Senin, 25 Agustus 2014

Skripsi Syariah: SYIBHUL ‘IDDAH BAGI LAKI-LAKI STUDI ANALISIS PENDAPAT WAHBAH ZUHAILI

BAB I.
PENDAHULUAN.
A.  Latar Belakang.
Pernikahan  merupakan  sebuah  langkah  untuk  menyatukan  dua  insan yang berbeda jenis dalam satu ikatan suci guna melanjutkan keberlangsungan  hidup  manusia.  Namun  tak  jarang  seiring  berjalannya  waktu,  pernikahan  tersebut  tidak  selamanya  berjalan  dengan  mulus,  banyak  rintangan  dan  hambatan  yang  berakibat  terjadinya  keretakan  dan  perpisahan  dalam  keluarga, baik karena perceraian maupun ditinggal mati oleh salah sa tu pihak. Hal ini merupakan masalah yang paling ditakuti oleh para pelaku pernikahan,  karena hal tersebut memiliki beberapa konsekuensi yang harus dijalani.

„Iddah  adalah  salah  satu  konsekuensi  yang  harus  dijalani  oleh  perempuan setelah terjadinya perceraian, entah itu cerai karena talak, maupun  cerai akibat kematian.  Sebagaimana  ketentuan yang ada di  dalam surat  alBaqarah ayat 228 : Artinya  :  ”Perempuan-perempuan  yang  ditalak  handaklah  menahan  diri  (menunggu) tiga kali quru',  tidak boleh mereka menyembunyikan  apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman   kepada  Allah  dan  hari  akhirat.  dan  suami-suaminya  berhak  merujukinya  dalam  masa  menanti  itu,  jika  mereka  (para  suami)  menghendaki ishlah. Dan para perempuan mempunyai hak yang  seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. akan  tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada  isterinya,  dan  Allah  Maha  Perkasa  lagi  Maha  Bijaksana”.(Q.S.
Al-Baqarah: 228)  Ayat  yang  menjelaskan  ketentuan  „iddah  bagi  seorang  perempuan  akibat kematian. al-Baqarah ayat 234 : Artinya  :  “Orang-orang  yang  meninggal  dunia  diantaramu  dengan  meninggalkan  isteri-isteri  (hendaklah  para  isteri  itu)  menangguhkan  dirinya  (beridah  empat  bulan  sepuluh  hari.
Kemudian apabila telah habis masa  „iddahnya, maka  tiada dosa  bagimu  (para  wali)  membiarkan  mereka  berbuat  terhadap  diri  mereka  menurut  yang  patut.  Allah  mengetahui  apa  yang  kamu  perbuat”. (Q.S. Al-Baqarah: 234)  Dan yang menjelaskan tentang pemberlakuan  „iddah  bagi perempuan  yang lanjut usia. Surat al-Thalaq ayat 4 :  Departemen  Agama,  Al-qur‟an  dan  terjemahnya,  Jakarta:PT.  Bumi  Restu,  1976,  hlm. 55.
 Ibid, hlm. 57.
 Artinya :  “Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di  antara  perempuan-perempuan  jika  kamu  ragu-ragu  (tentang  masa  „iddahnya)  maka  „iddah  mereka  adalah  tiga  bulan.  Dan  begitu  (pula)  perempuan  yang  tidak  haid  lagi.  Dan  perempuan  perempuan yang hamil, waktu  „iddah  mereka itu adalah sampai  mereka melahirkan kandungan, dan barang siapa yang bertakwa  kepada  Allah  niscaya  Allah  menjadikan  baginya  kemudahan  dalam urusannya”( Q.S. Al-Thalaq : 4)  Sebenarnya,  pemberlakuan  „iddah  bagi  perempuan  setelah  terjadi  perceraian  bukanlah  syari’at  murni  yang  ada  dalam  Islam.  Pemberlakuan „iddah  sudah ada  sebelum datangnya agama Islam, sebagaimana yang terjadi kepada  perempuan  yang  ditinggal  mati  suaminya.  Tetapi,  penerapan  „iddah yang bersamaan dengan  Ihdad    sangatlah tidak manusiawi. Pada masyarakat  pra Islam, selain sangat menghargai institusi perkawinan, mereka j uga begitu  mengkultuskan suami.
 Ketika  suami  meninggal,  mereka  menerapkan  aturan  yang  sangat  kejam.  Sang  isteri  harus  menampakan  rasa  duka  cita  yang   mendalam  atas kematian suaminya. Ini dilakukan dengan cara mengurung diri dalam kamar  kecil yang terasing. Mereka juga dituntut memakai baju hitam paling jelek.
Di samping itu mereka juga dilarang melakukan beberapa  hal, seperti berhias  diri,  memakai  harum-haruman,  mandi,  memotong  kuku,  memanjangkan  rambut  dan  menampakkan  diri  di  hadapan  khalayak.  itu  dilakukan  setahun  penuh.
 Perempuan  bisa  diwariskan  dan  perempuan  dianggap  mahluk  paling  hina.  Perempuan  dianggap  penyebab  kemiskinan,  tak  heran  jika  Umar  bin   Ibid, hlm. 946.
 Abu  Yazid,  Fiqh  Realitas,  Respon  Ma‟had  Aly  terhadap  Wacana  Hukum  Islam  Kontemporer, Yogyakarta:Pustaka Pelajar, 2005, hlm.323-324.
 Ibid.
 Khattab  ketika  itu  mengubur  putrinya  hidup-hidup,  itu  dikarenakan  bayi  malang  itu  terlahir  sebagai  seorang   perempuan.  Hal  itu  dikarenakan  pola  hidup  nomaden  yang  dijalani  masyarakat  ketika  itu,  rentan  dengan  peperangan demi mempertahankan sukunya maupun tanah nenek moyangnya,  sehingga  membutuhkan  banyak  tenaga  laki-laki  sebagai  simbol  kekuatan.
Sedangkan  kaum  perempuan  hanya  berdiam  di  rumah  dan  tidak  memiliki  aktivitas produktif yang menyebabkan mereka tidak diakui hak-haknya dalam  keluarga, seperti tidak mendapatkan warisan.
Diskriminasi  terhadap  perempuan  tidak  begitu  saja  berhenti  setelah  Islam  lahir.  Beberapa  Negara  yang  belum  terjamah  oleh  Islam,diskriminasi  itu  tetap  ada,  semisal  Inggris.  Pada  abad  pertengahan  sampai  tahun  1805  perundang-undangan  Inggris  mengakui  suami  untuk  menjual  isterinya,  dan  sampai tahun 1882 perempuan Inggris belum memiliki hak kepemilikan harta  benda secara penuh, dan hak menuntut ke pengadilan. Ini juga yang dialami  Elizabeth  Blackwill  yang  merupakan  dokter  perempuan  pertama  di  dunia  pada  tahun  1849.  Ketika  ingin  mendirikan  Institut  Kedokteran  wanita  di  Philadelphia  Amerika  Serikat,  diboikot.  Bahkan  Ikatan  Dokter  Setempat  mengancam untuk memboikot semua dokter yang bersedia mengajar disana.
 Fenomena  diskriminatif  terhadap  kaum  perempuan  mulai   berubah  setelah  datangnya  agama  Islam.  Derajat kaum  perempuan  banyak  terangkat  dengan  kedatangan  Islam.
 Perempuan  yang  pada  mulanya  tidak  berhak  mendapatkan  warisan,  mendapatkan  warisan,  walaupun  besarnya  hanya   M. Qurais Shihab, Wawasan al-Al-qur‟an, Bandung: Mizan, 2000, hlm,297-298.
 Ibid.
 separuh dari yang didapat oleh laki-laki. Praktek poligami yang tanpa   batas  dibatasi menjadi maksimal empat  isteri.
 Islam datang dengan mengupayakan  adanya pengurangan waktu berkabung bagi seorang  isteri, dan ini dilakukan  tidak  dengan  cara-cara  yang  merendahkan  atau  menistakan  diri  perempuan.
Sesuai dengan keterbatasan dan kesederhanaan piranti teknologis pada  waktu  itu dan pertimbangan etis  moral lainnya, dibuatkanlah suatu ketentuan yang  disebut  „iddah.  Yaitu,  suatu  masa  menunggu  bagi  seorang  perempuan  yang  baru  berpisah  dari  suaminya,  baik  karena  perceraian  atau  kematian,  untuk  tidak menikah lagi sebelum melalui beberapa waktu tertentu.
Ketentuan  Al-qur’an  tentang  „iddah  ini  adalah  suatu  ketentuan  yang mutlak  harus  diikuti,  karena  inilah  syariat  yang  diturunkan  kepada  manusia  untuk  kemaslahatan  mereka  di  dunia  dan  keselamatan  mereka  di  akhirat  kelak. Ketentuan-Nya ini tentu saja tidak dapat diubah. Akan tetapi ada yang  belum jelas di sini, yaitu apa alasan Allah mensyariatkan  „iddah  bagi seorang  perempuan,  Al-qur’an  tidak  menjelaskannya.  Tidak  adanya  penjelasan  Alqur’an tentang hal ini tidaklah menunjukkan titik lemah dari  Al-qur’an. Justru  inilah  cara  Allah  memberi  kebebasan  kepada  manusia   dalam  menafsirkan  syariat  yang  diturunkan-Nya.  Apa  alasan  yang  tepat  dari  pemberlakuan  „iddah  ini,  Allah  kembalikan kepada manusia. Oleh karena itu, tidak sedikit  ulama  yang  mencoba  mendefinisikan  atau  mencari  alasan  pemberlakuan „iddah itu kepada kaum perempuan.
 Q.S An-nisa’ ayat 3.
 Seiring berjalannya waktu, tentu banyak perubahan yang terjadi dalam  masyarakat, mulai dari pola hidup, tatanan kebudayaan, sosial ekonomi yang  dapat menyebabkan  berubahnya  suatu  hukum.  Sejalan  dengan  itu,  beberapa  hukum yang telah pasti namun dirasa mendiskriminasikan kaum perempuan  sudah  selayaknya  ditelaah  kembali,  salah  satunya  adalah  „iddah.  Pasalnya  kehidupan sudah berubah, yang berimbas pada perubahan hukum.
„Iddah  dianggap  mendiskreditkan  kaum  perempuan  dikarenakan  dianggap membatasi ruang  gerak perempuan pasca perceraian atau ditinggal  mati oleh suaminya. Wanita dituntut untuk membatasi pergaulan, gaya hidup,  aktivitas  sehari-hari  bahkan  karier,  sedangkan  kaum  laki-laki  bebas  berbuat  apa  saja  pasca  perceraian  bahkan  menikah  lagi  pun  diperbo lehkan  tanpa  menunggu selesainya masa „iddah.
Dan  akhirnya  konstruk-konstruk  sosial  yang  menganggap  kaum  perempuan  lemah  dan  tidak  bisa  memimpin  mulai  berubah.  Dengan  perubahan tersebut, perempuan mendapat akses  yang sama seperti laki-laki.
Dengan adanya  akses yang sama antara laki-laki dan perempuan sama-sama  mempunyai andil besar dalam membangun kehidupan.
Persamaan  hak  dan  tanggung  jawab  antara  laki-laki  dan  perempuan  dijelaskan  Mahmud Syaltut  sebagaimana dikutip oleh Qurais Shihab sebagai  berikut : “  Tabiat  kemanusiaan  antara  lelaki  dan  perempuan  hamper  dapat  dikatakan  sama.  Allah  telah  menganugerahkan  kepada  perempuan  – sebagaimana  menganugerahkan  laki-laki-  potensi  dan  kemampuan  yang  cukup  untuk  memikul  tanggungjawab,  dan  menjadikan  kedua  jenis  kelamin ini  dapat  melaksanakan  aktivitas-aktivitas  yang  bersifat  umum  maupun  khusus. Karena itu,  hukum-hukum syari‟at  pun meletakkan keduanya dalam   satu  kerangka.  Yang  ini  (lelaki)  menjual  dan  membeli,  mengawinkan  dan  kawin,  melanggar  dan  dihukum,  menuntut  dan  menyaksikan,  dan  yang  itu  (perempuan) juga demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan  kawin, melanggar dan dihukum, serta menuntut dan menyaksikan.”  Sebenarnya  ketentuan  syibkhul  „iddah  bagi  laki-laki  telah  tertulis  dalam  kitab-kitab  karangan  ulama  salaf    maupun  khalaf  .  Salah  satunya  adalah adalah  Fiqh al-Islam wa adillatuhu  karangan Wahbah Zuhaili.  Dalam  kitab tersebut dijelaskan bahwa laki-laki memiliki „iddah dalam dua kondisi.
Pertama,  jika  seorang  laki-laki  mencerai  isterinya  dengan  talak  raj’i  lalu dia ingin menikah dengan perempuan yang semahram dengan  isterinya,  semisal  saudara  perempuan  isteri,  maka  si  laki-laki  tidak  boleh  menikah  dengan perempuan tersebut sampai masa „iddah isteri yang dicerai selesai.
Kedua,  jika seorang laki-laki memiliki empat  isteri, lalu dia mencerai  salah satu  isterinya dan ingin menikah dengan perempuan yang ke lima maka  dia harus menunggu masa „iddah isteri yang dicerai selesai.
 Penyampaian  „iddah  bagi  laki-laki  dalam  dua  kondisi  tersebut  berbeda-beda,  ada  yang  secara  tersurat  dan  tersirat.  Menurut  Abdurrahman  Al-jaziri  keadaan  tersebut  bukanlah  „iddah  bagi  laki-laki,  masa  tunggu  tersebut tetap merupakan masa  „iddah  bagi perempuan.
 Sedangkan menurut  Abu  bakar  al-dimyati  dengan  jelas  dia  mengatakan  bahwa  seorang  laki -laki  tidak memiliki masa  „iddah  kecuali dalam dua kondisi tersebut.
 Sedangkan   M. Qurais Shihab, op, cit, hlm.299.
 Abu Bakar  bin Muhammad al-Dimyati. I‟anah al-Tholibin, juz 4,  Libanon:Darul Fikr.
Tt, hlm. 37.
 Abdurrahman  al-Jaziri,  Kitabu  al-Fiqh  ala  al-Madhahibul  al-Arba‟,  juz  4,  Libanon:Darl Kutub al-Ilmiyah, 2003, 452.
 Abu Bakar bin Muhammad al-Dimyati, loc, cit.
 Wahbah  Zuhaili  menganggap  itu  bukan  „iddah  secara  istilah,  itu  hanya  merupakan masa tunggu bias yang disebabkan karena adanya mani syar‟i.
Dalam  Kompilasi  Hukum  Islam  (KHI)  terdapat  dua  pasal  yang  menyebutkan  tentang  pemberlakuan  „iddah  bagi  laki-laki,  tetapi  pasal  tersebut  tidak  menyebutkan  pembe rlakuan  „iddah  bagi  laki-laki  secara  tersurat, tetapi secara tersirat (Syibhul „iddah). Berikut pasal dalam Kompilasi  Hukum Islam (KHI) yang yang menyebutkan hal tersebut.
Pasal 42, ”Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan  seorang  wanita  apabila  pria  tersebut  sedang  mempunyai  4  (empat)  orang  isteri  yang  keempat-empatnya  masih  terikat  tali  perkawinan  atau  masih  dalam  „iddah  talak  raj‟i  ataupun  salah  seorang  di  antara  mereka  masih  terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa „iddah tal ak raj‟i”.
Pasal  70  huruf  a,  “Suami  melakukan  perkawinan,  sedang  ia  tidak  berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri,  sekalipun salah satu dari keempat isterinya itu dalam „iddah talak raj‟i”.
Pada dasarnya „iddah merupakan waktu dimana suami isteri yang baru  bercerai untuk menenangkan pikiran, hati dan perasaan. Waktu dimana kedua  orang  tersebut  memikirkan  apakah  akan  benar-benar  berpisah  atau  rujuk  kembali, ataupun waktu untuk menenangkan dan menjaga perasaan keluarga  dari kedua belah pihak agar tidak terjadi perselisihan dan pertengkaran karena  sakit hati setelah perceraian. Karena hakikatnya tali silaturrahmi harus tetap  terjaga  dengan  baik  walaupun  sudah  tidak  ada  hubungan  perkawinan.  Jadi  „iddah lebih berfungsi kepada khablumminannas dan sosial masyarakat.    Hal tersebut dapat dengan mudah dilaksanakan jika dari pihak mantan  suami  dan  mantan  isteri  sama-sama  memanfaatkan  masa  „iddah  atau  masa  tunggu  tersebut  dengan  sebaik-baiknya.  Sayangnya  hanya  isterilah  yang  berkewajiban  menjalankan  „iddah  sedang  suami  tidak  ada  kewajiban  untuk  melaksanakan „iddah. Oleh karena itu, perlu adanya sebuah pemahaman baru  terhadap  konsep  „iddah  sehingga  dapat  berlaku  mengikat  kepada  laki-laki  maupun perempuan.
Dari  uraian  di  atas,  penulis  tergerak  untuk  meneliti  lebih  detail  berkaitan  dengan  pendapat  Wahbah  Zuhaili  dalam  bentuk  tulisan  skripsi  dengan  judul  “„Syibhul  „Iddah  Bagi  Laki-laki  Tudi  Analisis  Pendapat  Wahbah Zuhaili”.



Download lengkap Versi PDF

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

pesan skripsi