BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Al-Qur’an dan sunnah merupakan sumber hukum
yang paling utama, yang mempunyai
daya atur yang
universal, meliputi segenap
aspek dalam segala persoalan kehidupan umat di dunia.
Hal ini dapat dilihat dari teksnya yang
selalu tepat untuk
diimplikasikan dalam kehidupan
aktual, misalnya dalam bidang muamalah.
Dalam hal
muamalah duniawiyah yang
berkembang sekarang ini perilaku
nabi sebagai wirausahawan dapat diteladani dengan menyiapkan diri dan
mulai membangun kompetensi
sumber daya insani
dengan dibekali ketrampilan
berniaga, dengan mulai
dan mencari peluang
bisnis, menjalin kemitraan,
mengembangkan produk, memahami
aturan main, membangun budaya atau sikap mental usahawan, hingga
kemahiran bernegosiasi.
Dunia usaha
yang semakin berkembang
pesat banyak kesepakatan untuk
mengadakan transaksi jual
beli yang dituangkan
dalam perjanjian.
Pengertian perjanjian
diatur oleh KUH
Perdata Pasal 1313
yang berbunyi "Perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan
mana satu orang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih lainnya".
Secara
etimologis perjanjian yang
dalam bahasa arab
diistilahkan dengan Mu’amalah
ittifa’ akad atau kontrak dapat
diartikan sebagai perjanjian Prof.
Subekti, KUHPerdata, Jakarta: Pradnya Paramita, 1999, hlm. 325 atau
persetujuan adalah suatu
perbuatan dimana seseorang
mengikatkan dirinya pada seorang
atau lebih.
Untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya
manusia selalu berinteraksi dengan
sesamanya untuk mengadakan
transaksi ekonomi. Salah
satunya adalah jual beli. Secara
bahasa jual beli (bai') berarti mempertukarkan sesuatu dengan
sesuatu, kata bai'
memiliki cakupan makna
kebalikannya yakni as syira'
(membeli), namun demikianlah
kata bai' diartikan
sebagai jual-beli.
Secara
terminologi, terdapat beberapa
definisi jual beli
yang dikemukakan Ulama
fiqh, sekalipun substansi
dan tujuan masing-masing
definisi adalah sama,
yaitu tukar menukar
barang dengan cara
tertentu atau tukar
menukar sesuatu dengan
yang sepadan menurut
cara yang dibenarkan.
Jual-beli (albuyu) adalah
pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan hak milik dengan ganti yang dapat dibenarkan
(berupa alat tukar yang sah).
Landasan
syar'i yang menjadi
dasar diperbolehkan transaksi
jual beli adalah surat al- Baqarah ayat 275 yang
berbunyi: Artinya : Dan
Allah telah menghalalkan
jual beli dan
mengharamkan riba.
Orang-orang yang
telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil
riba), maka baginya apa yang telah
diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya
(terserah) kepada Allah.
Orang yang kembali Syafi’i Rahma, Fiqh Muamalah, Bandung: CV.
Pustaka Setia, 2006, hlm.
Gufran
A. Mas’adi, Fiqh
Muamalah Konstektual, Jakarta:
PT. Raja Grafindo
Persada, 2002, hlm. 1 Gemala Dewi,
Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, Jakarta: Perdana Kencana Media, 2005, hlm, 101 (mengambil
riba), Maka orang itu
adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.
Ayat
tersebut menjelaskan bahwasanya
Allah menghalalkan jual
beli dan mengharamkan riba. Jual
beli yang dihalalkan adalah jual beli yang bersih dan tidak mengandung riba serta memenuhi
syarat dan rukun jua l beli.
Dalam jual
beli terdapat syarat
dan rukun yang
harus dipenuhi oleh kedua
belah pihak baik penjual dan pembeli. Adanya rukun dan syarat dalam jual beli yang telah ditetapkan oleh syara'
adalah untuk dipenuhinya syarat dan rukun
tersebut sehingga jual beli yang dilakukan sah dan bisa dibenarkan oleh syara'.
Namun tentunya dalam praktek yang dapat
ditemui dalam kehidupan sehari-hari, tidak
dapat dihindarkan adanya
beberapa permasalahan yang berkaitan dengan
jual beli, dalam
praktek jual beli
terkadang ada beberapa persoalan dimana terdapat kurangnya atau tidak
dipenuhinya syarat atau rukun jual beli.
Dari sinilah ada
beberapa jual beli
yang dianggap shahih
atau sah dan ada jual beli yang dianggap ghairu shahih
atau tidak sah.
Terkadang dalam jual beli pada kenyataannya
konsumen memerlukan barang yang
tidak atau belum
dihasilkan oleh produsen
sehingga konsumen melakukan transaksi jual beli dengan produsen
dengan cara pesanan, di dalam hukum Islam
transaksi jual beli
yang, dilakukan secara
pesanan ini disebut dengan
Salam. Salam adalah
menjual suatu barang
yang penyerahannya ditunda atau menjual suatu barang yang
ciri-cirinya jelas dengan pembayaran Al-Quranulkarim,
Kudus: Menara Kudus, 2009, hlm.
Alaidin Koto,
Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persda, 2004, hlm.
Husein Syahatah, dan Athiyah Fayyad, Bursa Efek Tahunan Islam dan
Transaksi di Pasar Modal, Terj. A.
Syukur, Surabaya: Pustaka Progresif, 2004, hlm. 3 modal
lebih awal, Sedangkan,
barangnya diserahkan kemudian
hari.
Transaksi Salam merupakan salah satu bentuk
yang telah menjadi kebiasaan di berbagai masyarakat.
Orang yang mempunyai
perusahaan sering membutuhkan
uang untuk kebutuhan
perusahaan mereka, bahkan
sewaktuwaktu kegiatan perusahaannya
terhambat karena kekurangan
bahan pokok.
Sedangkan si
pembeli, selain akan
mendapatkan barang yang
sesuai dengan yang diinginkanya, ia pun sudah menolong
kemajuan perusahaan saudaranya.
Maka, untuk kepentingan tersebut
Allah mengadakan peraturan Salam.
Istishna’ di definisikan dengan kontrak penjualan
antara pembeli da n pembuat barang.
Dalam
kontrak ini pembuat
barang (shani) menerima pesanan dari pembeli (mustashni') untuk
membuat barang dengan spesifikasi yang telah
di sepakati kedua
belah pihak yang
bersepakat atas harga
sistem pembayaran, yaitu
dilakukan di muka,
melalui cicilan, atau
ditangguhkan sampai waktu yang
akan datang. Transaksi jual beli
istishna’ memiliki
syaratsyarat yang harus
dipenuhi sehingga sah
hukumnya. Diantara syarat -syarat tersebut
ada yang berkaitan
dengan modal (pembayaran)
dan barang yang dijual.
Syarat pembayaran (modal): 1. Jenisnya diketahui dengan jelas 2. Kadarnya diketahui dengan jelas 3. Penyerahan dilakukan dalam satu majelis.
Syarat barang yang diserahkan
kemudian: Syafi’i Rahmat, Loc.cit. hlm Gemala Dewi, Op.cit., hlm. 100 1.
Barang tersebut dalam tanggungan 2.
Kriteria barang tersebut
menunjukkan kejelasan jumlah
dan sifatsifatnya yang membedakan
dengan lainnya agar terhindar dart fitnah.
3. Batas waktu diketahui dengan jelas.
Firman Allah menyebutkan dalam Surat Al-
Baqarah ayat 282: Artinya: “Apabila kamu
berhutang piutang dengan
suatu hutang sampai kepada waktu yang disebutkan”.
Masyarakat Batang sebagian besar bekerja sebagai pengrajin bak truk, bak
truk adalah produksi
olahan dari bahan
kayu dengan sedemikian
rupa dengan model dan ukuran yang
jelas sesuai dan permintaan. Usaha bak truk ini
dilakukan dengan cara
jual beli secara
pesanan (dalam Islam
disebut dengan bai’
istishna’) dimana pihak
pembeli memesan barang
langsung kepada pihak pengrajin
bak truk (penjual) dengan kontrak perjanjian jual beli sebagai
landasan bisnis dan
dasar hukum serta
ketentuan-ketentuan lainnya, baik
mengenai harga, ataupun
waktu pembayaran yang
telah disepakati, dan dasar hukum
hubungan kerja ke dua belah
pihak. Dalam kontrak
perjanjian jual beli tersebut dijelaskan
cir i -ciri barang yang nantinya akan dibuat cara dan waktu pembayaran yang telah disepakati.
Akan tetapi
dalam perkembangannya akad
pemesanan barang atau kontrak
perjanjian jual beli bak
truk ini , pembayarannya tidak dapat dilakukan Imam Syafi’i,
Al Umm, Jilid 1V, Terjemah Prof.
TK. Ismail Yakub, Jakarta: 1982, hlm.
207.
Al-Quranulkarim, Kudus: Menara Kudus, 2005,
hlm. 49 secara langsung,
tetapi menunggu barang
jadi ataupun ditangguhkan
sesuai kesepakatan dalam kontrak
perjanjian jual beli tersebut. Sedangkan kenyataan yang
seringkali terjadi, pembeli
(pihak pemesan barang)
tidak memenuhi kewajibanya seperti yang sudah diatur dalam
kontrak jual beli tersebut. pihak penjual terkatung-katung menunggu
pelunasan pembayaran tersebut,
karena pihak pembeli terlambat
membayar hutang dan belum memberikan kepastian waktunya.
Inilah yang
terjadi pada penjual
bak truk CV.
Sumber jati di
desa Subah Kab.
Batang dengan pedagang
Tiga Putra di
Weleri, dimana C.V Sumber jati
sebagai pihak penjual
barang, dan Tiga
putra weleri sebagai sebagai pihak pemesan barang. Pada awal perjanjian keduanya
telah sepakat melakukan
transaksi jual beli.
Dalam perjanjian jual
beli tersebut, menghasilkan
kesepakatan antara kedua
belah pihak (penjual
dan pembeli) antara
lain, Tiga Putra
Weleri telah memesan
barang pada C.V
Sumber jati yaitu satu buah bak truk cold diesel bahan
baku kayu merbau, dengan harga 25.000.000,00,uang muka
sebesar 5.000.000,00 yang
dibayarkan diawal perjanjian
untuk sisa pembayaran
setelah barang selesai
dibuat. Dan C.V Sumber
jati sebagai pihak penjual telah menerima pesanan tersebut dan barang pesanan akan diselesaikan satu minggu setelah
pemesanan diterima. Keduanya telah menyepakati
perjanjian tersebut, akan
tetapi setelah jatuh
tempo, Tiga Putra Weleri sebagai pihak pemesan barang tidak
menepati janjinya ataupun tidak
melakukan kewajibannya, yaitu
setelah barang pesanan
diselesaikan pada tanggal
10 september 2010,
tiga putra weleri
belum bisa melunasi pembayaran, sementara barang sudah diserahka,
dimana dalam perjanjian jual beli tersebut
terjadi wanprestasi. Wanprestasi
yaitu apabila salah
satu pihak lalai,
tidak memenuhi kewajibanya,
terlambat memenuhi kewajiba nnya
atau memenuhinya tetapi
tidak sesuai yang
diperjanjikan. Hal seperti
ini bisa beresiko penipuan, yang akibatnya merugikan
pihak penjual.
Berdasarkan
latar belakang tersebut,
maka penulis tertarik
untuk membahas dan mengungkapnya
menjadi judul penelitian yaitu “Study Kasus Wanprestasi Akad Pemesanan Barang Dalam
Perjanjian Jual Beli Bak Truk Antara C.V Sumber Jati dan Tiga Putra Weleri”.
B. Rumusan Masalah.
Dari uraian
di atas kiranya
dapat dirumuskan pokok
permasalahan yang perlu
dikaji, dan mendapat
penjelasan yang lebih
mendetail untuk dibahas yaitu : 1. Apakah
akad pemesanan barang
antara C.V sumber
Jati dan Tiga
Putra weleri bisa dinamakan akad
istishna’? 2. Bagaimanakah praktek
akad pemesanan barang
antara C.V Sumber
Jati dan Tiga Putra Weleri ? 3. Bagaimana perspektif hukum Islam
terhadap wanprestasi akad pemesanan barang dalam perjanjian jual beli bak truk ? Hasil wawancara ibu Matoyah (istri Bpk
Muhcsal selaku pemilik C.V Sumber Jati pada tanggal 7 April 2011).
C.
Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian.
1. Tujuan Penelitian.
Dalam skripsi
ini ada beberapa
tujuan yang hendak
dicapai oleh penulis yaitu : a. Tujuan Formal.
Untuk melengkapi
dan memenuhi persyaratan
guna memperoleh gelar sarjana
dalam ilmu Syari'ah khususnya Mu’amalah Fakultas
Syariah IAIN Walisongo Semarang.
b. Tujuan fungsional antara lain:.
1) Untuk
mengetahui apakah akad
pemesanan barang C.V
Sumber Jati dan Tiga Putra Weleri
termasuk akad istishna’ .
2) Untuk mengetahui bagaimana
akad pemesanan barang antara
C.V Sumber Jati dan Tiga Putra
Weleri.
3) Untuk
mengetahui perspektif hukum
Islam terhadap wanprestasi akad pemesanan barang dalam
perjanjian jual beli bak truk.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi