Jumat, 22 Agustus 2014

Skripsi Syariah: STUDI PEMIKIRAN KONSEP SUNNAH MENURUT MUHAMMAD SYAHRUR SEBAGAI METODE ISTINBATH HUKUM ISLAM

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  LATAR BELAKANG MASALAH.
Sunnah merupakan sumber nilai yang hingga kini masih menjadi pembahasan  hangat. Terutama dalam posisinya untuk turut menjadi sumber pertimbangan dalam  pengambilan  hukum  Islam.  Seperti  halnya  yang  telah  diwasiatkan  oleh  Rasūlullah  SAW  “Telah  kutinggalkan  pada  kalian  dua  perkara  yang  selamanya  kalian  tidak  akan tersesat selama kalian berpegang teguh pada keduanya, yaitu Kitab Allah dan  Sunnah Rasul-Nya”.

Memang  dalam  perkara  ijtiha>d  dalam  Islam,  Rasūlullah  SAW  telah  memberikan  pandangannya  ketika  suatu  hari  Rasūlullah  SAW  bertanya  kepada  Mu„adz bin Jabal yang diutus Nabi untuk menjadi penguasa di Yaman. Nabi berkata:  “Bagaimana anda mengambil keputusan jika kepada anda dihadapkan kepada suatu  persoalan?”  Mu„adz  menjawab:  “Saya  memutuskan  berdasarkan  apa  yang  ada  dalam  al-Qur’a>n‛.  Nabi  bertanya,  “Seandainya  anda  tidak  menemukan  pemecahannya  dalam  al-Qur’a>n  ?‛  Mu„adz  menjawab:  “Saya  memutuskan  berdasarkan  Sunnah”.  Kemudian  Nabi  bertanya  lagi:  “Seandainya  dalam  Sunnah  tidak ditemukan pemecahannya?”. Mu„adz menjawab:  “Saya mengamalkan  ijtiha>d  dengan ra‟yu dan saya tidak akan membiarkan persoalan itu”.  Rasūlullah kemudian  menepuk  dadaku  dan  berkata:  “Segala  puji  bagi  Allah  yang  telah  memberikan  taufi>q-Nya kepada utusan Rasūlullah dengan hal yang melegakan hati Rasūlullah‛.
 Walaupun Sunnah  sudah sedemikian terpetakan menjadi sumber hukum yang  kedua  setelah  al-Qur’a>n,  namun  dalam  perkembangannya  masih  menuai  pro  dan  kontra  di  dalam  memahaminya.  Ini  disebabkan  dari  perjalanan  sejarahnya,  bahwa  pernah  ada  pemalsuan  Sunnah  secara  besar-besaran,  telah  umum  diakui  baik  oleh  sarjana Muslim maupun Barat. Selain itu, keberadaan dan bahaya pemalsuan itu telah  diketahui  dengan  baik  sejak  hampir  masa-masa  dini  Islam.  Pada  mulanya  Sunnah mungkin sudah cukup murni. Kebanyakan sahabat adalah orang yang mengenal Nabi  secara dekat dan pada tataran psikologis dari kepercayaan  terhadap pandangan Nabi  boleh  jadi  membuat  orang  yakin,  walaupun  pada  kenyataannya  dia  sendiri  yang  memutuskan,  sehingga  orang  yang  berpikiran  jujur  dengan  mudah  mengambilnya  tanpa menyadari bahwa telah terjadi percampuran antara pendapat dan fakta. Begit u  waktu  berlalu,  banyak  tradisi  yang  terang-terangan  mencoba  membaca  kembali  kontroversi-kontroversi  yang  muncul  ke  dalam  periode  paling  awal  tersebut,  dari  mana petunjuk harus dicari.
 Untuk itulah dalam hal pembatasan definisi mengenai  Sunnah  ini,  Imam  Syafi‟i  kemudian  mengartikan  Sunnah  secara  khusus  yakni  Sunnah Rasul. Secara eksplisit, Imam Syafi‟i menyatakan: طقف ىهسٔ ّيهع للها ىهص للها لٕسر ةُس لٔبُتي ةُسنا قهطي Artinya: “Konsep Sunnah hanya mencakup Sunnah Rasūlullah SAW.”  Sementara  menurut  Azami,  kata  Sunnah  telah  digunakan  Nabi  SAW  untuk  menunjuk  arti  tata  cara.
 Sunnah  juga  berarti  teladan  kehidupan,  sehingga  Sunnah  Abdullah Ahmed An-Na‟im, Toward an Islamic Reformation Civil Liberties, Human Rights  and International Law, terj.  Dekonstruksi Syariah, Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan  Hubungan  International  Dalam  Islam,  Terj.  Ahmad  Suaedy  dan  Amirudin  ar-Rany,  Yogyakarta;  LKiS, 2001, h.
 Musahadi HAM, Evolusi Konsep Sunnah: Implikasinya pada perkembangan Hukum Islam,  Semarang : Aneka Ilmu, 2000, h. 37   Nabi  berarti  teladan  beliau.  Kata  sandang   لا   terkadang  ditambahkan  dalam  kata  Sunnah  untuk menunjukkan  Sunnah  Nabi secara khusus.  Kemudian, di penghujung  abad ke-2 H, kata  Sunnah  mulai diartikan sebagai norma yang dicetuskan Nabi atau  norma yang disimpulkan dari ketentuan yang telah digariskan oleh Nabi.
 Kemudian  Rasyi>d  Rid}a,  ketika  menafsirkan  ittibā‘  (keharusan  mencontoh  perilaku Nabi SAW) dalam QS. Al-A„raf (7): 158, membagi perilaku Nabi menjadi  dua  macam:  (1)  perilaku  Nabi  yang  termasuk  dalam  kategori  undang-undang,  bisa  jadi dalam bentuk ibadah yang diperintahkan dalam rangka mendekatkan diri kepada  Allah  SWT  dan  bisa  jadi  dalam  bentuk  yang  tidak  baik  (mafsadah)  yang  dilarang  karena  khawatir  akan  berakibat  buruk  bagi  agama;  (2)  perilaku  Nabi  yang  tidak  termasuk dalam kategori undang-undang yang harus dilaksanakan atau dijauhi.
 Menurut  Rahman  dalam  bukunya  “Islam”  dengan  mengutip  pendapat  Goldziher, bahwa kandungan konsep  Sunnah  bagi kaum Muslimin berubah menjadi  model  perilaku  Nabi,  yakni  norma-norma  praktis  yang  ditarik  dari  ucapan-ucapan  dan  tindakan-tindakan  Nabi  yang  diwartakan.  Disini  Goldziher  mendefinisikan  Sunnah  sebagai praktek yang hidup yang aktual (berlawanan dengan yang normatif)  dari masyarakat Muslim awal.
 Jadi  menurut  Rahman  sendiri  dalam  bukunya  mengatakan,  bahwa  Sunnah adalah  informasi  tentang  apa  yang  dikatakan  Nabi,  dilakukan,  dan  disetujui  oleh  beliau,  juga  informasi  yang  sama  mengenai  para  sahabat,  terutama  sahabat  senior,   Muhammad Mustafa Azami, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Terj. Ali Mustafa  Ya‟qub, Jakarta : Pustaka Firdaus, 1994, h.
 Muhammad Mustafa  Azami,  Metodologi Kritik Hadits, Terj. A. Yamin Jakarta : Pustaka  Hidayah, 1992, h. 20-  Muh}ammad  Rasyid  Rid}a,  Tafsir  al-Qur’ān  al-Haki>m  (Tafsi>r  al-Mana>r),  jilid  IX  (tanpa  tempat : Dar al-Fikr, tanpa tahun), h. 303-304.
 Fazlur Rahman, Islam, Terj. Ahsin Mohammad, Bandung : Penerbit Pustaka, 1994, h. 53    dan lebih khusus lagi, mengenai keempat khalifah yang pertama.
 Dengan pemikiran  tersebut, Rahman membagi konsepnya menjadi dua, yakni; Sunnah Nabi sendiri dan  Sunnah yang hidup.
 Selanjutnya  Yu>suf al-Qord{owi dalam bukunya yang mengutip dari pendapatpendapat  ulama  yang  berbeda  dalam  memahami  konsep  Sunnah  ini,  diantaranya  seperti  halnya  pertama,  Ibnu  Qutaibah  (wafat  276  H)  berpendapat  dalam  kitabnya  ta’wi>l  mukhtala>f  al-h}adis\  membagi  Sunnah  menjadi  3  macam:  (1)  Sunnah  yang  disampaikan  Jibril  „Alaihis  Salam  dari  Allah  SWT,  (2)  Sunnah  dimana  Nabi  diizinkan  oleh  Allah  untuk  menetapkannya  sendiri  dengan  menggunakan  pendapatnya, sehingga beliau bisa memberikan keringanan hukum kepada siapa saja  yang beliau kehendaki sesuai dengan  alasan hukum dan  ‘ud}ur  tertentu, (3)  Sunnah yang Nabi SAW tetapkan sebagai pelajaran etika bagi kita. Jika kita melaksanakan  Sunnah  itu  maka  kita  mendapatkan  keutamaannya,  namun  jika  tidak  melaksanakannya  kitapun  tidak  berdosa.  Kedua,  Menurut  Imam  Waliyullah  AlDah}lawi> beliau menjelaskan perbedaan Sunnah untuk tashri‘ (penetapan hukum yang  mengikat)  dan  bukan  untuk  tashri‘.  Pendapat  beliau  mengenai  Sunnah  yang  untuk  tashri‘ didasarkan atas pemahaman beliau terhadap surat al-H}ashr ayat 7. Sedangkan  Sunnah  yang  bukan  untuk  tashri‘  terbagi  atas  ilmu  pengetahuan,  Syari„ah  dan  ketentuan tentang ibadah serta akad transaksi, kebijaksanaan dan kemaslahatan yang  bersifat  umum,  amal  yang  utama  dan  keutamaan  orang  yang  beramal.  Dengan  didasarkan  atas  h}adis\  riwayat  Muslim  “Aku  hanyalah  manusia,  apabila  aku  memerintahkan sesuatu mengenai agama kalian, maka pegangilah perintah itu, dan   Ibid, h.
 Ibid, h. 72   apabila  aku  memerintahkan  sesuatu  mengenai  pendapatku  pribadi,  maka  aku  hanyalah manusia”.  Ketiga,  Syeih}  Shalthu>t membagi Sunnah  menjadi 3; (1) Sunnah dalam  konteks  hajat  hidup  manusia,  (2)  Sunnah  yang  merupakan  hasil  eksperimen  dan  kebiasaan  individual/  sosial,  (3)  Sunnah  dalam  konteks  manajemen  manusia  dalam mengantisipasi kondisi tertentu.
 Namun yang jelas dari berbagai pemahaman mengenai  Sunnah  ini, menurut Al-Qard}awi>,  Sunnah  Nabi  yang  dikemukakannya  paling  tidak  memiliki  3  karakteristik,  yaitu  komprehensif  (shummul),  seimbang  (mutawazzun),  dan  memudahkan  (metode  muyassar).  Ketiga  karakteristik  ini  akan  mendatangkan  pemahaman yang utuh terhadap suatu h}adis\.
Atas  dasar  inilah  maka  Al-Qard}awi>,   menetapkan  tiga  hal  juga  yang  harus  dihindari  dalam  berinteraksi  dengan  Sunnah,  yaitu  pertama,  penyimpangan  kaum  ekstrim, kedua, manipulasi orang-orang sesat,  (Intih}al al-Mubt}ili>n),  yaitu pemalsuan  terhadap  ajaran-ajaran  Islam,  dengan  membuat  berbagai  macam  bid„ah  yang  jelas  bertentangan dengan akidah dan Syari„ah, dan ketiga, penafsiran orang-orang bodoh  (ta’wil  al-ja>hili>n).  Oleh  sebab  itu,  pemahaman  yang  tepat  terhadap  Sunnah  adalah  mengambil  sikap  moderat  (wasat}iya>  ),  yaitu  tidak  berlebihan  atau  ekstrim,  tidak  menjadi kelompok sesat, dan tidak menjadi kelompok yang bodoh.
Namun seiring dengan perkembangan zaman dan bertumbuhnya pemikiranpemikiran  baru  atas  pendapat  mereka  terhadap  Sunnah,  seperti  pemikiran  yang   Yusu>f  Qard}owi,  al-Sunnah  Masdaran  Lil-Ma’rifah  wal  H}ad}arah,  Terj.  As-Sunah  sebagai  Sumber Iptek dan Peradaban, Jakarta; Pustaka al-Kautsar, 1998, h. 22   dimunculkan oleh Hadzairin mengatakan bahwa Sunnah  yang menurutnya menerima  kemungkinan untuk digugat bagi hasil ketetapan ijtiha>d -nya .
 Khali>d  Abu>  al  Fad}l  dalam  pembahasan  Sunnah  juga  membangun  konsep  otoritas  dalam  Islam  dengan  doktrin  Kedaulatan  Tuhan  dan  Kehendak  Tuhan.
Kehendak Tuhan dijelaskan melalui Kalam-Nya  yang telah tertulis. Demikian juga  Nabi  sebagai  pemegang  otoritas  kedua  setelah  Tuhan,  setelah  wafat  meninggalkan  tradisinya  (Sunnah)  yang  telah  terkodifikasi.  Pada  konteks  ini  telah  terjadi  proses  pengalihan  suara  Tuhan  dan  Nabi  pada  teks-teks  yang  tertulis  dalam  al-Quran  (mus}h}af)  dan  kitab-kitab  Sunnah.  Pertama  berkaitan  dengan  kompetensi  (autentisitas).  Kedua,  berkaitan  dengan  penetapan  makna.  Ketiga  berkaitan  dengan  perwakilan. Tiga pokok persoalan menjadi tiga kunci bagi Khali>d untuk memisahkan  diskursus yang otoritatif dan yang otoriter dalam Islam.
Dalam  pandangan  yang  masih  bias  mengenai  perbedaan  pendapat  Sunnah tersebut, penulis merasa sangat tertarik untuk membahas seorang tokoh kontemporer  Muh}ammad  Syah}ru>r  yang  memiliki  pandangan  sendiri  mengenai  Sunnah.  Yang  berangkat  dari  sebuah  analisanya  mengenai  pembacaannya  terhadap  Sunnah,  yang  apakah  Sunnah  termasuk  wahyu  ataukah  ijtiha>d  dari  Rasūlullah  SAW?  Dari  sini,  sebagian  pihak  berpendapat  bahwa  seluruh  yang  berasal  dari  Nabi  adalah  wahyu,  berdasarkan  firman  Allah:  “Dan  tidaklah  yang  diucapkannya  itu  (al-Qur’a>n)  menurut  keinginannya.  Tidak  lain  (Al-Qur’a>n  itu)  adalah  wahyu  yang  diwahyukan  (kepadanya)”  (QS. Al-Najm: 3-4). Akan tetapi dalam pembacaan ulang  Muh}ammad  Syah}ru>r  terhadap  firman  Allah  tersebut  mengatakan  bahwa  dengan  mendasarkan   Ibid, 223   pendapat  dengan  ayat  tersebut  adalah  tidak  tepat  sama  sekali  karena  kata  ganti  “huwa”  tidak merujuk kepada Nabi SAW,  tetapi secara jelas merujuk kepada Kitab  yang diturunkan kepada Nabi. Kata ganti huwa  sama sekali tidak terkait dengan kata  ganti  dalam  kata  kerja  ‘yant}iqu’  yang  memang  merujuk  kepada  Nabi  SAW,  mengingat bahwa salah satu sifat dasar.
Nabi  Muh}ammad  SAW  tidak  pernah    memasukkan  unsur  hawa  nafsu  (keinginannya sendiri)  dalam hukum, putusan, perkataan, dan perbuatannya. Meski  peran  kenabian  yang  diembannya  telah  mengantarkan  beliau  pada  derajat  yang  tinggi,  namun  bagaimanapun  juga  tidak  dapat  dinyatakan  bahwa  seluruh  perkataan  dan perbuatan beliau termasuk bagian dari Wahyu.
 Pemahaman  Sunnah  menurutnya  adalah  merujuk  kepada  kehidupan  Muh}ammad  sebagai  Nabi  yang  hidup  di  bumi  Arab  dengan  segala  tantangan  yang  ada, yakni politik, budaya, dan sosial. Kalaupun sebagian sahabat menganggap yang  disampaikan Nabi sebagai wahyu, namun Nabi tidak terpengaruh dengan semua itu.
Nabi-pun  tidak  pernah  menyuruh  agar  pernyataannya  ditulis.  Anggapan  sebagian  bahwa  penyebab  Nabi  tidak  membukukan  pernyataannya  (h}adis\)  karena  takut  bercampur  dengan  al-Qur’a>n  itu  sendiri.  Disamping  itu  karena  dalam  al-Qur’a>n  sudah sangat jelas, bahwa ‚Inna nah}nu nazzalna> al-z\ikra wa inna lahu lah}afiz}u>n yang  artinya  “Kami  [Tuhan]  telah  menurunkan  al-Qur’a>n  dan  akan  menjaganya”.
Penyebab  sebenarnya  adalah  karena  Nabi  dan  para  sahabatnya  mengetahui  bahwa  yang  dilakukan  Nabi  merupakan  interaksi  pertama  dengan  realita,  bukan  interaksi   Muh}ammad Shah}ru>r,  Al-Kita>b wa  al-Qur’a<n  : Qira’ah Mu’a>s}irah,  Damaskus, al-Ahali, h.
545   terakhir. Nabi mengajarkan umatnya bagaimana melakukan ijtiha>d. Dan ajaran inilah  yang kemudian diteladani oleh „Umar.
Selanjutnya,  atas  dasar  bahwa  segala  tindakan  dan  keputusan  Nabi  SAW  tidak selalu berasal dari wahyu, tetapi ada juga yang merupakan  ijtiha>d  beliau, maka  Syah}ru>r membagi Sunnah  menjadi dua, Sunnah al-risala>h  dan Sunnah al-nubuwwah.
Sunnah al-risala>h  berbicara tentang ibadah, akhlak, dan hukum, sedangkan  Sunnah  al-nubuwwah berisi ilmu.
 Kategorisasi terhadap Sunnah ini berimplikasi pada pembedaan ketaatan yang  harus diberikan oleh manusia kepada  Nabi SAW menjadi dua,  yaitu ketaatan  yang  abadi  (al-t}a‘ah  al-muttas}ilah)  dan  ketaatan  yang  dituntut  ketika  Nabi  SAW  masih  hidup  (al-t}a‘ah al-munfas}ilah).  Model ketaatan pertama berlaku bagi semua perintah  Nabi  SAW  yang  berkaitan  dengan  hukum,  ibadah,  dan  akhlaq,  sedang  model  ketaatan  kedua  yang  berlaku  berisi  tentang  kebiasaan  Nabi  SAW  sehari-hari  serta  ketentuan hukum yang bersifat lokal.



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi