BAB I.
PENDAHULUAN.
A. Latar Belakang.
Pernikahan merupakan
sebuah langkah untuk
menyatukan dua insan yang berbeda jenis dalam satu ikatan
suci guna melanjutkan keberlangsungan hidup manusia.
Namun tak jarang
seiring berjalannya waktu,
pernikahan tersebut tidak
selamanya berjalan dengan
mulus, banyak rintangan
dan hambatan yang
berakibat terjadinya keretakan
dan perpisahan dalam keluarga,
baik karena perceraian maupun ditinggal mati oleh salah sa tu pihak. Hal ini merupakan masalah yang
paling ditakuti oleh para pelaku pernikahan, karena hal tersebut memiliki beberapa
konsekuensi yang harus dijalani.
„Iddah adalah
salah satu konsekuensi
yang harus dijalani
oleh perempuan setelah terjadinya
perceraian, entah itu cerai karena talak, maupun cerai akibat kematian. Sebagaimana
ketentuan yang ada di dalam
surat alBaqarah ayat 228 : Artinya :
”Perempuan-perempuan yang ditalak
handaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru', tidak boleh mereka
menyembunyikan apa yang diciptakan Allah
dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah
dan hari akhirat.
dan suami-suaminya berhak merujukinya
dalam masa menanti
itu, jika mereka
(para suami) menghendaki ishlah. Dan para perempuan
mempunyai hak yang seimbang dengan
kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada isterinya, dan
Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana”.(Q.S.
Al-Baqarah: 228) Ayat
yang menjelaskan ketentuan
„iddah bagi seorang
perempuan akibat kematian.
al-Baqarah ayat 234 : Artinya : “Orang-orang
yang meninggal dunia
diantaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah para
isteri itu) menangguhkan
dirinya (beridah empat
bulan sepuluh hari.
Kemudian apabila telah habis
masa „iddahnya, maka tiada dosa bagimu
(para wali) membiarkan
mereka berbuat terhadap
diri mereka menurut
yang patut. Allah
mengetahui apa yang
kamu perbuat”. (Q.S. Al-Baqarah:
234) Dan yang menjelaskan tentang
pemberlakuan „iddah bagi perempuan yang lanjut usia. Surat al-Thalaq ayat 4 : Departemen
Agama, Al-qur‟an dan
terjemahnya, Jakarta:PT. Bumi
Restu, 1976, hlm. 55.
Ibid, hlm. 57.
Artinya :
“Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara
perempuan-perempuan jika kamu
ragu-ragu (tentang masa
„iddahnya) maka „iddah
mereka adalah tiga
bulan. Dan begitu
(pula) perempuan yang
tidak haid lagi.
Dan perempuan perempuan yang hamil, waktu „iddah
mereka itu adalah sampai mereka
melahirkan kandungan, dan barang siapa yang bertakwa kepada
Allah niscaya Allah
menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”( Q.S. Al-Thalaq : 4) Sebenarnya,
pemberlakuan „iddah bagi
perempuan setelah terjadi perceraian
bukanlah syari’at murni
yang ada dalam
Islam. Pemberlakuan „iddah sudah ada
sebelum datangnya agama Islam, sebagaimana yang terjadi kepada perempuan
yang ditinggal mati
suaminya. Tetapi, penerapan
„iddah yang bersamaan dengan
Ihdad sangatlah tidak
manusiawi. Pada masyarakat pra Islam,
selain sangat menghargai institusi perkawinan, mereka j uga begitu mengkultuskan suami.
Ketika
suami meninggal, mereka
menerapkan aturan yang
sangat kejam. Sang
isteri harus menampakan
rasa duka cita
yang mendalam atas kematian suaminya. Ini dilakukan dengan
cara mengurung diri dalam kamar kecil
yang terasing. Mereka juga dituntut memakai baju hitam paling jelek.
Di samping itu mereka juga
dilarang melakukan beberapa hal, seperti
berhias diri, memakai
harum-haruman, mandi, memotong
kuku, memanjangkan rambut
dan menampakkan diri
di hadapan khalayak.
itu dilakukan setahun penuh.
Perempuan
bisa diwariskan dan
perempuan dianggap mahluk
paling hina. Perempuan
dianggap penyebab kemiskinan,
tak heran jika
Umar bin Ibid, hlm. 946.
Abu
Yazid, Fiqh Realitas,
Respon Ma‟had Aly
terhadap Wacana Hukum Islam
Kontemporer, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,
2005, hlm.323-324.
Ibid.
Khattab
ketika itu mengubur
putrinya hidup-hidup, itu
dikarenakan bayi malang
itu terlahir sebagai
seorang perempuan. Hal
itu dikarenakan pola hidup nomaden yang
dijalani masyarakat ketika
itu, rentan dengan peperangan demi mempertahankan sukunya maupun
tanah nenek moyangnya, sehingga membutuhkan
banyak tenaga laki-laki
sebagai simbol kekuatan.
Sedangkan kaum
perempuan hanya berdiam
di rumah dan
tidak memiliki aktivitas produktif yang menyebabkan mereka
tidak diakui hak-haknya dalam keluarga,
seperti tidak mendapatkan warisan.
Diskriminasi terhadap
perempuan tidak begitu
saja berhenti setelah Islam
lahir. Beberapa Negara
yang belum terjamah
oleh Islam,diskriminasi itu
tetap ada, semisal
Inggris. Pada abad
pertengahan sampai tahun
1805 perundang-undangan Inggris
mengakui suami untuk
menjual isterinya, dan sampai
tahun 1882 perempuan Inggris belum memiliki hak kepemilikan harta benda secara penuh, dan hak menuntut ke
pengadilan. Ini juga yang dialami Elizabeth Blackwill
yang merupakan dokter
perempuan pertama di
dunia pada tahun
1849. Ketika ingin
mendirikan Institut Kedokteran
wanita di Philadelphia
Amerika Serikat, diboikot.
Bahkan Ikatan Dokter
Setempat mengancam untuk
memboikot semua dokter yang bersedia mengajar disana.
Fenomena
diskriminatif terhadap kaum
perempuan mulai berubah setelah
datangnya agama Islam.
Derajat kaum perempuan banyak
terangkat dengan kedatangan
Islam.
Perempuan
yang pada mulanya
tidak berhak mendapatkan
warisan, mendapatkan warisan,
walaupun besarnya hanya M. Qurais Shihab, Wawasan al-Al-qur‟an,
Bandung: Mizan, 2000, hlm,297-298.
Ibid.
separuh dari yang didapat oleh laki-laki.
Praktek poligami yang tanpa batas dibatasi menjadi maksimal empat isteri.
Islam datang dengan mengupayakan adanya pengurangan waktu berkabung bagi
seorang isteri, dan ini dilakukan tidak
dengan cara-cara yang
merendahkan atau menistakan
diri perempuan.
Sesuai dengan keterbatasan dan
kesederhanaan piranti teknologis pada
waktu itu dan pertimbangan
etis moral lainnya, dibuatkanlah suatu
ketentuan yang disebut „iddah.
Yaitu, suatu masa
menunggu bagi seorang
perempuan yang baru
berpisah dari suaminya,
baik karena perceraian
atau kematian, untuk tidak
menikah lagi sebelum melalui beberapa waktu tertentu.
Ketentuan Al-qur’an
tentang „iddah ini
adalah suatu ketentuan
yang mutlak harus diikuti,
karena inilah syariat
yang diturunkan kepada
manusia untuk kemaslahatan
mereka di dunia
dan keselamatan mereka
di akhirat kelak. Ketentuan-Nya ini tentu saja tidak
dapat diubah. Akan tetapi ada yang belum
jelas di sini, yaitu apa alasan Allah mensyariatkan „iddah
bagi seorang perempuan, Al-qur’an
tidak menjelaskannya. Tidak
adanya penjelasan Alqur’an tentang hal ini tidaklah menunjukkan
titik lemah dari Al-qur’an. Justru inilah
cara Allah memberi
kebebasan kepada manusia
dalam menafsirkan syariat
yang diturunkan-Nya. Apa alasan yang
tepat dari pemberlakuan „iddah
ini, Allah kembalikan kepada manusia. Oleh karena itu,
tidak sedikit ulama yang
mencoba mendefinisikan atau
mencari alasan pemberlakuan „iddah itu kepada kaum perempuan.
Q.S An-nisa’ ayat 3.
Seiring berjalannya waktu, tentu banyak
perubahan yang terjadi dalam masyarakat,
mulai dari pola hidup, tatanan kebudayaan, sosial ekonomi yang dapat menyebabkan berubahnya
suatu hukum. Sejalan
dengan itu, beberapa hukum yang telah pasti namun dirasa
mendiskriminasikan kaum perempuan sudah selayaknya
ditelaah kembali, salah
satunya adalah „iddah.
Pasalnya kehidupan sudah berubah,
yang berimbas pada perubahan hukum.
„Iddah dianggap
mendiskreditkan kaum perempuan
dikarenakan dianggap membatasi
ruang gerak perempuan pasca perceraian
atau ditinggal mati oleh suaminya.
Wanita dituntut untuk membatasi pergaulan, gaya hidup, aktivitas
sehari-hari bahkan karier,
sedangkan kaum laki-laki
bebas berbuat apa
saja pasca perceraian
bahkan menikah lagi
pun diperbo lehkan tanpa menunggu
selesainya masa „iddah.
Dan akhirnya
konstruk-konstruk sosial yang
menganggap kaum perempuan
lemah dan tidak
bisa memimpin mulai
berubah. Dengan perubahan tersebut, perempuan mendapat
akses yang sama seperti laki-laki.
Dengan adanya akses yang sama antara laki-laki dan
perempuan sama-sama mempunyai andil
besar dalam membangun kehidupan.
Persamaan hak
dan tanggung jawab
antara laki-laki dan
perempuan dijelaskan Mahmud Syaltut sebagaimana dikutip oleh Qurais Shihab
sebagai berikut : “ Tabiat
kemanusiaan antara lelaki
dan perempuan hamper
dapat dikatakan sama.
Allah telah menganugerahkan kepada
perempuan – sebagaimana menganugerahkan laki-laki-
potensi dan kemampuan
yang cukup untuk
memikul tanggungjawab, dan
menjadikan kedua jenis
kelamin ini dapat melaksanakan
aktivitas-aktivitas yang bersifat
umum maupun khusus. Karena itu, hukum-hukum syari‟at pun meletakkan keduanya dalam satu
kerangka. Yang ini
(lelaki) menjual dan
membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar
dan dihukum, menuntut
dan menyaksikan, dan
yang itu (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan
membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar
dan dihukum, serta menuntut dan menyaksikan.”
Sebenarnya ketentuan syibkhul
„iddah bagi laki-laki
telah tertulis dalam
kitab-kitab karangan ulama
salaf maupun khalaf
. Salah satunya adalah adalah
Fiqh al-Islam wa adillatuhu
karangan Wahbah Zuhaili. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa laki-laki
memiliki „iddah dalam dua kondisi.
Pertama, jika
seorang laki-laki mencerai
isterinya dengan talak
raj’i lalu dia ingin menikah
dengan perempuan yang semahram dengan
isterinya, semisal saudara
perempuan isteri, maka
si laki-laki tidak
boleh menikah dengan perempuan tersebut sampai masa „iddah
isteri yang dicerai selesai.
Kedua, jika seorang laki-laki memiliki empat isteri, lalu dia mencerai salah satu
isterinya dan ingin menikah dengan perempuan yang ke lima maka dia harus menunggu masa „iddah isteri yang
dicerai selesai.
Penyampaian
„iddah bagi laki-laki
dalam dua kondisi
tersebut berbeda-beda, ada
yang secara tersurat
dan tersirat. Menurut
Abdurrahman Al-jaziri keadaan
tersebut bukanlah „iddah
bagi laki-laki, masa
tunggu tersebut tetap merupakan
masa „iddah bagi perempuan.
Sedangkan menurut Abu
bakar al-dimyati dengan
jelas dia mengatakan
bahwa seorang laki -laki tidak memiliki masa „iddah
kecuali dalam dua kondisi tersebut.
Sedangkan M. Qurais Shihab, op, cit, hlm.299.
Abu Bakar
bin Muhammad al-Dimyati. I‟anah al-Tholibin, juz 4, Libanon:Darul Fikr.
Tt, hlm. 37.
Abdurrahman
al-Jaziri, Kitabu al-Fiqh
ala al-Madhahibul al-Arba‟,
juz 4, Libanon:Darl Kutub al-Ilmiyah, 2003, 452.
Abu Bakar bin Muhammad al-Dimyati, loc, cit.
Wahbah
Zuhaili menganggap itu
bukan „iddah secara
istilah, itu hanya merupakan
masa tunggu bias yang disebabkan karena adanya mani syar‟i.
Dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI)
terdapat dua pasal
yang menyebutkan tentang
pemberlakuan „iddah bagi
laki-laki, tetapi pasal tersebut tidak
menyebutkan pembe rlakuan „iddah
bagi laki-laki secara tersurat, tetapi secara tersirat (Syibhul
„iddah). Berikut pasal dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang yang menyebutkan hal tersebut.
Pasal 42, ”Seorang pria dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita
apabila pria tersebut
sedang mempunyai 4
(empat) orang isteri
yang keempat-empatnya masih
terikat tali perkawinan
atau masih dalam
„iddah talak raj‟i
ataupun salah seorang
di antara mereka
masih terikat tali perkawinan
sedang yang lainnya dalam masa „iddah tal ak raj‟i”.
Pasal 70
huruf a, “Suami
melakukan perkawinan, sedang
ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah
mempunyai empat orang isteri, sekalipun
salah satu dari keempat isterinya itu dalam „iddah talak raj‟i”.
Pada dasarnya „iddah merupakan
waktu dimana suami isteri yang baru bercerai
untuk menenangkan pikiran, hati dan perasaan. Waktu dimana kedua orang
tersebut memikirkan apakah
akan benar-benar berpisah
atau rujuk kembali, ataupun waktu untuk menenangkan dan
menjaga perasaan keluarga dari kedua
belah pihak agar tidak terjadi perselisihan dan pertengkaran karena sakit hati setelah perceraian. Karena
hakikatnya tali silaturrahmi harus tetap terjaga
dengan baik walaupun
sudah tidak ada
hubungan perkawinan. Jadi „iddah
lebih berfungsi kepada khablumminannas dan sosial masyarakat. Hal
tersebut dapat dengan mudah dilaksanakan jika dari pihak mantan suami
dan mantan isteri
sama-sama memanfaatkan masa
„iddah atau masa tunggu tersebut
dengan sebaik-baiknya. Sayangnya
hanya isterilah yang berkewajiban menjalankan
„iddah sedang suami
tidak ada kewajiban
untuk melaksanakan „iddah. Oleh
karena itu, perlu adanya sebuah pemahaman baru terhadap
konsep „iddah sehingga
dapat berlaku mengikat
kepada laki-laki maupun perempuan.
Dari uraian
di atas, penulis
tergerak untuk meneliti
lebih detail berkaitan
dengan pendapat Wahbah
Zuhaili dalam bentuk
tulisan skripsi dengan
judul “„Syibhul „Iddah
Bagi Laki-laki Tudi
Analisis Pendapat Wahbah Zuhaili”.
Download lengkap Versi PDF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
pesan skripsi