Al-Qur’a>n itu) adalah
wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”
(QS. Al-Najm: 3-4). Akan tetapi dalam pembacaan ulang Muh}ammad Syah}ru>r
terhadap firman Allah
tersebut mengatakan bahwa
dengan mendasarkan Ibid, 223 pendapat
dengan ayat tersebut
adalah tidak tepat
sama sekali karena
kata ganti “huwa”
tidak merujuk kepada Nabi SAW,
tetapi secara jelas merujuk kepada Kitab yang diturunkan kepada Nabi. Kata ganti
huwa sama sekali tidak terkait dengan
kata ganti dalam
kata kerja ‘yant}iqu’
yang memang merujuk
kepada Nabi SAW, mengingat
bahwa salah satu sifat dasar.
Nabi Muh}ammad
SAW tidak pernah
memasukkan unsur hawa
nafsu (keinginannya sendiri) dalam hukum, putusan, perkataan, dan
perbuatannya. Meski peran kenabian
yang diembannya telah
mengantarkan beliau pada
derajat yang tinggi,
namun bagaimanapun juga
tidak dapat dinyatakan
bahwa seluruh perkataan dan perbuatan beliau termasuk bagian dari
Wahyu.
Pemahaman
Sunnah menurutnya adalah
merujuk kepada kehidupan Muh}ammad
sebagai Nabi yang
hidup di bumi
Arab dengan segala
tantangan yang ada, yakni politik, budaya, dan sosial.
Kalaupun sebagian sahabat menganggap yang disampaikan Nabi sebagai wahyu, namun Nabi
tidak terpengaruh dengan semua itu.
Nabi-pun tidak
pernah menyuruh agar
pernyataannya ditulis. Anggapan
sebagian bahwa penyebab
Nabi tidak membukukan
pernyataannya (h}adis\) karena
takut bercampur dengan
al-Qur’a>n itu sendiri.
Disamping itu karena
dalam al-Qur’a>n sudah sangat jelas, bahwa ‚Inna nah}nu
nazzalna> al-z\ikra wa inna lahu lah}afiz}u>n yang artinya
“Kami [Tuhan] telah
menurunkan al-Qur’a>n dan
akan menjaganya”.
Penyebab sebenarnya
adalah karena Nabi
dan para sahabatnya
mengetahui bahwa yang
dilakukan Nabi merupakan
interaksi pertama dengan
realita, bukan interaksi Muh}ammad Shah}ru>r, Al-Kita>b wa al-Qur’a<n
: Qira’ah Mu’a>s}irah,
Damaskus, al-Ahali, h.
545 terakhir. Nabi mengajarkan umatnya bagaimana
melakukan ijtiha>d. Dan ajaran inilah yang kemudian diteladani oleh „Umar.
Selanjutnya, atas
dasar bahwa segala
tindakan dan keputusan
Nabi SAW tidak selalu berasal dari wahyu, tetapi ada
juga yang merupakan ijtiha>d beliau, maka Syah}ru>r membagi Sunnah menjadi dua, Sunnah al-risala>h dan Sunnah al-nubuwwah.
Sunnah al-risala>h berbicara tentang ibadah, akhlak, dan hukum,
sedangkan Sunnah al-nubuwwah berisi ilmu.
Kategorisasi terhadap Sunnah ini berimplikasi
pada pembedaan ketaatan yang harus
diberikan oleh manusia kepada Nabi SAW
menjadi dua, yaitu ketaatan yang abadi (al-t}a‘ah
al-muttas}ilah) dan ketaatan
yang dituntut ketika
Nabi SAW masih hidup (al-t}a‘ah al-munfas}ilah). Model ketaatan pertama berlaku bagi semua
perintah Nabi SAW
yang berkaitan dengan
hukum, ibadah, dan
akhlaq, sedang model ketaatan kedua
yang berlaku berisi
tentang kebiasaan Nabi
SAW sehari-hari serta ketentuan
hukum yang bersifat lokal.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi